32 | Ketahuilah

Agi

Rabu, 31 Desember 2014

"Kita sudah hampir tujuh tahun pacaran, apa kamu gak kepikiran untuk lanjut ke jenjang yang lebih serius?" Ody mengoles selai cokelat di atas selembar roti. Sementara menunggu malam tahun baru tiba, kami mengganjal perut dulu dengan makanan yang ada.

Kala itu, usianya sudah genap 26, sementara aku 27, dan dalam beberapa hari akan 28.

"Sudah kubilang, aku harus tunggu Ardi menikah dulu." Aku menggigit setangkup roti. Aku anak kedua dari empat bersaudara--melangkahi alias mendahului Ardi--kakakku menikah, adalah hal yang masih dianggap tabu.

Ody berujar ketus. "Kak Ardi kan nikah sebentar lagi. Habis Ardi nikah, berarti?"

Aku memutar mata. "Ody, aku ini belum genap satu tahun buka praktek--"

"Apa? Mau lanjut spesialis? Tahu, kok. Pengalaman klinis minimal satu tahun, kan? Apa lagi?" tantang Ody. Ia menyebutkan syarat umum calon mahasiswa Pendidikan Dokter Spesialis: pengalaman bekerja satu tahun sebagai dokter umum, di luar masa magang.

Kuhirup napas dalam-dalam. "Aku mau menabung dulu, Dy. Spesialis itu gak murah."

Ody berjingkat ke arahku, matanya memicing serius. "Menabung? Kamu mau menabung sampai kapan? Aku kan sudah bilang, kalau kendalanya masalah biaya, aku siap bantu. Disuruh bayarin biaya sekolahmu sampai selesai pun aku gak masalah."

Deg. Ujaran Ody barusan serupa alas sepatu dan aku adalah sekubang lumpur yang diinjak-injak--tidak ada harga.

Aku tersinggung, merasa terhina.

Kamu mau menabung sampai kapan?

Adalah ujaran tidak langsung bahwa penghasilanku amat kecil, andai bekerja siang malam dan kutabung seluruh jerih payahku belasan tahun sekalipun, tetap tidak ada artinya.

Disuruh bayarin biaya sekolahmu sampai selesai pun, aku gak masalah--adalah ujaran yang kental akan impresi bahwa Ody mendegradasi semua masalah menjadi soal uang. Bukankah jelas, ia akan melakukan apapun--termasuk membiayai sekolah spesialis yang amat mahal itu--hanya demi aku lekas menikahi?

Rahangku mengeras. Perempuan ini, semenjak bisnisnya melejit--ia berganti menjadi sosok yang tidak aku kenali. Sombong sekali. Ia pikir, hidupku ini barang yang bisa ia gadaikan demi memuaskan hasrat dirinya sendiri?

"Berhenti menganggap semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, Rhapsody," geramku dengan suara rendah.

"Masalahmu memang di uang, berarti penyelesaiannya dengan uang, kan?" timpal Rhapsody, nada suaranya memuncak.

Iya, Ody benar. 

Masalahku memang di uang dan penyelesaiannya tentu dengan uang. Aku memang datang dari keluarga berkecukupan--hanya saja, saat aku SMP, ibuku menikah lagi. Perekonomian keluargaku bergantung pada usaha ayah tiriku. Entah, seberapa kuat aku mencoba berusaha luwes menerima, tetap saja, sampai kapanpun, bagiku ayah tiriku adalah orang lain--aku tidak mau menggantungkan nasibku pada orang lain, aku harus berusaha sendiri.

Namun, kusadari, jauh di lubuk sana, ada yang bersemayam minta dipenuhi: ego kelaki-lakianku tersakiti. Bahwa aku, sebagai laki-laki, tidak ingin harga diriku dikoyak hancur karena menumpang hidup dengan kekasihku.

"Tidak sesimpel itu, Rhapsody." Aku meletakkan rotiku di atas piring. Napsu makanku hilang sepenuhnya.

