Dian

Gue buru-buru izin keluar kantor ketika waktu mendekati pukul setengah dua belas. Gue sudah janjian bakal ketemu dengan Dian di salah satu tempat ngopi di lantai dasar gedung perkantoran gue. Semalam gue hubungi banyak orang dan telepon banyak nama, hanya untuk mendapatkan kontak Dian, karena nomornya yang tergabung di grup nggak aktif. Katanya, ponselnya dibanting anaknya hingga pecah, jadi untuk sementara dia pakai ponsel lain yang bukan Android sambil menunggu ponsel canggihnya selesai diperbaiki. Gue minta izin untuk mewawancarainya tentang kesan-kesan terhadap Moria. Setelah dia setuju untuk ketemuan, gue nggak akan sia-siakan kesempatan ini.

Gue tekan-tekan tombol elevator dengan cemas karena benda tersebut berhenti cukup lama di lantai tujuh belas. Gue beralih ke elevator sebelah, tetapi arahnya naik dan jika gue menumpang di sana, mau nggak mau gue harus ikut sampai lantai tiga puluh dulu sebelum turun ke lantai dasar. Elevator lain sedang dalam perbaikan karena lampunya mati, dan elevator terakhir ditahan di basement—biasanya hal ini terjadi jika bos besar dari perusahaan elektronik di lantai dua puluh sedang datang berkunjung dan mereka booking satu lift khusus untuk beliau.

Gue refleks memaki, tetapi seketika teringat ekspresi berjengit Moria saat pertama kali mendengar gue berkata kasar, jadi gue urungkan di tengah-tengah satu kata utuh. Janc ... k.

Gue melipat lengan kemeja lalu memutuskan untuk menempuh sepuluh lantai ke bawah dengan tangga darurat. Beberapa orang pekerja yang mencuri-curi waktu merokok terlihat kaget saat gue melintas di dekat mereka, tetapi gue sedang tidak ingin peduli dengan mereka, tidak meski gue kepala HRD kantor. Gue hanya ingin ketemu Dian, dan mendengar cerita tentang Moria dari sudut pandang orang lain.

Sampai di lantai dasar, gue engap banget. Sudah berbulan-bulan gue nggak pernah ke gym lagi sejak dekat dengan Moria. Gue lebih memilih mampir ke rumah kecil Moria yang nyaman sambil minum teh buatan dia, dan jika beruntung, berkesempatan mengusap kucing Moria sepulang kerja, ketimbang menghabiskan waktu di gym sampai tengah malam.

Sial! Gue kangen banget sama Moria. Sumpah. Ke mana gue harus pergi kalau gue kangen sama Moria kayak gini?

Dian sudah duduk dan memesan minuman ketika gue datang dalam kondisi ngos-ngosan. Dengan berbaik hati, dia memberikan es kopinya untuk gue, tapi gue tolak karena gue udah nggak pernah minum kopi lagi sejak kenal Moria.

Kandungan kafein di kopi memicu hormon stres, kata Moria lalu terkekeh kecil. Mungkin kelembutan suaranya memberikan efek plasebo di kepala gue sehingga gue jadi berpikir jika hidup gue jauh lebih jarang stres sejak gue dekat dengan Moria. Meski begitu, gue lebih suka berpikir teori yang Moria katakan memang benar adanya, sehingga gue bisa lebih cepat move on dari dia. Tetapi, Moria bukanlah seseorang yang bisa dengan mudah kita lupakan.

Lihat sendiri 'kan, betapa banyaknya perubahan yang Moria bawa di kehidupan gue dalam waktu sesingkat itu?

"Sabar, Hil," Dian terkekeh melihat keringat yang bercucuran dari kening gue. "Nih, lap dulu keringetnya. Lu habis ikut lomba maraton apa gimana sih? Hadiahnya apa?"

"Tangga darurat," gumam gue. Melihat wajah kebingungan Dian gue menambahkan, "Soalnya lift-nya penuh semua."

Dian terbelalak mendengarnya.

