HEY CRUSH || 29
Assalamualaikum....
Kak kenapa ceritanya enggak lengkap?
Iya lagi di update ulang ya manieezzzz (05 Juni 2023)
***
BAB 29
SHABIRA melenguh dalam tidurnya ketika merasakan telapak tangan hangat menyentuh kening serta leher, mencoba membuka matanya yang terasa berat, Shabira dapati Bunda Khadijah tepat di depannya menatap khawatir. "Bunda..."
"Badan kamu panas banget, Kak," ucap sang Bunda, dan Shabira baru sadar ternyata wanita itu sedang berusaha memberikan kompres dengan kain lembut di kening. "Kakak demam."
Shabira membuang napas lemah, dan benar saja sepertinya dia demam karena embusan yang saja keluar dari hidung terasa hangat. "Jam berapa sekarang?"
"Subuh, sebentar lagi adzan," jawab Khadijah. Wanita itu menatap khawatir pada sang putri yang terlihat kacau dan lemah. Sejak Elzio dan keluarganya pulang tadi siang, Shabira sempat mengurung diri beberapa jam. Gadis itu hanya keluar satu kali saja saat makan malam itupun atas paksaan ayahnya.
Setelah makan malam Shabira kembali ke kamar dan mengurung diri lagi membuat seisi rumah khawatir. Awalnya Khadijah pikir Shabira butuh waktu sendian sehingga dia membiarkan gadis itu menenangkan diri, namun saat dia terbangun untuk shalat malam dan memeriksa keadaan anaknya di depan kamar, Khadijah malah mendengar rintihan dari Shabira.
Menggunakan kunci cadangan yang di punya, akhirnya Khadijah dan Ridwan bisa masuk ke kamar sang putri dan menemukan Shabira yang mengigau dengan gerak badan gelisah. Dan dari sanalah mereka sadar bahwa putri mereka demam.
"Kak, istirahat aja dulu," cegah Khadijah saat Shabira hendak bangkit dari rebahnya.
Shabira menggeleng. "Kakak mau shalat, Bunda."
"Shalat di kasur aja, badan kamu ini lemah banget kak—"
"Nggak apa-apa, Bunda. Kakak kuat. Kakak yang tahu gimana kondisi badan kakak, dan kakak ngerasa baik-baik aja buat shalat. Bunda jangan khawatir."
Melihat tekad di mata anaknya itu akhirnya Khadijah mengangguk pasrah lantas membantu sert memapah Shabira untuk sampai di kamar mandi. "Bunda, kayak kakak nggak bisa jalan sendiri aja."
"Tapi kamu, kan, lagi sakit kak—"
Shabira tersenyum. "Yang sakit di sini Bunda," katanya menunjuk hati. "Bukan kaki atau tangan kakak," tambahnya lagi sebelum kemudian gadis itu masuk ke dalam dan menyegarkan diri sekaligus mengambil wudhu.
Khadija terdiam dengan hati yang kembali sakit. Bukan hanya anaknya Shabira yang terluka, melainkan mereka juga tak terkecuali Adam. Meskipun baru mengenl sosok Elzio, jujur saja mereka sangat nyaman dan merasa cocok dengan anak lelaki tersebut.
Elzio dengan sikap kalem, tenang, serta sopan itu mampu mengambil hati Khadijah, Ridwan bahkan Adam yang biasanya susah menerima orang baru. Tak bisa di pungkiri, mereka juga berharap Elzio bisa menjadi bagian keluarganya suatu hari nanti, tapi agaknya harapan itu tidak akan pernah terkabul. Manusia hanya bisa berharap dan berencana, tapi apa daya jika Allah berkehendak beda.
Khadijah menghela napas yang terasa berat, teringat kembali percakapannya dengan Papa dan Mama Elzio kemarin siang, ternyata Fahri dan Arumi adalah orang yang baik dan ramah. Mereka bahkan berulang kali meminta maaf padanya dan Shabira juga Bapak Ridwan.
Fahri bahkan mengungkapkan rasa menyesalnya, andai saja dia tahu keberadaan Shabira di hati anaknya lebih awal, mungkin perjodohan ini tidak akan dia lakukan. Tetapi, semuanya telah terjadi, dan sekarang Fahri tidak mungkin ingkar janji.
"Ayok Bunda," ajak Shabira membuat sang Bunda mengerjap dan tersadar dari lamunan. Wanita itu mengangguk lantas merangkul anaknya yang sudah bermukena untuk keluar kamar menuju mushola.
Khadijah segera memposisikan diri sebagai imam karena sang suami dan Adam menunaikan shalat subuh di masjid. Begitu Khadijah melakukan takbiratul ihram, samar terdengar suara isak tangis dari sang anak di belakang.
Shabira, sedari awal mengangkat kedua tangan dan mengucapkan Allahuakbar, bibirnya mendadak gemetar dan air mulai menggenang di pelupuk mata. Isak tangisnya tak bisa di tahan walau dia sudah berusaha keras, sakit itu kembali datang menyapa hatinya. Berdenyut teramat nyeri seolah tangan tak kasat mata meremas hatinya. Sesak membuatnya kesulitan bernapas, beruntunglah suara lembut Khadijah yang membaca al fatihah di depannya mampu sedikit membuat Shabira tenang.
Berada jauh di rumah Shabira, Elzio yang sedang melaksanakan shalat subuhnya berjamaah di masjid pun merasakan yang sama. Denyut nyeri di hatinya tak pernah berhenti semenjak dia meninggalkan rumah gadis yang amat dia cintai.
