35 | Teramat

Agi


Selasa, 20 Maret 2018 


--

From: Operator

Aku udah di tempat biasa

Kamu mau pesen apa?

--

From: Agi

Creamy Truffle Pasta.

--

From: Operator

Alriteee. Kamu di mana?

--

From: Agi

Masih di jalan. Macet sekali.


Jakarta ini macetnya sudah tidak waras. Aku harus mengemudi satu jam lebih untuk menempuh jarak kurang dari sepuluh kilometer. Padahal perutku sudah bergemuruh lapar.

Syukurlah. Setelah mengelus dada entah berapa ratus kali, aku sampai juga. Aku membuka kaca, menekan tombol tiket parkir, lantas mencabut secarik kertas yang keluar dari mesin tersebut.


--

From: Operator

Makananmu udah sampai yaaa! :D


Huft. Bahkan berputar-putar mencari parkir saja sulit. Duh. Perut lapar memang bawaannya bikin mengeluh terus. Aku kembali mengeluh saat ponsel merahku berdenting. Pesan dari operator yang membuatku mengumpat jengkel.

--

From: Operator

Agi. OMG.

Ada cowoknya Ody di sini!!!!!


Sial! Aku menampar kemudi. Apa-apaan? Demi Tuhan, kekasih barunya Ody ini sebetulnya apa? Yang jelas bukan manusia. Barangkali virus atau bakteri. Karena jika bukan, jelaskan, mengapa dia ada di mana-mana? Apakah pria sialan itu memiliki kemampuan menggandakan diri?

Kesal, kutarik rem tanganku. Kuputar kunci. Kusesuaikan posisi persnelling. Aku tancap gas. Benar-benar hari yang buruk. Entah aku harus menahan lapar berapa lama lagi.

***

Jumat, 30 Maret 2018 

Hari Jumat, selesai jam jaga yang maha panjang, Ody menghampiriku ke rumah sakit. Membuatku mau tak mau terpaksa menemuinya.

"Kamu belum bilang ke mamamu kalau kita sudah putus?" tembak Ody tanpa basa-basi.

Aku terkesiap. Bagaimana Ody bisa tahu?

Mama terlanjur mereservasi meja di Oso, mama terlanjur menghadiahkan cincin warisan itu. Mana mungkin aku tega membeberkan pada mama bahwa aku dan Ody sudah bubar jalan?

"Kenapa Dy? Apakah habis terjadi sesuatu?" Aku bertanya, berusaha tenang.

"Ya. Terjadi sesuatu." Kacamata hitam itu ia turunkan. Kini, mata sembab itu bebas menatapku tajam tanpa penghalang.

"Mama kamu mampir ke toko aku kemarin," jelas Ody.

"Apa?" Aku terperangah, bahkan melempar sedikit punggungku ke belakang. "Apa yang mamaku lakukan di tokomu?"

"Beli hampers untuk arisan." Ody tersenyum kecut menyaksikan reaksi hiperbolaku.

Aku mengernyit heran. Ada yang aneh dengan skenario ini. "Hampers? Arisan?"

Arisan apa? Setahuku, mama tidak pernah ikut arisan apa-apa.

Sungguh konyol hari itu. Kami malah bertengkar di depan umum. Aku curiga, memicu keributan adalah talenta alami Ody. Seluruh hal di dunia ini bisa ia sulap jadi bahan perdebatan.

Lebih konyol lagi karena Dewa--kawanku yang unik dan nyeleneh itu datang melerai keributan. Hadirnya Dewa menjadi sumber kecanggungan.

Pertama, ia memanggilku Dara--inside joke yang sebaiknya dijaga dalam Geng Mayo saja. Kedua, Dewa membawakan ponsel merahku yang ternyata tertinggal di laci meja. Astaga. Betapa pelupanya aku padahal usia masih awal kepala tiga.

Ketiga, Dewa memberikan boneka kura-kuranya yang ia klaim adalah alasan mengapa ia disebut Dewa. Menurutnya, tanpa kura-kura tersebut, ia hanyalah manusia biasa. Kalian mengerti maksudku? Ya, boneka tersebut adalah jimatnya, dan ia secara tidak terduga malah memberinya pada Ody begitu saja.