"Simpel, kok. Kamunya saja yang banyak gengsi," cemooh Ody.

Aku tidak tahan lagi. Langkahku memburu menuju pintu, aku membantingnya kencang-kencang, memilih pergi.

***

Seumur hidupku, aku merasa baik-baik saja--terlepas dari malang rintang yang ada. Namun, setelah aku bersama Ody, kurasakan ada yang hilang dari dalam diri--aku kehilangan rasa berarti.

Apa artiku di mata Ody?

Aku tidak akan sudi mengatakan ini ke siapa-siapa, tapi, Ody jauh lebih segala-galanya dariku.

Pertama, aku tinggal di apartemennya. Apartemen yang ia beli tunai, hasil banting tulang sendiri. Selain iuran rutin yang harganya bikin sakit kepala, seluruh isi apartemennya adalah miliknya dan dibeli olehnya. Perabotan, alat elektronik, sederet minuman mahal di mini bar, bahkan tanaman-tanaman yang aku koleksi--semua ia yang beli, mungkin hanya celana dalamku yang kubeli sendiri.

Kedua, isi lemariku nyaris semua hasil rogohan koceknya--hanya dengan dalih bahwa gayaku terlalu culun, Ody memborong seluruh koleksi baju pria dari brand ternama. Turtle neck yang biasa aku kenakan--aku punya lebih dari selusin dengan berbagai warna, semua dibelikan olehnya. Alasannya, "Kamu terlihat oke pakai turtle neck, Gi. Mulai sekarang, sering-sering pakai ini, ya."

Bahkan kacamata lensa bundarku, adalah pemberian Ody. "Agi, kamu kelihatan cupu dan boring pakai kacamatamu yang kotak. Ayo, kita cari kacamata yang lebih cocok untuk bentuk wajahmu," paksa Ody, ia menggamit lenganku, membuatku mau tak mau seharian mencari-cari kacamata yang (menurut seleranya) pas bagiku. "Nah, begini kan ganteng," komentar Ody seraya tersenyum puas, begitu kacamata bingkai hitam ini bertengger di batang hidungku.

Masih perlu tambahan?

Stetoskopku, Littmann Classic Black, adalah pemberian Ody tepat setelah aku Sumpah Dokter dan sedang bersiap memasuki masa magang. Parfumku, Musk Aoud by Roja Dove yang jika dirupiahkan harganya melewati sepuluh juta--juga berkat kemurahan hati Ody.

Bahkan setelan suit yang aku kenakan untuk acara-acara formal, semua dipesan Ody dari desainer ternama. Mungkin di matanya, aku ini gandengan yang memalukan. Demi kebanggaan diri, aku dipulasnya--supaya lebih elok dipandang mata.

Aku? Apa yang pernah kuberi untuk Ody? Hanya sebutir kotak P3K beserta isi obat-obatan, di hari ulang tahunnya yang ke-21. Sisanya tidak pernah lagi.

Aku bisa apa? Toh, semua bisa dibeli Ody. Termasuk harga diriku sebagai laki-laki.

***

Sore itu aku menyetir tak tentu arah. Prinsipku, aku akan berhenti di tempat yang memanggil namaku. Kebetulan, tempat yang memanggil namaku kala itu adalah sebuah kelab di bilangan Jakarta Selatan.

Hari itu amat  ramai. Sial. Sangat tidak cocok dengan kepribadianku yang pemalu. Berpikir apa aku? Ini kan, malam tahun baru. Aku sudah terlanjur membayar tiket masuk dan kini sekaleng bir sudah berpindah ke tanganku.

Aku tidak sudi menggelontorkan uang jutaan rupiah untuk open table, maka aku melipir ke area bar, untuk duduk-duduk di sana.

"Pesan apa?" tanya seorang bartender, ramah.

Sesungguhnya, aku tidak ingin apa-apa. Aku ingin duduk saja.

"Black Russian," sahutku cepat.

Aku menyebutkan cocktail favorit Ody--kalau tidak salah, isinya adalah campuran vodka dan coffee liqueur.