Setelah berbicara dengan Shabira dan kemudian meminta maaf bersama dengan kedua orang tuanya, Elzio memang langsung pulang sekitar pukul dua siang. Sejak saat itu juga, dia mengurung diri. Mencoba membuat kesibukkan dengan membaca alqur'an di kamarnya dan hal itu dapat mengalihkan pikirannya dari Shabira walau sejenak.
Tetapi tetap saja, jika lelaki itu berhenti beraktifitas dan berniat untuk beristirahat, sedetik ketika matanya terpejam maka bayangan wajah Shabira akan hadir dalam pandangan. Yang membuatnya sakit adalah, kini bukan senyum dan tawa gadis itu yang terbayang, namun tangisnya lah yang menampakkan diri. Bagaimana wajah cantik beseri itu berubah menjadi sedih, bagaimana mata yang biasanya berbinar berubah menjadi mata sendu yang menatapnya nanar, bagaimana bibir merah mudanya yang biasa mengembangkan senyum kini mengeluarkan isak tangis yang membuatnya terasa hancur.
Sungguh, Elzio tidak pernah merasa seperti kehilangan arah begini. Memikirkan hari esok tanpa adanya Shabira di sekitarnya membuat lelaki itu kebingungan untuk menjalani hari-hari.
Sebelumnya Elzio adalah lelaki yang bisa menata diri, mengendalikan emosi, dan tenang dalam segala kondisi. Tapi rasanya, sulit sekali sekarang untuk menjadi normal seperti sebelumnya. Dia bahkan dengan kurang ajarnya mengatakan mencintai Shabira di saat dia berpamit untuk menjauhinya.
"El, nggak dzikir dulu?" Elzio yang hendak bangkit setelah memanjatkan doa di shalat subuhnya itu, menoleh pada sang Papa yang memang duduk tepat di sampingnya. Fahri menatap heran pada anaknya itu, "Buru-buru banget?"
"Aku lanjut di rumah aja, Pa."
Melihat wajah anaknya yang muram serta matanya yang merah akhirnya Fahri mengangguk membiarkan Elzio pergi agar bisa beristirahat barang sejenak di rumahnya, pria itu menatap nanar pada punggung sang anak yang biasanya tegap kini luruh seolah kehilangan tenaga. "Maafin papa, nak," gumamnya menyesal untuk kesekian kali.
Elzio sampai di rumah, dan tempat yang segera dia datangi adalah kamar. Entah kenapa perasannya semakin tidak enak saja jika memikirkan Shabira, masuk ke dalam ruangan bercat abu terang itu, Elzio lantas menuju meja belajar dan mengambil gawainya yang sedang di isi daya.
Jemari panjangnya mulai berselancar di layar menuju ruang chat antar dirinya dan Shabira. Lelaki itu hendak menekan pilihan panggil di saat justru matanya tak sengaja menatap profil gadis itu. Kosong berwarna abu padahal sebelumnya Shabira menggunakan foto yang bahkan dia sendiri simpan di galeri.
Rasa tak nyaman itu semakin besar, resah gelisah khawatir bercampur aduk membuat Elzio tetap nekat menghubungi gadis itu namun ternyata panggilan tersebut tidak tersambung. Elzio coba berulang kali namun hasilnya tetap sama.
Dia pasti di blokir.
Elzio lantas segera mencari kontak Adam dan merasa lega ketika melihat keterangan bocah itu sedang online, segera saja Elzio membuat panggilan dan di dering terakhir baru Adam menjawabnya. "Assalamualaiku, Adam?"
"Waalaikumssalam."
"Adam, kak Bira—"
"Kakak sakit," beritahu Adam pelan nyaris berbisik. Suaranya parau dan terdengar kosong. "Kakak demam dari semalam."
Elzio sontak terduduk lemas, tenaganya yang tak seberapa kini seolah benar-benar terkuras habis. "Abang ke sana—"
"Nggak perlu abang," sela Adam. "Kalau abang ke sini, kakak pasti nangis lagi dan tambah sakit."
"Adam—"
"Maaf nggak sopan potong ucapan abang, tapi beneran, abang nggak perlu ke sini," kata Adam lebih tegas. "Kakak masih punya aku, Bunda dan ayah yang jagain. Abang nggak usah khawatir. Abang jaga kesehatan, ya. Adam tutup teleponnya, assalamualaikum."
"Adam tung—"
Tutt... tutt... tutt.
Elzio menjambak rambutnya frustrasi saat panggilan di matikan begitu saja oleh Adam, seakan belum cukup membuatnya gusar, Adam bahkan langsung memblokir nomor Elzio saat itu juga.
Elzio membanting pelan ponselnya di meja lantas menyandarkan punggung di kursi dengan kepala tengadah ke atas. Wajah lelaki itu tampak kusut dan lelah, di usapnya dengan kasar berulang kali sambil menggumamkan istighfar. Baru saja Elzio hendak bangkit, namun niatnya urung ketika ponselnya bergetar panjang.
Dengan harapan besar bahwa itu telepon dari Shabira atau mungkin keluarganya, Elzio kembali menegakkan badan dan menggapai benda pipih tersebut, mendadak lenyap harapannya saat nama yang tertera sebagai pemanggil adalah Ghufira.
"Assalamualaikum, Ra?" sapanya mencoba ramah.
"El, nanti sebelum masuk bisa ketemu dulu di depan basecamp rohis? Ada titipan tugas dari Pak Zainal, beliau nggak bisa masuk."
"Oke Ra."
"Sama ini... aku coba buatin sandwich buat sarapan, entar aku bawa, ya, buat kamu?"
Elzio menghela napas lalu mengangguk. "Iya bawa aja, Ra. Makasih ya."
"Oke El, sampai ketemu nanti," ucap Ghufaira senang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top