14. In the Middle of Nothingness
Lima belas menit berlalu melewati hamparan tanah hitam, dan tak ada satu pun jenis kehidupan yang ditemui. Hanya ada hamparan tanah tandus berbatu, ladang rerumputan yang sebagian besar hangus dan potongan tubuh lain yang tertinggal tak dievakuasi.
Kawasan hutan di arah barat laut tampak menggoda untuk didatangi, puncak dari pohon-pohon itu melambai-lambai seolah mengajak mereka menepi, tapi semua orang sepakat untuk tak buang-buang waktu pergi ke sana. Permukiman penduduk kota Antico terdekat ada di arah utara, dan ke arah sanalah tujuan mereka pergi.
Di atas, langit sore hari masih berselimutkan aura kelabu yang janggal, partikel debu beriak seakan melarang matahari menghunjamkan sinar kuningnya ke permukaan bumi, alhasil suasana masih saja mendung nan dingin, memperkuat kesan bahwa ketiganya sedang berada di dunia yang asing.
Pada satu waktu, sambil mengamati kerusakan alam yang telah dilaluinya, Gabe berkata, "Entah ini hanya perasaan aku saja atau bukan, tapi aku merasa kita sedang berada di tengah medan perang, atau lokasi bekas pengeboman."
"Itu masuk akal," seru Livia, tubuh berbalut jaketnya berguncang mengikuti gerakan kuda tunggangannya. "Permukaan tanah yang hitam dan hangus, potongan tubuh yang tercerai berai, langit yang seperti beracun, kesemua ini hanya bisa diakibatkan oleh ledakan bom."
Theo buka suara, berkata, "Aku sepakat. Tapi kita juga harus mempertimbangkan satu hal: tidak terdengar satu pun ledakan bom tadi malam. Iya, kan? Kau yang semalam posisinya paling dekat dengan perbatasan kota, Gabe."
"Aku memang tidak mendengar apa-apa," Gabe membenarkan. "Mungkin saja ledakan bom itu terjadi saat aku pingsan? Aku takkan menyadari apa-apa saat tak sadarkan diri."
"Itu juga tak mungkin." Theo melemparkan argumentasi, berusaha menjadi pihak yang mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama. "Melihat efek ledakannya yang luas, suara bom itu harusnya terdengar sampai ke sepenjuru kota. Hell, bahkan jika daya ledaknya sehebat ini, kau yang terbaring di tanah semalam bakal terkena dampaknya. Kau takkan bertahan hidup berada sedekat itu dengan bom yang meletus."
Dalam hati Theo juga menambahkan bahwa jika ledakan bom terjadi tadi malam, dari mana kiriman bom tersebut berasal? Negaranya kini sedang memasuki masa damai, tak berperang dengan negara mana pun---setidaknya tidak berperang dalam bentuk saling mengebom dan mengarahkan senjata ke pihak masing-masing.
Argumen Theo membuat Gabe dan Livia bungkam, sebab tak mungkin menyangkal logika berpikir sederhana seperti itu. Semua orang diam---sunyi, hanya terdengar suara embusan angin, keretak tanah dan batu kala diinjak kaki-kaki kuda, serta ringkihan dan dengkingan pelan para hewan.
Sejauh ini tingkah Bilbo, Greg dan Dakota masih tenang. Mereka patuh berderap mengikuti arah tarikan tali kekang, ketiga kuda itu hanya menunjukkan kegelisahan saat menemukan beberapa potongan tubuh; mudah ditenangkan kembali setelah berada cukup jauh.
Theo dan yang lainnya juga harus memasang mata baik-baik pada permukaan tanah, sebab ditemukan beberapa ceruk dalam yang hanya terlihat jelas ketika berjarak cukup dekat. Liang-liang itu bagai jebakan yang tersebar menanti siapa saja lengah.
Saat permukaan lurus membentang di hadapan mata, semua orang tak ragu meningkatkan kecepatan. Angin menampar kulit wajah, dan udara makin lama terasa makin pekat. Seharusnya mereka mengenakan masker atau membawa alat untuk menyaring udara, sayangnya sudah terlambat untuk itu. Jarak sepanjang belasan kilometer sudah ditempuh sejak meninggalkan peternakan.
Seharusnya Theo dan Gabe mendengarkan ucapan Livia tadi soal memastikan tak ada perbekalan penting yang lupa atau tak kepikiran untuk dibawa.
Selang sepuluh menit kemudian, permukaan tanah tandus membentang, dipenuhi oleh berbatuan dengan beragam jenis ukuran, semua orang otomatis menurunkan kecepatan kuda tunggangannya. Di area sini permukaan legam sudah tak ditemukan langi, hanya murni bentangan alam tanah gundul membosankan.
"Kita sudah sejauh ini, yakin tidak salah arah, kan?" tanya Livia menerka-nerka. Gadis itu sempat kesal di awal perjalanan tadi saat tersadar bahwa keberadaan sebuah peta dibutuhkan, tapi nyatanya tak dibawa. Gabe mencoba menenangkan dengan cara berdalih bahwa peta tidak begitu diperlukan sebab dirinya sudah membawa kompas.
Kini Gabe mengeluarkan kompas tersebut dari saku celananya dan melihat. "Yep. Seratus persen yakin tidak salah arah. Sejak tadi kita selalu mengarah ke utara, dan kawasan penuh berbatuan ini menandakan kalau kita sebentar lagi akan sampai di area bekas pertambangan."
Langkah kaki para kuda makin pelan, sebab memang berbahaya jika bergerak terlalu cepat di area penuh batu ini. Kebanyakan batu memiliki ujung yang kasar dan tajam.
Livia menarik tali kekang Bilbo, mengisyaratkan agar kuda itu bergerak mendekat ke arah kedua rekannya. "Omong-omong, bagaimana caranya kalian tahu jalur menuju kota Antico ini? Apa sebelumnya kalian sudah mencoba rute ini dan berhasil sampai?"
"Tidak pernah sama sekali," jawab Theo kalem.
Kepala Gabe menggeleng. "U-uh. Ini sama-sama menjadi pengalaman kali pertama kita menempuh jalur ini."
"Apa!" teriak Livia kaget---yang mau tak mau terkesan lucu.
"Tenang, Liv, kami tahu apa yang tengah kami lakukan," kata Theo diiringi senyum kecil. Seandainya Livia penduduk asli kota Riverside, ia dan Gabe tak perlu menjelaskan panjang lebar. "Aku sudah pernah melihat peta kawasan ini ribuan kali, termasuk membaca tentang pertambahan lama yang sudah ditinggalkan. Arah yang kita tempuh sudah benar, sebentar lagi kita akan tiba di pertambangan itu."
Dan benar saja, hanya lima menit kemudian ucapannya terbukti benar. Namun yang tidak diduganya adalah kehadiran seseorang di kawasan tersebut.
Seorang pria berdiri membelakangi, menghadap sesuatu. Jarak antara Theo dan kawan-kawan dengan sosok pria itu sepanjang setengah kilometer jauhnya.
°°°
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top