3. I'm Burning Too
Tinggal satu jam menuju tengah malam ketika Theo memutuskan untuk pulang.
Gabriel West berdiri mengamati saat teman yang juga rekan kerjanya berjalan pergi meninggalkan area peternakan. Sesungguhnya Gabe sudah menawarkan untuk mengantar pulang Theo menggunakan mobil, tapi pria itu bersikukuh berjalan pulang sendiri dengan dalih jarak dari peternakan ke rumahnya tidak begitu jauh.
Sesaat setelah sosok Theo menghilang dari pandangan, Gabe segera mengecek ke dalam kandang, memastikan semuanya baik-baik saja sebelum kembali ke pondok untuk tertidur.
Beberapa kuda tampak sudah nyaman beristirahat, sebagian bergerak gelisah di dalam kandangnya---termasuk Bilbo. Kuda termuda di River Creek itu mendengking ketika sang pengurusnya lewat.
"Hei, Buddy," sapa Gabe menghampiri lalu memasukan tangan kanannya ke kandang melalui jeruji kayu yang melintang, mengelus moncong Bilbo. "Sulit tertidur, huh?"
Bilbo mendengus, mungkin senang bahwa usahanya untuk menarik perhatian berhasil. Namun kemudian hewan itu mendengking lagi, terkesan gelisah. Sayang sekali Gabe tak menguasai bahasa kuda, ia tak mengerti apa yang hendak disampaikan Bilbo, yang jelas isyarat tubuhnya menandakan bahwa sesuatu sedang membuat sang kuda cemas.
"Hei, hei, hei, jangan kuatir. Aku akan datang lagi besok pagi, dan mungkin mengajakmu jalan-jalan keluar sebentar. Bagaimana? Atau kau lebih suka jika Livia yang mengajakmu berkeliling? Aku tahu kau suka padanya."
Barisan gigi si kuda nampak, membuat kesan sedang menyengir padanya.
"Dasar kuda genit kau," ejek Gabe lalu tertawa ringan, agak tak sabar untuk memberi Theo kabar bahwa ada banyak pesaing di peternakan ini untuk mendapatkan hati Livia. "Sekarang cobalah untuk tidur, oke? Aku akan kembali ke sini secepatnya."
Bilbo mengeluarkan moncongnya dari sela-sela jeruji kandang dan membenturkannya ke dada Gabe dengan pelan. Secara umum itu adalah cara seekor kuda menunjukkan kasih sayang.
"Aku sayang kau juga, Buddy," balas Gabe lalu dengan lembut mendorong moncong Bilbo kembali ke dalam kandang. Orang-orang akan menganggapnya sinting jika kedapatan berbicara dengan hewan seperti ini, tapi hal itu sudah biasa Gabe lakukan jika tak ada orang lain di sekitar. Para kuda inilah satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarang.
Gabe tak lupa untuk menutup dan mengunci pintu depan gedung ketika hendak pergi, berjalan menuju pondok dengan satu set kunci bergemerincing di satu tangan, dan satu tangan lain menjinjing keranjang berisi sisa minuman kalengan yang belum tersentuh.
Di dalam pondok ia melakukan rutinitas malamnya sebelum bisa berbaring di ranjang: menggantungkan kunci kandang di dinding dekat pintu, mengembalikan minuman kaleng yang tersisa ke lemari pendingin, berganti pakaian, mencuci wajah, mematikan lampu penerangan yang tak diperlukan di beberapa ruangan dan akhirnya membaringkan tubuh di kamar tidurnya.
Sesungguhnya Gabe tak menyukai kehidupannya ini, pulang ke pondok yang bahkan bukan miliknya, memasuki rumah yang hanya ditinggalinya sendirian. Namun, pilihan apa lagi yang ia punya selain bertahan tinggal di peternakan?
Kehidupan tak pernah bersikap jinak padanya. Gabe lahir di keluarga yang mengikuti ajaran Wicca, membuat kebanyakan warga kota Riverside mengucilkan keluarganya---seolah hidup menjadi orang berkulit hitam kurang menantang di negara ini. Namun setidaknya ia tak pernah kesulitan mendapat teman, Theo adalah teman terlama yang dipunyai Gabe sejak masih kecil.
Naasnya pada saat usia Gabe tiga belas tahun, sebuah kebakaran misterius menghanguskan rumah masa kecilnya. Ayah, ibu dan adik perempuannya tewas dalam tragedi tersebut. Satu-satunya alasan Gabe bisa selamat dari kejadian itu bahwa kebetulan di malam kebakaran terjadi, dirinya sedang menginap di rumah Theo.
Sempat berembus rumor bahwa kebakaran itu merupakan kerjaan seseorang warga yang menaruh benci pada keluarganya, tapi Gabe memilih untuk percaya bahwa kebakaran itu dipicu oleh hubungan arus pendek listrik. Lebih mudah menerima kenyataan bahwa seluruh orang yang dicintainya mati dalam insiden alami dibanding dicelakai seseorang.
Meksi begitu, efek dari tragedi tersebut masih harus ditanggungnya terus menerus. Bukan hanya berupa beban mental dan emosional, Gabe juga terpaksa menjadi sebatang kara. Petugas sosial dari pemerintahan lalu menempatkannya ke rumah asuh, dikelola oleh sepasang orangtua asuh bengis yang sejatinya hanya mementingkan uang tunjangan dari negara---tak benar-benar peduli pada anak-anak asuhnya sedikit pun.
Selama lima tahun Gabe harus bertahan di rumah asuh tersebut, menerima perlakuan tak wajar dari orang-orang dewasa yang harusnya menjadi seorang pelindung. Banyak anak-anak asuh yang diperlakukan buruk sepertinya, jadi Gabe tak merasa seperti orang yang paling sengsara di sana.
