Jurnal 03
Selamat pagi, Pratt.
Pagi ini, suasana hatiku sangat-sangat buruk, karena semalam–lebih tepatnya dini hari tadi–aku tidur dengan suasana hati yang buruk. Semua gara-gara lelaki menyebalkan itu.
Bukannya berterima kasih karena aku sudah membiarkannya tidur lebih lama, dia justru menceramahiku tentang pentingnya tanggung jawab dan bagaimana dia sebagai pria sejati harus melindungi perempuan dan anak kecil! Dan kurang ajarnya lagi, saat berkata anak kecil dia menatap kepadaku. Apa dia sengaja menyindirku?!
Kujawab saja bahwa aku, yang seorang anak kecil ini, bisa saja menggoroknya waktu tidur. Setelah itu, aku membiarkannya menjadi 'pria sejati' dan berjaga seperti seharusnya. Lebih baik aku langsung tidur daripada berdebat dengan Tuan Raz Yang Bijaksana itu!
Mulai saat ini, aku tidak akan berbaik hati memedulikan kondisinya. Toh, kami ikut rombongan ini karena tujuan masing-masing, bukan untuk mencari teman baru. Lagi pula, siapa yang tahu apa yang terjadi begitu kami sampai Liberte. Bisa jadi nantinya kami harus saling tikam untuk bertahan hidup.
Ah, sudah dulu, ya, Pratt. Kepala rombongan sudah meneriakiku untuk segera naik ke mobil. Ck, sayangnya aku tidak diperbolehkan pindah mobil. Jadi, doakan aku tidak naik pitam semobil dengan Raz.
—---
Pratt. Sepertinya sejak ikut rombongan ini, aku jadi gampang sekali emosi. Mungkin karena perjalanan ini benar-benar melelahkan dan penuh ketidapastian.
Ya, ya, ya. Aku tahu kau akan mentertawakanku dan bilang bahwa sejak dulu sumbu emosiku terlalu pendek. Tapi serius, Pratt. Perjalanan ini benar-benar menyebalkan. Bukan hanya karena ada Raz, tapi seluruh pegawai AYX itu benar-benar semena-mena.
Mereka bisa dibilang tidak berbuat apa-apa selain mengangkut kami ke Liberte. Tapi, ketika mobil yang kami tumpangi tiba-tiba mogok, mereka meminta kami untuk mencari benda-benda yang bisa dipakai memperbaiki mobil di puing-puing bangunan tempat kami singgah.
Yah, setidaknya ada Edda. Dia tadi mengasahkan golokku. Gadis itu sangat pendiam, dan selalu terlihat ketakutan. Kalau kau bertemu dengannya, mungkin kau akan bilang bahwa dia mengingatkanmu pada aku saat baru bergabung dengan Messenger. Dan kurasa, aku akan setuju denganmu. Sikapnya yang selalu ragu benar-benar mirip aku yang dulu, malah mungkin aku lebih parah lagi. Dulu, aku bahkan sampai menuruti saranmu untuk melempar koin jika tidak tahu harus berbuat apa.
Aku sama sekali tidak tertarik membantu para kru AYX itu. Jadi, kuputuskan aku berkeliling saja. Pura-pura sedang mencari barang yang berguna. Jika dilihat dari puing-puing bangunannya, tampaknya tempat ini dulunya adalah desa yang cukup ramai.
—-----
Aku bingung, Pratt. Rasanya aku uring-uringan, tapi aku sendiri tidak paham apa yang membuatku kesal.
Baik, akan kuceritakan dulu dari awal.
Tadi, aku berkeliling kota mati ini, lalu tanpa sengaja menemukan sebuah sumur tua. Sungguh kebetulan yang sangat baik. Persediaan air minumku memang sudah menipis. Setelah mengisi botol-botol minumku, aku bergegas mencari Edda. Seingatku, bekalnya pun hampir habis.
Edda tengah memanjat reruntuhan saat aku datang. Seharusnya aku tidak berteriak padanya. Gadis itu mudah sekali merasa panik. Tapi, sepertinya aku terlalu merasa senang setelah bosan jalan berputar-putar.
"Edda! Ada sumur tua di sebelah sini. Kau bisa mengisi botolmu!"
Teriakanku membuat Edda kaget sehingga tidak memperhatikan langkahnya. Gadis itu tergelincir jatuh. Aku berlari sekencang mungkin, meski tahu tidak mungkin bisa menyelamatkannya.
Untungnya, Raz sempat menangkap Edda. Gadis itu langsung melompat turun dan kabur. Jadi, harusnya dia baik-baik saja. Harusnya aku merasa lega. Tapi, entah kenapa aku merasa kesal.
