HEY CRUSH || 28
Assalalamualaikum...
***
SHABIRA selesai dengan dzikir di shalat dzhurnya, gadis itu menengadahkan tangan bersamaan dengan kepalanya yang sedikit mendongak membuat lelehan air mata kembali mengalir di pipi namun gadis itu biarkan. Mengerjap beberapa kali demi menghilangkan buram nya pandangan, lantas Shabira mulai menggerakan bibirnya yang gemetar. "Ya Allah ya Ghaffur, Engkau Allah maha pengampun, hari ini hamba bersujud di hadapan Mu untuk memohon ampun atas semua dosa dan khilaf yang hamba perbuat. Ya Allah ya Afuww, Engkau adalah maha pemaaf, entah berapa banyak dosa yang hamba punya, tidak terhitung berapa kali khilaf yang hamba lakukan dengan sengaja tetapi hamba berharap Engkau bisa memafkan semuanya.
Ya Allah ya Samii, Engkau Allah maha mendengar, hamba tahu hamba adalah manusia berdosa yang sedang meminta ampunan, tak seharusnya hamba memohon sebuah pemintaan, tapi Ya Allah dengarkan keinginan hamba yang satu ini... lapangkan lah hati hamba ini ya Allah, berikanlah hamba keikhlasan, bebaskanlah hati ini dari rasa sakit atas kehilangan seseorang yang belum sempat hamba genggam. Ya Allah, ya Muhaimin, Engkau adalah maha mengatur yang sebaik-baiknya, dan hamba percaya itu. Maka jika Elzio tidak di takdirkan untuk hamba, tolong hilangkanlah rasa yang hamba punya. Atur sebaik-baiknya agar hamba bisa ikhlas dalam menerima takdir yang telah Engkau buat."
Shabira menutup mata dan seketika air bening jatuh berlomba-lomba. Gadis itu diam merasapi sakit yang masih bergumul di dada ketika wajah Elzio kembali membayang di depannya. Bagaimana lelaki itu tersenyum, bagaimana lelaki itu menatapnya, bagaimana lelaki itu berbicara kepadanya, rasanya semua ada di depan mata dan ingin sekali Shabira menggapainya.
Sakit sekali rasanya melaksanakan shalat dzhur hari ini, setelah terbiasa menyebut nama Elzio dalam doa agar menjadi pendamping hidupnya, bahkan kemarin doa yang sama masih dia panjatkan tapi salam semalam takdir merubah segalanya. Nama Elzio masih Shabira sebut, namun kini dengan tujuan berbeda. Bukan untuk meminta untuk di persatukan, melainkan untuk di berikan rasa ikhlas melepaskan. "Apa kamu sedih juga kayak aku, El?" tanya Shabira parau. "Apa kamu ngerasa sedih sekarang?"
"Astagfirullah... astagfirullah..." gumamnya pedih, sadar bahwa tak seharusnya dia memikirkan Elzio lagi.
Shabira lantas merubah posisi menjadi berbaring, meringkuk di atas sejadah, jemari-jemari lentik dan halusnya mulai bergerak memutar butir demi butir tasbih sementara bibirnya kembali berdzikir.
Lama gadis itu diam di posisi tersebut, larut dalam dzikirnya sampai ketukan di pintu di sertai seruan Bunda yang memanggilnya membuat Shabira tersadar. "Masuk aja Bun."
Tak lama setelah Shabira menyahut, pintu terbuka dan derap langkah kaki sempat terdengar sebelum menghilang. Shabira memang meringkuk membelakangi pintu, sehingga dia tidak tahu bahwa kini ada Khadijah yang hatinya pilu seperti disayat dengan sembilu melihat putrinya yang terbaring sementara badannya gemetar di temani suara parau yang menggumamkan dzikir tanpa henti.
"Shabira sayang...." panggil Khadijah pelan, melangkah hati-hati lantas wanita itu duduk di belakang Shabira dengan badan membungkuk untuk memeluk putrinya. "Kakak anak Bunda kuat ya?"
Shabira mengangguk dengan senyum tulus. "Insya Allah Bunda, insya Allah."
"Kak, pernah sayyidina Ali mengatakan kurang lebih kayak gini, ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan hidup, maka Allah akan membayar tuntas semua rasa kecewamu dengan beribu-ribu kebaikan. Kakak dengar ya, belajar buat mengerti bahwa segala sesuatu yang baik untukmu tidak akan Allah ijinkan pergi kecuali akan diganti dengan yang lebih baik."
Shabira hanya mengangguk saja sembari mengambil tangan Bundanya untuk dia genggam erat. "Kak..."
"Hmm?"
"Ada Elzio sama mama papanya di bawah mau ketemu kakak."
Bibir Shabira yang sedang bergumam dzikir sontak berhenti, jntungnya berdegup sangat cepat sementara cemas dan tegang seketika gadis itu rasakan. "Mau apa, Bun?"
"Kayaknya, mau minta maaf sama kakak."
