HEY CRUSH || 12
Assalamu'alaikum...
Pren, maaf ya kalau alurnya terkesan lambat, karena aku nulis pakai dua sudut pandang. Elzio dan Shabira. Jadi, satu pembahasan bisa beberapa bab jatuhnya, semoga kalian nggak bosan <3
Jangan lupa vote dan komen :)
***
Elzio menatap pesan yang Shabira kirim dengan gamang, gadis itu baru saja mengirimkan alamat lengkap menuju rumahnya setelah Elzio mencetuskan akan menjemput Shabira.
Apa itu di rencanakan? Tentu saja tidak! Elzio sendiri bahkan kaget dengan apa yang dia katakan, menjemput seorang gadis? Ke rumahnya? Celaka lah dia!
Elzio sama sekali belum berpengalaman, dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa dia akan mengalami hal seperti ini. Menjemput seorang gadis maksudnya. Sekarang dia kebingungan, bagaimana cara menjemput Shabira ke rumahnya? Sekarang adalah tanggal merah, kemungkinan keluarga gadis itu ada di rumah sangatlah besar. Masalah kedua muncul, bagaimana cara dia menghadapi keluarga gadis itu?
Apakah baiknya mereka berdua janjian saja di luar rumah? Tapi menjemput di depan gang juga bukanlah sesuatu yang sopan.
Elzio menghela napas dan menyimpan ponselnya di nakas, entahlah, bagaimana nanti saja. Lebih baik sekarang dia pergi ke masjid terlebih dahulu untuk menunaikan shalat Jum'at.
Sementara di kamarnya, Shabira baru saja bisa bernapas normal setelah beberapa saat mengirim pesan pada Elzio dan lelaki itu sudah membacanya namun belum membalas. Mungkin sedang pergi Jum'atan, pikir Shabira karena dia mendengar Adam pamit pergi ke Masjid.
Shabira duduk di meja rias sambil menggigiti bibir bawahnya sendiri, jantungnya berdebar kencang, tangannya dingin dan gemetar, sementara ada rasa cemas yang Shabira rasakan memikirkan nanti siang Elzio menjemputnya kesini. Tentu, Shabira grogi. Siapa memang yang tidak berdebar jantungnya ketika akan di jumput gebetan ke rumah?
Apa yang Shabira cemaskan? Tentu saja tentang pandangan Elzio mengenai rumah sederhananya. Bagaimana jika Elzio tidak nyaman di rumah sederharana nya ini? Shabira tahu betul bahwa Elzio bukanlah orang biasa, dari Egi, pacar Karina yang satu kelas dengan Elzio, Shabira tahu bahwa Elzio bisa di bilang turunan orang kaya. Shabira bahkan sampai mengaga saat Egi memperlihatkan rumah Elzio melalui foto yang cowok itu ambil saat belajar kelompok di rumah Elzio.
Shabira segera turun ke lantai bawah untuk memastikan rumahnya masih dalam keadaan rapi, dan syukurlah Adam tidak memberantakannya. "Assalamu'alaikum." Bertepatan dengan Shabira yang hendak kembali ke kamar, suara Bunda Khadijah terdengar sebelum kemudian sosoknya muncul dari balik pintu. "Assalamu'alaikum!" ulang Bunda gemas.
Shabira nyengir. "Wa'alaikumsalam Bunda."
"Kenapa, sih, Kak? Kayak orang linglung gitu?"
"Itu..., anu..., t-temen Kakak mau ke sini, Bun."
Bunda Khadijah mengangguk sambil berlalu ke dapur yang diikuti Shabira. "Siapa? Karina? Nadia? Chelsea?"
Shabira menggeleng gugup. "T-temen cowok," ucapnya.
Bunda mengangguk lagi. "Shaga? Egi? Alef?" tebak wanita itu menyebutkan beberapa nama teman dekat Shabira yang sering main ke sini. "Ada kerja kelompok lagi sama mereka?"
"Anu..., hmm."
"Kenapa, sih, Kak. Anu, itu hum ham hem hem. Ngomong yang jelas!"
"B-bukan mereka, Bun. Dia temen baru Kakak, Elzio namanya."
