HEY CRUSH || 34
Assalamualaikum...
***
SUDAH lima hari Shabira di rawat inap karena sakitnya. Hari senin saat dia tidak sadarkan diri di sekolah dan di larikan kerumah sakit karena demam yang begitu tinggi, akhirnya pemeriksaan dari Dokter menetapkan Shabira harus di rawat karena gadis itu terkena demam tifoid atau lebih di kenal tipes.
Mengingat Shabira yang kurang beristirahat selama satu Minggu menunggu kabar Elzio, serta pola makan yang tidak teratur dan makan sembarangan, membuat kondisi tubuh Shabira tidak sehat dan akhirnya jatuh sakit.
Namun, meskipun kini sudah mendapat perawatan medis, tidak lantas membuat keadaan Shabira membaik. Shabira susah sekali untuk makan, dan kesulitan mengkonsumsi obat karena seringnya gadis itu muntah setelah makan. Kondisi badan yang tidak enak juga membuat Shabira susah untuk beristirahat, sehingga gadis itu menghabiskan waktu dengan banyak melamun dan sesekali menangis.
"Kak, makan dulu, yuk?" Bunda Khadijah datang membawa nampan berisi makanan khas rumah sakit.
Shabira menggeleng detik itu juga.
"Kak, gimana kakak mau sembuh kalau begini terus?" Bunda Khadijah berucap putus asa, lelah sekali rasanya membujuk Shabira untuk makan dengan benar. "Kakak nggak mau sembuh?"
"Makanannya nggak enak, Bun," balas Shabira tanpa menatap Bundanya. Pandangan gadis itu fokus ke depan, menatap dinding kosong yang sama sekali tidak menarik.
"Ini makanan sehat, Kak."
"Ya udah Bunda yang makan kalau gitu."
"Kan, kakak yang sakit. Kakak nggak mau sembuh?"
Shabira menghela napas jengah. "Aku nggak lapar Bunda. Makan juga percuma, pasti muntah."
"Ya nggak apa-apa, seenggaknya perut kakak nggak kosong," kata sang Bunda membujuk. "Makan ya nak, bunda mohon. Apa kakak nggak kasihan lihat Bunda sedih terus?"
"Bunda, kakak beneran—"
"Bunda janji, bunda kasih apapun yang kakak mau kalau kakak makannya benar dan mau minum obat. Apapun yang kakak mau, Bunda kabulkan setelah kakak sehat."
"Janji?"
"Bunda janji."
"Ayah juga janji," timpal Bapak Ridwan yang baru masuk ke dalam ruang inap. "Apapun yang kakak mau, selama ayah dan bunda mampu, pasti ayah kabulkan."
"Termasuk kasih ijin kalau kakak pindah sekolah?" tanya Shabira penuh harap. Di liriknya sang Bunda yang menghela napas sementara Bapak Ridwan menatapnya dalam. "Kalau ayah sama bunda berpikir kakak mau pindah cuma buat ngehindari Elzio, kalian salah."
"Terus buat apa, Kak?"
"Kakak ingin perbaiki diri kakak, Bunda." Shabira bertutur meyakinkan. "Bukan buat Elzio, bukan buat orang lain. Tapi buat kebaikan kakak sendiri. Di dunia, dan akhirat"
"Masya Allah," gumam Bapak Ridwan bangga. Jujur saja, apa yang di tuduhkan Shabira itu benar adanya. Semenjak Shabira sadar, anaknya itu tidak hentinya meminta ijin untuk pindah sekolah dan memilih pondok pesantren sebagai tujuan, namun pria itu belum memberikan ijin karena takut Shabira memutuskan hal itu bukan dari hati.
"Boleh ya, Bunda? Ayah?" ulang Shabira.
Bunda Khadijah tersenyum. "Tanyain ayah, boleh apa nggak?"
"Boleh, tapi kakak harus sembuh dulu. Ngerti?"
Shabira mengangguk paham, lantas walau dengan terpaksa, dia menerima suapan demi suapan dari Bundanya. Menahan rasa mual yang tiba-tiba naik, dan menelan kembali semua makanan yang naik kerongkongan mengancam keluar.
"Nah, ini bisa makannya habis," cetus Bunda Khadijah. "Makan pagi, siang, sore, habiskan ya, nak?"