"Gue nggak akan ke mana-mana, kok, santai aja. Tunggu aja dulu lift-nya sampai datang. Anak sulung gue pulang sekolahnya jam dua entar, jadi masih lama."

Air mineral pesanan gue datang, lekas-lekas gue teguk hingga nyaris habis. Sepertinya malam ini gue bakal kembali ke gym, kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama sebelum datang Moria.

"Nggak apa-apa kok, gue emang pengin lebih banyak ngobrol sama lo, Di."

"Ini masih mau bahas soal ..." Dian menelan ludah, mungkin berat baginya untuk menyebut nama Moria di hadapan gue, laki-laki yang dia tinggalkan begitu saja tanpa pamit. "Bukannya gue udah cerita banyak lewat telepon kemarin malam?"

"Iya, tapi masih kurang."

"Kurang apa lagi?" Dian meninggikan suaranya satu intonasi, tetapi kemudian dia tersadar jika kami berada di ruang publik, dan dia menambahkan dengan sedikit berbisik. "Sori, harusnya gue nggak ngegas."

"Gue ngerti, kok," gue mengangguk. Gue sadar semua orang yang mengenal Moria saat ini pasti masih shock dan terluka. Gue paham banget gimana rasanya, karena gue pun seperti itu. "Boleh ceritain lagi gimana lo dulu bisa ketemu Moria?"

"Gue pertama kali ketemu Moria awal Agustus tahun 2019. Inget banget gue waktu itu, soalnya anak gue yang bayi habis imunisasi, jadi badannya agak demam dan rewel ..."

"Sori, motong bentar Di," gue keluarkan ponsel dan nyalakan fitur perekam suara. "Nggak apa-apa, kan, kalau suara elo gue rekam? Ini cuma diperlukan untuk bikin transkrip, kok. Rekaman suara elo bakal tetap privasi."

Dian mengangguk, kemudian melanjutkan ceritanya. "Terus tiba-tiba ada perempuan di sebelah gue yang nawarin untuk bantu jagain anak, karena sulung gue kabur ke lorong permen dan jeli, biasa lah, anak SD pasti demenannya yang kayak gitu.

"Waktu gue nengok, dia sempat diam sebentar. Terus dia bilang, 'Saya ingat pernah punya teman sekelas di SMP 1 angkatan 2002 yang wajahnya mirip kamu.' Terus gue jawab, 'Iya, gue anak SMP 1 angkatan 2002. Kelas berapa, lu?' Dia diam lagi. Mungkin dia merasa canggung kalau cuma dia yang ngenalin gue sebagai teman sekelasnya, tapi gue enggak. Tapi seriusan deh Hil, lo sendiri juga bakal pangling kalau lihat Moria waktu itu. Dia pakai kemeja longgar, blazer panjang ala-ala artis pemeran drama Korea, kulitnya terlihat bagus meski tanpa make-up tebal, dan udah nggak pakai kacamata lagi."

Gue manggut-manggut tanda setuju. Moria memang berubah drastis dibanding Moria yang kami kenal di SMP dulu. Dia seperti seseorang yang baru keluar dari layar drama, dan gue bahkan nggak heran waktu tahu dia beneran bisa bahasa Korea dengan lancar waktu gue nemenin dia maraton drama Korea di rumahnya. Katanya, dia ikut kursus daring belajar bahasa Korea, tapi gue nggak percaya. Di meja kerjanya, dia punya banyak banget buku. Gue yakin dia bukan sekadar belajar demi gaya-gayaan doang, tapi emang serius pengin mendalami sesuatu.

"Ragu-ragu, dia memperkenalkan diri, 'Nama saya Moria. Moria Purnama. Saya ingat kamu teman sekelas saya, tapi mohon maaf saya tidak ingat namamu.' Ini yang gue omongin persis banget niruin kata-kata dia waktu itu. Iya, dia emang ngomongnya sopan banget, Hil, gue jadi sungkan banget sama dia kalau gue nggak jawab dengan lebih sopan. Gue juga nggak enak mau bilang, 'Ooh, Moria cupu yang kacamataan itu ya?' Akhirnya gue cuma bilang, 'Moria yang anak kelas unggulan?' karena cuma itu hal baik yang gue inget dari dia. Dia kelihatan seneng gitu pas akhirnya gue inget. Terus dia nawarin lagi buat bawa si bayi, dan gue langsung kasih aja karena anak gue udah ngisi troli dengan permen-permen nggak keruan."

