Bagian 3 - Di Ujung Tanduk

Jam dua siang. Hari kamis.

"Selamat siang Lena," sapa Mike.

Lena menghela nafas. Setiap jam dua siang, dua atau tiga kali seminggu. Mike akan datang. Seperti hari ini. Dengan senyum lebarnya yang membuat pegawai wanita di kantornya berdandan lebih rapi selepas jam istirahat siang. Lena sampai hafal kebiasaan Mike itu. Ia terkadang ingin melarikan diri. Sesekali Lena membuat jadwal meeting di jam Mike biasa datang.

Tapi kali ini suasana hatinya sedang tidak baik. Ia diliputi kegelisahan karena tidak kunjung mendapat telepon pemberitahuan dari salah satu supplier pentingnya yang sedang mempertimbangkan pemutusan kerja sama. Ia sampai harus datang sendiri mendatangi pimpinan suppliernya tersebut. Membujuk sebisa mungkin agar tetap menjadi parter bisnis mereka. Setelah pembicaraan yang sedikit alot, mereka berkata akan memberi keputusan hari ini.

"Siang Mike," jawab Lena tidak bersemangat.

"Masih dengan penawaran lama."

Lena memijit pelipisnya. Ia merasa sudah tidak bisa lagi bermanis-manis di depan Mike.

"Begini Mike. Aku tidak enakan harus menggantungkan keputusan ini berlarut-larut."

Mike menegakkan tubuhnya. "Jadi bagaimana?"

"Maaf aku dengan tegas harus menolak. Perusahaan ini akan tetap kupertahankan. Kalaupun jatuh, akan jatuh bersamaku di dalamnya."

Senyum Mike sesaat hilang. Namun ia kembali melukis seulas senyum tipis.

"Lena... bilang saja jika ada kesepakatan yang ingin dirubah."

"Tidak... tidak..."

"Kamu ingin aku menaikkan harga?"

"Tidak Mike!" Sanggahan terakhir Lena itu sedikit agak keras. Ia sampai mengumpat dalam hati bagaimana bisa membiarkan emosinya lepas kontrol.

"Maaf... maksudku... em... aku benar-benar tidak berniat menjual perusahaan ini."

Mike menundukkan kepalanya, hening sejenak dan mengangguk-angguk. "Baiklah, aku mengerti. Maaf sudah mengganggu waktu Lena selama ini." Suaranya terdengar kecewa berat. "Aku tidak akan datang lagi."

"Jika kau mau datang tidak masalah. Aku akan menyambutmu," balas Lena. Namun di dalam hatinya ia berkata, "Tidak. Jangan datang lagi!"

Mike melempar senyum terpaksa kemudian pamit undur diri. Ia bahkan tidak menjabat tangan Lena.

Tidak lama setelah Mike pergi, telepon di atas mejanya berdering. Dengan tergesa Lena mengangkat teleponnya. Benar saja. Itu dari supplier yang ia tunggu-tunggu kabarnya.

Harapan Lena menaik seiring diangkatnya gagang telepon dari meja. Namun secepat harapannya naik, secepat itu juga berubah menjadi kekecewaan. Supplier tersebut memutuskan untuk mengakhiri kerja sama mereka.

Lena menghempaskan tubuhnya di kursi putar. Belum usai ia mencerna kejadian yang terjadi, pintu diketok dan sekretarisnya masuk masuk menyerahkan surat-surat. Salah satu di antaranya adalah surat peringatan pembayaran pinjaman.

"Sial! Ini buruk! Ini benar-benar hari yang buruk!" umpat Lena keras-keras. Sekretarisnya yang memahami situasi langsung pamit mundur diri tanpa diperdulikan oleh Lena.

Ia menjatuhkan kepalanya ke meja. Terdengar bunyi hantaman ringan yang setara dengan rasa sakit di jidatnya. Tapi Lena perasaan kacau balau Lena lebih menguasainya saat ini.

"Sekarang apa? Apa yang harus kulakukan?"

Mendadak ia sangat ingin menelpon Mike dan menerima penawaran yang berulang kali ia tolak sebelumnya.

***

Sudah dua minggu, Mike benar-benar tidak datang sama sekali.

Sebersit keinginan sempat terlintas di benak Lena untuk gantian mendatangi Mike dan meminta maaf. Lalu mereka akan membahas kontrak akuisisi perusahaan. Harganya mungkin akan lebih rendah daripada sebelumnya karena Lena sendiri yang mengajukan diri.

