HEY CRUSH || 33

Assalamualaikum...

***

"El, itu ada Aira nungguin lo di depan." Elzio yang baru saja selesai memasukkan buku catatan nya pada laci menghela napas ketika teman kelasnya Aldi memberitahu hal tersebut.

Lelaki itu bangkit dari bangku lantas berjalan gontai menuju pintu kelasnya. "Assalamualaikum, El," sapa Aira begitu Elzio menemukan gadis itu benar-benar ada di depan.

Elzio mengangguk. "Waalaikumssalam, ada apa?"

Suara datar Elzio dalam membalas sapaannya membuat Ghufaira sedikit tidak nyaman, gadis berkulit putih itu menunduk selagi tangan sibuk memilin ujung dasinya.

Melihat Ghufaira yang tampak canggung Elzio akhirnya tersadar sudah terlalu dingin pada gadis itu. Hal yang sebenarnya tidak dia rencanakan, tetapi, entahlah melihat Ghufaira sekarang rasanya Elzio tidak nyaman. Lelaki itu lantas berdeham pelan. "Kenapa Ra?"  tanyanya berusaha ramah.

"Mau ambil tupperware tadi pagi," katanya mengatakan alasan kenapa Ghufaira mendatangi kelas Elzio.

Tentu saja itu hanya sekadar alasan basi, karena kalau boleh jujur Ghufaira hanya ingin melihat Elzio dari dekat. "Udah abis, kan, sandwichnya? Gimana enak?"

Elzio mengusap wajah entah karena apa. "Aku lupa belum di makan, entar aja tupperwarenya aku balikin pas pulang."

"Ohh..." gumam Ghufaira. "Makan sekarang saja El, kan mumpung jam istirahat."

"Iya, aku makan sekarang," balas Elzio cepat. Dia diam menunggu Ghufaira menjawab atau setidaknya gadisnitu langsung pergi karena Elzio rasa mereka tidak perlu bicara lagi. "Masih ada hal lain?" tanya Elzio lagi tak nyaman berdiri terlalu lama di perhatikan banyak orang.

"Itu... kamu mau makan sandwichnya di mana? Soalnya di kantin banyak debu lagi renov," beritahu Ghufaira, belum sempat Elzio membalas gadis itu melanjutkan. "Kalau makan di pinggir taman, sambil dengarin aku lancari hafalan qur'an dan bantu koreksi kalau ada yang salah, kamu keberatan nggak?"

"Aku nggak bisa, Ra. Kita cuma berdua nanti di sana—"

"Eits tenang, ada gue kok," sahut sebuah suara membuat Elzio sadar bahwa ternyata ada April, teman baik Ghufaira yang kebetulan satu organisasi juga. "Yuk El, kita di taman aja. Ngadem di sana."

Ingin rasanya Elzio menolak dan berkata tidak. Tetapi, melihat raut Ghufaira yang memerah menahan malu karena beberapa orang tampak kepo menanti jawaban akhirnya Elzio mengangguk karena tidak tega membuat harga diri gadis itu terluka."Kalian duluan ke sana, nanti aku nyusul."

Ghufaira mengangguk semangat dengan senyum terkembang sempurna, hal yang mungkin bisa membuat banyak lelaki tidak berkedip karena terpesona, namun sayangnya terlihat biasa saja di mata Elzio. Gadis itu menuntun April untuk beranjak duluan sementara Elzio masuk ke kelas dan mengambil paperbag yang tadi pagi di berikan Ghufaira.

Sebelum menyusul, Elzio sempatkan dulu membuka instagramnya. Untuk kesekian kalinya hari ini dia mengunjungi profil Shabira dan berharap ada satu story yang gadis itu unggah namun ternyata tidak ada.

Helaan napas lelah Elzio embuskan sambil memandangi layar ponsel, jarinya gatal sekali ingin mengirim pesan lewat instagram namun Elzio takut Shabira memblokirnya.

