HEY CRUSH || 23
Assalamualaikum bestie....
Makasih banyak buat kalian yang spam di detik terakhir 🤗✨
Baca sampai bawah ya 😙
***
Sudah tiga hari lamanya, Elzio menghilang tanpa kabar. Nomor lelaki itu juga masih tidak aktif dan susah di hubungi sampai detik sekarang membuat Shabira cemas setengah mati.
Shabira menundukkan kepala, lagi-lagi mencoba menghubungi nomor Elzio, dia melakukan ini setiap lima menit sekali dan hasilnya selalu saja mengecewakan.
"Coba lo telepon mama nya aja, Bir. Lo punya nomornya, kan?" Suara Chealse terdengar membuat Shabira mendongak dan baru sadar bahwa kelasnya kini sudah di penuhi oleh teman-teman.
"Iya bener. Daripada lo galau terus, mending coba telepon nyokapnya." Karina ikut menimpali, menatap kasihan pada Shabira yang lemas di tinggal ayang tanpa kabar.
"Iya ya? Apa gue telepon mama nya aja?" Shabira menyahut gamang. "Tapi malu nggak sih—"
"Ya kalau gue jadi lo pasti malu," sela sebuah suara, ketiga gadis itu menoleh pada Nadia yang sejak tadi diam. "Emang apa hak lo nanyain Elzio ke nyokapnya?"
Shabira merasa tertohok, ya dia bukan siapa-siapanya Elzio dan dia tidak punya hak apapun meminta penjelasan atas hilangnya lelaki itu. "Menurut lo, gitu Nad?"
Nadia menoleh malas lalu mengangguk. "Lo siapa nya emang? Istrinya? Bukan, kan?"
"Tapi gue khawatir, dia janji mau datang ke rumah tapi sampai sekarang nggak ada kabar."
Nadia tertawa remeh. "Datang ke rumah lo mau apa? Lamaran? Nggak, kan? Cuma mau ngajak nonton futsal aja," decaknya tak habis pikir. "Harusnya lo mikir Bir, El nggak ngasih kabar ke lo berarti lo emang nggak sepenting itu buat dia. Pacar bukan, tapi nuntut pengen di kabarin. Malu dikit, dong."
"Nad! Lo kenap—"
"Biar gue," cegah Shabira saat Karina berdiri dan siap membalas ucapan pedas Nadia. Di tatapnya sosok gadis berkulit sawo matang itu dengan datar tapi tidak ada yang tahu bahwa tangan Shabira terkepal erat di bawah meja. "Makasih buat saran dari lo, Nad."
Nadia mengangguk enteng. "Jangan cuma di dengarin tapi di terapin, Bir."
"Tapi gue rasa, lo berubah sejak hari ulang tahun lo, Nad," ungkap Shabira membudalkan kejanggalan di hati. "Sikap lo, tingkah, lo bahkan penampilan lo berubah. Atau cuma perasaan gue aja?"
"Nggak, bukan perasaan lo aja, kok. Dia emang berubah jadi gila," cetus Karina membuat Nadia geram, gadis itu berdiri sambil menggebrak meja menarik perhatian.
"Maksud lo apa?!" sentaknya tak terima.
Karina ikut berdiri, menatap pongah pada Nadia. "Kenapa nggak terima, hah? Jelas-jelas lo tuh berubah, Nad! Apalagi sama Shabira, emang dia salah apa sama lo?"
Nadia berdecih. "Gue cuma jijik aja sama dia, tingkahnya bikin malu. Nggak ada harga dirinya sama sekali ngejar-ngejar cowok. Bener kata Alef, semenjak Shabira pakai kerudung, tingkahnya jadi nggak beres. Tapi, nggak heran, sih, toh dia pakai kerudung juga bukan karena Allah tapi karena cowok," ungkap gadis itu menatap remeh pada Shabira yang diam saja.
"Nad, lo keterlaluan!" sembur Chealse. "Lo sebene—"
"Lo suka sama Elzio?" tebak Shabira membuat seisi kelas terdiam. Gadis itu terkekeh sinis, menatap Nadia dari ujung kepala sampai kaki. "Sebenernya gue cuma nebak aja, tapi lihat lo diam aja kayaknya lo beneran suka sama gebetan temen sendiri, ya, Nad?"
"Gue... gue..."
Shabira maju, mendekat pada Nadia. "Bukan gue yang nggak tahu malu dan nggak tahu diri. Tapi, lo, Nad," ujarnya datar. "Lo ngatain tingkah gue nggak beres dan nyalahin kerudung yang gue pakai? Ah kayaknya lo lagi ngatain diri sendiri. Apa lo nggak ngaca? Tingkah lo sebenernya yang nggak beres, Nad."
