HEY CRUSH || 21

Assalamualaikum...

Update lagi bab 22 besok kalau bab 20 dan bab 21 komennya tembus 1K 🤗

***

NADIA dari bangkunya dia menatap pada Shabira yang baru saja berlari kecil untuk mengejar Elzio. Gadis itu tersenyum kaku melihat Shabira yang berteriak memanggil Elzio dengan sebutan Crush selagi tangan membentuk finger heart.

"Cih. Nggak tahu malu," decihnya jijik. Nadia hanya tak habis pikir, bagaimana ada seorang perempuan tidak tahu malu seperti Shabira? Maksudnya, secara terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada lawan jenis padahal Shabira tahu bahwa Elzio adalah lelaki alim.

Bukankah, sebaik-baiknya cinta adalah cinta yang terpendam? Seperti kisah cintanya Fatimah dan Ali. Atau setidaknya, seperti dia... yang sudah bertahun-tahun menyimpan rasa pada Alef, namun tidak pernah berani mengutarakannya karena merasa malu dan punya harga diri.

Harga diri perempuan terlihat dari rasa malunya, bukan?

"Lo kenapa, sih?" Suara Karina terdengar membuat atensi Nadia teralih.

"Kenapa apa?"

"Kenapa lo lihatin Bira kayak gitu?" Karina memperjelas. "Dan kenapa lo minta nomor Elzio?"

"Emang nggak boleh?" Nadia menjawab dengan tanya, nadanya tidak santai di sertai tatapan kesal.

"Ya bukan nggak boleh, tapi—" ucapan Karina terjeda saat Shabira berteriak pamit untuk pergi ke toilet, Karina mengangguk lantas melanjutkan. "Tapi, lo tahu, kan, Shabira udah lama suka sama El?"

Nadia terkekeh. "Emang kalau Shabira suka sama El, itu berarti gue nggak boleh minta nomor Elzio?"

Karina menghela napas, melirik Chealse untuk meminta bantuan.

"Gini, Nad. Bukannya nggak boleh, tapi sebagai sahabat yang udah saling kenal lama, udah seharusnya, kan, kita saling mengerti dan memahami? Maksud gue... minta nomor Elzio secara terang-terangan, dan ngasih hadiah buat mama El di depan Shabira. Ketelaluan nggak, sih? At least, harusnya lo bicara dulu sama Shabira nya."

Nadia memutar bola mata. "Tadi kan sebelumnya gue udah minta ke Shabira, gue juga udah kasih tahu niat gue buat kasih hadiah ke Mama nya El."

"Tapi ekspresi dan wajah lo ngeselin tahu nggak!" Karina habis kesabaran, menatap Nadia jengkel. "Kesannya lo kayak cari perhatian Elzio!"

Nadia menatap balik dengan sinis. "Kenapa emang kalau gue cari perhatian Elzio?"

"Nad? Really?" Chealse menatap tak percaya. "Lo sadar apa yang lagi ucapin?!"

Nadia terdiam, lalu melengos mengalihkan tatapan pada papan tulis. "Nad jawab!" sentak Chealse. "Lo nggak mungkin suka sama Elzio, kan?"

"Lo beneran nggak tahu malu kalau sampai suka sama gebetan sahabat lo sendiri," decih Karina jijik.

Nadia masih bergeming, namun tatapannya kini mengarah pada Alef. Lelaki yang dia suka sejak pertama kali masuk SMA. Biasanya, hati Nadia akan berdegup kencang dan dia akan salah tingkah jika Alef ada di sekitarnya. Tapi kini... perasaan itu hilang. Semenjak hari di mana dia melihat senyum Elzio untuknya.

Senyum lembut yang sialnya tidak bisa Nadia lupakan. Bukan untuk seharian itu saja melainkan dua minggu setelahnya. Pikiran Nadia selalu penuh oleh Elzio.

Bagaimana lelaki itu tersenyum, bagaimana mata lelaki itu tidak berani menatap matanya, bagaimana tutur katanya yang selalu terdengar sopan dengan suara jernih dan lembutnya seolah terus terbayang dan terngiang di sekitar Nadia, membuatnya susah lupa.