"Bisa kalau di paksa, Bunda," kata Shabira. Entah kenapa baik Bapak Ridwan maupun Bunda Khadijah terdiam mendengar ucapan tersebut. Tahu betul bahwa apa yang Shabira katakan mempunyai makna ganda. "Udah habis, kan, makannya? Kakak mau tidur, Bun."
"Minum obatnya dulu." Sang Bunda memberikan butiran obat cukup banyak, tanpa bantahan berarti gadis itu meraup semuanya dan menelannya dalam sekali teguk.
"Kakak sudah yakin memang mau pindah ke pesantren?" tanya Ayah Ridwan.
"Yakin yah. Lebih cepat lebih baik."
"Ya sudah, habis UTS ayah langsung daftarkan. Kakak siap?"
"Siap yah." Shabira mengangguk yakin, keputusannya sudah bulat. Dia sungguh ingin memperbaiki diri, bukan untuk menyaingi Ghufaira atau bahkan untuk menarik perhatian lelaki. Dia melakukannya karena ingin memperdalam agama nya, ingin lebih mengenal Allah, ingin lebih mencintai Allah untuk kebaikannya sendiri.
Shabira membenahi selimut di atas badannya, lantas membaringkan badan dan hendak menutup mata ketika Bapak Ridwan berbicara. "Nak, di luar ada Elzio. Boleh masuk nggak?"
"Suruh pulang, Yah," sahut Shabira kemudian menutup mata. Mengabaikan helaan napas sang ayah yang terdengar berat dan pasrah.
Sudah lima hari berturut-turut, Elzio selalu datang ke rumah sakit dan meminta ijin menemuinya. Dan selama lima hari berturut-turut juga, Shabira menolak dan meminta lelaki itu pulang.
Jika di tanya, apa alasan Shabira menolak bertemu dengan Elzio? Tentu saja banyak. Di mulai dari dia yang kini sadar diri bahwa Elzio sudah ada yang memiliki, juga Shabira mencoba untuk menimalisir sakit hati. Karena dia tahu betul, bertemu dengan Elzio dan menatap mata lelaki itu, sungguh bukan hal baik untuk keadaan hatinya.
"Ya sudah kalau begitu," putus Bapak Ridwan lemah. Tak tega sebenarnya harus memberikan penolakan lagi pada Elzio yang benar-benar khawatir atas kondisi Shabira.
Pria itu melangkah dan menekan knop pintu, jadi terdiam ketika suara Shabira kembali terdengar. "Sekalian bilang sama El, yah. Nggak usah datang ke sini lagi besok, besok dan besoknya. Bilang kalau aku pasti baik-baik saja, jadi dia nggak usah peduli dan khawatir lagi sama aku."
Bapak Ridwan mengangguk dan keluar dari ruang inap, begitu matanya menemukan raut lelah dan putus asa Elzio, seketika rasa bersalah merongrong hati ayah Shabira itu. "El..."
"Bira belum mau ketemu, ya?" tebak Elzio. Tersenyum kecil demi menutupi hatinya yang perih. "Nggak apa-apa, Yah. Wajar, kok, kalau Bira nolak."
"Maafin ayah ya, nggak bisa bantu banyak."
Elzio menggeleng. "Ayah udah kasih ijin aku buat diam di sini aja, aku udah sangat berterima kasih," ungkap Elzio. Melihat raut tak enak dari Ridwan, lantas Elzio tersenyum lebih lebar. "Beneran nggak apa-apa, yah. Masih ada hari besok buat kesini, dan mudah-mudahan Shabira mau ketemu aku."
"Tapi El...."
"Hmm?"
"Shabira titip pesan sama ayah, buat kasih tahu kamu supaya nggak usah datang ke sini lagi. Dia pasti baik-baik aja, jadi katanya, nggak usah khawatir dan peduli lagi," jelas Bapak Ridwan tak enak.
Elzio bergeming, Ridwan tidak tahu bahwa tangan lelaki itu mengepal erat di balik saku demi menyalurkan rasa nyeri di dada. "Nggak apa-apa kalau Bira nggak bolehin aku ketemu, tapi ayah kasih ijin, kan, kalau aku tetap ke sini? Nggak perlu masuk nggak apa, cukup diam di situ saja." Elzio menunjuk bangku panjang yang catnya sudah terkelupas sebagian, tempat duduk yang sudah lima hari ini selalu menjadi tempat Elzio menjaga Shabira dari luar.
"Tapi El...."