"Bilangin, Elzio nggak perlu minta maaf apapun sama kakak, Bun. Apalagi mama sama papanya. Mereka nggak punya salah, dan nggak punya utang maaf ke kakak," ucap Shabira merasa tak sanggup harus melihat Elzio lagi.
"Kaak..."
"Hati kakak... masih sakit, Bunda. Kakak capek nangis, Bun. Dan kalau lihat El, pasti kakak nangis lagi," jelas Shabira. "Sebentar aja, kakak pengen istirahat. Boleh, kan?"
Bunda Khadijah terdiam, tidak menjawab apapun lagi selain mengelus kepala putrinya dengan sayang. Beberapa saat kemudian, wanita tersebut keluar dari kamar Shabira dan menutup rapat pintunya. Jadi terkejut sendiri ketika ternyata ada Elzio yang menunggu di undakan tangga. "Gimana Bunda?" tanya lelaki itu penuh harap.
Bunda Khadijah menggeleng kepala dengan berat hati. "Bunda, nggak tega buat maksa Bira, El. Kasih Bira waktu, ya?"
Elzio terdiam, merasa berat hati karena mungkin tidak ada lain hari yang akan bisa dia temui untuk berbicara dengan Shabira. "Aku mohon, bunda. Sebentar aja, nggak akan lama. Nggak apa-apa bicara di balik pintu juga," pintanya memelas.
Tak tega melihat mata sayu Elzio yang putus asa akhirnya Bunda Khadijah mengangguk dan mempersilakan Elzio untuk mendekati pintu. Sengaja wanita itu turun dan menunggu di pertengahan anak tangga karena ingin memberikan waktu pada Elzio dan anaknya.
Setelah kepergian Khadijah, Elzio tanpa sadar menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan sampai bahunya turun perlahan. Dia melangkah dan terdiam beberapa detik di depan pintu kamar Shabira. Menerka-nerka apa yang sedang gadis itu lakukan di dalam sana? Apakah merindukannya, seperti Elzio merindukan Shabira?
Tanpa Elzio tahu, Shabira kini sudah ada di balik pintu, dia mendengar semua percakapan lelaki itu dengan sang Bunda di luar sana. Gadis itu duduk dengan punggung bersandar pada badan pintu sementara lututnya ia tekuk dan peluk erat. Shabira mulai menebak-nebak, sedang apa Elzio di luar sana?
"Assalamualaikum Farahani..." sapa Elzio parau. Yang tidak lelaki itu tahu adalah Shabira yang segera membekap mulutnya sendiri agar isak tangisnya tidak terdengar. "Aku tahu, kamu dengar suaraku. Seenggaknya jawab salam aku, karena itu wajib."
"Waalaikumussalam..." sahut Shabira di dalam sana dengan suara parau nyaris hilang. Elzio mengepalkan tangannya sampai urat kehijauan terlihat di sekitar punggung tangan saat mendengar suara gadis itu.
Suara jernih, merdu yang biasanya terdengar ceria kini sendu parau tanpa warna dan nada dan itu karenanya. Shabira sedih sampai menumpahkan air mata karenanya. "Maafin aku, Shabira..."
"Maaf buat apa, El? Kamu nggak ada salah sama aku."
Elzio menggeleng, kemudian duduk di bawah dengan punggung yang juga bersandar pada badan pintu. Andai pintu itu menghilang, mungkin punggung mereka kini saling bersetuhan dan saling bersandar, namun sayangnya satu sama lain tidak ada yang tahu akan hal itu.
"Maaf udah bikin kamu nangis."
"Bukan salah kamu—"
"Salah aku, Shabira. Harusnya aku bisa nahan diri lebih lama lagi, harusnya aku nggak nekat dekati kamu. Harusnya aku tetap kubur dalam-dalam rasa kagum aku."
"Apa... kamu nyesel karena ngasih tahu aku soal perasaan kamu?" tebak Shabira.
"Bukan itu, tapi aku nyesel, seandainya aku nggak umbar perasaan mungkin aku nggak akan kasih harapan. Mungkin sekarang kamu nggak akan sesedih ini," jelas lelaki itu. "Salah satu alasan aku nggak berani dekati kamu dulu itu karena takut hal gini terjadi. Aku terang-terangan nyatain perasaan, melambungkan harapan, tapi nyatanya, takdir Allah nggak sesuai yang aku inginkan. Kalau aku aja tetap diam, mungkin semuanya nggak seberantakan sekarang. Maafin aku, Shabira."
Shabira menunduk, memilin jemarinya dengan mata nyaris mengeluarkan air lagi. "Tapi seenggaknya aku senang, El. Seenggaknya aku tahu, kalau kamu punya perasaan yang sama ke aku," ungkapnya dengan senyum getir. "Walau sekarang, takdir Allah harus bikin aku mundur buat perjuangin kamu di sepertiga malam."
"Shabira..."
