36 | Sangat


Agi

"Aku yakin, aku dan Ody masih panjang masa depannya. Kami hanya perlu menerima bahwa tidak ada hubungan yang sempurna."


Jumat, 8 Juni 2018

"Dua hari yang lalu, aku angkat kaki dari apartemen Ody," ungkapku pada gadis yang sudah menjadi rahasia pribadi selama beberapa tahun ke belakang ini.

"Nice!" tanggap Celia. Ada ratusan binar di matanya.

Melihat aku tidak menyambut binar tersebut, mata Celia meredup. "Gi, sesusah itu kah untuk pergi dari Ody?"

Iya, susah. Yang mudah hanya pura-pura berpindah. Sejatinya, tetap hati yang menentukan arah.

"Celia ... " Aku mengelus rambutnya pelan. "Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi."

"Kenapa?" Air matanya deras. "Tiga tahun setengah, Agi. Tidak sekalipun kamu sudi bertemu orang tuaku."

Aku menghela napas. Tiga tahun lebih bersama, tentu bukan sekali dua kali Celia mengajakku untuk menemui orang tuanya. Namun, aku selalu memberi sejuta alasan untuk menolak. "Orang tuaku menentang hubungan ini. Kita tidak ada masa depannya."

"Lantas kalau tidak ada masa depannya, mengapa kamu mau menjalankan?" hardik Celia. "Kamu belum bisa lepas dari Ody-mu itu, kan?"

Tidak ada sepatah katapun keluar dari lisanku.

"Aku tidak mau mengakhiri ini." Celia memegangi jari manisnya dengan siaga, seolah aku ingin merebut sesuatu darinya. Memang iya, tadinya aku ingin merenggut kembali cincin hijau itu. Bagaimanapun, cincin itu seharusnya milik Ody.

Dia tidak mau mengakhiri ini, sementara aku enggan memperpanjang situasi. Kubiarkan saja cincin itu tinggal di sana. Apa artinya sebuah cincin selain simbol semata?

***

Minggu, 1 Juli 2018

Aku selalu bingung bagaimana cara memanggil ibunda Ody.

Dalam konteks akademik dan dunia professional, aku menyebut beliau Dokter Dhanti. Dalam konteks relasi kekerabatan, aku menyapa beliau sebagai Tante Dhanti. Dalam konteks hubungan romantisku dengan anaknya, aku menjuluki beliau Mama Dhanti.

Yang terakhir sudah pasti aku eliminasi. Aku kan sudah tidak ada kaitan apa-apa lagi dengan putrinya.

Aku akan memulai pendaftaran PPDS Bedah, maka aku meminta tanda tangan Dokter Dhanti untuk dibubuhkan pada Surat Rekomendasi. Pertemuan yang singkat saja, karena selesai Dokter Dhanti mengangkat pulpennya dari permukaan kertas, beliau menerima sebuah telepon.

"Agi, saya harus ke rumah sakit sekarang. Saya pamit ya. Kamu main dulu di sini juga gak apa-apa. Suguhannya jangan lupa dimakan," pamit Dokter Dhanti ramah.

Caranya senyum betul-betul persis Ody. Dokter Dhanti adalah penggambaran sempurna bagaimana wajah Ody jika Ody bertambah tua dua puluh tahun ke depan.

Aku nyaris memekik saking gembiranya, ketika aku sedang melahap kue Lapis Legit yang dihidangkan, anak semata wayang Dokter Dhanti menampakkan batang hidungnya. Dua anjing toy poodle yang dulu kami beli bahkan ikut bergabung bersama kami.

"Lapis legitkuuu!" rajuk Ody tidak rela. Buru-buru, ia mengamankan jatahnya.

Kami bercakap sejenak, lantas aku mengikuti Ody duduk di tepi kolam renang.

"Kondisimu bagaimana, Dy?" Aku meneliti setiap sudut wajahnya, berharap tidak ada sisa-sisa luka di sana.