Setelah menyakui ponsel, barulah lelaki itu keluar dari kelas dan menghampiri Ghufaira serta April. "Lo ngapain duduk di bawah, Pril? Pindah ke kursi," tegur Elzio saat melihat April duduk lesehan tanpa alas.

April menggeleng. "Gue di sini saja deh, lo yang di atas. Rok gue kependekan, takut ke singkap."

Elzio tak menjawab, lebih memilih duduk di bangku yang juga di tempati Ghufaira. Tidak bersampingan tentu saja karena dia menyimpan tupperware di tengah mereka. Elzio buka kotak makan tersebut dan di ambilnya potongan sandwich yang Ghufaira buat.

Melafalkan doa dalam hati, Elzio lantas fokus memakan roti isi tersebut. Dia tidak sadar bahwa beberapa kali Ghufaira yang berusaha fokus dalam bacaan al qur'annya melirik lelaki itu untuk memastikan raut wajah Elzio. Ingin tahu apakah sandwich buatannya di sukai atau tidak.

April yang sadar bahwa teman dekatnya menanti reaksi Elzio lantas berdeham, "El enak nggak sandwich buatan Aira?"

Elzio melirik Ghufaira sebentar membuat gadis itu cepat-cepat melarikan mata lurus ke depan dan mengeraskan bacaan suratnya karena mendadak salah tingkah. Lelaki itu mengangguk-angguk saja sebagai jawab. Sebenarnya, Elzio bingung harus menjawab apa, karena rasa sandwich ya begitu-begitu saja. Tidak ada yang istimewa karena roti isi tersebut tidak di buat dengan bumbu racikan sendiri, melainkan tinggal menatanya saja.

Melihat Elzio yang mengangguk, Ghufaira lantas tersenyum sembari melanjutkan lantunan ayat demi ayat yang sudah dia hafal di luar kepala. Hatinya berdebar karena untuk pertama kalinya, selama sudah mempunyai hubungan jelas, mereka bisa duduk bersampingan begini.

Entah berapa lama mereka menghabiskan waktu di taman itu, mungkin lebih dari dua puluh menit karena tepat ketika Ghufaira selesai dengan bacaannya, saat itu juga bel masuk terdengar.

"Udah bel. Makasih buat bekalnya," ucap Elzio berdiri. Lelaki itu mengangguk samar. "Aku duluan ke kelas ya, Pril gue duluan. Assalamualaikum."

"Waalaikumssalam," balas Ghufaira dan April bersamaan. Mereka ikut bangkit dan membereskan bekalnya, tetapi tatapan Ghufaira tak pernah putus tertuju pada Elzio yang berjalan tegap dengan dua tangan tenggelam di saku celana.

"Elah di lihatin mulu, El nggak akan ilang kali," ejek April tersenyum geli.

Ghufaira mendengkus kecil sebagai tanggapan, lalu terdiam dengan kening berkerut ketika melihat Elzio berbelok bukan ke arah kelas melainkan keluar dari koridor dengan langkah terburu-buru.

"El kenapa?" tanyanya pelan, di perhatikannya langkah Elzio yang semakin lebar dan tepat ketika lelaki itu sampai di tengah lapang, Ghufaira baru sadar ada seorang pria paruh baya yang berlari tergopoh-gopoh di sana.

Ghufaira mengenal pria itu, dia masih ingat dengan wajah dan postur tubuh pria tersebut. "Itu El sama siapa?" tanya April tak kalah bingung.

Ghufaira mengeratkan pelukan tuperwarnya di dada ketika menjawab. "Itu kalau nggak salah... ayahnya Shabira."

April tampak mengangguk. "Oh... ayahnya Shabira," katanya. "Heh?! Ayahnya Shabira?!" ulangnya kaget. "Ngapain ke sini? Terus kok bisa kenal sama El?!"

Ghufaira menggeleng kepala. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa Elzio bisa mengenal Ridwan, sedikitipun tidak paham mengapa mereka tampak sangat dekat dan kini terlihat khawatir, terbukti dari cara berjalan mereka yang terburu-buru menuju kemari.

