Bagian 2 - Lelaki yang Sempurna
Lena sudah bisa menduga.
Ia tidak mampu untuk menangani perusahaan yang ditinggalkan mediang suaminya, Oka. Kinerja perusahaan merosot tajam. Laba semakin hari semakin berkurang. Supplier mulai memutuskan kerja sama. Bahkan Lena tidak yakin bagaimana harus menggaji karyawannya.
Ia tidak pernah bersinggungan dengan urusan perusahaan. Selama ini Oka yang mengurus semuanya. Sekalipun perusahaan distribusi ini adalah warisan orang tuanya.
Bahkan ia belum pernah bekerja. Lena saat itu baru saja lulus kuliah dan kemudian Oka, cinta pertamanya, melamarnya saat mereka berlibur usai upacara wisuda.
Di tengah laporan yang menumpuk di ruang kerjanya, Lena kembali mengingat masa lalu yang indah.
Saat itu mereka berlibur ke Bali. Oka tiba-tiba mengajaknya ke pantai di malam hari dengan mata tertutup. Ia dibimbing ketika berjalan. Namun, tiba-tiba tangannya dilepas dan ia meraba-raba dalam kegelapan.
Oka menyuruhnya untuk diam di tempat. Tidak lama kemudian memintanya untuk melepas kain penutup mata.
Lena mulai dapat melihat cahaya-cahaya redup. Lampu-lampu kecil menyala keemasan di sekitar kakinya, melingkar berbentuk hati.
"Lena..."
Lena berbalik ke arah suara. Oka telah berlutut di hadapannya. Sebuah kotak merah kecil dengan cincin emas tergenggam di tangannya yang terjulur.
Lena menutup mulutnya. Tubuhnya bergetar saat Oka menatapnya tajam dan berkata...
"Maukah kau menikah denganku?"
Tanpa bisa ditahan, air mata Lena membasahi pipinya. Ia amat menanti hal tersebut meski tidak menyangka akan secepat itu.
Perasaan Lena membuncah. Ia dipenuhi kebahagiaan. Tubuhnya ringan seakan-akan sayap tumbuh di punggungnya. Tentu saja ia bersedia. Amat sangat bersedia.
"Ya. Aku mau."
"Mau?"
Lena terkesiap. Ia tidak menyadari kehadiran orang lain di kantornya. Seorang pria berambut cepak yang dirapikan dengan gel dan berpakaian jas abu-abu berdiri di depan pintu yang terbuka. Dibelakangnya dapat Lena lihat sekretarisnya tergopoh-gopoh menuju ruangannya. Sepatu berhak tinggi yang dikenakan si sekretaris menimbulkan bunyi yang berisik. Mulut sekretarisnya yang berwarna merah menyala tampak berminyak dan ada sedikit remah sisa makanan.
Lena menggerutu dalam hati.
Saat Oka masih menjabat, setiap Lena datang ke kantor, sekretarisnya selalu sigap di depan meja di depan ruang kantornya. Tapi semenjak Lena menggantikan Oka, sekretaris itu terlihat mulai bermalas-malasan dan memilih bercengkrama bersama karyawan malas lain di kantin pegawai. Banyak pekerjaannya yang terlantar hingga Lena harus memeriksa segalanya dua kali dan mengatur jadwalnya sendiri.
"Apakah saya mengganggu? Tadi tidak ada orang di depan dan pintunya sedikit terbuka," ucap laki-laki berjas abu-abu yang masuk ruangan tanpa izin.
"Maaf bu, tadi saya telat istirahatnya," timpal si sekretaris ramping berpakaian ketat dengan alasan yang sudah pasti dibuat-buat.
"Sudah tidak apa-apa. Lia, kembali ke mejamu dan tutup pintunya. Pak Mike, silahkan masuk."
Laki-laki berjas abu-abu tersebut adalah partner Oka dalam berbisnis. Jika perusahaan ini mendistribusikan barang dalam negeri, maka perusahaan Mike adalah penyedia jasa transportasi untuk distribusinya. Ia datang kali ini karena ingin melebarkan sayap perusahaannya, mengakuisisi perusahaan ini. Mike pasti dapat membaca kondisi perusahaan yang melemah ini.
Mike sudah berulang kali datang menawarkan penawaran yang awalnya di tolak Lena, namun akhir-akhir ini hanya digantungkannya.