"LO!" Tangan Nadia mengayun, hendak mendaratkan tamparan namun Shabira lebih dulu menarik ujung jilbab gadis itu. "Shabira lepas!"
Alih-alih melepaskannya, Shabira malah semakin menarik jilbab itu sampai Nadia merasa tercekik. "Lo pikir gue nggak tahu, lo pakai kerudung buat narik perhatian Elzio, hah?" tanyanya mengejek. "Sebenernya gue nggak mau bilang ini tapi... lo kelihatan menyedihkan, Nadia."
Nadia tertawa walau di sertai ringisan. "Gue rasa lo juga sama-sama menyedihkan."
"Oh jelas beda. Gue nggak selevel sama lo, Nad," elak Shabira. "Silakan cari perhatian Elzio sepuas lo, dan gue sama sekali nggak akan negur atau melarang. Gue harap lo bakal tetep waras aja saat tahu, bahwa nama gue yang selalu Elzio langitkan di sepertiga malam."
***
"Nomor mama nya juga sama, susah di hubungi," beritahu Shabira setelah dia menurunkan ponsel dari telinga, gadis itu menatap Karina dan Chealse bergantian. "Gimana, dong?"
"Kita ke kelasnya El aja, Bir. Tanyain KM nya, dia pasti tahu Elzio nggak masuk karena apa," usul Chealse, gadis itu bangkit berdiri sambil menarik Shabira. "Noh, kebeneran si Fauzi ada di kantin," tunjuknya pada sosok lelaki yang di ketahui sebagai ketua murid di kelas IPA satu.
Mereka kini memang sedang berada di kantin di jam istirahat pertama, hanya bertiga saja karena Nadia sudah menjauhkan diri sejak pagi setelah mereka debat tadi. Dan sejak mereka duduk di salah satu bangku, Shabira masih belum berhenti mencoba hubungi Arumi.
"Gas, tanyain langsung, Bir." Karina ikut berdiri dan mereka mendekati Fauzi yang seketika tersedak karena di hampiri tiga perempuan langsung. "Lo, Fauzan, kan?" todong Karina. "KM IPA Satu?"
Lelaki berkaca mata itu menggeleng. "Namaku Fauzi."
Karina berdecak. "Ya itu pokoknya, kan sama-sama Fauz awalnya."
Shabira meringis lalu meminta maaf. "Gini Fauzi, gue mau nanya, lo kan KM di kelas, apa Elzio ada kabar ke lo kenapa dia nggak masuk sekolah?"
Fauzi menggeleng sambil membenarkan letak kaca matanya. "Nggak ada kabar ke aku, tapi langsung ke Pak Haidar wali kelas kita. Coba kamu tanya langsung aja ke beliau."
Bahu Shabira lemas seketika, apa katanya? Bertanya langsung pada Pak Haidar? Sungguh Shabira tidak berani, dan kalaupun berani, dia sangsi bahwa pria itu akan memberitahu, yang ada malah menagih tugas makalah yang lupa belum Shabira kerjakan sampai sekarang.
"Oh gitu, ya udah deh," ucap Shabira pasrah. "Tapi apa gue boleh minta tolong?"
"Boleh."
"Kalau nanti ada kabar dari Elzio, apa lo bisa kabarin gue juga? Ini nomor gue, gue harap lo mau chat gue ya kalau ada info dari Elzio," pinta Shabira memelas, akhirnya karena tak tega melihat raut wajah gadis itu Fauzi pun mengangguk dan mulai menyalin nomor Shabira di ponselnya. "Makasih ya, Fauzan."
"Fauzi!" koreksi Chealse gemas sendiri atas kebolotan Shabira dan Karina.
"Ah iya, maksudnya Fauzi."
"Oke sama-sama," balas Fauzi dan akhirnya ketiga perempuan itu pergi dari mejanya. Baru saja Fauzi hendak ikut bangkit namun niatnya harus urung ketika seorang gadis datang dan tersenyum ramah kepadanya. "Kamu...."
"Hey Fauzi, boleh nanya, tadi Shabira bicarain apa ya?"
"Oh itu... Shabira nanyain alasan Elzio nggak masuk sekolah."
"Terus ada lagi?"
Fauzi menggeleng. "Nggak ada dan aku pun nggak bisa bantu soalnya nggak tahu Elzio ke mana."
Gadis itu mengangguk dengan senyum. "Ya udah makasih, ya." Lantas dia pergi dan kembali ke meja di mana dia duduk, senyum simpulnya terbit memerhatikan Shabira yang tampak sedih di seberang sana.
***
"Ngelamunin Elzio lagi, nak?" Shabira sedikit tersentak ketika pundaknya di sentuh, gadis yang sejak tadi memandang keluar jendela pada halaman rumah nya yang tak begitu luas, sontak menoleh dan mendapati ayahnya sedang tersenyum dengan mata melengkung menenangkan.