Tetapi Lena menggeleng-gelengkan kepalanya. "Itu tidak akan terjadi! Masih ada bank lain lagi yang masih bisa didatangi. Aku tidak boleh menyerah!"

Ia mengatur nafas. "Tidak mungkin mereka semua menolakku kan?"

Namun entah mengapa firasatnya mengatakan itu akan terjadi.

***

Sabtu ini Lena berniat mengajak anaknya, Anna, untuk mengunjungi taman safari di Bogor sekaligus melepaskan penat dari tekanan pekerjaan.

Mereka berangkat di pagi buta untuk menghindari macet. Namun, di tengah jalan, mesinnya mendadak mengeluarkan asap dan Lena bergegas meminggirkan mobilnya. Ia membuka kap mesin dan terbatuk. Dipandangi mesinnya dengan pasrah, tidak mengerti sama sekali tentang mobil.

Saat hendak menelpon mobil derek, sebuah mobil Range Rover mendekat. Lena kembali ke pintu pengemudi, waspada. Di pagi buta seperti ini, penjahat model apa pun masih berkeliaran. Lena tidak akan begitu khawatir jika saat ini hanya dirinya seorang. Namun, semenjak Oka meninggal, ia menjadi amat protektif pada Anna.

Kaca mobil Range Rover tersebut diturunkan. Tampaklah penumpang yang duduk di samping supir.

"Wah mobilnya kenapa Len?"

Lena masih mengenali wajah tampan di keremangan cahaya pagi itu.

"Dari semua orang, kenapa harus dia?" batin Lena yang kemudian menjawab, "Kurang tahu Mike, tiba-tiba keluar asap."

"Mengapa ia berkeliaran pagi buta begini? Ah, mungkin baru pulang dari clubbing," batin Lena sinis.

Mobil Range Rover tersebut kemudian menepi. Penumpang yang tadi berbicara dengan Lena keluar dari mobil.

Lena tertegun. Mike terlihat berbeda ketika ia hanya mengenakan selembar t-shirt putih dan celana krem pendek dilengkapi sandal crocs. Badannya yang terbentuk dengan bagus terlihat jelas dan dapat membuat wanita manapun menoleh. Tapi tidak dengan Lena.

Mike mengotak-atik mesin. Entah apa yang dia perbuat namun ia kemudian menoleh pada Lena dengan tatapan khawatir.

"Sepertinya harus dibawa ke bengkel."

Lena spontan menepuk jidat. Itu akan memakan waktu.

"Mama..." Tiba-tiba Anna keluar dari mobil. Gadis yang saat ini berusia 6 tahun itu masih tampak mengantuk. Rambutnya yang bergelombang alami seperti Oka terlihat berantakan. Anna masih setengah tidur saat Lena menggendongnya ke mobil. "Ada apa?" tanyanya.

"Mobilnya rusak, sayang. Harus dibawa ke bengkel dulu."

"Yah..." Alis Anna melengkung. "Tapi tetap jadi kan?"

"Iya sayang, nanti kita langsung jalan habis mobilnya diperbaiki."

Lena berharap tidak akan terlalu lama. Ia sudah berjanji pada Anna sejak lama dan baru kali ini memiliki waktu luang untuk memenuhinya. Ia bersyukur hari buruh sekarang menjadi tanggal merah dan bahkan terletak di akhir pekan.

"Bagaimana kalau ikut saya saja?" celetuk Mike.

"Apa Mike tidak istirahat? Mike kan baru pulang dari..." Lena menutup mulutnya, takut asal tuduh.

"Dari mana? Haha... saya malah baru mau pergi, Len. Tadinya saya mau mengisi liburan dengan diving ke Pulau Seribu, tapi kali ini ke Bogor juga tidak masalah. Bogor juga nyaman untuk melepas penat, banyak kekecewaan akhir-akhir ini."

Lena merasa kekecewaan yang disebut Mike berkaitan dengan dirinya. "Uh... tentang itu..."

"Maksudnya bukan penolakan Lena yang itu loh. Saya sudah menyerah. Yah... meskipun itu termasuk salah satunya juga," lanjut Mike, menyengir. "Ayo berangkat, keburu siang."