Dian menghela napas panjang seraya meneguk minumannya. Dian memang selalu berapi-api saat sedang mengobrol, dan hal itulah yang mungkin bisa membuatnya menarik Moria kembali ke dalam lingkaran pertemanan SMP.

"Waktu itu gue sama sekali nggak kepikiran buruk kalau anak gue bakal diculik atau gimana. Moria bahkan rela ninggalin trolinya di lorong demi ngikutin gue sampai selesai belanja. Tahu nggak dia beli apa?"

"Anggur Shine Muscat?"

Dian tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku. Dilihat dari ekspresinya yang terlihat senang, sepertinya tebakanku benar. "Bener-bener, lu emang asli pacarnya Moria, ya. Tadinya gue kira lu cuma ngaku-ngaku doang."

Gue melemparkan tisu yang sudah gue remas-remas ke arah Dian dengan geram. Gue nggak akan sembarangan nge-klaim anak orang, kalau hubungan kami nggak berjalan dua arah.

"Iya, dia beli anggur impor, stroberi impor yang rasanya manis, jeruk mandarin, buah kiwi, pokoknya semua yang mahal dia beli. Tadinya gue mikir, itu supermarket jual buah mahal gitu bisa laku apa enggak, ternyata gue baru sadar kalau target pasarnya bukan gue, emak-emak rumah tangga yang anaknya dua masih bocil-bocil."

Gue mengibaskan tangan untuk menepis ucapan tersebut. "Enggak lah, nggak boleh ngomong gitu. Lu juga mampu beli kok, kalau misal lu mau. Tabungan lu selama sebelum nikah aja lu pake buat DP rumah yang sekarang, kan? Cicilannya baru suami lu yang bayar. Lu emang nggak mau beli aja, bukan nggak mampu."

Bagi gue, pasangan muda yang sudah memiliki rumah di era sekarang adalah orang-orang sukses. Gue sendiri nggak punya rumah, meski tinggal di apartemen sewaan. Menurut gue, pemikiran untuk punya rumah tapak hanya bisa dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah. Namun, Moria punya rumah kecil, seukuran apartemen gue, tapi halamannya luas. Gue ingin tinggal di rumah Moria kalau diizinkan, karena rumah itu kini kosong tak berpenghuni.

"Selesai gue belanja, gue nungguin dia bayar belanjaan gue, dan dia nawarin anak gue buat barter. Permen marshmallow dia dituker sama anggur yang sekotaknya enam ratus ribuan. Katanya, itu lebih enak dari permen. Dan bener aja, anak gue jadi ketagihan Shine Muscat setiap kali kami ke supermarket. Dia udah nggak ambil snack atau permen, tapi anggur yang dia suka harganya lebih mahal. Tekor, gue."

Gue tergelak mendengar ucapan Dian. Gue paham banget sebanyak apa nominal yang harus dibayarkan, setiap kali gue menemani Moria belanja ke supermarket. Setiap kalinya, gua nggak pernah berhasil membayari belanjaan tersebut, karena Moria selalu menolak. Di saat cewek-cewek lain yang pernah gue pacari nggak pernah menawari split bill tiap kali kami makan bareng di luar, dan tak pernah menolak waktu gue tawari untuk membelikan sesuatu, gue hampir nggak pernah keluar banyak uang tiap kali gue jalan dengan Moria. Bukan berarti dia cewek beduit. Gue hampir yakin jika saldo di rekening Moria tidak sebanyak gue, kalau menilik dari pekerjaan kami dan kemungkinan gaji masing-masing, tetapi harga diri Moria terlalu tinggi untuk bisa ditembus.