Dengan langkah percaya diri pria itu duduk di hadapan Lena. Lena sebisa mungkin menghindar dari menatap Mike berlama-lama. Mike adalah jenis pria yang mudah mengikat wanita. Ia pria matang yang sukses. Berwajah tampan dengan mata tajam. Rambutnya selalu tertata dengan baik dan tahu bagaimana memilih pakaian. Cambang tipis menghiasi rahangnya memberi kesan jantan.
Mike memang menarik. Tapi Lena tidak ingin tertarik. Ia tidak ingin mengkhianati Oka, meski Oka telah tiada. Mungkin lebih tepat belum ingin tertarik. Sekalipun Mike bernasib sama dengan Lena, sama-sama ditinggal kekasih hati dan menjadi single. Meski begitu, Mike tampak lebih tegar. Perusahaannya justru lebih berkembang pesat dari sebelumnya. Ia mulai merambah dunia ekspor impor. Tampaknya kejadian malang yang menimpa Mike justru membuatnya semakin tenggelam dalam pekerjaan. Tidak seperti Lena.
"Apa kabar Bu Lena?" Mike menyapa. Senyum lebarnya merekah seakan memberi semangat kepada siapa pun. Mau tidak mau Lena menoleh dan mengakui senyum itu memang manis.
"Langsung saja ke intinya Pak Mike." Lena selalu merasa tidak nyaman berlama-lama dengan Mike. Mungkin karena ia ingin membatasi diri.
"Ah maaf. Tapi saya benar-benar bertanya tentang keadaan anda."
Lena bosan dengan basa-basi semacam ini. "Ini tentang perusahaan kan, Pak Mike. Maaf saya belum bisa memberi keputusan."
Mike mencondongkan tubuhnya ke depan. "Saya yakin anda paham kondisi keuangan perusahaan anda, Bu Lena. Tidak sebaik ketika dipegang oleh Oka sepertinya."
Lena paham sekali hal itu. Karena itu ia pusing memandangi berkas-berkas dihadapannya dan memilih kabur dengan khayalan masa lalu.
"Saya masih bisa mengatasinya," lanjut Lena sembari menyenderkan tubuhnya ke senderan kursi putar yang empuk.
"Oh ya? Saya tertarik bagaimana anda mengembalikan kejayaan perusahaan anda. Apa seperti yang tadi anda lakukan?"
Wajah Lena memerah. Tampaknya Mike memandanginya cukup lama tadi.
"Penawaran saya masih belum berubah. Sebaiknya anda menyetujui penawaran saya. Itu penawaran yang bagus dengan kondisi perusahaan saat ini. Saya berbaik hati mengingat Oka adalah teman baik saya semenjak kuliah. Harganya mungkin akan jatuh jika kondisi perusahaan jauh lebih buruk lagi," lanjut Mike.
Sejujurnya Lena tidak ingin menyerahkan perusahaan ini. Perusahaan ini adalah hasil jerih payah ayahnya, juga ada perjuangan Oka di dalamnya yang mengembangkan perusahaan menjadi jauh lebih maju. Ia masih ingat Oka harus jungkir balik mencari supplier sana sini, pulang larut malam demi mencapai kesepakatan kerja sama, keluar kota hampir setiap pekan untuk mencari pasar baru. Dalam kondisi kelelahan seperti apa pun, Oka selalu pulang dengan keadaan tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Perjuangan yang membuat Lena semakin mencintainya dari hari ke hari.
Lena menghela nafas berat. "Saya masih berusaha dan sekarang sedang berusaha. Saya akan sangat menghargai jika anda berkenan meninggalkan saya dengan usaha yang sedang saya kerjakan sekarang." Usir Lena dengan halus.
"Bu Lena sudah makan siang?"
"Ap..." Lena tidak mengantisipasi tanggapan seperti itu.
"Kalau Bu Lena dari tadi di sini berarti belum makan siang. Bagaimana jika kita makan siang bersama?"
"Tidak... tidak... saya tadi sudah delivery." Dan saat itu juga perut Lena mengkhianatinya.
Mike tertawa mendengar bunyi perut Lena yang keroncongan.
"Em... delivery-nya sedang dalam perjalanan kemari," lanjut Lena berusaha tidak salah tingkah.
Mike berdiri. "Ah... baiklah, mungkin lain kali saja Bu Lena." Ia mengulurkan tangannya.
Lena turut berdiri dan menjabat tangan itu, berusaha sesantai mungkin. "Ya... mungkin lain kali."
Lena segera menghempaskan diri di kursi begitu Mike keluar ruangan. Ia mengutuk mengapa lupa makan siang bahkan lupa sarapan. Sekalipun perutnya protes minta diisi makanan, ia masih belum berselera untuk makan sama sekali.