Ghufaira menyisi saat Elzio dan ayah Shabira sampai di selesar, wajah kedua lelaki itu tampak cemas.

"Ayah sama Bunda tadi sudah larang dia buat pergi sekolah, El. Tapi lho anaknya memang keras kepala," ucapan ayah Ridwan mulai bisa Ghufaira dengar. "Sekarang malah makin parah, kan."

Jadi Shabira sakit?

Ghufaira menatap Elzio yang hanya diam dengan langkah semakin cepat, tatapan lelaki itu tampak tidak fokus, sampai-sampai saat melewatinya, Elzio sama sekali tidak menoleh padahal jelas Ghufaira ada di sisinya.

Tangan mungil Ghufaira terkepal menahan nyeri yang seketika menyapa hatinya. Mengapa, dia merasa sakit hati begini melihat Elzio masih mengkhawatirkan Shabira?

"Ra..." teguran cukup keras dari April membuat Ghufaira alihkan tatapan dan mencoba tersenyum. "Lo nggak apa-apa?"

Ghufaira menggeleng. "Kamu duluan aja ke kelas, ya? Aku mau ke toilet dulu," pamitnya lalu pergi begitu saja.

Gadis itu berjalan cepat menuju ke toilet karena merasa harus menenangkan diri barang sebentar saja, tetapi agaknya itu hanya tinggal harapan semata karena saat Ghufaira masuk ke dalam toilet, dia malah menemukan seorang gadis yang entah kenapa menatapnya iba.

Ghufaira bermaksud untuk mengabaikannya dan hendak masuk ke dalam salah satu bilik saat gadis tersebut memanggilnya.

"Iya kenapa?" tanya Ghufaira.

"Hai, gue Nadia by the way," ucap gadis itu. Nadia tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan.

Ghufaira menerima uluran itu sambil berkata. "Aku Ghufaira—"

"Calon istrinya Elzio, kan?" sela Nadia.

Ghufaira terkejut. "Itu..."

"Nggak apa-apa kali. Gosip kamu sama El di jodohin sudah ke sebar di kalangan murid. Selamat ya?"

Ghufaira mengangguk kaku. "Iya makasih," ucapnya. "Ngomong-ngomong wajah kamu kayak familier."

"Masa, sih? Padahal aku nggak seterkenal itu," katanya tertawa. "Aku IPS 1 by the way."

"Oh satu kelas Shabira, dong?" cetus Ghufaira.

Wajah Nadia seketika berubah muram. "Heem sekelas, kita malah pernah temenan dekat tapi sekarang nggak lagi."

"Oalah...." Ghufaira mengangguk-angguk.

"Soalnya Shabira marah ke aku karena aku nasehatin dia supaya nggak terlalu agresif deketin cowok."

Sebenarnya Ghufaira bukan type manusia yang suka gosip, tapi mengingat orang di bicarakan adalah Shabira... dia sedikit penasaran. "Maksudnya gimana?"

Nadia menghela napas secara dramatis. "Iya itu si Shabira saking sukanya sama calon suami kamu, sampai nekat ubah penampilan jadi berkerudung supaya dapat perhatiannya El. Mana suka chat duluan begitu, pokoknya agak gatel, deh."

"Oh ya?"

"Heem. Makanya kamu hati-hati sekarang. Kayaknya walau tahu Elzio udah di jodohin, si Bira nggak akan nyerah begitu aja. Tadi malah sempet bangga bilang kalau El sayang sama dia. Bener-bener memang, nggak tahu malu." Nadia mendesah tak habis pikir. "Pokoknya kamu hati-hati, deh, ya. Shabira itu type perempuan yang suka cari perhatian dan ngelakuin segala hal buat dapat apa yang dia mau."

"Begitu?"

"Heem. Semoga hubungan kamu sama El baik-baik ya. Aku duluan Ra," ucap Nadia tersenyum lantas pergi dari sana meninggalkan Ghufaira yang semakin gelisah.

