02 - Where Am I?
Untuk kedua kalinya Ana terbangun di ruangan asing yang sama. Kali ini ia ditemani oleh seorang pria berambut hitam yang sibuk memeriksa denyut nadi Ana. "Javaris?" tanpa sadar Ana menggumamkan satu nama yang selalu mendampingi ke mana pun Alvinsa pergi. Pria ini juga yang akan mendampingi Alvinsa saat kompetisi pemilihan putri untuk pangeran mahkota.
"Ya, Nona. Anda diminta untuk istirahat total hari ini," jawab Javaris tanpa mau repot memandang lawan bicara. Ia sibuk mendata kondisi pasien yang ada di hadapannya saat ini.
"Apa?" Ana bingung dengan perkataan yang dilontarkan oleh pria yang ada di sebelahnya saat ini. Lebih tepatnya, Ana tidak mengerti dengan kondisinya sekarang. Kenapa ia masih berada di tempat ini, bukan kembali ke apartemen sederhananya bersama kumpulan kertas riset yang masih berserakan di meja?
"Saya tahu kalau Nona tidak ingin melewatkan kelas berkuda di hari yang cerah ini, tapi cobalah sekali mengerti posisi saya," ujar Javaris datar. "Sebentar lagi Iris akan mengantarkan sarapan Anda, jadi bersabarlah, dan istirahat saja di ranjang, Nona."
Iris? Kening Ana mengerut saat sebuah gambaran tentang nama itu melintas di kepalanya, mengenai Iris dan Javaris. Javaris adalah satu-satunya teman Alvinsa selama hidup di kediaman duke. Sedangkan Iris, wanita yang pertama kali mendatangi Ana dengan raut wajah khawatir adalah ibu asuh Alvinsa. Wanita itu sudah mengurus Alvinsa sejak kecil, dan wanita itu juga sibuk mengurus anak laki-lakinya—Javaris Pearce—disaat yang bersamaan.
"Kenapa Anda memanggil Nyonya Iris seperti itu? Ia, kan ibu Anda," ucap Ana.
Kali ini kening Javaris yang mengerut, "Sejak kapan Nona menggunakan bahasa formal yang sopan pada bawahan Anda?"
Ana terdiam sejenak, kemudian ia langsung menutupi sebagian wajahnya dengan tangan—kebiasaan yang Ana lakukan saat ia melupakan sesuatu atau membuat kesalahan. "Kamu sendiri, kenapa bicara begitu padaku? Bukankah kamu juga termasuk pegawai keluarga Kestrel?" Ana berusaha menutupi kebodohannya dengan membalas kata-kata pria itu dengan ketus.
"Sepertinya saya harus mengajukan pemeriksaan lebih lanjut pada kepala Anda, Nona."
Ana semakin bingung dengan respon yang diberikan Javaris, "Kenapa begitu?"
"Anda sendiri yang meminta saya untuk tidak bersikap terlalu formal," jawab Javaris singkat. Setelah melihat Iris masuk dengan nampan berisikan makanan, Javaris langsung pamit undur diri.
Bukannya memperbaiki kebodohan yang sudah ia lakukan, Ana malah menambah kesalahan di mata orang terdekat Alvinsa. Ana merutuki kebohohannya sendiri karena tidak dapat memperhitungkan alasan di balik sikap Javaris. Meski merasa malu dengan apa yang baru saja terjadi, Ana mencoba mengalihkan pikiran dengan menikmati bubur ikan yang disediakan Iris sambil berusaha mencerna kondisinya saat ini.
Sepulang dari seminar, Ana diminta sang editor untuk berkunjung ke kantor redaksi. Pembicaraan mengenai seri kedua novel Ana cukup menghabiskan waktu sampai larut malam. Karena sudah merasa lelah dengan aktivitas seharian, setibanya di apartemen, Ana langsung tertidur di ranjang.
Seketika Ana tersedak saat teringat sesuatu.
"Nona tidak apa?" Iris langsung menawarkan air minum pada Ana.
Ana meneguk minuman itu sedikit, kemudian berkata kalau ia baik-baik saja.
Ana kira sudah dua tahun lamanya ia tidak melihat sosok Alvinsa dalam mimpi. Ternyata, sebelum terbangun di tempat ini, Ana memimpikan sosok wanita menyeramkan yang jika diingat-ingat kembali terlihat seperti Alvinsa.
Masa aku benar-benar dikutuk oleh tokoh novelku sendiri? Pikir Ana sambil kembali menikmat makanannya. Tapi... bagaimana bisa? Sebuah pertanyaan kembali menghantui Ana. Ia tidak tahu bagaimana caranya gadis itu bisa terdampar di tempat ini.
"Terkutuklah kamu, Anastasya! Demi dewa matahari dan para peri, kuharap kamu merasakan semua penderitaan dan rasa sakitku, Anastasya," seketika penggalan kata-kata terakhir Alvinsa di dalam mimpi Ana terngiang di kepalanya.
Jangan-jangan... aku benar-benar dikutuk? Pikir Ana yang sudah mulai mencerna situasi. Meski masih terkesan tidak logis, tapi sejauh ini hanya itu yang bisa Ana simpulkan. Ia dikutuk menjadi tokoh antagonis di novelnya sendiri, dan akan berakhir tragis demi kebahagiian tokoh utama.
Hanya dengan membayangkan itu saja, bulu kuduk Ana sudah meremang. Ia tidak mau berakhir seperti Alvinsa dalam novel. Hukuman gantung di tengah kota dengan sorot mata mencemoh itu terasa mengerikan. Apalagi sensasi saat tali tambang mulai memblokir jalur pernapasanmu. Entah mengapa, Ana dapat merasakan sesuatu mencekik lehernya hanya karena membayangkan salah satu adegan dalam novelnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top