01 - Alvinsa?

Ruang seminar di salah satu toko buku ternama yang ada di Matraman terlihat ramai siang ini. Orang-orang tampak berbisik, ada juga yang terlihat antusias menyimak acara hari ini sambil memegang buku dengan cover bertuliskan, 'Alenka: The Journey of Love'.

Saat gadis berkuncir kuda dengan kaca mata bertengger di atas hidungnya masuk ke ruang seminar, bisikan-bisikan yang semula terasa seperti belaian angin, mulai semakin terdengar. Tepuk tangan yang meriah mengiringi langkah gadis itu sampai berdiri di panggung.

Seminar kali ini berlangsung lebih meriah dibanding sebelumnya. Bahkan, narasumber sedikit kewalahan menangani antusiasme peserta.

"Baiklah, saya akan berikan kesempatan terakhir untuk bertanya ke narasumber tercinta kita," sang moderator berusaha mengendalikan semangat para peserta. "Pertanyaannya harus menarik ya, kalau tidak menarik, saya tidak akan mempersilahkan Kak Ana untuk menjawab," gurau si pembawa acara.

Seorang pria berusia 20-an mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Ya, Mas yang di sana. Kalau pertanyaannya tidak menarik, saya cancel ya, Mas," candaan moderator berhasil mengundang gelak tawa peserta lain.

"Saya ingin bertanya pada Anastasya. Bagaimana cara menciptakan tokoh antagonis yang sempurna? Karena setelah membaca tulisan Ana, saya merasa tokoh Alvinsa yang ada di dalam novel adalah antagonis paling sempurna. Tidak berlebihan, tapi sikapnya di dalam novel sanggup membuat saya membenci tokoh itu."

Riuh tepuk tangan mengakhiri pertanyaan laki-laki itu. Sepertinya bukan hanya pria itu yang tertarik dengan tokoh antagonis di novel Ana, tapi hampir semua orang yang membaca buku itu juga penasaran.

"Alvinsa ya..." Ana tersenyum kikuk, tenggorokannya mendadak terasa gatal saat menyebut nama itu. Tidak mungkin, kan, kalau Ana mengatakan kalau ia hanya menuliskan semua yang ia lihat dalam mimpi?

"Aku hanya membayangkan diriku menjadi putri duke yang sempurna, tapi sepanjang hidupnya dihabiskan belajar di dalam mansion. Jika aku diberi kesempatan keluar seperti Alvinsa, maka hasrat untuk memiliki segala hal tidak dapat terbendung lagi," Ana berusaha menjawab sebijak mungkin. Ia tidak menyangka kalau akan menemui pertanyaan seperti itu.

***

Ana baru tiba di apartemen sekitar pukul sepuluh malam. Untunglah bulan lalu ia sudah tidak tinggal bersama orang tuanya. Jadi, Ana tidak perlu mempersiapkan berbagai macam alasan untuk bisa masuk ke kamar. Kondisi apartemen yang sunyi pun tidak jauh berbeda dengan rumahnya dulu.

Tanpa mau repot menyalakan lampu, tubuh lelah Ana langsung berjalan menuju kamar. Setelah meletakkan kaca mata di meja nakas, Ana langsung menenggelamkan dirinya dalam kenyamanan ranjang. Tidak perlu waktu lama bagi Ana untuk bisa hanyut dalam alam mimpi.

***

Gelap. Hanya itu yang bisa Ana lihat. Sampai suatu ketika, setipis cahaya mulai menerangi suatu tempat. Meski tempat itu tampak berkabut, tapi Ana tetap melangkah mendekat, seolah tersihir oleh satu-satunya cahaya yang ada di tempat itu.

Mata Ana mulai terbiasa dengan kabut, hingga mampu menangkap bayangan wanita berdiri dalam kabut. "Halo? Permisi," Ana mendadak ragu untuk melanjutkan langkahnya.

Tidak ada jawaban dari gadis itu.

Dikumpulkan segenap keberanian yang Ana miliki untuk lebih mendekat, "Sepertinya aku tersesat. Bisa tolong beri tahu aku, ini di mana?"

Lagi-lagi Ana diabaikan, membuat rasa takut yang menyelimuti gadis itu mulai digantikan dengan rasa kesal.

"Hey, aku tahu ini menyebalkan, tapi..." perkataan Ana menggantung begitu saja, saat kakinya terasa telah menginjak sesuatu. Keningnya mengerut saat mendapati sebuah tambang di bawah kakinya.

Tambang dari mana ini? Pikir Ana sambil meraih tali tersebut. Saat itu juga, tangan Ana terlilit oleh tambang yang digenggamnya, tubuh gadis itu ditarik ke dalam kabut. Jeritan Ana menjadi satu-satunya suara yang memenuhi tempat ini.

"Sudah puas, menggunakan penderitaan orang lain sebagai kesenangan pribadi?" sosok wanita yang tertutup kabut tebal mengeluarkan aura yang sanggup melemaskan kaki Ana.

Ana pun jatuh terduduk. Kedua kaki Ana seperti tidak mampu menopang berat tubuhnya. "Siapa... yang kamu maksud?" ada sedikit keraguan di sana. Meski Ana yakin kalau wanita itu berbicara kepadanya, tapi ia tidak mengerti arah perkataan perempuan itu.