"Jangan berantem lagi," pesan Dewa serius. "Nanti diusir satpam, lho."

"Iya, Dok. Eh, Dewa. Siap." Ody nyengir.

"Gue gak nyalahin lo." Lagi, entah yang ke berapa kali hari itu, Dewa iseng menyentil keningku. "Gue nyalahin Dokter Dara."

Dewa memeragakan gestur khas-nya--telunjuk dan jari tengah disatukan, ditempel pada pelipis, kemudian diangkat ke udara. Namun, ada sesuatu dari tatapan jenaka itu.

Sepertinya, Dewa mengetahui sesuatu.

***

Aku pulang ke rumah dan memastikan Ody tidak berbohong perihal perkataannya barusan. Ada setumpuk hampers di ujung ruangan, terbengkalai entah untuk apa.

"Buat apa ini, Ma?"

Aku sukar menyembunyikan guncang dalam suaraku saat mengawali percakapan. Aku tahu dialog ini tidak akan berpihak padaku.

"Ma," panggilku pelan.

Entahlah, semenjak peristiwa ulang tahunku yang kacau balau itu, aku rasa mama tidak pernah menatapku dengan tatapan sama.

"Mama sudah membujuk Ody. Sekarang tinggal bagaimana kamu," sahut mama dingin.

Sesuai dugaan, tidak pernah ada yang namanya arisan. Semua dilakukan mama demi meluluhkan hati Ody. Hampers ini murni alasan, guna menyambung komunikasi dengan mantan kekasihku yang sudah dilamar orang lain itu.

Demi Tuhan, cepat sekali pria itu bergerak. Benar-benar seperti bakteri yang giat berkembang biak. Sudah berapa lama dia mengenal Ody? Aku berani taruhan, paling hanya beberapa bulan. Berani sekali pria itu mengambil langkah seolah menikah itu bukan persoalan.

Ingin rasanya aku bocorkan perihal Ody yang datang ke rumah sakit tadi pagi--entah tujuannya apa, selain hanya ingin pamer cincin barunya. Cih. Namun aku tidak tega. Jika aku beritahu fakta baru ini pada mama, pasti beliau akan merana.

"Agi, selagi masih ada waktu, menjauh dari perempuan itu. Mama bukan menakut-nakutimu, tapi, coba kamu renungkan lagi, kamu bisa apa tanpa ibunya Ody?"

Kata-kata mama menikam dan aku tidak terima. Mengapa jasa Dokter Dhanti di masa lalu begitu memperberat langkahku? "Ma, jangan berbicara seolah-olah saya tidak berdaya sama sekali."

"Bukan begitu, Agi. Mama tahu kamu cerdas, nilai akademismu cemerlang. Namun karirmu itu berkat campur tangan ibunya Ody, kan?" cecar mama. "Mama gak habis pikir. Kamu ini kan pintar. Pernah berpikir, gak, apa dampak dari kelakuanmu ini? Apa kamu gak pikir dampak ke karirmu ke depannya?"

Napasku memberat dua kali lipat.

"Hancur karirmu kalau terus-terusan begini, Agi. Kamu bilang kamu bakal lanjut Spesialis Bedah, kan? Berarti, secara gak langsung, kamu akan butuh bantuan Dokter Dhanti lagi, kan?"

Mama mencengkram bahuku.

"Nak, coba berpikir panjang. Masa depanmu ditentukan oleh bagaimana kamu memperlakukan wanitamu," tekan mama.

"Ingat ya, Agi. Sampai mati pun Mama tidak akan merestui kamu dan Celia-mu itu."

Titik. Mama meninggalkanku melongo sendirian.

***

Sabtu, 7 April 2018 

Di usia kepala tiga, di tengah kesibukan mencekik, kumpul bersama kawan lama adalah berkat.

Aku bersama Marcell, Dewa, dan Yudhis berkumpul di sebuah restoran kopi di bilangan Jakarta. Sekalipun kami sudah bertambah usia belasan tahun sejak awal berjumpa, obrolan kami selalu berputar pada topik yang sama.

Lihatlah Yudhis yang dimarahi istri karena mangkir dari agenda makan malam bersama. Lihatlah Marcell yang diomeli pacar terbarunya karena melupakan acara kencan berdua. Lihatlah Dewa yang duduk di sampingku--si duda merdeka--lantang berpidato tentang pentingnya berlaku setia.