Entah kenapa, hatiku tiba-tiba terasa panas. Beberapa hari lalu, Raz juga pernah menyelamatkanku saat hampir terjatuh di mobil. Dua kali. Dan dua kali juga dia melemparkanku begitu saja, seolah aku ini benda yang menjijikkan.
Aku tahu, harusnya aku tidak ambil pusing. Hanya saja, saat melihat Raz menurunkan Edda dengan lembut, aku sendiri jadi bertanya-tanya, apa ada yang salah pada diriku. Mungkinkah memang ada bagian dari diriku yang membuat orang lain membenciku? Seperti pria itu yang meninggalkanku membusuk di Direland.
Ah, Pratt. Sudah lama sekali aku tidak murung seperti ini. Namun, kematianmu, perjalanan ini, dan juga segala kejadian yang baru-baru kualami, membuatku kembali banyak berpikir tentang hal-hal yang tidak penting.
—------
Akhirnya kemarin mobil berhasil diperbaiki. Hari ini, tidak ada hal menarik yang terjadi. Botol-botol minum kami telah terisi penuh, hanya makanan saja yang makin menipis.
Raz mengusulkan agar kami pergi berburu ketika mobil berhenti lagi. Di daerah gurun sekitar sini, kabarnya memang banyak kadal gurun raksasa yang lezat jika dipanggang. Edda menawarkan diri untuk membuat jebakan.Karena bosan, aku membantunya dan Raz menyiapkan jebakan. Kami menyusun rencana dan memutuskan bahwa aku akan menjadi umpan, sedangkan Raz yang akan menghabisi kadal gurun yang berhasil kami jebak.
Lagi-lagi, Raz mencari-cari bahan pembicaraan untuk diobrolkan. Dia bertanya apa makanan kesukaanku, yang tentu saja tidak kugubris. Aku kemudian memilih bergeser tempat duduk dan menyibukkan diri menulis jurnal.
Sebenarnya, aku tidak membenci Raz, tidak juga menyukainya. Seperti yang kau tahu, aku lebih suka tidak terlalu mengakrabkan diri dengan orang lain. Hanya saja, setiap kali melihat wajahnya, aku teringat tentang momen-momen memalukan yang sempat terjadi pada kami, juga kejadian kemarin. Entah kenapa, semua itu membuatku malu dan kesal secara bersamaan.
—---
Pagi ini, Raz membuat keributan. Dia menggedor-gedor dinding mobil dan meminta turun karena ingin buang air kecil. Para petugas AYX itu kelihatannya memang sudah kelelahan, jadi mereka menyetujui saja usulan Raz, meski tentunya dengan sedikit mengomel untuk menunjukkan siapa yang berkuasa di rombongan ini.
Kami berhenti di tempat yang benar-benar cocok untuk berburu. Aku menemukan beberapa jejak kadal gurun. Raz yang katanya memang sering berburu, menunjukkan di mana Edda harus memasang jebakan. Dia kemudian memerintahkanku untuk menyusuri jejak kadal gurun dan coba memancing mereka keluar dari persembunyian.
Awalnya, aku ingin memprotes dan memintanya tidak menyuruh-nyuruhku. Tapi, demi menghemat energi–aku belum sarapan pagi tadi–aku menurut saja.
Akhirnya, kadal gurun itu terpancing. Untung saja aku memiliki kaki-kaki yang kuat dan terlatih, aku berlari sekencang mungkin ke arah jebakan yang dipasang Edda. Kadal gurun bodoh itu berhasil terjebak, dan Raz mengakhirinya dengan cepat.
Kami berbagi hasil buruan. Para petugas AYX yang tidak membantu apa-apa itu bahkan juga ikut ambil bagian. Yah, daging yang kami dapat memang cukup banyak. Apalagi, dua hari lagi kami akan sampai di Liberte. Jadi, daripada mubazir, kami tidak keberatan saat para petugas pemalas itu meminta jatah.
Sebagai imbalannya, kami mendapat sedikit informasi tentang rombongan dari koloni lain yang juga sedang menuju Liberte. Kabarnya, ada 3 orang seperti kami yang direkrut dari AX-0931. Seorang pria yang mengajak kedua anaknya untuk hijrah ke Liberte. Pria itu katanya memutilasi monster gurun dan memasaknya. Sedangkan kedua anaknya juga tidak kalah aneh dan menyeramkan. Sepertinya, mereka keluarga yang aneh dan mengerikan. Semoga saja aku tidak perlu bertemu mereka.
—------
Pratt. Jika tidak ada kendala. Besok kami akan tiba Rouge Colony. Persinggahan terakhir sebelum tiba di Liberte.