Sebelumnya, Nadia tidak pernah di perlakukan sebaik itu oleh lelaki kecuali oleh Elzio. Dan entah kenapa, Nadia merasa Elzio juga mencari perhatiannya dengan cara memberikan hadiah berupa kerudung. Apakah artinya itu Elzio menyuruhnya untuk merubah penampilan agar lebih cantik?

Nadia juga merasa, hari itu Elzio terlihat gugup bersamanya karena tidak berani menatapnya. Lelaki itu hanya menunduk menatap ujung sepatu atau menatap sekitar padahal ada Nadia di depannya. Bukankah itu gerak-gerik yang semua orang ketahui sebagai salah tingkah?

Dan itu terlihat menggemaskan di mata Nadia. Membuatnya selalu tersenyum ketika bayangan Elzio mampir di kepalanya selama dua minggu ini.

Mungkinkah Nadia jatuh hati pada Elzio? Entahlah, tapi jika pun 'iya' Nadia rasa itu bukan salahnya.

***

Elzio berjalan sedikit cepat di selasar sekolahnya di jam pulang sekolah. Pukul 15.45, dia telat lima belas menit untuk sampai di parkiran sesuai janji. Harusnya, 15.30 Elzio sudah ada di sana, tapi karena ada suatu hal di organisasi Rohisnya, terpaksa Elzio mampir dulu ke basecamp.

"Dia pasti udah nunggu," gumam lelaki itu. Dia yang Elzio maksud adalah Shabira yang sudah dia janjikan akan diantar pulang. Tadi, Elzio mengirim pesan agar Shabira menunggunya di parkiran sepulang sekolah.

Dan benar saja, tepat ketika matanya menatap parkiran, bisa Elzio temukan sosok perempuan berkerudung yang tengah berteduh di bawah pohon rindang.

Elzio segera mempercepat langkah untuk sampai ke sana. Sementara Shabira, dia menunduk menghindari wajahnya agar tidak terkena matahari, aneh sekali, padahal hari sudah sore tapi matahari masih tinggi.

Saat asik menatapi ujung sepatu, Shabira di kejutkan karena ujung kerudungnya di tarik dari belakang, menoleh, Shabira dapati calon ayang tengah berdiri menatapnya dengan senyum tenang.

"Assalamualaikum, Jamilah." Elzio menyapa.

Shabira mengkerut kening. "Kok Jamilah, sih?" tanyanya tak mengerti. "Namaku perasaan Shabira, deh."

"Jamilah juga cocok buat kamu."

Shabira memajukan bibir bawahnya seolah mengejek. "Masa? Emang Jamilah artinya apa?"

Elzio memalingkan wajah lantas berjalan menuju motornya. "Artinya, cantik."

"Oh ya?"

Elzio mengangguk. "Jamilah di ambil dari Al jamal yang artinya kecantikan, keindahan. Tapi nggak mungkin aku manggil kamu Jamal, jadi Jamilah lebih cocok," urainya dengan senyum geli karena dia mendengar Shabira tertawa.

"Berarti kalau kamu manggil aku Jamilah, bolehkan aku manggil kamu Jamaludin?"

Elzio menoleh dengan alis terangkat. "Kok Jamaludin?"

"Kan kam—"

"Bukannya kamu mau manggil aku ayang?" sela Elzio membuat Shabira melotot horor. "Aku tau dari Adam by the way, kontak ku di namain calon ayang."

Shabira menyengir garing menutupi rasa malunya. Pipinya sudah terasa panas sekali terbakar oleh malu. Kampret! Adam kampret! Menyebalkan! Lebih menyebalkan lagi Elzio yang bisa-bisanya baru mengungkit soal sebutan 'ayang' ini sekarang.

Melihat Shabira yang mematung dengan pipi semerah jambu, Elzio terkekeh gemas. "Malu?"

Shabira mencebik sambil memutar bola mata. Ya malu lah, ya kali nggak.

Tapi walaupun malu, Shabira tetaplah Shabira. "Emang boleh aku manggil ayang?" tanyanya iseng.

"Nggak boleh," jawab Elzio detik berikutnya membuat Shabira mendengkus.

"Kamu juga nggak boleh manggil aku Jamilah kalau gitu!" cetusnya sebal.