Aku saat itu membersihkan riasan tebal dari wajah Ody dengan saksama, memastikan gestur jariku tidak memyakitinya. Dalam hati, ingin sekali aku kirim pria bernama Hugo itu ke neraka.

Kau tahu, saat aku menemukan Ody terluka--secara harfiah--akibat perbuatan tunangannya, rasanya aku pun tengah membuka luka yang sama. Warna memar di kulitnya pasti tidak sebanding dengan rasa sakit, takut, dan putus asa yang menderanya. Belum lagi bicara masalah trauma.

Selain Ody yang terluka, ada satu emosi yang menamparku keras. Ody, setelah terbiasa berpikir tidak ada percikan rasa yang sama, mengapa setelah sekian lama, aku baru menyadari bahwa percikan itu masih ada?

Aku menemukannya kembali dalam celoteh mulut cerewetnya. Aku menemukannya kembali dalam omelannya yang dulu aku benci. Aku menemukannya kembali dalam senyumnya yang dulu membuatku cinta setengah mati. 

Aku menemukannya kembali saat aku mengusap bersih wajahnya malam itu dan kudapati ada jejak luka di sana, terbit hasratku untuk melindungi.

Mengapa aku memutuskan mendua, padahal cinta belum betul-betul sirna?

"As you can see, Pak Dokter. I'm better than before," Ody memasukkan sepotong besar Lapis Legit ke mulutnya tanpa malu-malu. Ody, setelah satu dekade lebih, mata itu tidak pernah jemu kupandang.

Entah dengan apa aku bisa membunuh perasaan ini--perasaan terpaut dengan sosok Ody. Jika bisa aku kembali ke masa lalu, akankah ada kesempatan mengulang kembali? Atau jika ada, dapatkah kerunyaman ini kami perbaiki?

***

Sabtu, 18 Agustus 2018

Gustina Rhapsody Tanaya, cinta pertamaku, resmi memasuki klub kepala tiga hari ini.

Tumbuh bersama selama satu dekade ke belakang dengannya telah mengajarkanku berbagai hal. This ten-year relationship does feel like a sweet spot. We have grown sick enough of each other to know that this isn't a mere puppy love.

Justru konflik dan jurang yang menghambat membuat kami mengerti satu sama lain, bukan? Toh, meski cara kami menangani perbedaan masih jauh dari mumpuni, most of the time, kami bisa kembali memaafkan. Bukankah itu, esensi sebuah hubungan?

Aku akan melamarnya hari ini, mungkin akan bertunangan dengannya awal tahun depan.

"Dok, ada pasien baru." Seorang perawat menyela lamunanku. Aku melirik arloji. Jam jagaku akan berakhir sebentar lagi. Begitu shift rampung, aku akan meluncur ke perayaan ulang tahun Ody.

Aku menuruti pergerakan perawat tersebut dan napasku memberat tatkala melihat siapa yang muncul tiba-tiba.

Celia.

"Malam, Dokter," sapa perempuan itu lebih dulu.

"Malam." Aku tidak pandai berakting. Jika kau mengamati wajahku lekat-lekat, pasti kau akan melihat raut wajahku amat pucat. "Ada keluhan apa?"

"Pusing, mual, muntah," jelasnya.

"Ada alergi makanan atau habis mengonsumsi makanan tertentu?" tanyaku sambil mengambil stetoskop yang terkalung di leher, berusaha mengalihkan kegugupanku.

Celia menggeleng. "Boro-boro makan. Makan apapun pasti ujung-ujungnya muntah."

Aku mengangguk. "Baik, apakah ada riwayat penyakit maag sebelumnya?"

Celia membuang muka, ia tidak menjawab. "Saya sudah telat tiga bulan."

Kakiku otomatis mengambil langkah mundur. Tenang, Agi. Jaga profesionalitasmu.

"Tapi saya sudah cek pakai test pack berkali-kali, hasilnya negatif. Makanya saya ke sini sekarang, hanya ingin memastikan kalau saya tidak apa-apa." Celia menyatukan jemarinya. Cincin hijau itu masih bertengger di sana.