Benarkah Shabira begitu? Lantas apa sekarang gadis sedang itu pura-pura sakit juga agar bisa mendapat perhatian Elzio?

Hati Ghufaira bergemuruh karena rasa tak rela dan cemburu jika memang Shabira selicik itu, niatnya untuk menenangkan diri batal dan memilih untuk keluar dari toilet kemudian berjalan menuju unit kesehatan.

Beberapa langkah lagi, Ghufaira bisa sampai, tetapi, pintu UKS terlebih dahulu terbuka dan tampak Elzio sedang membopong Shabira yang terlihat tak sadarkan diri.

"El!" seru Ghufaira menghentikan langkah Elzio dan juga Bapak Ridwan.

"Kenapa?"

"Bisa temenin aku pulang? Aku nggak enak badan," ucap Ghufaira sedikit berbohong. Bukan badannya yang tidak enak melainkan hatinya. Tentu saja.

Bapak Ridwan yang masih ingat dengan wajah Ghufaira lantas meringis pelan tak enak. "El, biar ayah aja yang bawa Bira ke Rumah Sakit."

Elzio menatap Ghufaira datar, berusaha menahan kekesalannya yang entah kenapa muncul padahal gadis itu tidak melakukan salah. "Aira, tunggu sebentar. Aku—"

"El. Ayah masih kuat buat gendong putri ayah," sela Bapak Ridwan tersenyum meyakinkan.

"Tapi kaki ayah terkilir barusan. Biar aku aja, aku antar sampai mobil."

Bapak Ridwan menggeleng cepat sambil berusaha mengambil alih Shabira. "Utamakan dulu Ghufaira, nak. Shabira hanya orang asing, lagian sudah ada ayah di sini. Maaf ya sudah bikin kamu repot dan makasih sudah bantu."

Elzio dengan terpaksa melepaskan Shabira dan membiarkan Bapak Ridwan pergi dengan kaki pincangnya. Lelaki itu bergeming menatap nanar dengan hati terluka karena tidak bisa berbuat banyak untuk Shabira.

"El?" Ghufaira memanggil. "Bisa antar aku—"

"Aira, aku nggak bisa antar kamu pulang. Aku nggak bawa mobil, biar aku telepon Papa kamu ya buat kirim supir jemput? Selagi tunggu supir, aku temani di UKS," putus Elzio enggan menatap Ghufaira. "Ayok masuk duluan."

Ghufaira menahan napas sesaat melihat raut dingin Elzio terhadapnya, di embuskannya pelan udara sesak itu lewat mulut kemudian Ghufaira masuk ke dalam UKS.

Elzio mengikuti dari belakang dengan jarak aman. "Tunggu sebentar, aku panggilkan dulu perawat yang biasa jaga," katanya. Tanpa menunggu jawaban, Elzio pergi lagi keluar dan benar-benar memangil perawat tersebut.

Tidak lama, lelaki itu kembali ke dalam dengan seorang wanita paruh baya berseragam putih. "Kenapa, dek?" tanya perawat.

Elzio berdiri bersedekap tangan menatap ujung ranjang namun telinganya mendengarkan.

"Itu... kayaknya, asam lambung ku naik, sus," jawab Ghufaira takut-takut.

"Hari ini telat makan memang?" Perawat itu kembali bertanya, memeriksa Ghufaira lewat tatapan membuat gadis tersebut tidak nyaman.

"Tadi nggak sarapan," aku Gufhaira melirik Elzio yang belum juga memerhatikannya. Gadis itu rasa, Elzio bahkan tidak peduli padanya, karena dari cara bagaimana lelaki itu menatap kosong ke depan, Ghufaira tahu bahwa hanya raga Elzio yang di sini, sementara pikirannya mungkin tertuju pada Shabira

"Haduh gimana dek, sudah tahu punya asam lambung masih saja berani telat makan apalagi nggak sarapan. Sekarang bagaimana, pusing? Mual? Ingin muntah?"

