37 | Pantas

Aku diam-diam pergi mencari

--sebab pada masa kalut, amarahmu membuatku ingin berlari.

Aku naif memupuk jebakanku sendiri,

menjebak dalam keniscayaan yang terpatri,

terjebak puluhan ribu detik setiap hari.

Adakah kesempatan lagi layak diberi?


Agi

Sabtu, 1 September 2018

Mataku tengah memantau bentangan halaman rumah Ody yang asri, ketika Dewa secara tidak terduga muncul di hadapanku. Kami berpapasan. Pria yang terpaut belasan sentimeter dariku itu bergumam pelan. "Dasar anjing."

Umpatannya nyaris membuatku terpelanting--bagaimana mungkin pria itu datang-datang langsung menyebutku binatang?

Namun, kusadari tatapannya melewati ruang di belakangku. Ternyata, Dewa hanya mengomentari Coco dan Willy--dua anjing milik Ody yang tengah berlarian kesana kemari.

Aku mendelik ke arah Dewa yang iseng membuka-buka sajian prasmanan. Kemudian, ia mengambil dendeng daging dari salah satu wadah saji stainless.

"Hei, doggo. Here you go!" Dewa mengacungkan dua potong dendeng yang tentu saja berhasil mencuri atensi sepasang anjing kecil berbulu keriting itu.

Begitulah, Dewa mengambil perannya dalam acara tunanganku.

***

Untuk, Argawira Gideon Danurdara.


Wajah cantik yang dibingkai sulur rambut menjuntai itu tersipu. Ia menjauhkan mic sejenak, sebelum melanjutkan pidatonya.


Kau sempurna mengerti, aku membersamaimu dalam susah senang.

Tanganku terbuka menyambut segala riang.

Namun, pengampunanku selalu ada untuk segala kurang.

Ada banyak tapi, apabila, seandainya dan menimbang-menimbang,

toh yang satu ini tidak pernah patah arang.

Aku selalu menemukan alasan untuk mengasihimu,

Dari jiwamu yang cemerlang sampai bekas lukamu yang elok benderang.

Pada suatu hari seluruh kosa kata sudah kugunakan untuk menjelaskan

dan habis pula seluruh alasan.

Ternyata aku masih mengasihimu,

dengan atau tanpa alasan.

Ody menekan ujung matanya dengan segumpal tisu. Gadis itu membungkuk lalu kembali duduk. Dalam jiwaku, bersimpuh nyawa pria paling bahagia.

Kami resmi bertunangan. Besar inginku, semua berjalan mulus sesuai yang kami rencanakan.

***

"Kok lo tiba-tiba datang?" singgung Marcell pada Dewa selepas acara. Ia mengantre makan tepat di belakang orang yang diajak bicara.

"Profesionalitas." Dewa tersenyum miring. "Profesionalitas sebagai teman."

Oh. Baiklah, seorang Dewa memang tidak bisa ditebak. Ia menyebut menghadiri acara tunanganku adalah sebagai bagian dari profesionalitas seolah-olah menjadi teman adalah sebuah profesi.

Mungkin daripada profesionalitas, tindakan Dewa yang tetap muncul di perhelatanku meski masih kecewa padaku adalah solidaritas.

"Ini anjing-anjingnya Ody, gue taro dulu gak papa kali ya? Gue belum sarapan dari tadi." Dewa menurunkan hewan kesayangan Ody dari gendongannya. Jika aku hitung kasar, setidaknya Coco dan Willy sudah bergelut dalam gendongan Dewa selama lebih dari tiga jam.

"Coco, Willy, stay here, okay?" pesan Dewa seraya menepuk kepala mereka bergantian.

Guk! Guk! Kedua anjing tersebut menyalak gembira. Dengan patuh, mereka diam, berdiri dekat di kaki Dewa.

Dewa ini sepertinya punya kekuatan magis, siapapun yang di dekatnya akan merasa betah begitu saja. 

"Makan, Gi. Kenapa lo jadi ngeliatin gue?" celetuk Dewa.

Aku tersenyum simpul. Kupindahkan nasi dan lauk pauknya ke atas piringku. Sementara kuperhatikan Dewa semena-mena mencomot lauk dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya.

"Hehehe. Maap, lapar," kekeh Dewa. Ia menjilati jemarinya.

Aku ingin tepuk jidat. Benar-benar jorok manusia yang satu ini. Padahal belum dua menit yang lalu dia memegang hewan, sekarang jemari itu ia masukkan ke mulutnya.

Selesai mengambil makan, Yudhis dan aku duduk di beranda. Marcell sibuk dengan kameranya, sedangkan Dewa makan sambil berdiri, bersandar pada tembok.

"Buset. Coco sama Willy mana ya?" pekik Dewa, menyadari tidak ada lagi dua anjing kecil yang semula patuh mengikuti pergerakannya. "Gawat, kalau hilang gimana?" 

Cekatan, Dewa meletakkan piring, kemudian meneguk segelas air sampai habis. "Gue cari Coco sama Willy dulu."

***

Telingaku menangkap riuh redam.

"Ada ribut-ribut apa ini?" gumam Marcell sambil lalu. Ia melangkah masuk ke dalam. Yudhis mengekor. Aku ikut-ikutan meletakkan piringku, mengintip dari pintu.

Ody menangis di tangga. Dewa berjongkok di depannya. Tamu undangan yang tinggal sedikit itu berkerumun di sekitar mereka. Aku turut bergabung menjadi salah satu pengisi kerumun. Tidak ada yang menyadari aku di sini, saking fokusnya mereka pada Ody yang tersedu.