Bunda memicingkan mata, curiga pada sikap Shabira yang tidak seperti biasa. Pipi putih gadis itu perlahan memerah, sementara bibirnya beberapa kali Shabira basahi. "Gebetan kakak itu?" tebak Bundanya membuat Shabira terbatuk gugup. "Jadi bener? Kalian udah jadian? Mau pacaran?" todong Bunda sambil membawa pisau lalu mengusap bagian tajamnya dengan jari.
"N-nggak gitu, Bun," bantah Shabira takut. Buset, jangan sampai itu pisau melayang ke wajahnya. "Dia ke sini mau jemput, soalnya kelas Kakak sama kelas dia ada pertandingan futsal. Kakak pengen nonton jadi..., jadi dia mau jemput," jelasnya kemudian.
Bunda Khadijah duduk di meja makan, diam saja tidak menjawab dan sibuk mengupas kulit apel. Shabira semakin gugup karena itu. Sebenarnya Ayah dan Bunda nya bukanlah orang tua yang posesif. Mereka adalah orang tua yang cukup berpikiran luas dan terbuka. Maksudnya, mereka adalah orang tua yang mau membuka mata dan menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Mereka paham, bahwa jaman sekarang pertemanan antar perempuan dan lelaki tidak bisa di cegah karena faktor lingkungan. Seperti halnya sekolah dan lingkungan kerja yang pasti isinya bukan perempuan saja.
Shabira tidak pernah di larang bermain dengan teman-temannya. Bahkan dengan teman lelaki sekalipun dengan syarat mereka pergi ramai-ramai. Pernah beberapa kali Alef datang menjemput ke sini, saat itu Ayah Ridwan cukup khawatir, namun sebisa mungkin Shabisa menjelaskan dan meyakinkan bahwa Alef adalah teman baiknya dan cowok itu adalah lelaki baik-baik walau otaknya agar sengklek. Syukurlah Ayah Ridwan percaya karena Shabira juga tidak mengada-ada.
Jadi untuk sekarang, sebenarnya Shabira tidak terlalu khawatir atas respons orang tuanya kalau Elzio datang ke sini. Hanya saja, tetap saja sebelum lelaki itu datang Shabira harus lebih dulu bicara. "Bun, boleh nggak?"
"Kalau Bunda bilang nggak boleh juga kayaknya percuma, karena Kakak udah ijinkan dia ke sini," kata Bunda santai. "Kapan memang Bunda melarang teman-teman kakak main kesini?"
"Nggak pernah."
"Bunda nggak akan larang-larang kalau kakak mau bergaul dan berteman. Asal selalu ingat apa yang udah Ayah dan Bunda sampaikan, selalu jaga diri," nasihat Bunda yang di angguki oleh Shabira.
"Makasih, Bun. Insya Allah Elzio baik, kok. Lebih baik dari Alef dan Shaga. Bunda bisa lihat sendiri nanti!" kata gadis itu percaya diri dengan girang. "Kakak ke kamar dulu ya Bun, mau keluarin baju-baju panjang!"
"Hmm, hati-hati, jangan lari, Kak," peringat wanita itu sambil geleng kepala. "Kyaknya anak bunda beneran jatuh cinta," gumam nya kemudian sebelum memakan potongan apel yang sudah terkupas.
***
Elzio selesai mengemasi barang bawaanya. Jersey dan sepatu futsalnya, lengkap dengan botol air yang selalu dia bawa dari rumah. Lelaki itu melirik pada jam digital yang tergantung di kamar, pukul dua siang, sedangkan jam tiga sore dia harus sudah ada di lapangan.
Sepuluh menit lagi aku berangkat.
Elzio kirim pesan itu dengan jantung berdebar keras. Gemetar seluruh badannya hanya karena hendak menjemput Shabira. Setelah menarik napas sebagai upaya menenangkan diri, akhirnya lelaki itu keluar dari kamarnya.
"El, mau futsal?" Mama Ayumi menyapa begitu Elzio sampai di ruang keluarga.
"Iya Ma," jawabnya sambil cepat-cepat menghindar pergi ke dapur. Saking gugupnya Elzio bahkan lupa menyalami Mama nya, dan itu membuat Mama Ayumi terheran-heran sampai memutuskan untuk membuntuti anak semata wayangnya itu ke dapur.
Di perhatikannya Elzio yang sedang berdiri depan cabinet di mana terletak beberapa kunci yang tergantung. Anaknya itu tampak memilah-milah kendaraan mana yang hendak di gunakan dan itu membuat Mama Ayumi semakin heran karena biasanya Elzio pasti akan menyambar kunci motor Vario hitam kesayangannya.