"Tidak usah Pak, tidak enakan." Lena berbasa basi meski ia tidak suka hal tersebut. Ia tidak bisa membayangkan harus menghabiskan akhir pekan dengan Mike. Betapa tidak nyamannya setelah Mike yang tiba-tiba menghilang karena kecewa. Memang, seorang professional dapat memisahkan kehidupan bisnis dengan kehidupan pribadi. Tapi tetap saja...

"Perbaikan mobilnya bisa lama loh. Keburu siang dan macet, nanti sampai sana malam. Apalagi ini long weekend."

Lena bersikukuh. "Tidak usah, terima kasih."

"Atau mau pakai mobilku saja? Biar mobil Lena kubawa ke bengkel."

"Eh, jangan..."

"Gak papa Len. Nggak enak loh ditolak lagi."

Lena tersenyum kikuk.

"Kenapa? Mobilnya kurang bagus ya? Hehe." Mike menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Kurang bagus apanya?" Lena meringis dalam hati.

Anna menarik-narik tangan Lena dan memberikan tatapan yang seolah berkata 'terima saja ma'. Tapi tidak mungkin bagi Lena membawa-bawa mobil mewah tanpa pemiliknya.

"Bagaimana ya... nanti kalau ada apa-apa di jalan..."

"Tenang... Kuhancurkan juga mobil Lena." Lena terkejut. "Bercanda Len. Jangan serius begitu." Tawa Mike meledak.

"Sudah biar aku yang nyetir. Supirku yang bawa mobil Lena ke bengkel. Oke?" Mike kembali mendesak. Ia menunduk menghadap Anna. "Setuju gadis kecil? Om supirin ya?"

Anna memandang Lena, meminta persetujuan.

Disertai hembusan nafas dalam, Lena berkata, "kalau tidak merepotkan, baiklah."

Mike berdiri. Senyumnya mengembang dengan lebar dan matanya berbinar. Ekspresi senangnya seperti anak-anak yang menerima kado ulang tahun.

"Hanya karena terpaksa," batin Lena dalam hati. Ia sendiri bingung mengapa Mike memaksa dan ia dengan mudah setuju. Mungkin karena perasaan tidak enak setelah sedikit kasar pada Mike sebelumnya.

***

Lena memandang Anna di kursi belakang. Anak perempuannya itu melanjutkan tidurnya. Wajah polosnya dapat menenangkan hati Lena sekalipun ia sedang memiliki hari yang buruk.

"Siapa namanya?"

"Anna."

"Sudah sekolah?"

"Sudah mau masuk SD."

Kembali hening. Lena berharap Mike tidak banyak mengajaknya bicara. Bertemu di luar kantor dalam keadaan santai seperti ini sedikit terasa aneh, meski mereka sudah pernah makan malam bersama sebelumnya.

"Cantik ya. Seandainya anakku lahir dengan selamat, dia akan seumuran dengan Anna."

Lena menoleh pada Mike. Air mukanya berubah sedih. Tidak disangka Mike akan berkata seperti itu. Ia hanya tahu perihal istrinya yang meninggal. Mungkin ini yang menyebabkan Lena sedikit merasa berbeda ketika berhadapan dengan Mike dibanding saat berhubungan dengan orang lain. Perasaan menderita yang sama dapat menyebabkan seseorang mudah terperangkap dalam perasaan yang dalam.

"Istriku sedang mengandung dulu, saat ia jatuh di kamar mandi." Mike lanjut berkata seakan dapat menerka isi kepala Lena.

"Aku turut berduka cita." Lena menyampaikannya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak dapat membayangkan jika kehilangan Oka dan Anna sekaligus. Ia pasti tidak akan mampu bertahan melanjutkan hidup, menghadapi kerasnya dunia.

Mike hanya terdiam. Dia yang biasanya terlihat selalu dipenuhi energi kehidupan mendadak bermuram durja. Tidak ada lagi percakapan lain, kecuali alunan musik yang terdengar.

***

"Hei banguuuun. Sudah sampaaaaaai."

Lena terbangun dengan kaget. Ia lupa bagaimana bisa tertidur. Mike di sebelahnya membangunkannya dengan kedua tangan di samping mulut, seolah-olah menjadi pengeras suara. Mike kembali menjadi pribadinya yang bersemangat.

Matahari sudah tampak naik ke permukaan. Mereka berada di depan toilet yang disediakan sebelum masuk jalur safari.

Lena menggeliat di kursinya. Mengerjap-ngerjapkan mata kemudian membangunkan Anna.

"Sudah sampai?" tanya Anna. Suaranya terdengar sangat bersemangat.