"Iya, iya. Ampun, Bapak Dewa, satu-satunya lelaki setia sejagad raya," olok Marcell, merasa tertohok dengan substansi pembahasan Dewa.

"Gak satu-satunya juga. Banyak juga lah laki-laki yang setia sama satu wanita. Sebelas dua belas kayak gue, anti mata keranjang. Nih, si Dara." Dewa menyenggolku dengan sikunya. Aku tersedak.

Uhuk uhuk.

Bagaimana bisa aku mengartikan selentingan Dewa barusan betul bermakna positif, saat mata itu--tajam menelitiku, seolah mengetahui apa-apa yang tidak aku ketahui. Untuk pertama kali, tatapan jenaka Dewa membuatku tidak nyaman.

***

Keseruan perbincangan kami terganggu oleh kemunculan sosok yang ternyata adalah sepupu ipar Yudhis.

Lagi-lagi, laki-laki itu.

Laki-laki itu bukan manusia, bukan virus, apalagi bakteri. Laki-laki itu kutukan. Kutukan yang muncul dimana-mana tanpa diinginkan.

Laki-laki itu yang ternyata bernama Hugo--muncul bersama Ody. Tatapannya pongah sekali, seperti menyombongkan bahwa Ody--kekasih satu dekadeku, kini sudah beralih status menjadi tunangannya.

Aku menyembunyikan ekspresi terlukaku dengan tatapan sesinis mungkin. Apalagi Ody malah merangkul pria itu--astaga, apa setelah putus dariku, perempuan satu ini lupa caranya berdiri tegak? Mengapa ia terus menerus bergelayut pada Hugo?

***

Minggu, 8 April 2018 

Obrolan di puncak mabuk menggelincirkan kami berempat pada topik seputar bagaimana Ody bisa mengenal Hugo?

Kesimpulan kami adalah bukti bahwa Tuhan Maha Mendengar. Aku pernah bilang, andai suatu saat Ody melakukan dosa yang sama--sungguh, aku akan lapang dada menerima.

Aku sebagai manusia tidak paham bahwa pikiran punya suara sementara Tuhan selalu pasang telinga. Aku sebagai manusia tidak mengerti bahwa lisan bisa saja bercanda tapi Tuhan betul-betul mengabulkannya.

Ody berselingkuh dariku.

Impas, bukan? Satu sama. Seharusnya aku tidak apa-apa. Aku dan Celia sudah tiga tahun lamanya, sedangkan Ody dan Hugo "baru" memulai ceritanya dari kondangan Yudhis dan Anis.

Seharusnya, aku tidak sakit hati, bukan? Anggap saja mata dibalas mata. Tetapi tidak.

Detik itu aku paham, seberapa rapi manusia mempersiapkan diri sebelum badai, toh ia tetap meringkuk menggigil saat badai tiba. Sampai kapan pun, kita tidak pernah cukup mempersiapkan diri untuk rasa sakit, bukan? Selama tiga puluh tahun lebih aku hidup, kurasa rasa sakit itu berevolusi, selalu datang melebihi wadah yang kusanggupi.

Sekalipun di masa lalu aku tanpa sengaja menyebutnya dalam semoga, aku tetap mendapati diriku larut dalam lara akibatnya.

Yudhis selaku sosok abang di antara kami, menenangkanku. "Kalau lo sedih, menangislah. Silakan, jangan sungkan."

"Iya, Dhis. Thanks," ucapku lamat-lamat.

Baru aku ingin menarik napas untuk menghamburkan emosi, Dewa keburu berceletuk. "Halah, sedih lo?"

Aku mendelik. Dewa menutup kaca mobil yang semula ia buka lebar-lebar.

"Sedih apa pura-pura sedih, Gi?" sinisnya. Ia menyebut nama panggilanku, Agi. Alih-alih Dara seperti biasa. Dewa sedang tidak main-main kali ini.

Yudhis menatap kami bergantian lewat spion tengah. Ia melerai. "Sudah, Gi. Jangan peduliin Dewa. Namanya juga mabuk."

"Siapa yang mabuk?" sergah Dewa. "Gue serius. Agiii, Agi ...  Yang Ketua Teater gue, yang jago akting elo."

