38 | Berbahagia


Agi


Menjadi dewasa adalah tentang memaklumi bahwa masa lalu sudah terjadi. Tidak ada satupun yang berkuasa mengubahnya. Pun kita hanya bisa menerima.

Jumat, 1 Februari 2019

Adalah di dalam ruang bersalin, tempat nyawa dipertaruhkan. Aku menghitung jumlah suara blip dari mesin, bunyi-bunyian alat suction--penyedot, denting bilah klem--gunting, serta berbagai suara pengiring. Pemandangan di hadapanku adalah para dokter dan perawat dengan surgical gown--baju operasi warna hijau, masker medis dan penutup kepala. Mereka berlalu lalang seraya berbincang serius.

Tanganku menggenggam, pergelanganku digenggam. Aku membasuh peluh pada keningnya.

Bayi mungil itu tidak menangis, tidak bergerak, tidak berdaya. Seorang dokter yang sebagian wajahnya tertutup masker tampak memberi isyarat dengan gelengan pesimis. Dengan sigap, dokter lainnya membawa bayi tersebut ke ruang NICU--Neonatal Intensive Care Unit--ruang perawatan intensif khusus bayi baru lahir. Aku paham, pada situasi segenting ini, hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan.

"Something happened, right?" Suaranya terbata-bata putus asa.

Menyaksikan seluruhnya--dari mulai Celia merasakan henti gerak dalam perutnya, aku yang melarikannya ke rumah sakit, hingga proses c-section--operasi sesar darurat seperti sekarang--sungguh mampu melenyapkan seluruh kosa kata yang aku punya.

Seiring bertambah usia, aku sadari hidup bukan selalu tentang apa dan siapa yang kita cinta. Justru terkadang kita tidak suka, hanya kita tetap harus menghadapinya.

Masalahnya, entah sejak kapan, dalam hatiku mulai terbit afeksi. Lambat laun, aku mulai mengasihi nyawa yang bertumbuh dalam rahim Celia. Aku mulai memantaunya, mendoakan hal-hal baik untuknya, mengajaknya berbicara, bahkan menyusun rencana tentangnya.

"Hang in there, Celia." Aku berbisik.

Batinku menguntai doa. Aku tebus segala keliru yang aku perbuat di masa lalu. Semoga Tuhan membersamai niat tulusku.

"Agi," panggilnya.

"Ya?" Aku meneliti sudut dan lekuk wajah pucat itu.

"Sedih." Celia mengeratkan genggamannya.

Ia memejamkan mata, kemudian menangis dalam diam. Dadaku terasa berat. Aku pun perlahan disengat rasa terluka.

"Kamu baik," Celia membuka mata. Bibir pucat itu melengkung. "Semoga hidupmu pun baik ya."

Aku balas merengkuh tangannya, tapi pegangan tangannya padaku mengendur.

"Celia?" panggilku.

Perempuan itu diam saja.

"Cel?"

Masih, perempuan itu tidak menjawab. Apa ia terlalu sedih sehingga tidak sanggup menjawabku?

Aku mengguncang tubuhnya. "Celia!" pekikku sedikit lantang.

Celia masih bergeming. Genggaman tangannya lepas sama sekali. Suhu tubuh 37 derajat, saturasi oksigen hanya 41 persen, terjadi takikardia--pelonjakan jumlah detak jantung hingga lebih dari seratus kali per menit, tekanan darah meninggi, napasnya memendek.

Dengan cekatan, seorang perawat memasang sungkup pada hidung dan mulut Celia, lalu menghubungkannya ke mesin oksigen. Namun, tidak ada peningkatan saturasi oksigen, sehingga Dokter Anestesi memasukkan laringoscope guna membuka jalur napas, lantas memasukkan tabung endotrakeal sebagai alat bantu napas.

Gelombang denyut jantung pada layar Elektrokardiograf mulai melandai. Puncak dan lembah gelombang kian mendatar, seiring dengan jantungku yang menggandakan debar. Bunyi blip terdengar semakin jarang.

"Agi, minggir," usir Dewa.

Tuhan, tolong.

Dewa naik ke atas ranjang. Di sebelah bahu Celia, ia menumpukan lututnya. Ia meletakkan dua telapak tangannya saling tumpuk, menempel pada tulang sternum--tulang dada bagian tengah.

Dewa melakukan RJP--Resusitasi Jantung Paru--memberi tekanan atau kompresi pada pasien yang henti jantung atau henti napas.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh ..." Dewa menghitung samar. Ia mengompresi dengan cepat, dalam, dan tanpa jeda.