"Iya sayang, ayo ganti baju dulu," Lena mengajak Anna berganti baju dan merapikan dandanannya di toilet.

Anna menjadi begitu bersemangat hingga kembali ke mobil secepat kilat. Padahal bajunya baru selesai di pasang dan Lena belum sempat menyisir rambutnya.

Lena hanya tertawa. Ia begitu senang melihat semburat bahagia di wajah Anna.

Saat bersafari, Anna tanpa takut menjulurkan kepalanya untuk memberi makan beberapa hewan-hewan jinak dengan wortel yang ternyata sempat dibeli Mike sebelum masuk Taman Safari.

"Hati-hati Anna, nanti unta itu memakan kepalamu," gurau Mike.

"Mereka kan tidak makan daging," jawab Anna disertai tawa lepasnya.

"Tapi kepalamu mirip apel. Haha..."

"Anna malah penasaran rasanya digigit unta," balas Anna dengan cekikan.

"Eh..." Lena terlihat protes dengan kata-kata Anna barusan.

Anna kembali menjulurkan kepalanya. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa leher unta panjang atau mengapa unta di Taman Safari ini berbeda seperti yang ia lihat di televisi dimana bulunya lebih panjang menjuntai.

"Anak yang cerdas," puji Mike suatu ketika.

Lena tersenyum bangga mendengarnya. Ia menatap buah hatinya yang sedang tertawa di bawah curahan cahaya matahari, berkilauan bagai permata. Dan ya... Anna adalah permata paling berharga bagi Lena.

***

Perjalanan hari itu mereka akhiri dengan makan malam di salah satu restaurant di Bogor.

Lena tidak menyangka prasangkanya akan salah bahwa ia tidak akan menikmati jalan bersama Mike.

Mike sangat baik dan terbukti teman yang seru untuk diajak jalan. Ia pun bisa cepat akrab dengan Anna. Seperti sebelumnya, menolak untuk berbagi biaya yang harus dikeluarkan dan bersikeras membayar. Ia juga cenderung royal, malah menyuruh Anna membeli apa saja yang ia suka. Sekalipun senang mendengarnya, tentu saja Anna masih malu-malu untuk memilih barang yang ia suka dan berakhir dengan sebuah boneka panda. Tadinya Anna mengambil yang kecil namun Mike menukarnya dengan boneka panda berukuran besar sehingga Anna kesulitan membawanya.

Sedikit bertolak belakang dengan Oka. Oka agak sedikit perhitungan akan biaya yang harus dikeluarkan. Ia akan membandingkan kepantasan sebuah harga. Kebiasaannya semasa susah dulu masih terbawa sekalipun saat itu uang bukan lagi perkara sulit baginya.

"Disini nggak ada Fish n Chips loh ya," gurau Mike.

Lena tertawa. "Aku nggak pemilihan soal makanan loh, Mike."

"Kalau begitu bagaimana kalau ku pilihkan dan Lena memilihkan menuku. Tapi rahasia, cukup dicatat saja di kertas."

Lena tampak berpikir dan mengulum senyum, "boleh juga."

Mereka lalu meminta pelayan untuk menulis pesanan di kertas berbeda, kecuali Anna yang memesan sepiring nasi goreng. Ia tampak memesan dengan malas karena sudah mengantuk. Energi yang dikeluarkan tadi siang seolah sudah habis dan meminta diisi kembali. Lena memerlukan waktu sedikit lebih lama untuk memesan. Ia bingung makanan seperti apa yang disuka Mike. Di restaurant berkonsep tradisional ini tidak ada salad yang pernah dipesan Mike. Kemudian sebuah ide terlintas di benaknya.

Saat pesanan datang, Lena terperangah. Dua menu yang datang untuknya dan Mike sama-sama ayam bakar.

"Kok bisa..." celetuk Lena.

Mike tertawa. "Jangan-jangan Lena punya pikiran yang sama denganku ya..."

Lena tersipu. "Aku pikir karena Mike sering menghabiskan waktu bersama dengan Oka dulu, kalian punya kebiasaan makan makanan yang sama. Dan Oka amat sangat suka..."

"Ayam bakar," potong Mike. Senyum lebar merambah wajahnya. Ia berkata dengan penuh semangat, "apalagi ayam bakar di dekat kampus. Sudah murah, enak pula! Ah... jadi kangen. Kapan-kapan aku ajak Lena kesana. Aku dan Oka suka sekali makan ayam bakar disitu. Nggak ada duanya!"