"Apaan sih Deeeee!' raung Marcell yang merasa istirahatnya terganggu.

Dewa mendengkus. "Kenapa lo sedih, Gi? Karena Ody selingkuh atau karena gak nyangka Ody bales selingkuhin lo?"

"Gue gak ngerti maksud lo," ujarku, berusaha bersembunyi dari debar jantungku yang amat nyaring.

"Mana ada lulusan terbaik FK, begituan doang gak ngerti." Dewa mengangkat dagu. "Duh, Ody. Coba kalau dia tau lakinya begini."

"Lo suka kah sama Ody?" semburku sebal. Kekanak-kanakan, memang. Namun aku kembali mengingat bagaimana Dewa merelakan boneka kura-kuranya tanpa diminta. "Kok lo kasih jimat kura-kura lo ke Ody?"

"Kura-kura doang. Lo mau?" ketus Dewa.

"Bukan masalah itu. Kenapa lo kasih jimat lo ke Ody kalau bukan karena lo suka sama Ody?" tuduhku cemburu.

"ANJING! DUA BAPAK-BAPAK INI KENAPA RIBUTIN KURA-KURA SIH?" teriak Marcell.

"DIAM!" seru aku dan Dewa serempak.

"Ada apa ini sebenarnya?" Menyadari situasi mulai aneh, Yudhis ambil posisi sebagai penengah.

"Agi, siapa cewek yang ada di hape merah lo?" Dewa mendahuluiku berbicara.

Sekali lagi, skak mat. Mulutku terkunci.

"Begini, ya. Gue jelasin." Tatapan Dewa lurus menembus mataku. "Waktu di rumah sakit, gue denger ada suara vibrate di laci. Gue gak tahu itu hape punya siapa. Gue tanya ke suster, dokter jaga, residen, anak koas, semuanya pada gak tahu itu punya siapa.

Seinget gue, hape lo warna hijau, kan? Tapi gue yakin, sesekali gue pernah lihat lo pakai hape warna merah itu.

Untuk mastiin, gue buka aja hape itu."

Aku mendecak. Dewa ini mengada-ada. Bagaimana caranya dia membuka ponselku yang terkunci?

"Waktu di rumah sakit, lo cuma tanya bagaimana cara gue bisa nemuin lo? Padahal jawabannya mudah, gue tanya-tanya aja ke satpam sama resepsionis. Tapi lo gak tanya bagaimana cara gue tahu kalau itu hape punya lo, ya kan?"

Ya, betul juga.

"Lo pakai pattern lock, kan?"

Iya, aku menggunakan pattern lock--metode membuka kunci dengan menggambar garis pola tertentu di layar ponsel.

"Selamat, pilihan yang bodoh." Dewa tepuk tangan. Aku semakin dongkol dibuatnya. "Gue tinggal bikin layar hape lo mati, arahin ke lampu, dan voila, kelihatan jejak jari lo--dari situ gue tahu pattern lock lo seperti apa."

Sial. Aku lupa aku berurusan pada siapa. Aku berurusan dengan Oskar Dewananda.

"First of all, pattern lo terlalu mudah. Bentuk huruf 'C', bukan?"

Tebakan tepat. Aku melempar pandanganku ke luar mobil, pada lampu yang berkelip di luar sana. Tidak siap dihajar lebih jauh oleh penemuan cemerlang Dewa.

"Gue ngebuka hape merah itu gak ada niat lain. Gue cuma mau tahu itu hape punya siapa.

Gue buka galerinya, boom. Itu punya lo, Agi.

Kontak di hape itu cuma ada satu. Operator, kan?

Isi galeri juga cuma foto lo sama foto cewek yang gue yakin pasti selingkuhan lo. Lo gak punya kakak atau adik perempuan, kan?"

"Lagian, mana ada foto semesra itu sama saudara. Kecuali kalau lo ada kelainan jiwa, itu beda cerita."

"Gak berapa lama, si operator nelepon. Hebat. Pakai kartu apa lo, kok bisa teleponan sama operator?"

"Ya, telepon itu gue angkat. Analisis gue tepat. Namanya Celia, kan?"

Dewa puas memberondongku dengan analisis cerdasnya. Aku semakin terpojok saat Yudhis dan Marcell turut menyuarakan ketidak percayaannya terhadapku.