Ghufaira menggeleng. "Pusing aja sama dada dikit sesak."

"Biar saya bikinkan teh madu saja dulu kalau begitu," ujar perawat sembari membetulkan posisi bantal Ghufaira agar lebih tinggi.

"Kalau nggak ada perubahan dan muntah-muntah, baru saya kasih surat ijin pulang."

Ghufaira mengangguk sementara Elzio larut dalam lamunan. Memikirkan bagaimana kondisi Shabira saat ini. Apakah gadis itu sudah sadar apa belum?

Sungguh, hati Elzio tidak tenang sekarang. Melihat bagaimana pucatnya wajah gadis itu serta merasakan suhu tubuhnya yang sangat panas tadi, Elzio tahu bahwa kondisi Shabira jauh dari kata baik.

Elzio mengembuskan napas berat sambil mengusap wajahnya membuat Ghufaira tersenyum getir. Lelaki itu terlihat khawatir, tapi bukan mengkhawatirkannya. Melainkan mengkhawatirkan gadis lain. Sakit, hati Ghufaira melihat bagaimana Elzio mencemaskan gadis itu padahal yang terbaring lemah di depannya sekarang adalah dirinya.

Wajarkan, jika Ghufaira merasa cemburu?

"El?"

"Hmm?"

"Aku nggak apa-apa, jangan cemas," ucap Ghufaira menghibur diri sendiri.

Elzio melirik sebentar lalu mengangguk.

"El?"

"Hmm?"

"Boleh aku tanya sesuatu?" Ghufaira bertanya pelan, sengaja diam walau Elzio sudah memberikan anggukkan kepala sebagai jawaban. "Bisa lihat aku bentar, El?"

"Ghadul bashar, Aira."

Ghufaira menghela napas panjang sampai bahunya bergerak lembut. "Kalau andaikan, di kasih pilihan. Antara aku dan Shabira, mana yang bakal kamu pilih?"

"Shabira," jawab Elzio di detik yang sama. "Sayangnya, aku nggak punya pilihan," lanjut lelaki itu tersenyum sedih.

Tergores hati Ghufaira begitu dalam mendengar betapa putus asanya suara Elzio dalam menjawab pertanyaannya. Raut wajah lelaki itu, sorot mata yang sendu serta senyum miris yang terukir jelas, sudah cukup membuat Ghufaira mengerti bahwa Elzio mencintai Shabira dan terluka sangat dalam ketika di pisahkan.

"Sebutin satu aja, hal yang nggak aku punya dari Shabira?" tanya Ghufaira getir. Dari banyak orang, Ghufaira tahu bahwa dirinya lebih unggul dari Shabira. Gadis itu memang cantik, tetapi, cantik itu relatif bukan? Lantas selain cantik apalagi yang Shabira punya?

"Aku dengar, dia perempuan cukup ramah sama semua lelaki, dan aku juga dengar... dia berkerudung cuma buat narik perhatian kamu. Maksudku, seharusnya dia paham bahwa menutup aurat itu kewajiban, bukan karena ingin menarik perhatian. Iya, kan?"

Elzio tersenyum. "Dia bukan perempuan sempurna, Ghufaira. Jika di bandingkan sama kamu, mungkin beberapa orang bakal sadar betapa banyaknya kekurangan Shabira. Tapi... ada satu hal yang dia punya sementara kamu nggak punya..." lelaki itu menjeda sebentar. Menatap Ghufaira beberapa detik lalu tatapannya menerawang. "Dia nggak pernah merasa lebih baik dari orang lain, dan nggak pernah membandingkan dirinya sendiri seperti yang kamu lakuin sekarang. Dia menjadi dirinya sendiri, dan entah kenapa, kekurangan yang dia punya justru bikin aku ingin melengkapinya. Sesederhana itu Shabira. Tapi aku merasa... dia hampir sempurna. Seenggaknya di mataku."

***

Bersambung...

Minggu, 19 Juni 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top