"Baik, saya periksa dulu ya." Aku menginstruksikan pasien terakhirku malam itu--garis miring Celia--untuk berbaring di atas bed.

Semua akan baik-baik saja, bukan?

***

Akibat hasil pemeriksaan yang tidak dapat disimpulkan, aku merujuk sampel darah perempuan berusia tiga puluh tahun ini ke laboratorium.

Aku menarik kertas hasil pemeriksaan itu dengan amat lambat, seolah kertas ini berisi perintah eksekusi mati. Celia di hadapanku, tidak kalah cemas. Bulir-bulir keringat memenuhi pelipisnya.

Bagaimana aku harus menyebutnya? Ibu? Nona? Atau langsung panggil nama?

"Nona Celia." Aku memandangnya, berusaha membohongi debar jantungku yang menggila.

Bibirnya bergetar, seperti tahu ada kabar buruk siap menampar. "Ya?"

Aku menata kalimat senetral yang aku sanggup. "Sebetulnya, Nona Celia ini baik-baik saja."

Kepalanya doyong. "Tapi?"

"Nona Celia positif hamil," jelasku. Mataku mengikuti baris-baris tulisan yang tercetak di sana, berkali-kali. Kadar human chorionic gonadotropine menyentuh puluhan ribu milli international unit per mililiter. Hanya keajaiban yang bisa mengatakan bahwa perempuan ini tidak mengandung.

Tangis histeris menjebol matanya. Ia mengutuk, merutuk.

"Celia, jangan di sini. Nanti kita bicarakan setelah shift-ku selesai," bisikku panik. Gerak-gerik tubuhku belingsatan, menyuruhnya pergi.

Bajingan. Dasar bangsat. Keparat.

Suasana IGD berubah dramatis. Seluruh pasang mata menuju ke arah kami. Dua orang sekuriti membawa Celia, mencoba mengendalikan suasana.

Bedebah. Brengsek. Jahanam.

Celia menunjuk-nunjukku. Aku memasang wajah sedatar biasa. Menurutku, pasti seluruh penghuni IGD menafsirkan bahwa Celia yang kurang waras. Aku hanya menjalankan porsiku sebagai dokternya, bukan?

***

Aku menempelkan permukaan jari jempolku di mesin absen. Klik. Mesin absen berbunyi. Pukul delapan lewat lima belas. Perayaan ulang tahun Ody akan dimulai lima belas menit lagi. Semua orang pasti sepakat, aku tidak mungkin tidak datang terlambat.

Ponsel hijauku menangkap sebuah panggilan. Tidak ada nama, tapi aku tahu itu Celia.

Sial. Sudah kubilang, jangan hubungi aku lewat nomorku yang ini. Dengan jengkel, kublokir nomor tersebut.

Begitu nomor itu berhasil terblokir, ponsel merahku gantian bergetar heboh. Dengan wajah masam, aku blokir lagi nomor tersebut.

"Dok Agi," salam seorang sekuriti. "Pasien yang tadi ribut, sudah saya amankan."

"Oh ya, sekarang dia di mana?" tanyaku. Akankah sekuriti tersebut curiga, mengapa aku sebegitu peduli dengan pasien yang satu ini?

"Di mobilnya, Dok, yang warna hitam, di parkiran paling pojok." Sekuriti tersebut menunjuk jauh.

"Terima kasih, Pak," ucapku buru-buru. Lantas ambil langkah seribu menuju tempat yang sekuriti itu maksud. Mungkin sekuriti itu curiga, mobil hitam di sini ada banyak, bagaimana cara aku tahu mobil hitam yang ia maksud yang mana?

***

Aku membuka pintu, menghampirinya, guna menepati janji. "You could've say it nicely, Celia. Tidak usah teriak-teriak memaki-maki seperti itu. Kamu mempermalukanku!" hardikku.