"Sudah kejawab, belum?" Dewa tersenyum licik. "Gue bukan suka sama Ody. Gue kasihan sama Ody."

Yudhis, Marcell, dan tentu saja aku, hanya bisa diam.

"Hape merah lo itu Samsung keluaran pertengahan 2014. Foto-foto di galeri lo, paling lama diambil di awal 2015. Menurut perhitungan gue, at least, lo sudah selingkuh sekitar 3 tahunan. Benar gak?" serang Dewa.

"Cukup, De," bela Yudhis. "Kayak hidup lo paling bener aja."

"Kenapa lo ngebela? Karena dulu lo juga tukang main cewek kah, Dhis?" balas Dewa, menyenggol masa lalu Yudhis.

"Tau. Kalau lo udah paling sempurna, kenapa dulu lo cerai dari Tania?" singgung Marcell.

Dewa menegakkan posisi duduk. "Bangsat. Kenapa jadi bawa-bawa Tania?"

Marcell memutar tubuhnya. "Lo juga sebelas dua belas brengseknya sama kita. Udahlah, jangan mojokin Agi sampai segitunya. Buat apa?"

Suasana memanas. "Gak buat apa-apa. Gue cuma gak tahan lihat orang munafik aja."

"Oh ya? Gue kira lo cuma mau nunjukin kehebatan lo aja. Wow, gue berhasil membongkar perselingkuhan temen gue. Gitu," hina Marcell.

That's exactly what I'm thinking. Apa tujuan Dewa mengonfrontasiku barusan selain untuk unjuk kehebatan?

"Anjing lah," umpat Dewa. "Dhis, turunin gue di ruko depan. Gue mau beli rokok."

"De! Gila, dari dulu sampai sekarang, childish lo gak sembuh-sembuh juga!" pekik Yudhis lantang.

"Bodo. Daripada kalau gue terusin di sini malah jadi berantem, kan?" Dewa memasukkan ponsel ke saku celananya.

"Lah? Elo yang ngajak berantem, De. Kita mah santai aja. Elo yang nge-gas dari tadi!" maki Marcell.

"SUDAH! SUDAH!" Yudhis menginjak pedal gas keras-keras. Mobil Yudhis berhenti di depan sebuah ruko yang sepi.

"Thank you tumpangannya, Dhis," ucap Dewa seraya membuka pintu mobil. "Agi, don't say I didn't warn ya, but, hati-hati karma."

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)

Guna menyegarkan ingatan terkait creamy truffle pasta, silakan kembali ke chapter "12 | Memanjatkan". Kalau kamu perhatikan di situ diceritakan bahwa Wina alias Celia datang sendirian, tapi pesan dua makanan--dan hanya satu porsi yang benar-benar ia makan, sisanya dia abaikan.

Adegan mamanya Agi alias Tante Yohan membeli hampers, silakan kunjungi chapter "16 | Ini". Tante Yohan bilang "Mama yakin, cuma Ody yang terbaik untuk Agi." karena Tante Yohan tidak setuju hubungan Agi dan Celia.

Adegan Ody marah-marah ke rumah sakit, silakan intip di "17 | Ini". Di situ Ody cerita kalau mamanya Agi beli hampers buat arisan, dan diceritakan Agi di situ mengerutkan kening. Karena Agi tahu, mamanya tidak ikut arisan apapun.

Adegan berbincang dengan Geng Mayo, ada di chapter "18 | Menyelamatkanmu", sementara adegan Agi "menangis" di mobil, dikisahkan di chapter "19 | Dari". Hanya saja, di chapter ini, aku ulas lebih jelas tentang apa yang terjadi di mobil malam itu.

Geng Mayo (kecuali Dewa) cenderung "ya udah lah" dalam menyikapi perselingkuhan Agi karena Marcell dan Yudhis pernah melakukannya di masa lalu. You might not believe this. Sori curhat, tapi ini betul-betul terjadi kepada orang sekitarku; bahwa terkadang solidaritas pertemanan jauh lebih utama daripada kebenaran. Ya, ada yang memvalidasi perselingkuhan atas nama setia kawan. Sounds disgusting, but it really happens.

Cihuyyy. Creamy Truffle Pasta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top