Elzio mengangguk. "Oke. Lagian aku lebih suka manggil nama kamu aja. Shabira Farahani. Namanya cantik."

"Orangnya?" Shabira mengangkat alis menantang.

"Lebih dari cantik."

Shabira tersipu, memalingkan wajah karena enggan kepergok sedang blushing. Dan saat itulah dia sadar bahwa di selasar seberang sana, ada gadis berkerudung yang sedang memerhatikan mereka dengan tatapan sulit dia artikan.

***

"El, nggak masuk dulu?" Bunda Khadijah menyambut kehadiran Shabira dan Elzio di ambang pintu. "Bunda udah masak loh, kita makan bareng, ya?"

Elzio menggeleng dengan raut bersalah. "Maaf banget Bunda, bukannya sengaja nolak, cuma mama kasihan di rumah pasti udah masak nunggu aku pulang."

Bunda mengagguk paham. "Oalah begitu, toh. Ya udah nggak apa-apa."

"Nanti mungkin hari Minggu, kalau Bunda nggak keberatan masak lagi buat aku," ucap Elzio.

Shabira langsung menoleh dengan raut penuh tanya. Ada apa dengan hari Minggu?

"Hari Minggu aku mau ijin ajak Adam ikut ke lapang futsal buat nonton pertandingan, kalau Bunda kasih ijin itu juga."

"Ya Allah, El. Pasti Bunda kasih ijin lah. Jadi hari Minggu kamu ke sini, ya? Biar nanti Bunda masak banyak buat kamu," ujar wanita paruh baya itu bersemangat.

Elzio mengangguk, lantas lelaki itu pamit untuk segera pulang karena langit mendadak gelap di penuhi awan hitam.

Shabira masuk ke dalam rumah berdampingan dengan Bundanya. "Kak, emang Papa nya Elzio itu di mana?"

"Hmm? Maksudnya?"

Bunda Khadijah meringis. "Tadi El bilang di rumah mama nya sendirian, maksud Bunda, pasti ada Papa nya kan? Kok sendirian?"

"Oohhh... itu papa nya kan di luar negeri Bun tinggalnya. Di Singapura kalau nggak salah. Papa nya El pulangnya jarang, paling tiga bulan sekali. Kadang nggak pulang malah, jadi Tante Arumi yang susul ke sana."

Shabira tahu info ini dari Arumi langsung saat mereka makan bersama waktu lalu. Wanita itu bercerita bahwa Papa Elzio adalah seorang pengusaha yang kini menetap di Singapura karena banyak proyek baru di sana.

Sedangkan Arumi sendiri enggan meninggalkan Indonesia karena keluarga besarnya ada di sini. Jadilah mereka terpisah jarak sudah tiga tahun lamanya, namun kabar baiknya, tahun depan Papa Elzio sudah akan kembali menetap di Indonesia jika semua proyeknya selesai.

"Bulan sekarang sih katanya pulang, Bun. Mungkin minggu depan, deh."

Bunda Khadijah mengangguk paham. "Gitu toh," katanya. "Oh iya! Kakak tadi di antar boncengan di motor nggak peluk-peluk Elzio kan?!" todongnya kemudian.

Shabira yang baru saja duduk di sofa langsung mencebik. "Boro-boro meluk Bun! Ini tangan malah pegel pegangin itu!" tunjuknya pada styrofoam berwarna warni.

Ukurannya persegi panjang cukup besar, Elzio membeli itu di toko fotocopy seberang sekolah saat mereka hendak pulang. Saat ditanya untuk apa membeli styrofoam sebanyak itu, Elzio menjawab.

"Buat bikin sekat di tengah kita. Biar kita nggak sentuhan, walau nggak sengaja kan tetep aja takut dosa."

Dan ya, jadilah Shabira tadi duduk dengan tangan mehanan styrofoam itu di tengah mereka. Dan alhamdulillah, ternyata cara itu berhasil membuat mereka tidak berhentuhan walau hanya kain saja.

Bunda Khadijah tersenyum bangga. "Masya Allah, Elzio emang anaik baik. Semoga kalian berjodoh ya, Kak."

"Aamiin Allahuma aamiin...."

***

Bersambung...

Rabu, 04 Mei 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top