"Cuma ini yang bisa aku lakuin sekarang, ayah. Aku nggak akan bisa tenang kalau diam di rumah tanpa tahu kabar dari Shabira." Elzio berujar memohon, sorot matanya penuh harap membuat Bapak Ridwan tidak tega untuk menolak.
"Ya sudah kalau kamu nggak keberatan menunggu di sini," putus Bapak Ridwan, menepuk pundak Elzio penuh iba.
Elzio mengangguk dengan senyum lega, tidak apa-apa kalau belum bisa melihat wajah Shabira, yang penting dia tahu bagaimana kabarnya.
"Ayah mau tebus dulu obat ya?" Elzio mengangguk dan Bapak Ridwan segera bergegas meninggalkan lelaki yang kembali duduk selagi membuka ranselnya. Elzio keluarkan alquran kecil dari sana, mencari halaman terakhir yang dia baca, lantas kembali melantunkan ayat lanjutannya.
Suara merdu lelaki itu lambat laun terdengar semakin jelas karena mulai sepinya lorong rumah sakit tersebut. Cukup jelas sampai Shabira yang ada di dalam sana dapat mendengarnya.
Tanpa Elzio ketahui, dari balik jendela tepat di belakangnya, ada Shabira yang duduk di atas kursi roda. Menatap sendu pada bayangan punggung lelaki itu dan lagi-lagi air matanya jatuh. "Kak...." Tegur Bunda Khadijah.
"Kakak cuma lihat dari sini, Bunda."
Bunda Khadijah menatap iba kedua anak manusia itu. "Kalau kakak mau ketemu dan bicara juga Bunda nggak larang, kok. Asal jangan lama. Papa sama mama El juga nggak melarang."
Namun, Shabira langsung menolak. "Nggak usah Bunda," katanya. Kemudian menarik gorden agar jendela tertutup sempurna. "Ada hati yang harus Elzio jaga sekarang, dan kakak nggak mau jadi alasan Elzio nggak bisa jaga hatinya."
***
Shabira membuang napas nya dengan keras sebelum kemudian membuka pintu mobil ayahnya yang sudah mulai usang di makan waktu. Begitu kakinya berpijak di tanah, tersungging senyum getir di bibir gadis itu menatap bangunan sekolah yang sudah satu tahun setengah ini menjadi bagian hidupnya.
Hari ini, nilai UTS di bagikan. Dan artinya, hari ini adalah hari terakhir Shabira bersekolah, hanya untuk mengambil nilai. Tidak ada yang tahu tentang kepindahan mendadak ini, Shabira sengaja menyembunyikannya bahkan dari Karina dan Chealse. Dia tidak ingin, rengekkan kedua sahabat dekatnya itu menggagalkan rencana Shabira untuk pindah.
Hey, Karina dan Chealse itu adalah orang penting di hidup Shabira. Bukan hal mustahil jika nanti Shabira luluh karena rayuan mereka. Bukannya kepedean, tapi Shabira memang yakin 100% kedua sahabatnya itu akan protes dan tidak setuju atas kepindahannya ini.
Untuk itu, Shabira masih merahasiakan hal ini, dan akan memberitahukannya nanti setelah Shabira dalam perjalanan ke Pondok. Rencananya, Shabira berangkat besok. Ya memang secepat itu Shabira ingin pergi, beruntung Ayah dan Bundanya serba gerak cepat untuk mengurus data untuk kepindahan.
"Yuk, Nak." Shabira menoleh ke samping merasakan tangan hangat merangkul bahunya, ada sang ayah yang memberikan senyum lebar membuat Shabira ikut tersenyum.
Bapak Ridwan meleleh melihat senyum putrinya yang lebih cerah hari ini. Karena sejak hari di mana Elzio di jodohkan, rasanya Shabira tidak pernah tersenyum setulus ini.
"Aduh geli, ayah," protes Shabira saat Bapak Ridwan menggelitik bahunya.
"Ini bahu jadi kurus, sampai kerasa tulangnya sama tangan ayah," ujar Bapak Ridwan dengan nada bercanda walau sebenarnya itu kebenaran.
Shabira kehilangan banyak berat badan setelah pulih dari tipes nya minggu lalu. Belum sempat anaknya itu melakukan proses pemulihan, tetapi Shabira harus kembali di sibukkan mengejar pelajaran agar bisa mengikuti ujian tengah semester.
Beruntung, Shabira tidak keras kepala. Gadis itu mau bekerja sama menjaga kesehatan agar tidak kembali tumbang.