Lena ikut tertawa. Lagi-lagi Oka menyatukan mereka berdua.

***

Mike mengantar mereka sampai ke rumah Lena. Lena mendapati mobilnya sudah ada di parkiran rumahnya. Ia bertanya-tanya bagaimana Mike masih ingat rumahnya. Mike memang beberapa kali datang berkunjung saat Oka masih hidup. Tapi hal itu sudah cukup lama, di awal-awal masa pernikahannya dengan Oka. Pembantunya sudah sigap membukakan pagar begitu Lena mengirim sms jika mereka sudah dekat.

"Lena..." panggil Mike saat Lena hendak turun dari mobil.

Lena menoleh, mendapati mulut Mike sedikit terbuka, seakan hendak berkata sesuatu. Namun sepertinya diurungkannya, mulutnya kembali menutup.

"Ya Mike?"

"Ah... terima kasih untuk hari ini." Akhirnya Mike mengatakan sesuatu.

"Loh, justru aku yang harusnya berterima kasih. Mike sudah mau meluangkan waktu libur yang berharga untuk menemaniku dan Anna."

"Tidak masalah. Sudah lama aku tidak menikmati waktu yang sangat menyenangkan seperti tadi. Karena itu aku berterima kasih." Mike tersenyum.

Lena terdiam, tidak tahu harus berkata apa selain, "sama-sama."

"Sini kubantu gendong Anna," kata Mike begitu Lena hendak mengangkat Anna yang tertidur.

"Tidak apa, aku bisa kok," tolak Lena. Untuk kesekian kali dirinya menolak bantuan Mike.

Mike memegang tangan Lena yang menyentuh Anna. Lena menoleh, mendapati wajah Mike yang serius.

"Nggak salah bersikap tegar dan kuat. Tapi terkadang kamu perlu tahu kapan sebaiknya menerima bantuan. Ada orang lain yang bisa kamu andalkan."

Lena terdiam dan pasrah saat Mike mengangkat Anna masuk ke dalam rumah. Ada kata-kata yang menyinggung sisi sensitif Lena. Mike benar, sepeninggal Oka, Lena tanpa sadar berusaha terlihat tegar dan kuat. Tidak ada lagi ayahnya atau Oka yang biasa memanjakannya, memaksanya untuk menjadi lebih mandiri secara tiba-tiba. Ia sendiri pun lelah dan terkadang menangis diam-diam.

Lena masih terpaku di tempat saat Mike kembali dari dalam rumah. Mike mendekati Lena, mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Lena, "kamu bisa mengandalkanku, Lena."

Bisikan yang membuat Lena sedikit geli dan membuat hatinya berdesir.

***

Beberapa hari setelahnya, secara tiba-tiba Mike mendatangi kantor Lena. Di jam yang sama seperti sebelum-sebelumnya saat ia masih rutin mengunjungi Lena.

"Loh... Eh... Hai Mike."

Mike kembali memperlihatkan senyum andalannya yang kali ini terasa sedikit berbeda bagi Lena setelah kejadian di malam sepulang liburan itu.

"Jangan khawatir Lena, aku tidak akan berlama-lama. Tidak ingin menganggu urusanmu."

"Tidak menganggu kok, Mike." Lena khawatir Mike masih merasa tersinggung.

Mike tidak langsung duduk seperti biasanya. Ia malah menyodorkan map berlogo perusahaannya yang terlihat tebal.

"Maaf Len, tapi aku semakin khawatir tentang kondisi perusahaan. Para kolegaku mendesak untuk membatalkan niatku mengakuisisi perusahaan ini. Mereka berkata sudah tidak prospektif lagi. Ini penawaran terakhir yang bisa kuberikan. Aku tinggalkan berkas-berkasnya di sini. Tolong dipelajari dan dipertimbangkan. Maaf aku nggak bisa lama-lama. Ada meeting sore ini."

Mike terkesan terburu-buru dan pamit keluar dengan segera. Lena tertegun, menatap map di hadapannya. Baru pagi ini ia mendapat telepon penolakan pinjaman bank untuk kesekian kalinya. Para bawahannya sudah terlihat seperti putus harapan akan kondisi perusahaan.

Ia kemudian mengadakan meeting darurat dengan beberapa kepala bagian perusahaannya juga beberapa karyawan penting lainnya. Saat mereka menatap berkas-berkas di map tersebut, mata mereka berbinar dan mendadak menjadi cerah.