"Apa aku boleh tanya satu hal, El?" tanya Shabira, tak mendengar respons apapun dari lawan bicaranya lantas gadis itu melanjutkan. "Apa sampai detik ini nama aku masih ada di hati kamu?"
Elzio menunduk, bahunya berguncang sementara matanya mulai basah. "Masih, Shabira, masih..." jawabnya dalam hati. Tak berani lagi mengungkapkan isi hati karena situasi mereka kini berbeda.
Sementara di dalam sana Shabira tertawa pahit, sebenarnya dia sedang apa? Mengharapkan Elzio masih menyimpan rasa untuknya? Kalaupun iya, lalu kenapa? Hal itu tidak akan merubah takdir.
"Ghufaira cantik banget ngomong-ngomong, cocok sama kam—"
"Kamu juga cantik. Kamu baik, kamu shaleha, kamu lucu, kamu bikin orang sekitar kamu gemes dan bahagia," sela Elzio membuat Shabira tersenyum.
"Sayangnya aku masih belum pantas buat jadi jodoh kamu." Shabira menyahut dengan tawa. "Kamu beruntung banget punya Ghufair—"
"Farahani!"
"Aku iri, El. Aku cemburu, aku sakit, aku sedih. Tapi di sisi lain juga aku senangdan bersyukur karena kamu dapat perempuan terbaik buat nemenin sepanjang usia. Doain aku, ya El, semoga kelak dapat jodoh yang—"
"Shabira..." tegur Elzio, mendadak sakit hatinya membayangkan Shabira bersanding dengan lelaki lain. "Boleh aku tanya satu hal?"
"Hmm?"
"Apa nama aku masih ada di hati kamu?" tanya Elzio.
"Masih sampai detik ini El, tapi... baru aja aku berdoa sama Allah supaya bisa lapang dada lepas kamu," beritahu Shabira. "Berat banget rasanya harus hapus nama kamu di do'a aku selanjutnya El."
Berat untuk Elzio juga sebenarnya, namun lagi-lagi lelaki itu tidak berani mengakui dan memilih terdiam. Lama mereka tak bertukar kata sampai akhirnya Elzio merogoh saku celananya, mengeluarkan badge name bertuliskan nama Shabira yang selama satu tahun setengah ini selalu dia pandangi.
"Aku punya sesuatu buat kamu, Shabira," ucap Elzio, lelaki itu berdiri dari duduknya dan menunggu di depan pintu. "Kalau nggak keberatan, bisa keluar sebentar? Please..."
Shabira di dalam sana merasa gamang, namun akhirnya bergeser juga dan berdiri lantas membukakan pintu namun menyembunyikan diri di baliknya. Elzio tersenyum kecil karena itu. "Ini punya kamu, kan?" katanya menyimpan badge name itu di lantai.
Shabira terbelalak, langsung memungut badge name yang ia punya bekas SMP dulu dan hilang ketika datang ke sekolah SMA nya untuk pertama kali saat mendaftar. "Ini..."
"Satu tahu setengah lalu, di ruang keuangan, aku nggak sengaja nabrak cewek. Tapi karena hari itu ruangan penuh, kayaknya kamu nggak sadar kalau yang nabrak itu aku. Kamu juga nggak sadar kalau badge name kamu lepas," cerita Elzio dengan senyum karena bayangan saat itu singgah di depan mata. "Aku ambil badge name itu niatnya buat kasih ke kamu tapi kamu hilamg gitu aja. Aku nggak sempat lihat wajah kamu hari itu, jadi aku bingung gimana cara balikinnya. Akhirnya aku bawa pulang ke rumah, dan nggak sadar tiap hari aku selalu lihatin nama kamu karena aku suka."
"M-maksud kamu..."
Elzio mengangguk. "Satu tahun setengah yang lalu, aku jatuh cinta sama nama kamu sebelum aku jatuh cinta sama orangnya," ungkap lelaki itu membuat Shabira terkejut tak menyangka.
"El..."
"Bahkan gilanya, kalau boleh jujur, udah sejak lama aku selipkan nama kamu dalam setiap doa aku. Bukan cuma sekarang-sekarang. Kamu bahkan nggak akan nyangka, gimana gila nya debar jantung aku pas pertama kali dapat chat dari kamu beberapa waktu lalu."
Shabira meremas badge name di tangannya erat, matanya mulai berkaca-kaca sementara hatinya kembali berdenyut nyeri. Gadis itu melangkah maju, menampakkan diri di depan Elzio yang menatapnya sendu. "El, aku—"
"Farahani, mungkin ini telat dan nggak seharusnya aku bilang begini sama kamu. Aku sadar betul, ini nggak baik di katakan dan dosa besar. Mungkin apa yang aku ucapin juga bakal berat dan bikin kamu sakit tapi aku nggak mau menyesal kalau sampai nggak ungkapin ini," sela Elzio, untuk pertama kalinya lelaki itu memberanikan diri menatap mata Shabira yang memerah. "Anna uhibbuki fillah, Shabira."
***
Bersambung...
Bertemu lagi minggu depan ya Bestie 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top