Setelah dua kali siklus--Celia mengalami ROSC--return of spontaneous circulation--keadaan jantung berfungsi kembali paska berhenti.

Dewa mengomando. "Panggil Dokter Jantung."

Satu perawat buru-buru memenuhi arahan Dewa. Kepalaku pening. Pandanganku berkunang. Aku bersandar rapuh pada dinding kamar bersalin seraya memijat-mijat pelipisku. Mataku menutup rapat, barangkali setelah aku membukanya, semua akan berlalu begitu saja.

Namun apa daya. Suara blip terus melambat. Menghilang di tengah suasana yang semakin menegang. Kemudian suara denging panjang mengiris telinga. Aku melangkah gontai ke arahnya.

"Pukul tiga belas lewat tiga tiga." Dewa menelisik jarum jam yang berdetak tanpa peduli. "Mohon maaf, pasien meninggal dunia."

***

Hugo


Sabtu, 2 Februari 2019


"Sebenernya kenapa sih meninggalnya?"

"Katanya malpraktik gitu habis melahirkan."

"Oooh, bukan bunuh diri gara-gara bayinya meninggal?"

"Hah? Bayinya meninggal juga? Kasihan banget ..."

"Lah, lo sudah lihat petinya belum sih? Itu kan ada bayinya juga di sana."

"Belum, hehehe. Habis, tadi rame. Gue tunggu sepi aja deh. Btw, bayinya laki apa perempuan?"

"Perempuan kayaknya. Cantik, tapi beda sama Wina.'

"Mirip bapaknya kali."

"Bapaknya siapa? Suaminya Wina, gitu?"

"Ya iya laaaaah, Dodol!"

"Eh bentar dulu gue bingung. Si Wina ini udah nikah? Kapan? Kok gue gak tau?"

"Belum deh perasaan. Apa gue yang gak diundang?"

"Setahu gue memang belum. Si Wina juga dari dulu gak pernah kelihatan pacaran sama siapa, kan?"

"Masak sih? Secantik itu, usia tiga puluhan masih belum nikah juga? Bukannya dulu zaman SMA, fans-nya si Wina bejibun ya?"

"Lah kalau belum nikah, terus ..."

"Yaa ... gitu deh."

"Astaga! Gak nyangka!"

"Sama! Padahal dulu dia polos gitu ya."

"Itu cowoknya bukan? Yang pake kacamata."

"Bukan kali."

"Terus, dia ngapain di situ dari tadi?"

"Yang mana sih?"

"Itu, yang duduk paling depan, di dekat peti."

"Sebentar, sebentar. Itu bukannya cowoknya si Ody?"

"Mana? Mana? Lah, iya."

"Tau dari mana itu cowoknya Ody?"

"Tiap acara reuni atau acara alumni, Ody selalu sama cowok itu kan? Astaga, sampai hapal banget gue."

"Iya juga, Instagram si Ody juga isinya cowok itu semua. Cowoknya dokter, kan?"

"Iyaaa, siapa ya namanya? Pokoknya dari A."

"Kalo ke kondangan-kondangan juga ngegandeng cowok itu terus gak sih?"

"Betul tuh. Sampe gue kira Ody udah nikah, tapi ternyata belum."

"Jadi kesimpulannya, sekarang cowoknya si Ody tuh membelot jadi cowoknya si Wina?"

"Gilaaaa!"

"Sssttt, pelan-pelan, Bego!"

"Selingkuh apa gimana?"

"Gak tau. Kalau sampai iya, anjir lah. Gue bisa sinting kalau jadi Ody."

"Berarti, cowoknya si Ody--"

"Sssst, sudah. Jangan diterusin di sini."

"Anjir, fucked up banget kalau semua asumsi kita bener. Gue kasihan sama Ody."

"Sama. Gue jadi ilang respek sama Wina."

"Ssssttt, orangnya udah meninggal, woy. Omongan tolong dijaga!"

Aku mendelik tidak nyaman. Luar biasa empati manusia zaman sekarang. Di tengah tangisan melengking, wajah sembab dan ambiens duka, mereka masih punya hati meributkan hal yang tidak sepantasnya.

Kakiku membawaku mendekat ke peti, melewati Agi. Terlalu lucu bagaimana cara takdir bekerja--orang yang kau kira tidak akan berdampak apa-apa, malah jadi teman terjebak dalam kelumit takdir yang sama.

