19. Another Story from Another Person

Suasana berlangsung hening di antara mereka setelah Robertson mengungkapkan fakta mengejutkan tersebut. Entah disengaja atau tidak, pria tua itu memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan informasi mengejutkan dengan lagak terlalu tenang.

Gabe pun terdiam sejuta bahasa, sibuk dalam perenungan batinnya sendiri. Meski tanpa kata, Theo sudah bisa menebak apa yang sedang temannya pikirkan. Keinginan tergelap Gabe adalah---jika bisa---dirinya ingin ikut mati terbakar bersama keluarganya. Mengetahui bahwa versinya dari semesta lain mengalami keberuntungan tersebut ... aman untuk berasumsi bahwa Gabe akan sibuk dengan benaknya sendiri selama beberapa waktu.

Theo mencoba mengalihkan perhatian pada hal lain. Lorong tampak bercabang di beberapa titik, tapi Robertson memandu semua orang terus berjalan lurus. Theo sempat bertanya ke arah mana lorong-lorong lain menuju, Robertson menjawabnya dengan diplomatis: bahwa jalur tersebut menuju tempat penelitian yang tak semua orang diperkenankan masuk.

Penelitian macam apa itu? Theo sebenernya ingin tahu, tapi raut wajah Robertson yang seolah berkata 'jangan tanya lebih jauh lagi' membuat Theo memendam pertanyaan tersebut untuk dirinya sendiri.

Lorong dengan jalur yang lurus mengantarkan mereka pada ujungnya: sebuah tepian berbatu dengan terali besi berukuran empat kali empat meter di tengahnya, mirip jeruji penjara. Butuh wakru sekian detik untuk Theo menyadari bahwa itu merupakan sebuah lift.

Livia menyadarinya di saat yang sama. "Ini sebuah elevator?"

Robertson menyengir padanya. "Benar. Desain standar untuk lift di pertambangan. Mungkin tidak terlalu memanjakan mata dalam hal tampilan, tapi secara kegunaan ini amat efektif. Lift ini mampu menanggung beban berat sampai setengah ton, biasa digunakan untuk mengangkut barang berat atau hasil tambang naik-turun." Pria itu lalu menggeser terali besi lift sampai terbuka dengan mudah dan mengajak semua orang masuk.

Gabe dan Theo melangkah ke dalam tanpa pikir panjang, sementara Livia melakukannya dengan amat hati-hati. Robertson menutup kembali terali besi, menekan tombol bertanda anak panah ke bawah yang terletak di sisi jeruji. Dari dalam desain elevator ini menyerupai sangkar kandang, hanya saja berukuran ekstra besar dan berbahan logam.

Sumber penerangan berasal dari lampu halogen yang menempel di langit-langit, sama seperti di sepanjang lorong utama tadi. Terdengar suara mesin bekerja, tuas-tuas bergerak dan bunyi melengking panjang seperti peluit. Elevator berguncang pelan dan mulai bergerak turun.

"Sejauh apa kita akan turun?" tanya Theo sembari memerhatikan lorong yang hilang dan pemandangan di depan matanya berganti menjadi dinding batu semata.

"Lima belas meter, kurang lebih," jawab Robertson menimbang-nimbang. Ia menangkap sorot terkejut Theo dan lanjut berucap, "Ya, sedalam itu, dan itu bahkan bukan dasarnya. Area pertambangan ini sudah digali jauh lebih dalam lagi saat pemerintah mengalih fungsikannya menjadi lab. Tak ada di antara kalian yang memiliki klaustrofobia, man?"

Kesemua orang menggeleng. Theo pernah mendengar sebuah rumor, lebih menyerupai mitos di kotanya mengenai area pertambangan yang sudah digali terlalu dalam ke bawah sampai nyaris menerobos neraka, dan jika digali lebih jauh lagi, akan tercipta jalur rahasia bagi para mahluk penghuni neraka untuk bisa kabur ke dunia atas. Semoga hal itu tidak terjadi di sini.

Elevator bergerak dalam kecepatan lambat dan tak ada seorang pun yang berniat mengusik keheningan, sampai Livia akhirnya berkata, "Robertson? Boleh aku bertanya sesuatu?"

"Tentu saja."

"Jadi, kau adalah Theodore dari semesta ini, dan Gabe dari dunia ini sudah tiada sejak lama, lalu apa yang terjadi pada Livia Andorra di sini?"

Theo memerhatikan dengan tak nyaman saat kedua orang itu saling menatap dengan intens. Entah hanya penilaiannya saja, tapi sejak awal mereka bertemu tatapan yang dilayangkan Robertson pada gadis itu terlalu sarat makna, dan itu menyeramkan. Theodore Robertson si ilmuwan mungkin saja masih bertubuh bugar dengan penampilan yang menarik, tapi tetap saja pria itu sudah tua.

"Kurasa Livia Andorra di duniaku ini punya masalah hidup yang sama denganmu," ujar Robertson, nada suaranya mendadak menggebu. "Secara fisik bahkan kalian amat sama. Dia berasal dari kota Betlehem, pergi jauh-jauh ke Riverside untuk memulai hidup barunya. Bekerja di toko obat di alun-alun di mana dia bertemu denganku. Kami dekat dan. .. butuh waktu bertahun-tahun untuk berhasil meyakinkannya, kami menikah. Livia Andorra adalah istriku."

Pipi Theo mulai terasa panas. Di semesta ini Theo dan Livia ditakdirkan berjodoh. Cemburu atau senang pada informasi itu, dirinya tak yakin perasaan mana yang lebih kuat.

"Wow," komentar Livia sopan, tapi kelihatan sekali menahan diri agar tak salah tingkah. "Lalu di mana dia sekarang?"

Air muka Robertson perlahan berubah mendung. "Dia meninggal di usia pernikahan kami yang ke lima belas tahun. Penyakit limfoma."

Livia mengucapkan keprihatinan, dan situasi di dalam elevator tersebut tak bisa jadi lebih canggung lagi.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top