Hari ini, rombongan singgah dulu di sebuah koloni kecil tidak bernama. Aku pernah mengantarkan paket ke sini. Mungkin pedagang yang waktu itu menyewa jasaku mau menjual beberapa barang dengan harga murah kepadaku.
Begitu mobil berhenti, aku langsung memisahkan diri. Koloni ini masih tidak berubah dari saat terakhir kukunjungi. Masih ramai dan ... keras. Aku coba bertanya-tanya tentang obat-obatan ke beberapa pedagang di pasar, mereka benar-benar memasang harga secara gila-gilaan.
Aku terus berjalan masuk ke dalam pasar, ke tempat pedagang yang kukenal itu. Rupanya wanita tua itu masih mengingatku, dan masih merasa berterima kasih karena aku sudah mengantarkan surat terakhir dari anak kesayangannya.
Wanita itu memelukku dan menanyakan kabarku, membuatku teringat ibuku. Aku bercerita kepadanya bahwa sedang menuju Liberte, lalu raut wajahnya tiba-tiba berubah sedih. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Dia khawatir aku tidak bisa kembali dengan selamat. Sudah banyak kabar buruk yang terdengar tentang para sukarelawan yang direkrut ke Liberte.
Aku bersyukur wanita itu mau menukar obat-obatan yang kubutuhkan dengan beberapa rongsokan yang kukumpulkan selama perjalanan. Jumlahnya cukup banyak, melebihi yang sebenarnya kuperlukan.
Saat aku berjalan keluar dari pasar, aku mampir sebentar ke toko senjata. Hanya melihat-lihat saja karena kedua golok hadiah darimu masih bisa kugunakan. Edda mengurus mereka dengan baik. Dia mengasah golok-golok itu sampai terlihat seperti baru.
Namun, sebilah pisau yang dipajang berhasil menarik perhatianku. Gagangnya dilas pada kunci inggris. Aku langsung teringat pada Edda. Kemarin, kulihat pisau-pisaunya hanya terbuat dari besi-besi rongsokan yang diasah. Sangat tidak meyakinkan untuk digunakan melawan monster.
Hubunganku dan Edda memang tidak buruk, tapi tidak bisa dibilang dekat juga. Rasanya akan aneh jika aku tiba-tiba memberinya hadiah. Tapi, kemarin dia sudah mengasahkan golokku. Mungkin memang sudah sewajarnya jika aku memberinya imbalan meski dia tidak pernah meminta.
Karena ragu, aku akhirnya memutuskan melemparkan koin. Ya, koin tua sialan itu, Pratt. Koin yang ditinggalkan ayahku dan masih kubawa-bawa sampai sekarang.
Koin itu berputar di udara sebelum akhirnya jatuh dengan gambar kepala di atas. Pedagang senjata itu melihat koin yang kupegang.
"Apa kau mau menukarnya dengan daganganku? Aku bisa memberikanmu pedang terbaik sebagai ganti koin itu," katanya dengan sorot mata yang terlihat licik.
Aku buru-buru menolak. Koin itu satu-satunya petunjuk yang kupunya untuk mencari ayahku. Aku segera menukar beberapa lembar kaktus pemberian si wanita tua tadi dengan pisau yang kuincar, lalu meninggalkan toko mencurigakan itu.
—-----
Edda tampak begitu senang saat aku menyerahkan pisau yang kubeli untuknya. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali. Benar-benar gadis yang polos. Mungkin, kalau sudah tiba di Liberte nanti, akan kuajarkan gadis itu untuk tidak terlalu percaya pada orang lain. Mungkin, aku juga akan mengajarkan sedikit trik bela diri kepadanya. Caranya melempar pisau tempo hari menunjukkan kalau dia hanya seorang amatir yang belajar secara otodidak.
Raz kembali dan memberiku sepotong jubah untuk menutupi pakaianku yang robek. Katanya, itu sebagai permintaan maaf atas sifat kurang ajarnya selama ini. Tidak ingin berutang budi kepadanya, aku membagi sebagian obat-obatan yang kupunya kepada Raz.
Yah. Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Mungkin memang sebaiknya kami tidak menyimpan dendam kepada satu sama lain. Daripada para kru AYX yang tidak tahu diri itu, aku lebih memilih bersekutu dengan Raz dan Edda.
Sudah dulu, ya, Pratt. Besok kami harus berangkat pagi-pagi sekali. Jadi, akan kucoba untuk tidur sebentar sebelum giliranku berjaga.
-------
Halo. Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa untuk baca jurnal teman seperjalanan Xi.
Edda di tempat Happy_Shell
Raz di tempat rafpieces
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top