"Alright."

Sungguh, tidak sampai semenit, minuman warna gelap itu tersaji di depan mata. Aku menandaskannya tanpa aba-aba

"Black Russian, silakan." Bartender yang tadi menyodorkan segelas minum ke hadapanku.

"Lho, ini apa?" Aku menunjuk gelas yang isinya baru kutuntaskan.

"Mas, French Connection saya mana?" tagih suara seorang perempuan.

"Lho ... " Sang bartender tampak kebingungan. "Anu, sepertinya Mas ini salah minum ... "

Ups. Aku membuang pandanganku ke bawah. Malu. Pantas, Black Russian kali ini janggal--tidak ada rasa kopi sama sekali.

"Sorry, sorry." Aku meminta maaf, membungkukkan kepala. "Saya kira ini Black Russian pesanan saya." Gelap di sini, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Yang pasti, baik Black Russian maupun French Connection sama-sama tampak seperti minuman bercairan gelap yang disajikan di lowball glass.

Yang dimintai maaf, malah tertawa. "Saya?" Ia memiringkan kepala, alisnya bertaut, seolah telinganya baru menerima bahasa aneh.

"Gue," ralatku. Lupa, seharusnya aku menggunakan bahasa informal di tempat macam ini.

Ia tertawa lagi. "Black Russian sama French Connection memang terlihat mirip, sih," komentarnya seraya mengambil posisi di sebelahku. "Gue minum ya Black Russian punya lo."

"Silakan."

Hening yang tidak hening. Suara dentuman musik bercampur bising interaksi manusia memenuhi telinga. Lampu berkelip-kelip menyorot cahaya bergantian sisi--begitu sinarnya melewati wajah perempuan ini, aku terperanjat. Cantik sekali. Mungkin, tanpa sadar rahangku terjatuh dibuai pesona ini. Perempuan tercantik yang pernah aku temui? Bisa jadi.

"Nama?" tanya perempuan itu enteng.

Eh? Dia menanyai namaku? "Saya?" Cepat-cepat, aku mengoreksi. "Maksud saya, gue?'

Bibir perempuan itu ditarik ke satu sisi. "Ya." Tangannya mengulur, mengajak berjabat.

"Agi." Aku menyambut uluran itu, tentu saja.

"Celia." Cahaya malam itu diserap habis oleh matanya. Aku terpukau.

***

--

From: Rhapsody

Gi, di mana? Gak jadi malam tahun baruan?

Aku mematikan ponselku, melemparnya asal. Ada yang lebih penting. Rupa indah dan tubuh merekah ini adalah segalanya. Kami bercinta. Bercinta yang penuh gelora, bercinta yang aku damba.

Bercinta yang awalnya entah bagaimana--mungkin karena sama-sama mabuk, tapi jika mabuk adalah syarat memperoleh kenikmatan sehebat ini, sungguh, aku tidak keberatan harus mabuk setiap hari.

***

Kamis, 1 Januari 2015

Ada sebuah aturan yang membuatku menyesal mengapa aku baru tahu belakangan--aturan cinta satu malam. Ternyata, seharusnya, jangan pernah lanjutkan pergumulan instan sampai tiba waktu sarapan. Begitu hasrat tuntas, seharusnya langsung kau tinggalkan. Karena jika itu yang aku dan Celia lakukan, semuanya tidak akan berantakan.

Pagi hari, Celia menghidangkan sajian makan pagi yang menggugah selera.

"Ini bagus buat hangover." Ia menggeser segelas jus warna hijau pekat.

Refleks, aku menjepit hidung. "Tidak suka sayur ... "

"Padahal lo dokter, gue kira lo hidup sehat gitu," gumamnya enteng. Ia melahap semangkuk salad hijau yang terlihat menyeramkan. "Ini, chicken noodle soup. Sayurnya sedikit, kok. Kalau betul-betul gak bisa makan sayur, pinggirin aja."

