21. Theo, Theo And Theo
Gabriel West tetap berani bertaruh bahwa segala yang sedang dialaminya hanyalah mimpi, dan tubuh aslinya masih tergeletak tak sadarkan diri di permukaan tanah berumput milik peternakan. Hanya itulah satu-satunya alasan logis kenapa semua ini masuk akal terjadi; karena segala yang berlangsung terjadi di balik kelopak matanya yang terpejam.
Mimpi aneh dan liar, jauh di luar batas imajinasinya sendiri.
Gabe mengira ia telah menyaksikan semua hal aneh yang bisa ditawarkan oleh alam, tapi dirinya tentu keliru. Kini ia sedang duduk berdampingan dengan Livia, sementara di hadapannya ketiga versi Theo duduk berjajar di bangku yang sama. Sebuah meja kayu berpelitur ada di antara mereka.
Theo temannya itu tampak bimbang dan salah tempat, berusaha meneguhkan diri di hadapan dua variannya. Theo 'Dora' si gadis berambut merah malah kebalikannya, menunjukkan rasa antusiasme yang sopan, seolah yang terjadi sekarang merupakan petualangan kecil semata. Sementara Theo 'Robertson' si ilmuwan tua kelihatan tenang, tiap ucapan yang dilontarkan penuh perhitungan nan terukur---menonjolkan fakta kematangan usia di antara mereka.
Setidaknya Gabe senang ada Livia di sini. Sama-sama menjadi penonton ketika pertunjukan paling aneh di semesta ini digelar.
Dalam memulai obrolan, Gabe dan Livia membantu Theo menceritakan sejak awal apa yang terjadi pada kota Riverside mereka. Dimulai dari kejadian janggal tadi pagi, rentetan keresahan yang merebak di kota, serta perjalanan mereka menempuh alam sehingga sampai di area pertambangan ini. Kurang lebih, sepuluh menit berlalu setelah semua kejadian yang mereka alami diceritakan.
Lalu pembahasan beralih ke Dora si gadis berambut merah. Gabe harus menahan diri agar tak menatap gadis itu terlalu intens, sebab harus diakui menurut penilaiannya, Theo versi seorang perempuan ternyata kelihatan amat atraktif di matanya.
Sahabatnya takkan mengapresiasi pendapat semacam itu jika diungkapkan secara terang-terangan.
Theo mencondongkan tubuh ke arah Dora, lalu bertanya dengan penuh selidik, "Sudah berapa lama kau terdampar di semesta ini?"
"Satu bulan," aku Dora lugas. "Kisahku kurang lebih mirip dengan kalian, hanya saja lebih buruk. Pada suatu pagi hari aku terbangun di rumahku, melihat orang-orang di seantero kota panik akan keadaan alam yang ganjil. Dalam kurun waktu satu hari banyak warga yang mati berjatuhan, mereka yang bertahan hidup memilih pergi meninggalkan kota."
Bulu mata Dora yang lentik bergeletar, sorotnya menerawang. "Lalu aku memutuskan pergi berkelana sampai kemari berniat untuk mencari bantuan, dan bertemu Robertson. Saat kembali ke kota, kota Riverside milikku sudah hilang, kembali ke semesta asalnya---mungkin. Sejak saat itu terjebak di sini, tak bisa kembali."
"Semalam sebelum semua hal janggal terjadi, apa kotamu mengalami fenomena gempa?" tanya Livia kemudian. Pertanyaan itu membuat dahi Gabe berkerut, tak mengerti apa gunanya hal tersebut dipertanyakan.
"Sebenarnya, ya," Dora menjawab keheranan. "Bagaimana kau bisa tahu? Aku sebenarnya tak merasakan guncangan saat gempa terjadi---aku sudah tertidur, tapi kedua orangtuaku membicarakannya saat aku bangun."
Gabe menyengir melihat Theo memasang raut wajah dongkol. Ia bisa menebak apa isi benak sahabatnya itu sekarang, pasti pemikiran semacam, 'Hebat, satu lagi Theo dengan kondisi keluarga dan orangtua yang utuh.'. Kemudian Gabe mempertimbangkan jawaban Dora sungguh-sungguh, ia dengan cepat mengerti.
"Tunggu," ungkap Gabe takjub, memandang pada Livia. "Apa ini tepat seperti yang sedang aku pikirkan? Kau mengira bahwa guncangan bumi yang kita alami tadi malam bukan gempa biasa?"
"Tepat seperti itulah maksudku." Livia memasang raut wajah serius. "Aku memikirkan segala kemungkinan, melihat apa yang kita dan Dora alami tampak banyak kesamaan, mungkin kejadian janggal semalam juga bukan fenomena alam biasa. Gempa itu bisa aja bukan disebabkan oleh pergerakan lempengan bumi, tapi sebuah proses ketika kota Riverside kita berpindah semesta."
Semua orang tercenung memikirkan kemungkinan itu.
"Brilian," puji Robertson sesaat kemudian, sorot mata memuja ditujukan pada Livia. "Kau menangkap informasi itu dengan cepat. Aku tak pernah memikirkan itu sebelumnya, tapi memang masuk akal."
"Apa ini berarti pengelihatanku semalam juga ternyata asli?" gumam Gabe pelan, lebih ke bertanya pada diri sendiri. Namun ucapannya jelas terdengar oleh keempat orang di sekitarnya.
"Pengelihatan apa yang kau maksud?" Robertson bertanya.
Sambil melirik Theo dan Livia bergantian, Gabe menjelaskan, "Semalam sesaat sebelum pingsan, aku melihat hal janggal di atasku: pemandangan langit yang selalu berubah-ubah."
Theo menyengir. "Kawan, kurasa kita sudah sepakat bahwa hal itu lebih dikarenakan kau terlalu banyak minum sebelumnya."
Robertson menggeleng. "Tidak, tidak, tidak. Kita tak boleh mengabaikan hal tersebut. Bisa saja hal yang dilihatnya adalah nyata. Mengingat kau orang yang berada paling dekat dengan perbatasan kota, efek perpindahan semesta akan berefek kuat padamu. Dan fenomena langit berubah-ubah, itu bisa saja adalah penampakan langit di belasan jenis semesta berbeda. Secara harfiah, tadi malam kau telah mengalami efek dari seseorang yang sedang menempuh jalur lintas mutiverse sampai akhirnya tiba di duniaku ini."
Bulu halus di tengkuk Gabe kontan berdiri, dan rasa respeknya pada si ilmuwan tua bertambah sedikit karenanya.
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top