Tidak lama ada yang mengetuk pintu ruang kerja tempat Lena berkutat dengan berkas-berkasnya. Setelah mempersilahkan masuk, tampak sekretarisnya menyerahkan sebuah kotak hitam.
"Bu, ini ada kiriman dari Pak Mike."
"Eh?" Lena memandang kotak hitam itu. Terdapat post-it kuning di atasnya bertuliskan:
'Siapa tahu delivery-nya terlambat' dan diakhri dengan ikon smile yang menjulurkan lidah.
Begitu dibuka, tampak paket bento lengkap di dalamnya.
Lena menelan ludah. "Sial, bento ini terlihat enak sekali."
Dan bento itu tidak menjadi kiriman Mike yang terakhir.
***
Lena menghentakkan kakinya begitu keluar dari salah satu bank swasta ternama. Pengajuan pinjamannya ditolak lagi. Mereka khawatir dengan kondisi perusahaan yang dinilai tidak sehat.
Pikirannya kalut. Ia meninggalkan mobilnya di halaman parkir bank tersebut dan memilih berjalan kaki sambil menenangkan pikiran. Bahkan ia tidak memperdulikan rasa nyeri yang mulai timbul karena berjalan jauh menggunakan hak tinggi.
"Kemana lagi aku harus cari uang?" teriak Lena dalam hati. Tenggat waktu pembayaran pinjaman perusahaan untuk ekspansi yang dilakukan Oka sebelumnya akan tiba.
Ayahnya meninggal dunia tidak lama setelah ia menikah dan ibunya meninggal saat melahirkannya, ia benar-benar berdiri sendiri. Tidak mungkin ia meminta tolong keluarganya yang lain. Mereka bahkan berharap padanya untuk tambahan pemasukan. Ayah Lena adalah anak yang paling sukses di keluarga besarnya.
Keluarga Oka? Tidak. Oka saja harus banting tulang bekerja sambilan untuk membiayai kuliahnya. Terkadang ia bahkan membayar makanan mereka saat masih pacaran meski Oka menolak berkali-kali.
Ia menyukai pribadi Oka yang seperti itu. Yang lebih memilih makan di warung pinggiran daripada makan di restaurant atau kafe mewah dengan uang Lena. Lena mulai mengingat-ingat tempat makan apa saja yang mereka datangi, mulai dari yang paling mewah hingga yang paling mahal.
Tanpa sadar Lena sudah jauh melangkah. Senja telah turun. Hari mulai gelap dan lampu-lampu kendaraan berlalu lalang di jalanan Jakarta yang macet.
Lena menoleh ke samping, terdapat restaurant bercat putih dengan bangunan bergaya Eropa dan berfokus pada menu western. Restaurant ini... adalah salah satu tempat makan yang pernah ia dan Oka datangi bersama, bahkan sedikit berkesan.
Oka pernah mengajaknya kesini di tanggal ia menerima gaji bulanan. Namun saat hendak membayar, pembayaran debitnya ditolak. Ia lupa mengecek dahulu isi rekeningnya dan ternyata gajinya terlambat dibayarkan. Dengan malu ia meminta maaf pada Lena dan Lena hanya tertawa.
Itu adalah kali pertama Lena membayarkan makan mereka. Di restaurant ini. Selanjutnya Oka selalu membayar dengan tunai.
Lena tersenyum sendiri mengingat hal itu. Kejadian yang sederhana. Namun menjadi begitu berkesan saat orang yang terlibat telah tiada.
Diarahkan kakinya ke dalam restaurant tersebut. Seorang pramusaji yang awalnya terkejut ketika Lena masuk, lekas memasang senyum padanya, mengucapkan selamat datang dan bertanya, "untuk berapa orang?"
Baru saja Lena hendak menjawab, seseorang tiba-tiba berkata, "dua."
Lena menoleh. Mike tersenyum lebar di belakangnya.
"Maaf Bu Lena jika saya lancang. Tadi saya mencari tempat untuk makan malam dan melihat ibu masuk kemari. Jadi jika tidak keberatan, bagaimana kalau makan bersama?"
"Oh tidak! Jangan orang ini di hari yang sial ini. Aku sedang tidak berselera meladeninya," batin Lena. Namun ia tetap berusaha menyunggingkan senyum. "Maaf Pak Mike. Saya sedang tidak ingin membahas tentang pekerjaan. Ini waktu istirahat saya," katanya.