Tali yang melilit pergelangan Ana disentak kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan saat dipaksa berdiri. Kabut yang menutupi sosok di hadapannya mendadak tersibak oleh hembusan angin kencang, menampakkan sesosok wanita berambut lurus sepinggang dengan mata abu-abu terlihat menyeramkan. Kulit putih pucatnya diperparah dengan pembuluh darah yang menonjol di sekitar leher dan wajah wanita itu. "Menurutmu, siapa lagi yang menuliskan kisahku?"

Tubuh Ana membeku di tempat. Sosok di hadapannya membuat Ana kehilangan kata, ditambah lagi dengan darah segar yang mengalir dari sudut mata wanita berambut abu-abu itu.

"Terkutuklah kamu, Anastasya! Kamu menikmati semua kebahagiaan itu dari penderitaanku," tangan perempuan itu mencengkram bahu kiri Ana. "Demi dewa matahari yang disembah Alenka dan keajaiban para peri. Kuharap kamu merasakan semua penderitaan dan rasa sakitku, Anastasya."

***

Ana terbangun dengan rasa sakit luar biasa di sekujur tubuh, terutama bahu kirinya. "Sial... kenapa sakit sekali sih," gadis itu meringkuk di kasur.

Setelah meringkuk cukup lama, Ana sadar kalau ada sesuat yang berbeda. Seingat Ana, sepulang dari seminar ia langsung terlelap, tanpa berganti pakaian. Lalu, kenapa pakaian yang ia kenakan berubah menjadi gaun tidur putih selembut sutra? Mustahil kalau ibu tirinya datang dan menggantikan pakaian Ana. Wanita itu, kan tidak mengetahui kode pintu apartemen Ana.

"Ini... di mana?" Ana merasa asing dengan nuansa kamar yang ia tempati. Terlalu banyak warna beige, abu-abu dan putih. Tidak terlihat seperti kamarnya yang memiliki nuansa merah, hitam dan ungu.

Kamar ini memiliki ranjang besar dengan seprai dan kelambu tipis berwarna putih. Hiasan patung-patung perak kecil diletakkan di atas lemari kayu sebelah ranjang, menjadi satu-satunya pemanis di ruang ini.

Ana sempat berpikir kalau ia salah masuk apartemen, dan tidak sadar sudah mengganti pakaiannya. Tapi, unit apartemen mana yang memiliki kamar seluas ini?

"Sebaiknya aku segera bangun dan mencari pemilik kamar ini." Begitu rencana awalnya, sampai suatu ketika, Ana mendapati sebuah cermin yang memantulkan bayangan asing di matanya.

Tanpa sadar, Ana menjerit sejadi-jadinya. "Siapa kamu? Kenapa bukan wajahku yang ada di cermin? Dan kenapa wajah ini terlihat seperti..."

Belum selesai keterkejutan Ana dengan sosok yang ada dalam cermin, seorang wanita berpaian layaknya seorang pelayan berusia 40-an masuk ke kamar. Wajah wanita itu tampak khawatir saat mengucapkan sesuatu yang tampak membingungkan Ana. Gadis itu tidak mengerti apa yang diucapkan perempuan tersebut sambil memasang wajah cemas.

"Nona, Nona Alvinsa kenapa teriak, Nona? Apa ada yang terluka lagi, Nona?"

Perlahan, Ana seolah menangkap maksud dari perkataan wanita itu. "Maksud Anda, saya?" Ana terkejut dengan dirinya sendiri yang mampu membalas perkataan wanita itu. Bagaimana bisa, ia memahami bahasa asing yang tidak pernah ia pelajari sebelumnya? Tapi semua ucapan perempuan di hadapannya saat ini seakan bisa dimengerti oleh Ana. Dan... siapa nama yang disebutkan pelayan tadi? Alvinsa? Namanya, kan Ana, bukan...

Arus memori mulai menghantam kepala Ana, membuat gadis itu jatuh terduduk karena rasa sakit yang luar biasa. Layaknya menonton kilas balik dari sebuah film dengan kecepatan tinggi, kepala Ana tidak bisa menanggung kecepatan laju memori tersebut.

Ana seperti dipaksa untuk mengingat semua memori asing yang lewat di kepalanya, mengenai tempat ini dan siapa sosok di cermin yang menggantikan wujud Ana. Satu nama terlintas di pikiran Ana, Alvinsa Latrice Kestrel. Mata dan rambut perak yang terpantul di cermin, jelas pernah Ana lihat sebelumnya.

Pikiran rasional Ana menentang semua kilasan balik memori itu, menyebabkan sakit kepala yang lebih buruk dari sebelumnya. Bagaimana bisa ia menjadi sosok antagonis yang ada di novelnya? Meski Ana bisa mengatakan kalau ini hanya mimpi, tapi rasa sakit yang ia rasakan saat ini terlalu nyata. Ia bahkan berpikir kalau kepalanya bisa pecah sewaktu-waktu karena tidak tahan dengan rasa sakit yang menghantam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top