"Kayak bingung gitu, El, kenapa?"
"Astagfirullah Ma, ngagetin aja," seru Elzio.
"Kamu melamun, ya? Kok mama perhatikan kamu kayak beda, sih El. Kayak lagi kepikiran sesuatu?" tanya Mama Ayumi penuh selidik. Hmm, patut di curigai.
"Itu..., aku mau pergi pakai mobil."
Mama Ayumi mengangguk. "Mau jemput Shabira?" tebaknya membuat kunci yang baru saja Elzio gapai terjatuh ke lantai. Mama Ayumi terkikik geli karena yakin tebakannya benar. "Pantesan pakai mobil, awas ah khilap. Nanti di dalam..."
"Apa, sih, Ma. Aku bawa mobil karena takut hujan," elak Elzio sambil mendelik.
"Waahh apalagi kalau nanti hujan, pasti..."
"Astagfirullah Mama..." penggal Elzio kesal.
Mama Ayumi tertawa, senang sekali menjahili anaknya. Lebih gemas lagi karena melihat Elzio yang tampak salah tingkah sampai telinganya memerah. "Mama percaya sama kamu, El. Jangan rusak kepercayaan Mama." Elzio adalah anak laki-laki yang ia didik sebaik mungkin, terlebih dalam hal menjaga dan menghormati perempuan.
Mama Ayumi tidak melarang kalau anaknya kasmaran, dia juga tidak khawatir, karena dia tahu pasti, bahwa Elzio sangat paham dengan apa yang di larang. Namun soal perasaan, siapa yang bisa melarang? Hanya saja mama Ayumi sangat yakin, bahawa Elzio paham batasan.
Elzio tersenyum. "Pasti, Ma. Aku berangkat, ya, assalamu'alaikum," pamit Elzio sembari mencium punggung tangan Mama nya sebelum kemudian keluar memalui pintu dapur untuk sampai garasinya.
***
Mobil mama Ayumi, honda Brio berwarna hitam, yang Elzio kendarai masuk ke kawasan kompleks rumah Shabira. Lelaki itu kemudian menepi, lalu mengambil ponselnya untuk melihat alamat lengkap gadis itu. "Blok Venus barat nomor dua," gumamnya menyebutkan alamat itu sebelum kemudian Elzio mengedarkan pandangan. Beruntunglah blok rumah Shabira dekat dengan posisinya berada. Elzio hanya harus maju sekitar tiga ratus meter lalu belok ke kiri karena plang Venus Barat ada di sana.
Baru saja Elzio hendak, menginjak pedal gas, namun hal itu ia urungkan ketika melihat seorang pria seumuran Papanya melewati mobilnya. Pria itu tampak keberatan sampai jalannya agak lambat karena membawa dua kantung plastik hitam cukup besar. Tidak tega, akhirnya Elzio turun dan segera menghampiri pria itu. "Assalamu'alaikum..." sapanya.
"Wa'alaikumsalam..." Bapak itu menjawab di sertai senyum mendapati pemuda tampan memakai kaus putih cerah menyapanya. "Kenapa, Nak?"
"Permisi Pak, mau tanya, kalau blok Venus barat itu..."
"Oh, itu di sana, lumayan dekat, di sisi kanan itu."
Elzio mengangguk. "Bapak mau ke mana?"
"Ah ini saya mau pulang ke rumah, di blok Venus Barat juga," terang Bapak itu.
"Kalau gitu, bareng sama saya aja, Pak. Kebetulan saya bawa mobil, keliatannya barang bawaan bapak lumayan berat."
"Ahh nggak kok, ini say—"
Breett
"—yaah, sobek," gumam Bapak itu sambil menatap kantung plastiknya yang sobek dan menganga karena terlalu berat membawa beban.
Elzio tersenyum dan segera membantunya, memungut beberapa apel dan jeruk yang jatuh ke aspal dan hendak memasukan buah tersebut ke kantung yang lain namun di cegah sang pemilik. "Buang aja, Nak. udah kotor."
Senyum Elzio semakin lebar, dia perlihatkan buat itu pada Bapak tersebut. "Buahnya masih bagus, Pak. Rasulullah mengajarkan kita untuk mengambil dan tetap memakan makanan yang jatuh. Jika ada yang kotor, bersihkan terlebih dahulu aja, daripada di buang," katanya mengingatkan.
