28 | Sembuh


Agi



Sabtu, 18 Agustus 2018

From: Rhapsody

Gi, jadi dateng ke ulang tahunku kan?


Pesan singkat kiriman Rhapsody terbit di layar. Pukul delapan malam nanti, shift jaga IGD akan berakhir. Saat tugasku selesai, aku akan meluncur menghadiri acara makan malam ulang tahun Ody. Hari ini, ia genap berusia tiga puluh. Ody mengundang segenap keluarga, kerabat, karyawan, sahabat, dan juga aku, untuk turut memeriahkan acara.


From: Agi

Ya. See you.

Aku menertibkan ponsel ke dalam saku snelli seperti biasa. Adalah sebuah berkat, IGD sepi di malam Minggu.

"Dok, ada pasien baru," ujar seorang perawat. Aku mengangguk, mengekor perawat tersebut yang berjalan menuju salah satu bed pasien. Seingatku, ini pasien kelima sepanjang shift jaga hari ini.

Pasien itu seorang perempuan, data pasien menunjukkan usianya nyaris tiga puluh tahun, wajahnya pucat, tubuhnya lunglai. Mengeluh pusing, mual, dan muntah, sudah terjadi selama beberapa minggu ke belakang. Suhu tubuh sedikit demam. Denyut nadi dan sebagainya normal. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi atau riwayat konsumsi makanan pemicu.

Aku memosisikan pasien tersebut untuk berbaring, kedua lengan dibiarkan terkulai di sisi badan, kedua kaki dilipat guna merelakskan dinding abdomen--perut.

Dengan sigap, kupasang stetoskop Littmann Classic Black pemberian Ody di telinga. Aku melakukan auskultasi--memeriksa dengan mendengarkan bunyi tubuh menggunakan stetoskop. Aku mengarahkan diafragma--bagian kepala stetoskop ke arah perut, guna mendengar bunyi bising usus. Setelah mendengarkan kurang lebih dua menit per area, kusimpulkan frekuensi bising usus masih dalam batas normal.

Selanjutnya, aku melakukan pengetukan atau perkusi. Secara umum, abdomen terbagi menjadi empat bagian--kiri atas, kanan atas, kiri bawah, serta kanan bawah. Perkusi berfungsi untuk mendeteksi distribusi gas pada perut. Namun, tidak didapatkan pula bunyi timpani yang umum dihasilkan gelembung udara dari organ lambung atau usus.

Terakhir, aku melakukan palpasi atau penekanan. Wanita tersebut meringis kala aku menekan pelan area perut bawahnya--area rahim.

Aku jadi curiga. Lekas aku menginstruksi perawat untuk mengambil darah. Dengan cekatan, perawat memasang tourniquet--alat penahan aliran darah di lengan atas, untuk kemudian diambil sampel darahnya. Sejauh pemahamanku, hasil anamnesis--pemeriksaan tidak condong ke satu gejala penyakit spesifik. Dugaanku, wanita ini hanya ... ah, sudahlah. Aku mencabut selembar kertas cek lab, menceklis kotak immunologi, endokrin dan metabolisme, beta HCG quantitative serum.

"Untuk mengetahui diagnosis yang pasti, saya sudah ajukan cek laboratorium. Nanti satu jam lagi silakan kembali ke sini, ya."

"Oke, Dok. Terima kasih." Wanita itu mengangguk singkat, lantas lenyap dari pandangan.

***

Satu jam kemudian, perempuan itu kembali. Raut wajahnya cemas. Hasil cek laboratorium sudah di tangan. Aku mengamati kertas tersebut secara saksama.

Human chorionic gonadotropin--adalah hormon yang diproduksi plasenta janin. Singkatnya, hormon ini adalah penanda kehamilan. Pada usia kehamilan muda, hormon ini terkadang sulit dideteksi oleh test pack dan semacamnya. Pemeriksaan darah di laboratorioum dapat menghitung jumlah HCG dalam darah secara eksak--dengan demikian dapat mendeteksi kehamilan lebih akurat, bahkan memperkirakan usia kandungan janin.

Begitulah yang terjadi pada wanita di hadapanku. Kadar HCG-nya mencapai puluhan ribu mIU per mililiter. Aku menghela napas berat.

"Nona Celia." Aku memandangnya, berusaha bersikap setenang dan sewajar mungkin.

Pasien bernama lengkap Celia Andrawina itu menatapku khawatir. Ada lapisan tipis air bening di tepi matanya. "Ya?"

Aku menghela napas lagi. "Sebetulnya, Nona Celia ini baik-baik saja."

"Tapi?" Celia tahu, sekalipun ia kunyatakan sehat walafiat, ia yakin ada sesuatu yang tidak beres dari tubuhnya.

"Nona Celia positif hamil," terangku. Sejujurnya aku bingung, harus tersenyum--karena sewajarnya ini kabar bahagia atau harus berbelas kasih--karena tampaknya wanita ini tidak berbahagia.

Pecahlah tangis pasien di hadapanku. Ia meraung dan mengutuk. Aku kewalahan, berusaha meredam ledakan emosinya. Memang sebuah tindakan haram berpikir IGD sepi. Dalam sekejap, IGD ricuh oleh tangis wanita ini.