Netraku meninggalkan pandangan sekilas pada wajah Wina, yang tertidur dengan damainya. Juga pada malaikat mungil yang terbaring tanpa dosa. Kelopak mata itu menutup untuk selamanya. Semoga keabadian adalah sebaik-baik obat luka. Semoga mereka berbahagia di kehidupan selanjutnya.

Aku berbalik, tatapan lirih Agi berkubang dalam mataku. Untuk pertama kalinya, aku menyorot ramah pada pria yang tengah dilanda duka. Bukankah guru paling hebat dalam hidup adalah kehilangan? Dari kehilangan, kita belajar untuk tidak menyia-nyiakan.

Bukankah aku dan Agi sempat kehilangan sosok yang sama? Sosok yang hilang dari dekap kami, kini menampakkan diri. Gadis yang rambutnya kini membalap bahu itu tanpa diduga berlapang dada menghadiri pemakaman ini.

Sepasang mataku, sepasang mata milik Ody, sepasang mata milik Agi. Serempak, tiga pasang pandangan milik pendosa saling bergulir.

***

Ody


Sabtu, 2 Februari 2019

Aku di kursi penumpang, Ista di kursi kemudi. Kaca depan mobil yang lebar mengekspos indera peraba kami terhadap paparan sinar mentari.

Sedari tadi aku termangu. Kupangku kotak dari Ista, kupegangi erat sampai tanganku banjir keringat.

"Ada laki-laki baik gak sih?" celetukku.

"Ada." Ista menunjuk kotak yang bertengger di atas pahaku. "Nih."

Ista & Daniel

Senyumku terbit menghayati ukiran nama di permukaan kotak perlengkapan bridesmaid yang diberikan Ista. Sahabatku akan menikah beberapa bulan lagi. Aku turut berbunga-bunga menyaksikan pencarian cintanya akan berakhir juga.

"Nih, ya." Ista menekan rem saat lampu kuning padam berganti lampu merah menyala.

"Kita tuh harus bertemu yang tidak tepat dulu, sebelum bertemu yang benar-benar tepat." Manik mata Ista berkelana.

"Why?" Dua telapak tanganku membuka.

"Karena begitulah hidup." Ada bayangan lengkung halus pada bibir Ista. "Tahu dari mana kalau itu tepat, kalau bukan berkat yang tidak tepat?"

Otakku memproses lontaran kata dari lisan Ista dengan cermat. "Kayak sedih sama bahagia gitu ya, Ta?"

Nyala lampu lalu lintas berpindah pada bundaran hijau.

"Exactly." Ista menurunkan rem tangan, kemudian menginjak pedal gas lagi. "Gimana cara lo menghargai bahagia kalau lo gak pernah sedih sebelumnya?"

"Pintarnya temen gue!" sorakku sambil tertawa-tawa, mendaratkan pelukku pada tubuh Ista.

"Minggir lo jangan peluk-peluk! Kalau nabrak gimana?" Ista menggeliat dari terkaman tanganku.

Tawaku lolos dari dada. "Ista, sori. Gue cuma tanya. Hmm, apa lo gak takut memulai kembali setelah dulu lo sempat trauma sama mantan suami lo?"

"Takut sih jelas ada. Terus kenapa?" Dahi Ista berkerut. "Menurut gue, jangan sampai rasa takut itu bikin lo gak mau melangkah ke mana-mana."

Aku berdecak kagum. Sahabatku memang luar biasa bijaksana.

"Let's get rid of all the optimistic thoughts, let's just be fuckin realistic. Gue bukan nyumpahin gue bakal cerai lagi ya. Amit-amit. Tapi siapa yang bisa jamin kalau gue sama Daniel bakal langgeng sampai maut memisahkan? Gak ada," gumamnya.

Ista mengatur lampu sign, bersiap untuk berbelok arah.

"Dy, kuasa manusia itu cuma berusaha. Soal hasil, itu semua hak prerogatif Tuhan," imbuh sahabat yang sudah menemaniku belasan tahun ini.

"Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri ya, Rhapsody. Kita semua manusia yang pernah berbuat salah. Dah. Gue tahu lo sudah berbenah. Lo pantas bahagia, tau?"

Aku mengusap air mata haru.

"Anyway. Dy, how do you feel right now?" cetus Ista.

Aku memajang senyum selebar-lebarnya. Meski setiap bicara perihal perasaan, rasanya ada yang masih berderit jauh di sana. "I feel relieved."

Ya, lega.