"Hil, gue baru sadar sekarang, Moria emang nggak ada tampang buat jadi orang jahat. Bahkan mungkin sejak SMP dia udah sebaik itu jadi orang, dan sekarang gue nyesel banget tahu, Hil." Suara Dian bergetar saat mengatakannya. Jemarinya meremas serbet dengan cemas. "Kita berdua baru ketemu hari itu, tapi dia memperlakukan gue kayak bestie yang udah lama kenal. Gue juga baru sadar kenapa Moria waktu SMP nggak pernah kelihatan ada temen akrab seorang pun, kecuali Asti yang rumahnya searah sama dia dan sering berangkat sama pulang sekolah bareng."

Sambil terbata-bata Dian menambahkan, "Gue nggak tahu kenapa dulu anak-anak lain pada mengucilkan Moria."

Gue juga nggak paham soal ini. Yang gue inget dari masa SMP adalah pertemanan anak-anak cewek yang rumit karena mereka hanya mau bergerombol dengan golongannya sendiri dan menunjukkan identitas melalui ransel kembar, sepatu kembar, atau bahkan jepit rambut kembar. Persis anak yayasan entah dari mana.

"Lo kan yang anak cewek hits zaman kita sekolah dulu. Lo pernah dengar nggak, dulu apa ada anak-anak lain yang nge-bully atau nyebar gosip yang aneh-aneh tentang Moria?" Gue menghabiskan botol air mineral kedua gue sebelum memutuskan untuk memesan teh hijau dingin. "Mungkin dia ada trauma di masa kecil atau gimana?"

Dian menggeleng, "Nggak, sama sekali nggak ada. Sumpah, lo tahu sendiri kan gue ratu gosip. Gue pasti orang pertama yang denger kalau ada apa-apa, tapi Moria ini bener-bener keluar dari radar gue. Sampai sekarang gue masih nggak ngerti, kalau dipikir-pikir lagi."

"Waktu gue ketemu nyokapnya Moria juga kelihatannya dia baik-baik aja, harmonis banget sama nyokapnya, meski beliau agak cerewet sih, ya biasalah emak-emak."

Dian mengerutkan kening mendengar pernyataanku. "Lo udah sampai ketemu emaknya segala? Wah, gila!" Dian melemparkan serbet dalam genggamannya tepat mengenai muka gue. "Lo sesuka itu sama Moria, ya? Terus, kalau sekarang dia pergi, lo gimana sekarang?"

Gue mengangkat bahu, "Cerita gue panjang. Hari ini narasumbernya elo, bukan gue. Lanjutin dulu ceritanya habis Moria bantuin elo jaga anak."

"Waktu gue selesai urusan sama si anak sulung, bayi gue udah anteng banget digendong Moria. Belanjaan gue juga dijagain. Kita sempat ngobrol biasa sambil ngopi-ngopi di Moonbucks. Gue nanya-nanya kabar, kerja apa sekarang, udah nikah apa belum kayak gitu-gitu lah, biasa kan gue orannya kepoan. Terus gue tukar nomor hape juga buat kontak, soalnya gue nawarin Moria buat gabung grup WhatsUp alumni. Tiba-tiba gue keinget reuni sekolah tiap bulan Oktober, pas hari ulang tahun sekolah. Gue ajak Moria sekalian buat ikut, biar dia bisa ketemu temen lain juga, tapi ternyata dia nolak. Dia kayaknya nggak mau ngasih alasan kenapa dia nggak mau dateng, apalagi gue ledekin kalau temen SMP kita banyak juga kok yang masih single, yang duda juga ada, siapa tahu ketemu jodoh. Denger gue ngomong gitu, Moria langsung buru-buru pamit dong, anj*r."

Gue tepok dahi gue keras-keras. Ini emak-emak satu emang nggak peka. Tetapi gue jadi paham mengapa Moria masih melajang hingga usia tiga puluh. Mungkin dia tidak siap berkomitmen. Atau dia memang tidak nyaman membahas tentang pernikahan dan jodoh, walau gue masih belum tahu kenapa.