"Bu Lena, penawaran ini bagus sekali," kata kepala bagian keuangannya, seorang pria berumur 50 tahun dengan rambut ikal.

"Benarkah? Tapi harganya..." Lena harus mengakui, harga itu memang sedikit turun dari penawaran sebelum salah satu supplier utama perusahaannya memutuskan kerja sama.

"Ya saya tahu. Tapi dibanding dengan ketidakpastian yang kita hadapi, ditambah tanggapan dari banyak bank pada proposal kita, ini lebih dari cukup. Mereka juga akan mempertahankan karyawan lama sehingga kita tidak perlu membayar pesangon," lanjut si kepala bagian keuangan yang kemudian didukung dengan pernyataan-pernyataan lain dari anak buahnya.

Lena terdiam, berpura-pura menatap berkas di hadapannya meski pikirannya memikirkan kata-kata pegawai-pegawainya.

"Ambillah Bu, saya tahu ibu mempertahankan perusahaan ini mati-matian. Saya pun turut sedih, saya ikut Pak Tono dari semenjak ia merintis perusahaan ini..." tambah si kepala bagian yang lain, menyebut nama ayah Lena. "... Tapi daripada melihat perusahaan ini runtuh, bukankah lebih baik menyelamatkannya selagi bisa, meskipun harus melepaskannya."

Lena mengangguk-angguk. Dadanya terasa sesak. Tampaknya tidak ada pilihan lain.

***

Lena mulai mendata aset-asetnya yang bisa ia gunakan untuk menghasilkan uang. Masih ada villa di puncak yang dapat disewakan dan beberapa surat berharga.

Setelah perusahaan berpindah tangan, Lena memang mendapat bayaran yang lumayan. Tapi ia tahu, ia harus cerdas dalam mengelola keuangannya sekarang. Harus bersiap demi masa depan Anna agar Anna tidak mengalami kesulitan nantinya.

Lena teringat saat proses akuisisi perusahaan. Sedikit kaku ia menandatangani kontrak di hadapannya. Mike meliriknya dengan tersenyum, di akhir pertemuan mereka hari itu Mike berkata, "ini keputusan yang tepat, Lena. Kamu tidak akan menyesal."

Itu saja dan hingga hari ini tidak ada kabar dari Mike lagi.

Lena menduga-duga apakah selama ini Mike mendekatinya untuk memperlancar usahanya? Agar pendirian dan penjagaan Lena melemah? Pikiran negatif itu terus berputar di benak Lena.

Namun semua sudah terjadi. Perusahaan sudah diambil alih. Sejujurnya, justru perasaan Lena jauh lebih lapang. Beban pikiran lebih ringan. Ia tidak masalah kalau harus hidup lebih sederhana lagi. Sekarang tinggal mencari sumber pendapatan baru untuk kedepannya.

Saat Lena keluar dari kamar kerja, sebuah pot keramik yang penuh rangkaian bunga mawar pink terletak di tengah-tengah ruang penghubung ruang tamu dan ruang keluarga. Ia memanggil pembantunya. "Mbak kok tiba-tiba ada bunga disini?"

"Oh itu baru saja datang bu. Itu ada amplop dari pengirimnya," pembantunya mengambilkan sebuah amplop kecil yang ditaruh di antara bunga.

Lena membuka surat di dalamnya. Terdapat tulisan tangan yang terasa familiar. Bertuliskan...

Lena, maaf baru menghubungi. Kemarin cukup sibuk. Nanti malam jam 7 kujemput ya, ucapan terima kasih. Aku sudah memesan tempat di restaurant. Oh iya, bunga ini untuk permulaan ucapan terima kasihnya. Sampai jumpa.

Mike

"Ucapan terima kasih? Jam 7 malam? Di restaurant?" Kemudian Lena melihat jam.

"Astaga, setengah jam lagi!" Lena buru-buru berlari ke kamar mandi. Ia berkutat seharian di ruang kerjanya, membereskan berkas-berkas dan memang berpesan agar siapa pun tidak mengganggu. Itupun Lena baru keluar kamar karena merasa lapar dan masih banyak berkas yang belum dipilah. Ia ingin membuang berkas tidak penting yang lama tidak diotak atik dari semenjak ayahnya yang menggunakan ruangan ini.