***

Minggu, 19 Agustus 2018

Ody membukakan pintu, setelah aku mengetuk entah berapa ratus kali. Gadis itu kusut, rambutnya awut-awutan, langkahnya sempoyongan. Di tangan kirinya, bertengger sebotol chardonnay wine yang nyaris tandas. Tanpa berpikir dua kali, aku mengambil paksa botol tersebut dari tangannya.

"FUCK! YOU!" Ody menyerapah. Air matanya deras memancar. Pada detik ketika aku berhasil merebut chardonnay wine dari genggamannya yang kuat, ia rubuh. Kemudian lanjut tersedu-sedu.

Aku berjongkok di hadapannya. "Aku minta maaf, Dy."

Ody tidak menggubris. "Tisu." Gadis itu memajukan telapak tangan, seperti orang meminta.

Aku memberi sapu tanganku seperti biasa. Ody menuntaskan lendir hidungnya di sana. Aku menatapnya sabar.

"Kenapa. Kamu. Tidak. Datang. Tadi?" Ody memenggal kata-katanya. Setiap jeda yang disisipkan di antara kata, telunjuknya mendorong pelan bahuku.

"Aku minta maaf, Dy. Tadi ada ribut-ribut di IGD," jelasku. Tanganku berusaha meraih puncak kepalanya. Aku paham betul, Ody sangat kecewa karena aku mangkir dari undangan. Sejelas dan setenang mungkin, kupaparkan peristiwa tak terduga yang menimpaku tadi. Tentang pasien wanita yang meraung-raung setelah dinyatakan positif mengandung.

Ody menepis kencang jemariku. "JANGAN MENDEKAT! AKU KASIH INGUS NIH?" ancamnya.

"Wey, jangan dong!" Aku menghindar dari terkaman Ody.

"GRATIS KOK!" lanjut Ody dengan nada nyolot. Matanya sembab. Ia menyedot ingus keras-keras.

"Iya, iya, gratis." Yah, siapa pula yang mau merogoh kocek demi lendir hidung orang lain? "Ampun, Dy. Aku minta maaf banget." Aku mengacungkan dua telapak tangan. Sejurus kemudian, aku mendekapnya. Isak Ody tumpah ruah di sana.

"Aku ini gak pantas buat bahagia, kah?" Tangis Ody memekakkan gendang telinga. "Hugo mutusin aku begitu aja lewat telepon. Kamu gak datang ke acara ulang tahunku."

Aku membenamkan tubuhnya dalam dekapku.

"Anjing! Berani-beraninya kalian menyia-nyiakan perempuan secantik aku!" racau Ody. Tangannya meremas-remas kemejaku.

Sesungguhnya aku ingin tergelak menanggapi ceracau wanita yang berlabuh dalam dekapku ini. Namun aku masih punya empati, mulutku aku kunci. "Pantas kok, Dy. Kamu pantas berbahagia. Sudah. Jangan ukur self worth kamu dari bagaimana orang lain memperlakukan kamu ya," pesanku.

"YA KAMU ITU YANG MEMPERLAKUKAN AKU DENGAN BURUK! DIUNDANG KOK, GAK DATANG! BUANG-BUANG DUIT AJA!" makinya.

Aku membenamkan bibir di antara rambut Ody. "Ssssttt ... "

"AKU MAU BUAH!" pinta Ody nyaring.

Tengah dahiku berkerut. Buah apa? Ody punya alergi terhadap buah dan sayur mentah--ini alergi yang unik dan cukup tidak umum. Di mana protein serbuk sari yang terkandung dalam buah dan sayur mentah memicu reaksi gatal di mulut dan kerongkongan Ody. Ody tidak bisa memakan buah maupun sayur, kecuali yang sudah diolah dengan suhu panas--seperti dalam bentuk selai, kue, roti, dan sebagainya. Paparan suhu tinggi diperlukan untuk menjinakkan protein pemicu alergi.

"Buah apa? Sini, biar aku hangatkan." Aku bangkit, menawarkan untuk menghangatkan buah-buahan untuk Ody. Iya, Ody memiliki sebuah microwave di apartemennya yang biasa ia gunakan untuk menghangatkan buah atau sayur sebelum dikonsumsi.

"Aku mau buah yang tidak perlu kuhangatkan sebelum aku makan," decak Ody. Ia mengetatkan cengkeraman lengannya pada pinggangku.

"Memangnya ada?" Ujung jempolku menghapus sebulir air yang bergantung di ujung matanya.

"Ada." Ody mengangguk semangat. Ia tersenyum, sementara matanya mengawang.

"Apa?" Aku tersenyum tipis.

"Banana. The banana inside your pants," tunjuk Ody, lantas tawanya menyembur tidak terkendali.

"Ody?" Aku berupaya menyadarkannya.

"Baby, come in," bisik Ody. Matanya mengedip liar. Ia berdiri begitu cepat--nyaris limbung andai aku tidak sigap menangkapnya.

"Mau apa?" cetusku panik.