Maka ketika cukup umur---usianya menyentuh angka delapan belas tahun---Gabe memilih pergi meninggalkan rumah asuh tersebut. Dirinya sempat terluntang-lantung tanpa kejelasan sampai nasib baik akhirnya datang: Mr. Clinton si pemilik peternakan kuda River Creek menerima Gabe sebagai pegawai pengurus peternakan, bahkan mengizinkannya tinggal di pondok.
Sudah dua tahun Gabe tinggal di sini, kepercayaan yang diberikan Mr. Clinton padanya makin besar saja sampai diserahkan tanggung jawab mengelola peternakan seorang diri. Harus Gabe akui, jika dibandingkan dengan kehidupannya di rumah asuh, keadaannya jauh lebih baik di sini.
Gabe berbaring di atas ranjang, membiarkan kilasan masa lalu membanjiri benaknya. Ia mengangkat pergelangan tangan kanannya ke atas mata, di sana terlihat samar tersorot lampu tidur yang temaram, sebuah tato bertuliskan 'i'm burning too'---yang berarti 'aku terbakar juga'.
Tato itu dirajah ke kulit lengannya baru sebulan yang lalu, bertepatan dengan berlalunya tujuh tahun tragedi kebakaran tersebut. Tato ini merupakan bentuk solidaritas, pengingat akan keluarganya yang mati dilalap api. Gabe ingin semua orang yang melihat tatonya tahu bahwa meski dirinya tak ikut mati dalam kebakaran, ia juga turut mengalami perasaan panas, hidupnya kini perlahan terbakar hingga hangus.
Gabe jadi bertanya-tanya apa bakal lebih baik untuknya jika mengakhiri hidupnya sendiri saat ini juga. Setidaknya dengan begitu ia bisa berkumpul bersama keluarganya lagi. Mata Gabe terpejam mencoba untuk terlelap selagi pemikiran gelap itu mengapung dalam kepalanya.
Saat itulah ia rasakan seluruh dunia bergetar.
Sontak mata Gabe terbuka dan ia terduduk dengan cepat. Tidak, ini bukan jenis getaran tubuh yang diakibatkan terlalu banyak mengkonsumsi alkohol. Secara harfiah seluruh benda-benda di kamarnya berguncang, lampu tidurnya berkedip nyala-mati dengan cepat.
"Apa-apaan---" ucap Gabe, kalimatnya terpotong ketika ia mendengar suara dengkingan belasan kuda dari gedung kandang.
Gabe buru-buru turun dari ranjang dan berlari ke pintu depan. Lantai yang dipijak kakinya bergetar hebat, yang Gabe pikirkan bahwa gempa bumi sedang berlangsung dan ia harus menenangkan kuda-kuda yang gelisah tersebut.
Saat pintu berhasil terbuka, Gabe menghambur keluar menerjang malam. Guncangan tanah makin hebat saja. Sesuatu yang ganjil tengah berlangsung di langit tapi Gabe tidak terlalu memperhatikannya.
Sebelum dirinya sampai ke pintu gedung, serangan vertigo mendadak menyerangnya. Lutut Gabe goyah, rasa pusing dan sakit di kepalanya amat tak tertahankan laksana dipukul palu godam.
"Ahhh," Gabe berteriak dengan kedua tangan meremas puncak kepala, pandangannya mulai berkunang-kunang. Gemuruh panik para kuda makin ganas saja tapi ia tak mampu mencapai pintu kandang. Pikirannya bahkan tak lagi jernih, yang ia tahu gempa bumi tak seharusnya berefek seperti ini pada tubuhnya.
Kemudian, tahu-tahu saja Gabe ambruk. Tubuhnya tergeletak tak sadarkan diri di atas tanah berumput.
Sebuah mimpi buruk lantas menyergap otaknya. Ia bermimpi sedang berdiri di depan rumah masa kecilnya yang terbakar, lidah api membara menjilat setiap sisi rumah. Lalu dari jendela lantai atas rumah itu tampaklah ayah, ibu dan juga adik perempuannya, mereka melolong meminta pertolongan selagi kobaran api menghanguskan kulit, melelehkan lemak, mematangkan daging serta mengosongkan tulang di tubuh ketiganya.
Gabe ingin berlari ke rumah itu, bukan untuk menolong mereka, tapi bergabung bersama keluarganya. Gabe ingin ikut terbakar daripada harus menyaksikan kejadian tragis tersebut tanpa daya. Namun tubuh Gabe tertahan di tempat.
Saat mimpi itu berakhir, kesadarannya berangsur pulih. Gabe membuka mata, merasakan seluruh tubuhnya kaku, dan butuh waktu beberapa lama sampai ia bisa mengontrol tubuhnya kembali. Kepalanya berdenyut, tapi tak sesakit sebelumnya. Di sudut mata, ia lihat bahwa matahari sudah mulai terbit.
Hidungnya juga mencium bau hangus dan belerang. Mungkin itu sisa dari mimpi buruknya yang terbawa ke alam sadar.
Otak Gabe berusaha memproses apa yang telah terjadi selagi bangkit dari tanah. Ia masih berada di luar, di tanah lapang antara pondok dan gedung kandang. Dirinya telah tak sadarkan diri semalaman.
Lalu mata Gabe memandang ke sekeliling, berharap melihat pemandangan sekitar peternakan yang biasa. Yang ada di hadapan matanya justru pemandangan horor murni, Gabe terpanjat menyaksikan dunia di sekelilingnya terlihat amat berbeda.
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top