"Thanks, ya." Aku mencelupkan sendok ke mangkuk, menyesap kuahnya. Sangat enak. Perempuan ini jelas piawai memasak.

Celia memandangku. "Enak?"

"He-eh." Aku mengangguk girang.

Hening. Kami sibuk dengan makanan kami masing-masing. "Btw, kamu tahu dari mana kalau saya--gue, dokter?"

"Lo sendiri yang bilang," celetuknya cuek.

Mataku membelalak. "Kapan?"

"Semalam, Agi. Lo juga cerita kalau lo mau daftar spesialis, lo udah beberapa tahun tinggal sama cewek lo, lo lagi berantem sama cewek lo karena--"

"Cukup," potongku. Seberapa jauh aku bercerita pada perempuan ini?

"Lo cerita semuanya, Agi." Celia tersenyum miring.  "Cewek lo, Gustina Rhapsody Tanaya, bukan?"

Aku tersedak. "Tahu dari mana?"

"Lockscreen hape lo, Gi," tunjuk Celia.

Aku mendelik. Lockscreen-ku memang memajang fotoku berdua dengan Ody, tapi, bagaimana caranya Celia mengetahui nama Ody, bahkan hapal nama lengkapnya?

"Dia teman SMA gue," jelasnya.

Shoot. Jika ada tombol cancel dalam kehidupan, akan aku tekan keras-keras untuk membatalkan kejadian ini. Bagaimana bisa aku tidur dengan teman SMA-nya Ody?

"Tenang, your secret is safe with me."

Aku meneguk ludah.

***

Aturan cinta satu malam, nomor dua: jangan membicarakan masa depan.

Kau benar, peraturan itu tentu aku langgar.

Obrolan tentang masa depan pun bergulir. Mengalir layaknya air.

Tentang aku dan cita-citaku menjadi Dokter Spesialis. Tentang Celia, seorang Dokter Gigi yang baru memulai perjalanannya sebagai Residen Bedah Mulut. Aku bukan orang yang mudah menemukan teman satu frekuensi, tapi bersama Celia, aku merasa begitu mudah terkoneksi.

Dalam waktu kurang dari satu malam, bayangkan. Aku dengan nyaman berbagi cerita, cita-cita, ketakutan, kesulitan dan segala yang menggangguku. Sama halnya dengan Celia.

Begitu saja. Aku merasa didengarkan, aku merasa dimengerti, aku kembali merasa diinginkan.

***

Apa aturan lain dari cinta satu malam yang aku langgar? Bercinta untuk yang kedua kalinya.

Betul yang dikatakan orang: bercinta yang pertama itu murni hasrat, tapi bercinta kedua kalinya dengan orang yang sama, berarti ada rasa yang terlibat.

Bersama Celia, aku merasakan percikan gelora yang entah dari mana. Celia pun mendapati percikan yang sama, percikan kami bersambut menjadi kobaran raksasa. Aku dan Celia bertempur untuk kali kedua--bahkan dalam waktu kurang dari dua belas jam setelah kami bertukar nama.

***

Celia adalah cinta satu malamku yang pertama, sehingga, sejujurnya, kala itu aku tidak tahu bahwa ada aturan-aturan tidak tertulis yang menggariskan batasan. Lagi-lagi, batasan paling fatal itu aku langgar. Jangan bertukar informasi pribadi.

Celia mengambil secarik kertas, merobeknya asal. Lantas, ia menuliskan nomor ponselnya.

Ia tersenyum menggoda. Aku tidak bisa mengenyahkan rasa bersalah dalam dada. Namun, aku lebih tidak sanggup mengusir rasa berdesir, keyakinan kuat--bahwa melalui Celia, aku menemukan hal-hal yang selama ini aku cari.

Aku menyerah. Kutarik pula selembar kertas, kuderetkan nomor ponselku di sana.

Celia menghadiahi pelukan singkat sebelum aku pergi. Inginnya aku tidak kembali, namun aku butuh untuk datang lagi.

***

Aku memang bejat. Namun, aku hanya ingin jujur, bahwa Celia jelas jauh lebih segalanya dari Ody.