"Ah, tidak apa Bu Lena. Hanya ngobrol santai saja. Saya tidak akan menyinggung tentang pekerjaan. Tolong meja untuk dua orang." Mike mengisyaratkan angka dua pada pramusaji yang hanya bisa menatap percakapan mereka sedari tadi.
Lena pasrah. Ia tidak punya tenaga untuk berdebat dengan Mike yang ia rasa tidak peka itu. Padahal Lena ingin bernostalgia di sini.
Dengan gontai diikutinya pramusaji yang mengantar mereka ke meja, sementara Mike mengekor di belakangnya.
Mereka duduk di salah satu meja di sudut yang berdekatan dengan jendela besar yang memperlihatkan jalanan raya yang penuh kendaraan yang merayap. Di dalam sini, deru mesin kendaraan dan klakson tidak terdengar, teredam oleh ruangan yang cukup kedap suara, alunan musik instrument yang menenangkan dan percakapan ringan beberapa pengunjung.
"Fish n Chips?"
Lena mendongak dari buku menu yang baru dibagikan. Mulutnya membuka. "Bagaimana anda tahu..."
Mike hanya tersenyum dan menelengkan kepalanya. "Oka sering membicarakan tentang anda. Salah satunya kejadian saat ia tidak bisa membayar. Saat kami hang out bersama sepulang kerja, dia mengeluh, 'bagaimana bisa cuma ikan dan kentang semahal itu!'" Mike membulatkan suaranya dan menirukan gaya Oka saat ia sedang frustasi.
Tanpa sadar Lena tertawa. "Ahaha... jadi itu ya yang dia pikirkan. Oka tidak berkata apa-apa waktu itu. Biarpun saya lihat dia melotot saat melihat bill-nya."
Pramusaji yang menunggu pesanan mereka tetap tersenyum mendengarnya. Mungkin dalam hati ia membatin, "jangan makan di restaurant mewah kalau tidak bisa membayar!"
Tawa itu meringankan hati Lena yang penat. Ia menoleh pada pramusaji memesan menu yang disebut Mike, sementara Mike memesan caesar salad.
"Itu saja?" Tanya Lena.
Mike menghela nafas. "Dokter mulai menegur tentang pola makanku."
"Ah padahal masih muda..."
"Anda juga masih terlihat muda." Balasan Mike itu mendiamkan Lena.
Lena mengalihkan pandangan pada jalanan semrawut yang terlihat dari jendela di sampingnya. Pandangan matanya mengarah ke sana namun pikirannya di tempat lain. Tiba-tiba ia merasa tidak nyaman dan menoleh kembali pada Mike.
Benar saja, Mike sedang memandangnya lekat-lekat.
"Ada sesuatu di wajah saya?"
"Hari yang buruk eh?" balas Mike dengan pertanyaan.
Lena mengerutkan kening.
"Terlihat jelas di wajah Bu Lena," lanjut Mike lagi.
Buru-buru Lena mengeluarkan kaca bedak dari dalam tasnya. Nafasnya tercekat saat memandangi pantulan diri di cermin kecil tersebut.
Seburuk itukah penampilannya saat ini?
Kulitnya memerah dan kusam. Jejak make up-nya tidak tersisa sama sekali, bahkan bedak sekalipun. Matanya memerah. Terdapat noda jelaga bekas asap hitam kendaraan di bawah salah satu matanya. Rambutnya berantakan seakan memberontak dari sanggul yang tadi pagi terpasang rapi memperlihatkan lehernya yang jenjang. Lena heran dirinya tidak diusir saat masuk ke restaurant.
"Saya permisi sebentar ke belakang." Sedetik kemudian Lena menuju kamar mandi dengan tergesa.
Ia terkejut begitu menatap kaca lebar di depan bilik kamar mandi di area wanita. Kekacauan dirinya semakin terlihat jelas. Sekarang ia paham mengapa Mike mengikutinya ke restaurant. Jika ia melihat kenalannya di pinggir jalan, berjalan kaki dengan penampilan tak terurus, dan mungkin menatap nanar ke arah restaurant, kemungkinan besar ia akan ikut masuk jika kenalan tersebut masuk ke dalam restaurant itu. Mungkin seperti itulah pemandangan yang dilihat Mike tadi.
Lena mencuci wajahnya dengan air dari keran wastafel. Mengeringkannya dengan tisu lalu menggunakan tisu pembersih wajah yang selalu dibawanya kemana-mana karena praktis.
Ia menatap jijik pada bekas tisu pembersih wajah yang sampai berwarna hitam pekat.