"Nanti juga ngisi lagi." Shabira mencebik.
Bapak Ridwan terkekeh lantas menuntun anaknya masuk kedalam sekolah lebih jauh. Kedatangannya ke sini tentu untuk melihat nilai UTS Shabira sekaligus berpamitan dengan para guru anaknya. "Kakak, yakin nggak akan pamit sama anak kelas?" tanyanya.
Shabira mengangguk. "Males nanti pada nangis-nangis," candanya.
"Tapi ini hari terakhir kakak lihat teman-teman kakak loh."
"Nggak apa-apa, yah. Sekarang jaman sudah canggih, kan, bisa komunikasi nanti lewat chat kalau kakak lagi pulang."
"Hmm iya juga, kalau sama...." Bapak Ridwan menggantung karena ragu. "Kalau sama..."
"Sama El juga nggak akan pamit. Buat apa memang?" Shabira tersenyum menyembunyikan rasa nyeri yang sebenarnya masih ada jauh di lubuk hatinya terdalam.
Selama dua minggu terakhir, dia sudah berusaha keras terlihat baik-baik saja. Tentu bukan hal mudah karena semuanya sekedar pura-pura. Shabira tidak ingin membuat ayah, bunda dan adiknya bersedih terlalu lama melihatnya terpuruk.
Dia juga tidak ingin terus di tatap iba oleh Chealse dan Karina. Maka dari itu semaksimal mungkin dia menyembunyikan semua luka hatinya.
Mengenai Elzio... jujur saja Shabira tidak mudah untuk melupakannya. Walau kini tidak ada nama lelaki itu di selipkan dalam doa, namun nyatanya nama itu masih ada di dalam hatinya. Bahkan, semakin kuat tertanam membuat Shabira kadang merasa bersalah karena masih memikirkan jodoh orang lain.
Tapi apa daya? Ini bukan kuasa Shabira, dia sudah melakukan banyak hal untuk menghilangkan Elzio dalam pikiran dan hatinya, tapi semakin bulat tekad Shabira melupakan lelaki itu malah semakin lekat ingatannya tentang kebersamaan mereka yang tidak seberapa.
"Ayah ke ruang guru dulu, kakak ke kelas duluan ya." Bapak Ridwan mengelus kepala Shabira dengan sayang sebelum sosoknya bergegas menuju ruangan yang di tuju.
Sementara Shabira menyempatkan diri terlebih dahulu untuk ke toilet membenarkan jilbabnya. Dua menit dia habiskan di sana, hendak keluar namun urung ketika tiga perempuan masuk bersamaan.
Ghufaira, Nadia dan satu perempuan lain yang tidak Shabira kenali, menatapnya sedikit sinis membuat Shabira tidak nyaman. Dia coba mengabaikan Nadia yang menatapnya penuh cemooh lantas melirik Ghufaira yang... menatapnya datar.
Entah perasaannya saja atau bukan, Ghufaira sedikit berbeda dari sebelumnya. Seingat Shabira Ghufaira adalah gadis pemalu tapi tidak sungkan menebar senyuman apalagi mereka sempat berinteraksi cukup baik saat dirinya mengantar pesanan, saat itu Ghufaira masih terasa biasa saja. Tapi sekarang...
Senyum yang sempat ingin Shabira sunggingkan pada Ghufaira, lenyap ketika gadis itu melengos begitu saja. Bergemuruh dada Shabira dengan rasa tidak nyaman karena merasa di kucilkan. Apalagi melihat Nadia yang tertawa mencemooh sambil menatapnya penuh cibir.
"Ra ke airnya jangan lama ya. Ada si ganjen," ucap Nadia melirik Shabira terang-terangan.
"Siapa tuh yang ganjen?" timpal seorang yang lain. April.
"Yang suka genit sama calon suami orang lah, sampai minta di temenin di rumah sakit ." Nadia menyahut sambil bergidik jijik.
"Hush." Ghufaira melerai, memperingati Nadia – teman barunya kini— serta April. "Ayok, aku ke toiletnya nanti aja," ujarnya lagi karena merasa suasana yang mulai tidak enak.
"Iya nanti aja, takut ketularan gatal ya kan Ra?" Nadia kembali mengoceh.
Shabira yang paham akan sindirian-sindirian tersebut di tujukan untuknya mulai mengangkat dagu, menatap Nadia datar. "Lagi ngatain diri sendiri?" tanyanya dengan senyum miring.