Wajah itu memiliki pesona mencuri hati, mungkin sepuluh kali lipat cantiknya dari wajah Ody. Pasti semua yang matanya tidak buta akan berpendapat demikian.

Tubuhnya adalah area surgawi, impian seluruh pria di muka bumi. Jauh lebih menggairahkan juga memuaskan ketimbang tubuh terlampau kurus milik Ody. Demi Tuhan, aku yakin, semua lelaki normal akan berpikiran begini.

Celia tidak pernah menghina maupun meremehkan--terkhusus masalah ranjang.

Di sisi lain, Ody akan menabok dan mengomeli secara eksplisit andai manuverku tidak sesuai preferensinya. "Gi! Gaya lain dong! Masak itu itu melulu? Bosan! Mana gak enak!"

"Anjrit! Sakit! Sudah kubilang, pemanasan dulu yang benar. Jangan main masuk aja!" sewot Ody dengan muka masam. Ia akan menarik selimut besar, menutupi seluruh tubuhnya, kemudian membelakangiku seperti anak kecil.

Aku? Dimarahi begitu, langsung padam nafsu. Biasanya, aku akan menghabiskan semalaman memikirkan, apa yang bisa aku tingkatkan terkait kemampuan seksualku? Apa aku betul-betul sepayah itu?

"Gi? Gitu doang? Aku belum sampai sama sekali. Masih jauh, sumpah. Kamu kok udahan aja sih?" Ody merepet masalah ketahananku di atas ranjang dengan begitu blak-blakan. Sungguh, identitasku sebagai pria, begitu sempurna ia runtuhkan.

Sejauh ini, aku selalu dihantui pikiran buruk itu--bahwa aku adalah laki-laki yang harga dirinya bisa dibeli, di ranjang pun sepasif ikan mati--tapi semenjak aku bertemu Celia, aku paham bahwa aku sama sekali tidak seremeh yang aku bayangkan.

Celia bagai oase di tengah padang pasir. Bayangan figur Ody yang penuh menuntut, dikalahkan oleh Celia yang menyejukkan dan penurut.

***

Gadis itu paling paham betapa panjang dan melelahkannya proses untuk mencapai posisiku yang sekarang.

Kata siapa cinta tidak memandang profesi? Mungkin ada benarnya, tapi, cinta butuh pemahaman. Aku rasa, tidak ada yang bisa memahamiku lebih baik dari teman sejawat satu profesi.

Aku adalah dokter pertama di keluargaku. Dari luar, mereka sekadar tahu bahwa perjuangan mencapai gelar profesiku tidak mudah. Namun, tidak ada yang paham pasti bagaimana berdarah-darahnya aku untuk mencapai itu.

"Gue paham kok," senyum Celia. "Gue kan dokter juga. Gue tahu banget, struggle lo kayak apa."

Aku menjentikkan jari. Ini dia!

Celia mencurahkan uneg-unegnya. "Gue juga sempat ditentang keluarga karena milih sekolah spesialis duluan daripada berkeluarga. Katanya kalau perempuan berpendidikan tinggi, gak akan ada yang mau, lah. Kalau gue ketuaan, nanti gak laku, lah."

"Memprioritaskan pendidikan itu tidak salah, kok. Semua orang berhak menentukan prioritasnya masing-masing," imbuhku.

"I know, right?" tawa Celia membahana. Aku juga. Kami sama-sama baru saja menemukan validasi yang selama ini kami cari.

***

Men need to feel needed.

Satu hal yang sebaiknya diketahui wanita tentang pria: pria butuh merasa dibutuhkan.

Sepanjang ingatanku, aku tidak mendapatkan itu dari Ody.

Masih ingat peristiwa saat aku bertemu Ody? Saat tangannya terpotong dan berdarah-darah--semua orang panik, sementara ia meminta pertolongan dengan wajah amat datar, seolah darah yang membasahi lengan kemejanya bukan darah betulan.