Lena mandi secepat kilat. Memilih baju secepat kilat yang biasanya perlu waktu setengah jam untuk memadu madankan baju. Memakai make up sebisa mungkin.

Diliriknya jam, sudah jam tujuh lewat lima menit. Ia berpikir masih tepat waktu, mungkin Mike akan sedikit terlambat. Karena itu Lena menurunkan kecepatan geraknya. Ia menuju ruang tamu sambil memakai anting-anting setelah sebelumnya menyempati menghampiri anaknya yang sedang menonton televisi.

Ternyata Mike sudah berada di ruang tamu. Sedang menyesap kopi ketika Lena memasuki ruangan.

Saat melihat Lena, mendadak Mike tersedak. Buru-buru Lena mengambil tisu dan meminta pembantunya untuk membawakan air putih.

"Duh Mike, hati-hati kalau masih panas."

"Uhuk... agak sedikit kaget," balas Mike sembari mengelap tetesan kopi yang panas dari celananya yang berwarna hitam.

"Kaget kenapa?"

Mike tampak salah tingkah. "Em... itu... anu..."

Lena masih menunggu dengan wajah penasaran.

"Lena cantik sekali." Mike berkata tanpa memandang wajah Lena.

Lena terkejut, tidak menyangka hal tersebut akan terucap. Dadanya mendadak berdebar dengan tidak nyaman.

"Eh... te... terima kasih," Lena ikut menjadi salah tingkah. "Mike sudah lama?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Oh... baru saja kok."

Lena berpikir pasti sudah beberapa saat jika ia sempat meminta dibuatkan teh dan sudah dihidangkan. Pembantunya selalu menanyakan pada tamu terlebih dahulu ingin minta dibuatkan minuman apa.

"Maaf ya lama..."

"Nggak apa. Berangkat sekarang Lena?"

Lena menangguk. Mike berdiri, tidak menghabiskan minumnya dan mengantar Lena ke mobilnya yang sudah terparkir di halaman.

Mereka menembus kemacetan di malam minggu ini.

"Ibu cantik sekali. Om Mike pasti suka." Lena teringat pujian polos anaknya saat ia berkata agar Anna tidur tepat waktu sekalipun ia terlambat pulang. Tanpa bisa ditahan, Lena senyum-senyum sendiri.

Mereka menuju salah satu restaurant di rooftop hotel yang telah dipesan Mike. Mike memilih tempat duduk di dekat kaca yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Lampu-lampu berkelap-kelip bagai kunang-kunang.

Sejujurnya suasana ini terlalu romantis bagi Lena. Oka tidak pernah mengajaknya makan malam romantis. Sekedar makan malam di luar cukup sering, tapi tidak hingga menggunakan gaun malam dengan tempat temaram yang dipesan khusus. Terutama setelah menikah, Oka lebih memilih makan di rumah. Katanya suasananya akan terasa lebih kekeluargaan. Lena maklum saja, ayah ibunya pun tidak terlalu menunjukkan keromantisan seperti yang tergambar di film-film.

Menu dibagikan. Seperti biasa, Mike memilih menu salad.

"Salad lagi Mike?"

Mike tersenyum, "aku kan pingin umur panjang."

"Memangnya kalau makan yang lain nggak panjang? Hmm..."

Mike tertawa kecil. "Umurnya?"

Lena tersadar akan pemilihan katanya yang salah dan ikut tertawa. "Sebenarnya Mike suka makan apa?"

"Aku bukan orang yang terlalu pemilihan kalau soal makanan. Tapi kalau ditanya lebih prefer yang mana. Hmm... ayam bakar mungkin, seperti Oka. Karena makanan itu cukup berkesan selama masa-masa perjuangan kami."

"Ah... Oka lagi," batin Lena. "Kepergian Oka memang mendadak dan membekas sehingga kenangan yang tertinggal sering muncul ke permukaan."

Mereka membahas hal-hal santai tentang kehidupan sehari-hari. Sedikit membahas Anna. Dan tentang Oka selalu terselip di pembicaraan. Kemudian topik bisnis disinggung Lena.

"Bagaimana perusahaan?" Lena cukup penasaran akan kondisi perusahaan yang baru saja dilepasnya.

"Baik. Aku sedang mengatur ulang manajemen. Tentu saja sesuai kesepakatan, aku tidak mengganti karyawan lama. Hanya melakukan beberapa pemindahan jabatan. Juga menambah beberapa orang baru dari perusahaanku. Kami sedang mencari supplier baru. Supplier besar yang kemarin lepas pun sedang kami lakukan pendekatan kembali."