"Setelah semua yang kita lalui dan kamu dengan mudahnya bilang kalau aku membuatmu malu?" bentak Celia.

"Kamu tidak perlu membuat keributan seperti itu!" dalihku. "Aku sudah bilang, kita bisa bicarakan nanti setelah shift jagaku selesai. Apa kamu tidak dengar?"

"Aku dengar perkataanmu, aku cuma takut kamu yang tidak mendengar perkataanku." Celia menggosok matanya. "Sekarang aku harus bagaimana?"

Aku menggertakkan gigi. "Entahlah, Celia." Aku tidak bisa berpikir apa-apa, yang aku pikirkan hanyalah menyelamatkan diri.

Celia merangsek, menarik kerah kemejaku. Ia menjerit selantang yang ia bisa. "BANGSAT!"

"CELIA!" Aku balas berteriak. Aku muak dimaki-maki sedari tadi.

Celia memandangku tanpa ekspresi. Air mata bergulir pelan dari sudut matanya. "Jangan lari dari tanggung jawab, Agi."

"Kita sudah berakhir, Celia," lirihku.

"Baiklah, mari kita sambung lagi. Bisa kan?" paksa Celia, sambil mengusap pelan perutnya.

Kepalaku mau pecah. Dear God, how to undo this hellish situation?

"Tidak bisa," imbuhku dingin. Aku ingin muntah melihat adegan sinetron versi siaran langsung ini.

"Kita terakhir bertemu dua bulan yang lalu. Apa jaminannya kalau itu benar anakku?" tanyaku sangsi. Aku tahu siapa perempuan ini. Aku hapal bagaimana kelakuan perempuan ini.

"Aku sudah lama tidak tidur dengan siapa-siapa semenjak bersama kamu." Ia mencak-mencak.

"Bohong," timpalku datar.

Mengapa saat niatku baik mengakhiri, karma justru menyerang bertubi-tubi?

***

Minggu, 19 Agustus 2018

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak datang sama sekali ke acara ulang tahun Ody. Aku menghabiskan beberapa menit untuk menenangkan Celia, sisanya aku gunakan untuk menenangkan diri sendiri. Dini hari, kuberanikan diri untuk bertandang ke apartemen Ody.

Ody tampak kusut sekali. Ia meraung tanpa bisa berhenti. Tanganku mati-matian merebut botol chardonnay wine dari tangannya. Ia pasti minum terlalu banyak tadi.

"JAWAB TEBAKANKU DULU, GI!" Ody meringkuk, melindungi botol chardonnay wine tersebut sekuat tenaga. "PANJANG, BERBIJI, BERBATANG. APA HAYO?"

"Waduh ... Apa ya?" Aku menggaruk-garuk tengkuk.

"JAGUNG!" Ody terbahak. "UDAH JOROK AJA PASTI PIKIRANMU!"

Aku menahan tawa. "Oke, siniin botolnya."

"JANGAN DIAMBIL LAH! TADI KAN KAMU SALAH JAWAB TEBAKANKU!" Ody membuka mulutnya lebar-lebar, bersiap menggigitku. 

"Jangan digigit dong, Dy." Aku menghindar.

"MAUNYA APA?" Ody melotot. "DIEMUT?"

Kala Ody lengah, aku berhasil merebut botol berwarna kuning kehijauan tersebut. Sudahlah, daripada percakapan nirfaedah ini terus bergulir tanpa arah.

***

Aku meminta maaf karena gagal memenuhi Ody. Setelah perdebatan sengit, ketegangan kami mereda. 

Ody terlelap begitu mudahnya. Kepalanya ia tidurkan di atas pangkuanku. Ragu, aku mengelus kepala perempuan itu.

Mendadak Ody terjaga. Kami pun bercakap-cakap, ringan seperti semula. Seolah kami tidak pernah menjauh sebelumnya. Seolah kami selalu dekat seperti biasa.