"Kepikiran terus, yah," aku Shabira dengan senyum lemah. "Ayah nggak ke masjid?" tanyanya kemudian saat samar mendengar adzan maghrib baru di mulai.
"Kakak beneran ngelamun kayaknya, padahal daritadi lihat keluar tapi nggak sadar kalau lagi hujan besar."
"Eh?" Shabira lantas menatap kembali jendela seketika meringis saat melihat betapa derasnya hujan mengguyur bumi. "
"Ayah nggak ke masjid hari ini."
"Gara-gara hujan?" Shabira memicing mata.
"Bukanlah," decak ayah Ridwan. "Kaki ayah sakit, Kak. Kekilir kayaknya tadi di pasar pas mau tutup jongko," jelasnya lagi memperlihatkan kakinya yang membengkak. "Nggak bisa jalan cepet kalau hujan begini."
Shabira mengangguk. "Ya udah jamaah di rumah, udah lama nggak di imamin sama ayah," usul Shabira, mengalungkan lengan ayahnya ke pundak lalu memapahnya berjalan. "Doain El ya ayah, semoga dia baik-baik aja."
Ayah Ridwan mengangguk dengan seulas senyum tipis, lalu mereka berpisah menuju kamar masing-masing untuk mengambil air wudhu. Tepat ketika Shabira keluar kamar dengan badan sudah tertutup mukena, bisa dia lihat Ayah sedan, bunda serta adiknya yang sedang menyelesaikan adzan.
Shabira lantas duduk di samping Ibu nya, tak lama dari itu iqamah terdengar dari Adam, semuanya bangkit bersama-sama dan melakukan shalat maghrib di iringi hujan yang semakin deras.
Tidak ada yang saling tahu bahwa di sujud terakhir yang mereka kerjakan, doa yang sama mereka panjatkan, meminta keselamatan Elzio di mana pun lelaki itu berada.
Sedangkan jauh dari rumah Shabira, Elzio baru saja keluar dari masjid setelah mengerjakan shalat isya nya. Lelaki berkulit putih itu berjalan sedikit cepat ketika melihat sang Mama berjalan menghampirinya. "Kenapa, Ma?"
"Alhamdulillah papa udah sadar, El. Dia nanyain kamu, ayok cepet."
"Alhamdulillah ya Allah," gumam Elzio penuh rasa syukur, lantas keduanya berjalan tergesa melewati selasar salah satu rumah sakit terbaik di Singapura. "Assalamualaikum, Pa." Elzio masuk begitu pintu ruangan Papa nya di buka, rasa lega seketika memenuhi rongga dada lelaki itu ketika melihat sosok Papa nya tersenyum dan tampak sehat.
"Waalaikumssalam, Nak." Fahri, pria paruh baya itu tersenyum lembut menyambut kehadiran sang anak yang langsung menghambur memeluknya erat. "Hey, Papa nggak apa-apa," ucapnya menenangkan.
Elzio eratkan pelukannya. "Kenapa Papa nggak bilang kalau selama ini sakit?"
"Karena kalau Papa bilang, kamu sama Mama mu pasti bakal nangis kayak sekarang," kekehnya sambil mengelus punggung sang anak. "Papa udah baik-baik aja, El. Udah tenang, papa udah sehat."
Lama Elzio terdiam di posisi memeluk Papanya, sampai rasa pegal menyapa barulah lelaki itu menegakkan badan dan menatap sendu sang Papa. "Jangan lihatin papa kayak gitu, ah."
Elzio sedikit mendengkus lantas duduk di sebelah Arumi sambil memegangi tangan Fahri. "Papa harus selalu sehat."
"Papa nggak janji, tapi Papa usahakan, Nak," balas Fahri tersenyum meyakinkan. "Oh iya, minta tolong buka dompet papa, dong."
Elzio beringsut turun dari kursi lalu berjongkok untuk membuka lemari kecil di samping ranjang, setelah dapat dompet papanya, kembali lelaki itu duduk di posisi semula. "Ini?"
"Iya." Fahri mengangguk, tanpa kesusahan berarti pria itu membuka dompet lipatnya dan mengeluarkan selembar kertas dari sana. Mata hitamnya melirik Elzio dengan senyum terkembang. "Ini lihat," ujarnya memberikan kertas di tangannya.
Elzio terima kertas itu, berkerut kening mempertanyakan apa maksudnya. "Ini...."
"Foto calon istri kamu, El. Gimana? Suka?"
***
Bersambung...
Senin, 09 Mei 2022.
Sebenernya aku punya target komen setiap bab nya, tapi nggak aku kasih tahu karena takut di julidin wkwk
Semoga target komen di bab ini terpenuhi biar cepet update nya ya 🤗✨
Sapa dulu deh, siapa ya ini kira-kira 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top