"Bagaimana tanggapan mereka?" Lena teringat supplier pentingnya yang memutuskan kerja sama dan membuat harapannya luluh lantak. Teringat bagaimana pandangan dingin dan senyum palsu mereka ketika ia memohon untuk tetap mempertahankan kerja sama.

"Ada harapan." Jawaban yang mengejutkan Lena. "Mereka tampaknya berpikir perubahan kepemilikan akan membawa dampak positif."

Lena tersenyum tipis mendengarnya.

"Kalau Lena, apa yang Lena rencanakan selanjutnya?"

"Ah. Masih sedikit bingung. Aku baru berencana menyewakan villa di puncak. Mungkin juga mencari partnership untuk bisnis kecil-kecilan."

"Hati-hati Len, banyak penipuan dalam dunia bisnis. Kenali track record orang yang kamu ajak kerja sama."

Lena mengangguk. Ia tampaknya hanya bisa melakukan ini dalam waktu dekat. Ia tidak punya pengalaman kerja apa pun, karena itu perusahaan selepas ditinggal Oka menjadi kacau balau di tangannya.

"Aku bersedia menjadi mentor bisnismu," lanjut Mike.

"Wah boleh..." Lena tertawa. "Bagaimana bayarannya?"

"Bayarannya cukup makan malam. Di warung pinggiran sekalipun tidak apa... Mungkin dengan itu aku bisa lebih sering melihat Lena."

Kalimat terakhir itu kembali memberi perasaan aneh pada dada Lena.

***

Mike beberapa kali kembali mengajaknya makan malam di lain kesempatan. Bahkan sekedar bertamu selepas pulang kerja ataupun mengajak Lena dan Anna mengisi akhir pekan bersama di suatu tempat. Terkadang Mike mengirim hadiah kecil-kecilan seperti bunga atau coklat atau boneka untuk Anna. Mike semakin lama semakin intens melakukan komunikasi dengan Lena, meski masih terkesan sopan dan tidak seperti mendesak sesuatu.

Lena pun menyadari perasaannya terhadap Mike lambat laun mulai berubah. Bahkan terakhir mereka bertemu, Mike sempat mengecup ringan pipi Lena sebelum turun dari mobil. Namun ia justru khawatir dengan perkembangan itu. Ditatapnya salah satu foto Oka dalam figura yang masih dibiarkan tersebar di penjuru rumah.

Biasanya jika Lena menatap foto Oka lama-lama seperti ini, air matanya akan jatuh, tapi kali ini hanya sebersit perasaan rindu. "Tidak mungkin kan aku jatuh hati pada sahabatmu," ucapnya sambil memandang foto Oka yang sedang tertawa. Seolah-olah Oka dapat mendengarnya melalui foto tersebut.

"Tidak apa."

Lena terkejut. Suara lain terdengar dari sisi lain di kamarnya.

Tampak Anna berdiri di depan pintu kamar, sepertinya ia mendengar apa yang Lena ucapkan barusan.

Lena terpaku di tempat tidurnya saat Anna berlari mendatanginya.

"Anna belum tidur?" hanya itu yang dapat diucapkan Lena.

"Ini mau tidur." Anna kemudian berjinjit mencium pipi Lena. Lena tersenyum dengan kehangatan yang ditimbulkan.

"Selamat tidur, Anna." Lena balas mencium kening Anna.

"Mama..."

"Hmm..."

"Mama bahagia?"

"Tentu saja."

"Karena Om Mike?"

Lena tertegun. "Memangnya kenapa dengan Om Mike, sayang?"

"Kalau mama bahagia dengan Om Mike, kenapa nggak sama-sama saja? Ayah pasti senang kalau mama bahagia."

Jawaban polos Anna mengejutkan Lena. "Kok Anna mikir begitu?"

"Habisnya mama dulu sedih terus. Sejak Om Mike sering main kesini, mama jadi lebih ceria. Seperti matahari," lanjut Anna sambil menggerakkan tanggannya membentuk lingkaran.

Lena mengusap-usap kepala anaknya. "Anna nggak masalah?"

Anna menggeleng. "Mama pasti kesepian. Lagipula mama itu cantik. Om Mike cakep. Cocooook..." Anna menjawab dengan polosnya.

Lena tersenyum. Tapi hatinya masih gundah. Ia masih belum yakin dengan perasaannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top