Ingin aku pinggirkan orang-orang tersebut, tapi ketika aku melihat ponsel merahku--yang entah bagaimana sudah berpindah ke tangan Dewa, aku urung.

Kasian banget, baru juga tadi tunangan.

Aku mundur selangkah, tapi suara-suara itu semakin membesar dari berbagai arah. Tatapan dari berpasang-pasang mata itu memahat cekat dalam kerongkongan.

Gila banget cowoknya. Kok bisa tega begitu ya?

Dewa, mulutnya membisikkan sesuatu pada Yudhis dan Marcell. Kawanku itu, wajahnya berubah pucat. Rautnya kecewa.

Rahasia yang kutimbun rapi, akhirnya mencuat dengan sendirinya.

Sekejap mata kemudian, ibunda Ody membubarkan kasak-kusuk yang berdiri teguh akibat ingin tahu. "Sudah, sudah, bubar," usirnya.

Mata itu dan seluruh kerut yang mengelilingi--menatapku seolah ingin aku binasa. Angin beku menyergapku--bukankah semua sudah kulipat rapi, mengapa borokku tetap membakar liar seperti api?

Bagaimana cara karma menentukan jadwalnya? Apa intensi  para rahasia yang mengupas tabirnya sendiri?

Perempuan paruh baya yang biasa kupanggil mama mencekal tanganku, memaksa untuk menjauhi dari kumpulan manusia yang jelas-jelas menyudutkanku. Mama menarik keras pakaian yang kukenakan, menggiringku ke dalam mobil bak hewan ternak yang hendak disembelih.

***

Telapak tangan mama menempelengku tanpa ampun. Rasa-rasanya, tangan yang biasa penuh kasih itu sanggup mencopot rahangku dalam sekali libas. "Kamu gak ada bedanya sama bapakmu. Sama-sama bajingan!"

Papa dan nama Danurdara yang disematkannya untukku. Dua-duanya kubenci dengan segenap hati.

Air bening memadati pelupuk mata. Tamparan mama mendamparkanku kembali pada ingatan masa lalu, saat papa memilih pergi dengan wanitanya. Saat papa memiliki keluarga baru. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti, tapi tetap saja aku sakit hati. Sepanjang napasku di dunia, luka masa lalu itu tidak pernah bosan menghantui.

Apakah dosa itu kekal seperti energi? Jika tidak, mengapa tumbuh dewasa aku membenci perbuatan papa, tapi justru aku sendiri yang mengulangnya?

"Agi, kamu mau membela diri seperti apa lagi?" hardik mama. "Kamu mau bilang itu bukan anakmu?"

Air mataku turun tanpa permisi. Semua sudah porak poranda. Tidak ada satu pun yang bisa kupungut dari cerita ini, kecuali sesal yang bergunung-gunung jumlahnya.

Mama memungkas. "Itu anakmu atau bukan, intinya kamu tidur dengan perempuan itu."

Mengapa aku hanya tahu bagaimana menjalani tanpa belajar cara berhenti? Lewat sesal manusia belajar, tapi bila sesal bisa dicegah, aku bersedia kembali ke masa lalu seratus kali.

"Argawira," ucap mama. Air mata menetesi pipinya. "Tebus kesalahanmu."

Papa kandungku menebus kesalahannya. Ia tidak berlari dari perbuatan keji. Namun, kesalahannya itu yang membuat ia harus angkat kaki dari keluarga kecil yang dibangunnya bersama mama. Kesalahan itu begitu masif memaksa papa untuk meninggalkan mama, aku, Ardi, dan tidak pernah kembali.

Aku selalu meminta pada Tuhan untuk mempersatukanku dengan orang-orang yang baik. Saat Tuhan malah memisahkan, apakah itu karena aku yang tidak baik?

Meski sepertinya lautan maaf tidak bisa menukar kerusakan yang aku perbuat, aku harap di kisah lain, kita dapat merakit kembali apa-apa yang sirna.

Maafkan aku, Ody.


---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini ditemukan jauh lebih banyak pembaca!

Fyi, In Between In Between tidak akan ada kemajuan timeline lagi kecuali di epilog. Cerita ini sejatinya sudah "selesai" saat Agi dan Ody bertunangan--sisanya hanya chapter "pembeberan clue" dari Agi.

In Between In Between artinya "di antara keduanya". Judul cerita ini sebetulnya lebih tepat untuk Agi daripada Ody. Here's why:

Waktu Ody berpaling pada Hugo, kondisi hubungan Agi dan Ody sudah sangat parah. Berbulan-bulan tanpa komunikasi sama sekali. Bisa dibilang, Ody pergi dari hubungan yang memang sudah mati. (Mind you, aku tetap TIDAK membenarkan hal ini.)

Sedangkan Agi, dia pergi sudah sangat lama, saat sebetulnya hubungan mereka masih bisa diperbaiki.

Siapa yang terjebak di antara dua pilihan? Sebetulnya Agi. Karena dia betul-betul menjalani dua hubungan dalam satu waktu, sudah bertahun-tahun pula. Sedangkan Ody, balik lagi ke poin 1.


Aku sudah pernah bilang beberapa kali, bahwa In Between In Between akan tamat saat judul setiap chapter-nya telah membentuk narasi lengkap. Yap. Sampai bertemu di chapter selanjutnya alias chapter epilog! See you tomorrow!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top