Lena memakai make up sederhana dan menata ulang rambutnya. Disemprotkannya sedikit parfum. Penampilannya kali ini lebih segar.
Make up sederhana yang ia pakai menambah nilai lebih pada wajahnya yang memang cantik. Bahkan menjelang usia tiga puluhan, Lena masih seperti gadis berusia pertengahan dua puluh. Tubuhnya masih bagus sekalipun sudah memiliki seorang putri. Kulitnya putih bersih dengan mata yang besar tapi tetap proposional.
Lena selalu menjaga tubuhnya demi Oka. Ia berharap Oka tidak melirik pada wanita lain jika penampilannya sama seperti ketika mereka pacaran. Hal itu tetap menjadi rutinitas sekalipun sepeninggal Oka.
Saat Lena kembali ke mejanya, ia mendapati pesanan mereka telah datang. Mike tampak sibuk dengan smartphone-nya dan belum menyentuh makanannya.
"Maaf Pak, lama ya."
"Eh tidak bu... ti..." Mike menoleh pada Lena dan terdiam. Matanya tampak terpaku.
Lena yang menyadari perubahan Mike menjadi gugup. "Silahkan dimakan pak."
Mike tampak tersadar. "Wah, Bu Lena habis dari salon? Cepat sekali."
Lena tertawa datar. "Salon dari mana pak. Kan tadi saya bilang mau ke belakang."
"Jadi terlihat beda ya. Jadi tambah cantik." Mike berkata tanpa basa-basi.
Lena yang sedang meminum jusnya hampir saja tersedak mendengar kata-kata Mike tersebut.
"Bisa saja Pak Mike–"
" – Mike," potong Mike cepat. "Panggil saja Mike. Kita sedang tidak berada di kantor dan... saya masih muda. Panggilan 'pak' terkesan saya sudah tua dan terlalu formal."
"He?"
"Boleh saya panggil Lena saja?"
Lena hanya terdiam.
"Kata orang kalau diam tandanya setuju. Terima kasih, Lena." Mike menyunggingkan senyum lebarnya yang membuat beberapa gadis muda di dekat mereka melirik ke arah Mike dan tampak membicarakan pria itu.
"Ya ampun orang ini. Seenak jidatnya saja memutuskan," batin Lena yang ingin protes tapi diurungkannya.
***
Pembicaraan mereka cukup ringan. Tadinya Lena khawatir Mike akan mencuri kesempatan membicarakan penawarannya. Tapi Mike memegang kata-katanya. Tidak ada pembicaraan yang menjurus ke arah hal tersebut.
Mereka banyak membicarakan masa lalu. Mike adalah teman dekat Oka, bahkan sempat berbagi kamar kos saat kuliah. Mike banyak bercerita tentang bagaimana kerasnya kehidupan mereka yang sekarang terdengar menginspirasi begitu diceritakan kembali ketika sudah sukses. Mike berlatar belakang ekonomi yang sama seperti Oka, mereka bukan dari kalangan orang berada. Sama-sama harus membanting tulang untuk membiayai kuliah. Juga pernah beberapa kali makan nasi dengan telur dadar yang dibagi dua.
Oka mulai jarang mengunjungi Mike setelah ayah Lena meninggal karena penyakit jantung. Oka yang tadinya memulai di perusahaan Lena sebagai karyawan biasa, harus mengambil alih perusahaan tiba-tiba. Banyak yang harus dilakukan, Oka belajar sana-sini termasuk pada Mike yang saat itu sudah menjabat menjadi kepala bagian suatu perusahaan.
Lena mendengarkan cerita Mike dengan seksama. Baru kali ini ia merasa nyaman bertatap muka lebih lama dengan Mike. Karena topik yang dibahas adalah tentang orang yang sangat spesial: Oka.
Lena pun bercerita saat ia pertama bertemu dengan Oka. Mereka bertemu di kampus saat kuliah. Oka yang merupakan kakak tingkatnya menjadi asisten dosen saat itu untuk satu mata kuliah yang penting. Ia takut sekali jika tidak lulus mata kuliah tersebut karena merupakan prasyarat banyak mata kuliah. Ia memohon pada Oka untuk membantunya.
Tadinya Oka menolak karena Lena menginginkan jalan pintas untuk memberinya nilai bagus, bahkan menawarkan uang.
Oka menghardiknya dengan keras, "Jangan manja! Kalau ingin sesuatu, berusaha!"