"Masya Allah, terima kasih sudah mengingatkan. Hampir saja saya membuang rejeki dari Allah," ucap si Bapak.
"Bapak tunggu, saya bawa mobil dulu." Elzio segera bergegas membawa mobilnya, lalu membantu memasukan barang bawaan Bapak tersebut ke bagasinya, barulah setelah Bapak itu masuk dan duduk di mobilnya, Elzio segera melajukan kendaraan tersebut.
"Maaf ya, jadi merepotkan," ucap si Bapak sungkan. "Ini anak saya mendadak telepon, minta di bawakan buah dan makanan ringan karena ada temannya mau datang. Saya pikir, karena jaraknya dekat., saya jalan kaki aja sekalian pulang, eh tahu nya plastiknya tipis."
"Nggak apa, Pak. Nggak merepotkan," jawab Elzio.
Si Bapak tersenyum, begitu kagum pada paras pemuda di depannya pun dengan perilakunya yang sopan, belum lagi harum Elzio yang sangat menyejukan, membuat Bapak itu betah berada di sisinya. "Nah, di depan itu belok, Nak. saya turun nggak jauh dari belokan di sebelah kiri."
Elzio membawa mobilnya ke blok tersebut, lalu berhenti di depan rumah bercat putih gading kemudian membantu Bapak itu mengeluarkan barang-barangnya di bagasi. Di perhatikannya di bapak sedang membuka pagar rumah, lalu Elzio dengan senang hati membawakan barang itu ke teras depan.
"Aduh, jadi banyak merepotkan begini ya. Ayok, Nak, masuk dulu ke dalam."
"Nggak usah Pak, kebetulan saya di tunggu teman."
"Oalah, kalau begitu tunggu sebentar. Bawa sebagian buah yang masih bersih ya Nak, ini buah bgus kok, baru sampai dari tempat panen nya. Sebentar saya bawakan dulu tempatnya."
Elzio hendak menolak, namun pergerakan Bapak tersebut sangatlah cepat untuk sampai ke dalam, akhirnya lelaki itu diam menunggu di depan.
Sedangkan di dalam, bapak tersebut yang tidak lain adalah Bapak Ridwan ayahanda tercinta Shabira, sudah sibuk mengubek-ubek laci di kabinet dapurnya. "Nyari apa, sih, Yah?"
Mendengar suara lembut putrinya, Bapak Ridwan menoleh sebentar. "Nyari keranjang buah, kok pada nggak ada ya?"
"Buat apaan?"
"Buat ngasih buah sama orang yang nolong Ayah. Aduh mana sih, kok pas di cari nggak ada giliran nggak di cari selalu kelihatan sama mata," gerutu Bapak Ridwan.
"Emang siapa yang nolong Ayah sampai repot-repot di bekalin buah?"
"Ada lah pokoknya. Anak muda, ganteng, shaleh, wangi, baik, sopan. Masya Allah, kamu harus cari jodoh seperti dia, Kak. Ayah bakal tenang kalau misal kamu jatuh ke pelukan lelaki seperti dia."
Shabira mendengkus tidak percaya. Di matanya, hanya Elzio saja yang terbaik. Namun, kendati demikian, rasa penasaran itu hadir. Penasaan dengan sosok seperti apa lelaki itu sampai di puji ayahnya yang bahkan jarang memuji anak-anaknya. Shabira meninggalkan dapur, dan berjalan menuju depan rumahnya. Dia mengintip dari jendela namun sayang, orang itu membelakanginya.
"Kok kayak nggak asing, sih?" Shabira mengguman penasaran, kemudian karena rasa penasaran itu akhirnya dia memberanikan diri membuka pintu bertepatan dengan orang tersebut membalik badan. Elzio menatap Shabira kaget.
Shabira sendiri sudah mengaga, terlalu kaget, dia kembali menutup pintu sambil berlari ke Bapak Ridwan. "YAAAHH! ITU MAH EMANG BENERAN CALON MANTU AYAH!" teriak Shabira keras.
Cukup keras sampai Elzio bisa mendengarnya dan itu membuat lelaki berparas rupawan tersebut berdiri salah tingkah.
***
Bersambung...
Minggu, 20 Febuari, 2022.
"Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, ambilah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkan suapan tersebut dimakan setan." (HR. Muslim).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top