"Di usia ketiga puluh ini, apa keinginanmu, Dy?" Aku menjawil pipinya.

Ody menengadah. Pandangan kami bertemu. "Kalau aku bilang, apa kamu mau bantu mengabulkan?"

"Mungkin." Aku mengangkat bahu. Tergantung keinginannya apa dulu.

"Aku mau menikah," hembus Ody pelan sekali.

Aku meraih tangan Ody. "Yuk."

Perempuan dengan rambut berantakan itu mengguncang tubuhku. "Who are you and what have you done to Agi?" Ody memekik seolah aku bukan benar-benar Agi.

"Lamaran yuk. Bagaimana kalau minggu depan?" ajakku impulsif.

"Gi, yang mabuk itu aku, bukan kamu, kan?" Ody menjentikkan jari. "Satu minggu lagi? Gila, cepet banget!"

"Kalau satu minggu terlalu cepat, bagaimana kalau dua minggu lagi?" usulku.

"Deal!" Ody mengiyakan. Dalam dua kali kedipan mata, bibir Ody merapat ke bibirku. Begitu saja. Kami bersatu, detak jantung kami beradu, tubuh kami saling memacu.

Sementara yang ada di pikiranku tetap satu, apa ada cara lain yang lebih ampuh untuk menyelamatkan diri--selain mempercepat pertunangan ini?

***

Selasa, 20 Agustus 2018

--

From: Agi

1 September jam sembilan pagi, gue sama Ody bakal tunangan.

Lokasinya di rumah Ody. Nanti gue share loc.

Pada datang ya.

--

From: Yudhis

SELAMAAAAT! AKHIRNYAAA!

Gue pasti datang. Lo perlu bantuan gak? @Agi


--

From: Agi

Bantu gue bikin teks pidato kalau berkenan @Yudhis.

Gue tidak bisa bikin teks romantis. He he he.

--

From: Yudhis

Siaaap. Malem ini gw email deh

mumpung lagi nyante


--

From: Marcell

Btw @Agi lo udah putus sama si itu blm yah?

Gw sebagai EO, ogah keciprat masalah wkwkwk

--

From: Agi

Sudah.

--

From: Marcell

Okayyy. Lancar terus yak

Jan lupa ntar kalo kawin pake EO gw lagi! :D


--

From: Agi

Amin. Terima kasih.


--

From: Marcell

@Dewa ke mana sih? Msh ngambek?


--

From: Yudhis

Tau nih @Dewa udah lah woe jgn diperpanjang


Nyatanya, sampai percakapan tersebut berakhir, sampai berhari-hari selanjutnya, tidak ada balasan apapun dari Dewa. Barangkali ia masih kecewa dengan perbuatanku. Aku tidak bisa menindak apa-apa, kubiarkan ia.

Sekali lagi, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caraku menyelamatkan diri sendiri. Bagaimana caranya agar hariku dan Ody lancar, bebas dari gangguan yang tidak diinginkan?

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini ditemukan jauh lebih banyak pembaca!

Untuk mengenang kembali adegan Agi membersihkan wajah Ody dengan micellar water, silakan buka chapter "24 | Menjadikanmu". Dari situ Agi tau kalau Hugo ternyata berlaku abusif sama Ody.

Untuk menyegarkan ingatan terkait percakapan di tepi kolam renang, silakan ke chapter "27 | Duka".

Untuk mengunjungi kembali peristiwa Agi memeriksa Celia, silakan diamati di chapter "28 | Sembuh". Bisa dibilang, chapter ini adalah "copas versi jelas" dari chapter yang kusebutkan tadi.

Jujur, chapter ini adalah salah satu chapter yang paling berat kutulis--karena cukup krusial, di sini aku menjelaskan apa yang sebetulnya dipikirkan Agi pada malam saat memeriksa Celia? Kenapa cincin hijau itu masih di tangan Celia? Apa yang membuat Agi tiba-tiba melamar Ody?

Sampai jumpa di chapter berikutnya! 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top