Aku lega. Terlepas dari residu cabikan di seantero jiwa yang entah kapan pulihnya, aku dengan bangga mengatakan bahwa aku kini merdeka.

"Sejujurnya, gue banyak belajar dari lo, Ta," ungkapku malu-malu.

Ista tergelak. "Wah, kok bisa?"

"Ya, waktu dulu lo cerai dari Arman. Gue lihat lo kuat banget. Cerai, ngegedein anak sendirian, berjuang tanpa bantuan. Gue ngebayanginnya aja udah gak sanggup. Serius," paparku.

"Itu karena gue tidak punya pilihan saat itu, Rhapsody Manis." Ista mengerling. "Tapi ya ... "

Alisku naik sebelah. "Tapi?"

"In the matter where you can choose no one, you can always choose yourself," ucap Ista lembut.

Mataku bola kaca. Aku tidak bisa lebih setuju. Bukankah sebaik-baik tempat kembali adalah pada diri sendiri?

"Sudah sampai." Ista menarik rem tangan lalu memutar kunci. Lantas tangan itu mencabut belitan seat belt dari tubuhnya.

"Eh, sudah sampai? Cepet juga!" Aku gelagapan. Mataku berkeliling menelaah lingkungan yang sama sekali asing.

Rumah duka ini dipadati mereka yang berbela sungkawa. Ada puluhan karangan bunga yang mewakilkan ungkapan duka cita. Aku harus menghela napas berkali-kali guna memantapkan hati. Dengan derap kaki yang tegas, aku melangkah ke dalamnya.

Aku dan Ista langsung beringsut ke arah peti, tempat Wina, teman SMA kami, berbaring di sana. Berat rasanya mengingat prahara yang malang melintang antara aku dan Wina. Mata kupejamkan. Doa kupanjatkan.

Semoga tenang di sana, Wina.

Aku, Agi, Hugo, dan Wina adalah pemeran dalam catatan kelam yang telah digariskan. Kebetulan, Sang Pencipta membuat garis kami saling berkelindan. Dalam takdir, kita saling menggores derita. Dalam kisah yang tidak baik-baik saja, kami sempat menjerang luka dengan cara yang tidak dewasa.

Aku memaafkannya.

Aku memaafkan Agi. Aku memaafkan Hugo. Aku memaafkan Wina. Aku memaafkan mereka bukan karena aku memaklumi kesalahan mereka, tapi karena aku menghargai kesejahteraan diri sendiri. Aku enggan seumur hidup kaki dan tanganku dirantai rasa benci. Aku enggan terpasung dalam rasa sakit yang meracuni.

Aku memaafkan mereka demi langkah berikutnya yang lebih bahagia. Dalam alpa, dosa, luka, dan segala hitam yang aku torehkan di hari lampau, aku enggan berlama-lama. Hari ini aku memaafkan semuanya, supaya kelak dalam mengampuni perbuatan hinaku yang telah lalu, aku lebih leluasa.

Empat pendosa berbagi ruang dalam satu waktu. Wina tidak menatapku. Pandangan Agi bersarang dalam batinku. Tatapan Hugo bercokol dalam relungku. Netraku pun berbayang tipis dalam dua pasang mata milik mereka.

Mata kami bertemu, tapi aku berlalu.

---

In Between In Between

TAMAT

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini ditemukan jauh lebih banyak pembaca! 

---

Loh, serius, Ody gak end up sama siapa-siapa? Yap. Menurut perspektifku sebagai penulis, inilah ending yang paling baik untuk Ody.

Gini deh, kalau apa yang terjadi pada Ody itu terjadi di hidupmu--kamu terjebak dalam pilihan: diselingkuhi atau dipukuli. Pilih mana? Saya sih ogah. Mending menyelamatkan diri sendiri. Buat apa memilih pilihan yang menghancurkan?

Poin penting yang aku ingin sampaikan lewat In Between In Between: lebih baik sendiri daripada terjebak dalam hubungan yang meracuni.

Make sure you're already happy on your own, so that you don't rely your happiness to other. Seperti Ody yang akhirnya memilih membebaskan diri. Dia kehilangan Hugo, kehilangan Agi, tapi dia menemukan dirinya sendiri.

Karena di dunia nyata, satu-satunya hubungan yang paling layak dilanggengkan adalah hubungan dengan dirimu sendiri--berlaku untuk semua, perempuan maupun laki-laki.

---

JANGAN LUPA KUNJUNGI CHAPTER SELANJUTNYA!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top