Aku yang menolongnya kala itu. Mungkin itu kali terakhir aku merasa dibutuhkan oleh Ody. Sisanya tidak pernah lagi.

Aku akan terkesan seperti bajingan dengan membeberkan ini semua. Aku akan jujur, bahwa aku merasa rendah diri setiap bersanding dengan Ody.

Apa gunanya aku ini?

Barang-barangku, ia yang beli. Lampu apartemen mati, dengan cekatan ia ganti. Keran bocor, ia betulkan sendiri. Bahkan membunuh kecoak terbang pun bisa ia lakukan dengan wajah tanpa ekspresi. Aku pernah berandai-andai, sepertinya andaikan Ody patah kaki, ia akan tetap lancar mengemudi.

Sementara aku butuh merasa dibutuhkan, kekasihku malah tidak butuh siapa-siapa. Apalah aku jika bukan sekadar pajangan?

***

Yang aku pelajari dari Ody adalah bahwa kelemahan manusia itu relatif. Yang dipersepsikan orang lain sebagai kekuatan, justru aku anggap merugikan. Ya, Ody menakjubkan. Sure, she's the coolest lady I've known. Namun jika kekuatan yang ia punya justru menjungkirkan nilai diriku, buat apa? Aku juga manusia biasa yang butuh merasa berharga.

Aku dapatkan itu semua dari Celia.

"Tolong bukain botol minumanku, dong," pinta Celia halus.

Aku memutar botol cold pressed juice favoritnya. Dalam sekejap, tutup botol itu melonggar dari mulutnya. "Nih."

"Hebat! Padahal tutupnya keras banget!" puji Celia dengan mata berbinar.

Mataku ikut berbinar. Sepele, aku tahu. Namun gestur sepele itu membantuku merasa berguna.

Bandingkan dengan Ody. Jika ia tidak bisa membuka tutup botol minumnya, ia akan menggigit tutup botol itu, lantas dengan kekuatan rahangnya--berusaha meregangkan ulir botol dengan sekuat tenaga. Intinya, meminta tolong adalah keharaman di kamus hidup Ody, aku pun tidak bisa membantunya apa-apa.

"Aku suka banget cold pressed juice dari Naturista," ujar Celia. Bibir merahnya tersenyum merekah.

"Oh ya?" Aku antusias. "Paling suka rasa apa?"

"Strawberry and cantaloupe," jawabnya.

Aku mengacak lembut helai-helai rambut itu. "Nice, mulai besok aku belikan buatmu, ya."

Celia bersorak. "That's so kind of you! Thank you!"

Dear ladies and gentlemen--listen: Celia is a grateful lady, Ody would never.

***

Sabtu, 14 Februari 2015

Hubungan aku dan Celia salah, jelas. Berjalan lurus itu harus, tapi apa daya saat berbelok lebih menggoda?

Hari ini adalah hari pernikahan Ardi, kakak kandungku. Setelah satu bulanan aku nyaris tidak menemui Ody sama sekali, hari ini aku kembali. Terpaksa. Karena aku harus menghadiri pernikahan Ardi dan Ody menjadi pendampingku, tentu saja.

Sepanjang hari, kami saling melontar diam. Tidak mengenakkan. Namun justru aku bersyukur. Aku akan mencampakkan Ody setelah ini.

Acara sudah selesai. Kami kembali ke apartemen Ody. Kami masih saling diam. Sementara aku menyusun kata untuk mengakhiri hubungan kami.

Ody berdehem. "Aku duluan yang ngomong atau kamu?"

"Kamu duluan saja," sahutku segera.

Kulihat perempuan yang selalu berambut pendek itu menghela napas. "Agi, aku minta maaf ya."

Deg. Rasanya seperti ada sebutir bola basket menghantam kepalaku dengan kecepatan tinggi. Apa ini? Aku tidak pernah menduga kalimat itu akan terlontar darinya.