"Warming up yours, just to make sure it's legit safe before I eat." Telunjuk dan jempol Ody membentuk huruf 'O', kemudian ia gerakkan naik turun--if you know what I mean. Selanjutnya, dengan satu kerahan tenaga, ia mendorongku hingga terdampar di atas sofa.

"Dy!" Aku berseru kala tangan Ody menahanku. "Kenapa tiba-tiba begini, Dy?"

"Diam kamu! Aku lagi pengen!" erang Ody. Ia memaksaku menempelkan bokong di permukaan sofa. Wajahnya menunduk. Terus menunduk, menunduk dan menunduk, mendekati pangkuan, menjemput ... selangkangan.

Kami punya histori hubungan yang cukup panjang dan kami bukan orang suci yang piawai mengelola nafsu birahi. Kami adalah kali pertama sekaligus kali seterusnya bagi satu sama lain. Mengeksplorasi beragam sentuhan duniawi. Dari sentuhan halus pada indera peraba, sampai saling menjamah raga. Bersamanya aku saling menjelajah dan saling mengarungi. Dari mulai permainan pertama yang masih dibumbu rasa malu-malu, hingga beberapa momen saat kami buta oleh nafsu.

Namun tidak malam ini. Sudah cukup lama waktu memberi jarak bagi keintiman kami. Aku terlalu canggung untuk melakukannya kembali.

"AAA AKU MAU PISANG!" rengek Ody semakin beringas. Ia meronta agresif. Jantungku bertalu-talu. Gemetar, kututupi ritsleting celanaku.

Tuk. 

Dalam satu kedipan mata, Ody terantuk. Hanyut dalam kantuk. Tidak sampai tiga hitungan, ia terkulai mendengkur. Di atas pangkuanku, Ody tertidur.

***

Aku menatap wajah indah yang sedang terlelap itu. Di kulit wajah penuh bekas air mata, ksapukan buku-buku jemari. Perlahan namun pasti, terbit rasa haru dalam diri.

"Rhapsody ... " hembusku.

"Hmm," sahut Ody setengah sadar.

"Selamat ulang tahun yaa." Jemariku melingkar-lingkar di helai rambutnya.

Ody menanggapi ketus. "Telat sehari."

"Maaf, hm? Apa yang terjadi kemarin betul-betul di luar kendaliku, Dy. Aku tidak bermaksud melupakan hari ulang tahunmu. Maaf ya, Rhapsody."

Aku sangat mencintai perempuan ini. Sejak pertama bertemu, melalui ribuan-ribuan pertemuan setelah itu. Aku sudah terbiasa dengannya. Rasanya, aku perlu terlahir kembali untuk menghanguskan seluruh momen bersamanya.

"Agi, seharusnya aku yang minta maaf," lirih Ody. Kurasakan kain pakaianku membasah oleh air matanya. Kali ini, suara itu sudah milik kesadaran, bukan celoteh sepele pengaruh alkohol semata.

Entah. Alih-alih merasa bahagia, justru sesak malah rapat dalam dada. "Aku pun, Rhapsody."

"Kita udah lama banget bareng ya, Gi. Sayang, karena kebodohan aku, semuanya jadi berantakan."

Mataku menggenang.

"Hubungan kita sepertinya hanya butuh spasi, bukan tanda titik." Ia mengusap mata.

Benar. Kasih kami sudah begitu lama terjalin. Bosan bukan sesuatu yang bisa dihindarkan. Apalagi saat hubungan sudah rancu tujuan. Aku pernah kecewa karena Ody memilih meninggalkan, tapi aku jauh lebih kecewa pada diriku sendiri yang tidak cukup berusaha mempertahankan.

Mataku terpejam. "Tapi, kita bisa menulis cerita baru, kan?"

Ody mengangkat kepala dari pangkuanku. "Kamu ini sekalian cari kesempatan ya?"

"Kesempatan apa?" Pandanganku nanar.

Matanya bengis, tapi yang keluar dari bibirnya hanya suara meringis. "Kesempatan merebut aku kembali."

"Merebut? Kamu kan bukan barang, Rhapsody." Aku membenarkan posisi duduk.

"Lantas, apa namanya kalau bukan merebut kembali?" Ody menegakkan punggung.

Aku menunggu sepuluh detak jantung terlewat sebelum melisankan kalimat yang dirangkai hati-hati dalam benak.

"Memperjuangkan kembali," jawabku pasti.


---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini ditemukan jauh lebih banyak pembaca!

Aku udah beberapa kali post visualnya Agi di twitter-ku. Dipikir-pikir, oke juga kalau aku post sekalian di sini. So, here you go!

Iya, Pak Dokter yang satu ini memang gantengnya gak ada obat.

Aku bikin via artbreeder.com, sori itu frame kacamata beda kanan sama kiri, karena jari author-nya jempol semua jadi kepleset mulu. Terus sori gabisa kacamata lensa bundar seperti yang selalu aku deskripsikan. Kacamata lensa bundar, kotak, segitiga, maupun jajar genjang sekalipun, tetap ganteng kan? :P

Sampai bertemu di chapter berikutnya! Menuju klimaks terakhir dari In Between In Between, are you ready?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top