"Lo—" Nadia mengangkat tangan, namun Ghufaira menahannya.
"Maksud kamu?" tanya Ghufaira.
"Iya itu Nadia lagi ngatain dirinya sendiri, Ra. Dia kan ganjen dan gatel, tukang ngicer crush sahabat sendiri," balas Shabira tersenyum mengejek.
"Shabira!!" Nadia membentak. "Lo bener-bener ahli fitnah ya!!"
"Lagi-lagi ngatain diri sendiri," decih Shabira.
Ghufaira terkekeh. "Bukannya kamu yang begitu, Bira? Kamu bahkan masih deketin El walau tahu dia di jodohin sama aku."
Shabira menoleh dengan kening berkerut. "Aira, aku minta maaf kalau kedekatan aku sama El dulu sedikitnya ngeganggu kamu. Tapi, asal kamu tahu, semenjak aku tahu kalian di jodohkan, sedikitpun aku nggak ada niat dekatin El lagi."
"Tapi buktinya lo masih mau dia deketin!" April membentak.
"Gue udah berusaha ngejauh, El yang dateng sendiri ke gue. Itupun buat mastiin gue baik-baik aja!" Shabira ikut emosi.
"Tapi seharusnya kamu nggak biarin dia deketin kamu, Shabira. Aku tahu, berat buat kamu nerima perjodohanku dengan El. Aku juga ngerti, kalau El belum bisa ngelupain kamu. Tapi kalau dari kalian nggak ada yang berusaha buat ngejauh, gimana bisa saling lupa?" Ghufaira bertanya getir. "Aku mohon sama kamu, jauhin El sejauh-jauhnya."
"Tapi, Ra aku udah—"
"Aku tahu, kamu memang sedikit gak tahu malu. Tapi kalau sampai merusak hubungan aku sama El yang udah jelas serius, sepertinya kamu udah keterlaluan. Jadi aku minta, pakai sedikit harga diri kamu ya? Jangan suka coba merebut apa yang bukan milik kamu, itu nggak baik." Ghufaira selesai dengan kalimatnya, tanpa mempedulikan Shabira yang mematung, gadis itu keluar di apit oleh Nadia dan juga April.
Shabira masih bergeming, merasa terluka harga dirinya. Remuk hati Shabira mendengar langsung dari mulut Ghufaira, gadis yang kini berhak atas Elzio itu mengatakan bahwa dia harus menjauhi Elzio walau nyatanya tanpa di minta pun, hal itu sudah Shabira lakukan.
Ya dia memang tidak tahu malu, tapi bukan berarti dia tidak punya harga diri. Kalau seandainya Shabira ingin egois dan benar-benar tak tahu diri, bisa saja dia merebut Elzio sungguhan. Mengemis dan menangis meminta belas kasihan, tapi tidak dia lakukan. Dan sama sekali tidak ada niat melakukannya.
Setelah mengembuskan napas demi menenangkan diri, Shabira mengambil langkah untuk menyusul Ghufaira. Dia harus bicara dan menjelaskan semuanya. Dia tidak ingin di pandang rendah dan murahan. Dia tidak ingin di injak begini padahal dia sudah mengalah banyak.
Mengendarkan mata ke seluruh penjuru sekolah, akhirnya Shabira temukan Ghufaira, Nadia dan satu yang lain sedang berjalan menuju kantin. Hari ini memang acara belajar mengajar di tiadakan mengingat mereka baru selesai UTS dan sedang pembagian nilai.
Dengan langkah penuh percaya diri, Shabira berjalan menyusul Ghufaira yang baru saja memasuki gerbang kantin, sedikit lagi gadis itu mampu menyusulnya namun Shabira mendadak berlari secepat yang dia bisa saat melihat bongkahan bangunan dari atap kantin hendak jatuh.
"Aira, Nadia awas!"
Bugghh
Braakk
Ghufaira, Nadia dan April sontak terdorong ke depan dan terhuyung sampai jatuh bertepatan dengan teriakan histeris dari pengunjung kantin ketika bongkahan itu jatuh menimpa...
"Shabira!!!"
Ghufaira dan Nadia menganga, matanya terbelalak melihat Shabira jatuh tak sadarkan diri dengan kepala bercucuran darah setelah tertimpa bongkahan yang seharusnya menimpa mereka
***
Bersambung...
Sabtu, 25 Juni 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top