Ia merapatkan jarak. Sebelah tangannya membelai pucuk kepala. "Aku terlalu kasar ya, Gi." Suara Ody parau. "Aku minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud meremehkanmu. Aku cuma bermaksud membantumu, mendukung kamu supaya kamu bisa meraih yang kamu impikan."

Deg. Lidahku tahu-tahu beku.

"Aku sadar, caraku salah dan aku tanpa sengaja menyakiti kamu. Aku minta maaf ya, Agi," ucap Ody. Matanya bola kaca.

"Apapun yang kamu cita-citakan, aku akan dukung kamu, hm? Aku yakin kamu bisa. Aku memang tidak paham persis perjuanganmu seperti apa, karena aku sendiri tidak mengalami." Buku jari Ody menyusut matanya. "Tapi, aku janji akan selalu mendukung kamu di sini."

Deg. Seluruh kalimat yang aku tata, hilang tanpa sisa. Aku terlanjur salah sangka, berpikir Ody menganggapku sebelah mata.

Ody melingkarkan lengannya di tubuhku. "Selamat tujuh tahun, Agi." Air matanya hangat merembesi bahuku. Aku bahkan lupa, hari ini adalah hari jadi kami yang ketujuh.

Perempuan yang menjadi cinta pertamaku itu berbisik lembut. "Gi, kamu tahu kan, aku tidak punya figur laki-laki dalam hidupku? Kamu benar-benar laki-laki satu-satunya yang aku punya, Agi."

Ya, Ody tidak punya ayah. Bahkan ibu kandungnya belum pernah menikah.

"Ya, Rhapsody." Aku balas memeluknya.

"Terima kasih banyak, Agi. Aku bersyukur memilikimu. Kamu benar-benar laki-laki yang baik. Aku minta maaf kalau aku belum bisa menjadi yang terbaik untukmu." Ody terisak.

Aku sesak. Perbuatan bejat apa yang sudah aku perbuat?

Laki-laki yang baik?

Sungguh, aku merasa tercabik.

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)

Silakan kembali ke chapter "9 | Saat" untuk menyegarkan ingatan. Di situ, kalau kamu perhatikan, Agi selalu menggunakan kata ganti "Gadis itu". Siapa gadis itu? Apakah itu Rhapsody? :)

Silakan baca ulang tapi mohon untuk tidak berkomentar yang menjurus spoiler. Semua komentar menjurus spoiler akan aku hapus.

Dari sudut pandang Agi, isu yang ingin aku angkat adalah perihal "Fragile Masculinity" alias maskulinitas rapuh. Singkatnya, maskulinitas rapuh itu berlaku bagi kaum pria yang merasa "hina" akibat tidak memenuhi standar maskulin yang ada.

Contoh standar maskulin: laki-laki tidak boleh cengeng, laki-laki dilarang menunjukkan sisi emosional, laki-laki harus kuat dan disegani, laki-laki tidak boleh "lebih rendah" dari perempuan.

Dalam In Between In Between, dikisahkan Agi sebetulnya merasa sangat minder karena Ody jauh lebih sukses dan terlampau mandiri, sehingga dia sebagai laki-laki merasa tidak berharga dan tidak dibutuhkan.

"Ah, Kak. Itu mah sepele" eits, kata siapa? Banyak studi yang membuktikan bahwa laki-laki diharapkan untuk mencapai "standar" tertentu atau laki-laki tersebut dipersepsikan kehilangan "nilai" di mata masyarakat.

Lantas, kenapa Agi memilih Celia alias Wina ketimbang Ody? Aku rasa sudah jelas ya, karena Celia membuat Agi merasa bernilai. Simply karena Agi merasa Celia lebih pandai mengapresiasi dirinya.

Aku TIDAK bilang semua laki-laki seperti ini, tapi apakah ada yang seperti ini? Ada. Banyak. (Silakan cari jurnalnya dengan keyword: "Fragile Masculinity PDF", ada sejibun bukti. Jadi, ini BUKAN perkataan aku pribadi. Aku bicara based on research, bukan asal bunyi.)

Begitulah. Selamat overthinking lagi. Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top