Lena tertegun dan menangis. Ayahnya saja tidak pernah membentaknya sekeras itu.
Oka yang salah tingkah namun berusaha tetap menjaga wibawanya sebagai asisten dosen pun terpaksa memberikan alternatif lain. Orang-orang di dekat mereka mulai menoleh dan berbisik-bisik, jika Oka berperilaku tidak pantas hingga menyebabkan seorang gadis menangis.
"Aku nggak bisa langsung kasih nilai gitu aja. Gimana kalau kuajari bagian yang tidak dimengerti?" Oka melembutkan suaranya, berharap Lena berhenti menangis.
Lena mengangguk perlahan dan menyetujui. Itulah awal kedekatan mereka. Tanpa sadar justru Lena yang jatuh hati lebih dulu meski di kemudian hari Oka yang pertama menyatakan cinta. Ia selalu kagum dengan sifat pantang menyerah Oka. Seperti ayahnya yang juga berjuang dari nol. Ia percaya Oka dapat sukses di kemudian hari dengan sifat tersebut.
Oka-lah yang menjembatani antara ia dan Mike. Seseorang yang sama-sama mempunyai arti penting dalam kehidupan mereka, yang juga sudah menorehkan kenangan-kenangan manis di masa lalu.
"Pelakunya sudah ditemukan?"
Lena memijit keningnya. "Polisi kelihatannya sudah menyerah. Aku tidak akan menggantungkan harapan pada mereka." Lena menyeruput minumannya. "Aku tidak begitu menuntut hal tersebut. Tapi aku harap pelakunya tidak akan hidup dalam damai. Jika aku tahu siapa orangnya, mungkin aku sudah menyiksanya."
Mike tertegun. Suara Lena berubah menjadi geraman tertahan. Seperti ada magma yang siap keluar dari dalam dirinya.
"Yah... aku harap... Tapi yang lalu biarlah berlalu. Tidak baik menyimpan dendam seperti itu. Tidak akan membuat Oka kembali dan justru menyakiti diri kita perlahan-lahan," tanggap Mike.
Lena menghela nafas berat, suaranya berubah kembali. "Maaf Mike, tiba-tiba saja amarahku memuncak tadi."
Mike tersenyum. "Tidak apa. Aku mengerti."
Tidak terasa malam semakin beranjak. Pembicaraan mereka terhenti saat Lena menerima telepon dari Anna yang menanyakan kapan ia pulang. Lena sontak melihat jam dan terkejut. Ia tidak menyangka sudah hampir dua jam mereka di situ.
Mike pun memaklumi. Ia meminta bill dan memberikan kartu kreditnya, melarang Lena membayar.
"Nggak usah sungkan Mike kalau memintaku untuk membayar sendiri-sendiri," ucap Lena.
"Ah, justru aku merasa harus membayar sebagai laki-laki."
"Wah Mike tipe pria konservatif ya?"
"Anggap saja berusaha bersikap gentleman. Jangan bilang Lena seorang feminist?"
Lena tertawa renyah. "Tidak terlalu tapi... ya... mungkin sedikit..." Jawaban Lena tidak begitu tegas.
"Yah, yang selanjutnya Lena bisa gantian yang bayar. Tapi aku akan tetap mengajukan diri untuk membayar."
"Eh yang selanjutnya?"
"Kuharap akan ada makan bersama lagi di lain waktu. Terus terang, Lena teman bicara yang asik."
Perasaan tidak nyaman Lena kembali lagi. Ia tidak menanggapi kata-kata tersebut dan berdiri, mengajak Mike untuk pulang.
"Lena kesini naik apa? Tadi saya lihat jalan kaki dari belokan lampu merah."
Lena tampak salah tingkah. "Ah... ya... tadi jalan kaki."
"Dari?"
Lena menyebut salah satu nama bank dan daerahnya, tempat ia memarkirkan mobilnya.
"Serius?" Mike terperangah. "Itu jauh sekali!"
"Haha iya Mike. Tadi banyak pikiran. Tahu-tahu sudah sampai sini. Jalan kesini juga tanpa sadar."
"Wah... Lena wanita yang tangguh juga. Ayo aku antar pulang."
Kali ini Lena mengiyakan ajakan tersebut tanpa basa basi. Ia tidak tenang meninggalkan buah hatinya di rumah sekalipun ada pembantu yang tinggal bersama mereka mengurus segala kebutuhan juga menjaga Anna.
"Antar ke bank tadi saja Mike. Biar besok nggak repot kalau pergi ke kantor."
"Hmm... baiklah."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top