Atau, bisa jadi Moria mungkin ada trauma di sana, jadi dia semacam ke-trigger sama omongan tentang jodoh.

"Lo harusnya sadar lebih awal dong, kalau dia nggak nyaman ngebahas soal itu." Gue gertakkan rahang dengan gemas. Biasanya perempuan lebih peka ketimbang laki-laki jika menyangkut tentang pembicaraan yang tidak disukai, tetapi makhluk bodor satu ini sepertinya sudah kehilangan urat peka sejak jadi ibu-ibu dua anak.

"Dasar laki-laki hipokrit, lo. Jangan dikira gue nggak tahu soal Rehan sama si cowok dari Korea yang namanya susah itu—"

"Noel. Nama baptisnya Noel."

"Ya, Noel. Sebelum ada elo, gue lebih dulu tahu soal mereka berdua dari Moria langsung, jadi waktu itu gue pikir Moria nggak mau bahas soal jodoh karena dia bingung di antara dua pilihan. Eh, enggak tahunya elo main masuk aja, bikin keadaan ini semakin rumit. Kalau ada orang yang bisa disalahin juga atas keadaan ini, elo ada di dalam daftarnya, Nyet. Mana lo satu-satunya cowok yang udah kenalan sama ibunya Moria pula. Gila, lo emang."

Kedua tangan Dian yang lain menggenggam erat gelas kopinya. Mungkin kalau dia nggak ingat sekarang masih jam kerja, gue sudah disiram es kopi, kali, saking emosinya.

"Seminggu setelah ketemuan di supermarket itu, Moria kontak gue duluan lewat pesan obrolan. Gue yang tadinya canggung karena takut menyinggung, jadi seneng karena ternyata dia nggak apa-apa. Dia masih komunikasi normal, nggak kayak lagi marah."

Dian menghela napas panjang beberapa kali. Kepalanya tertunduk lesu, jari-jemari memainkan sedotan di gelas. Cerita Dian sampai pada satu titik kenyataan yang kami berdua sadari bersama jika Moria yang kami kenal hanyalah persepsi-persepsi kami tentangnya. Moria terlihat baik-baik saja, dia tidak marah, dia selalu tersenyum menatap kami, dia tidak memiliki masalah serius. Mungkin kami juga yang terlalu memasukkan asumsi-asumsi kami pada Moria sehingga dia berusaha untuk hidup sesuai harapan kami.

Ah, gue kangen banget sama Moria. Tapi gue nggak tahu dia ada di mana sekarang.

Harusnya gue nggak maksa buat masuk ke dalam kehidupan Moria, harusnya gue nggak terlalu intens ngejar Moria, pas gue tahu kalau ternyata ada dua cowok lain yang juga sama-sama mendekati Moria. Mungkin memang kembang yang satu ini hanya bisa gue pandang dari kejauhan. Tapi penyesalan selalu datang terlambat.

"Setelah beberapa minggu, gue coba ajak Moria lagi buat datang ke acara reuni. Gue pikir waktu itu gue bisa minta bantuan dia buat ngawasin anak gue, karena bungsu gue ternyata lengket banget sama Tante Moria, dan laki gue kebetulan lagi dinas luar kota di tanggal reuni, praktis gue jadinya datang sendiri sambil bawa dua buntut. Menurut lo, gue ini egois, kan?" Tubuh Dian berguncang hebat. "Gue cuma mikirin diri sendiri. Tapi Moria ..."

Tangis Dian pecah. Awalnya hanya isakan kecil, kini ia tersedu-sedan dengan nyaring. Untuk sesaat kami sama-sama meresapi pilu yang dialami karena kehilangan seorang perempuan dari dua sudut pandang berbeda, seorang teman dan seorang yang jatuh cinta padanya.

"Moria bener-bener peduli sama gue. Dia sama sekali nggak pernah memikirkan dirinya sendiri. Gue jadi makin merasa bersalah karena udah memanfaatkan kebaikan Moria. Gue merasa jadi orang jahat buat Moria."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top