26 | Serta


Hugo


Dalam suatu hubungan, ada dua yang paling penting; setia dan percaya. Dari sikap setia, lahirlah rasa percaya. Berkat sikap percaya, terciptalah sikap setia.

Tidak ada yang lebih munafik dari perkataan itu, setidaknya dalam hidupku. Dua hal paling penting dalam hubungan: sikap setia dan percaya. Nahas, dua hal itulah yang justru absen dalam rumah tangga orang tuaku.

Ayah tidak percaya ibu. Rumah besar yang dibangun Misael sesungguhnya adalah pembatas ruang gerak Esther. Rumah besar itu menyempitkan makna dunia bagi Esther. Semenjak menikah, dunia Esther yang tadinya seluas semesta kini hanya secuil ruangan yang dikungkung pagar rumahnya.

Tumbuh besar, kusaksikan ayah yang penuh curiga. Dilarangnya ibu meneruskan karir yang dulu ia bangga-bangga.

"Aku hanya mengantar Hugo ke dokter gigi tadi," ringis ibu seraya memegangi pelipisnya yang baru kena hajar. Ibu bersikukuh mendebat ayah, meski tahu perbuatannya barusan sungguh kurang ajar. Ayah akan jauh lebih marah jika ibu melawan, tetapi ibu tidak pernah belajar. Lihat, murkanya kembali melanjar.

"Alasan! Siapa lagi yang kamu temui di sana?" bentak ayah.

"Nggak ada! Aku tidak menemui siapa-siapa!" jerit ibu.

Ayah tahu ibu berdusta. Keributan tidak seimbang kembali menjadi suguhan mata.

Begitulah cara mencintai wanita, satu wanita untuk selamanya.

Dalam mencintai, langgeng atau tidak bergantung pada caramu memperlakukannya.

Tahu cara terbaik memperlakukan wanita? Jangan beri rasa percaya, supaya wanitamu tidak main kemana-mana.

Ayah berbicara seperti itu dengan raut dingin di kulit wajahnya, paska memukuli ibu hingga habis tenaga. Ada renyang di mataku melihat ibu bersimbah darah di ruangan bawah tangga.

"Hugo! Cepat cerita, apa saja yang dilakukan ibumu selama mengantarmu ke dokter gigi?" Ayah menarik kerah bajuku, sementara aku menyaksikan ibu di pojok ruangan, kepayahan, sinar matanya memohon ampunan, sekaligus merayuku untuk tidak memberi bocoran.

Aku menggeleng singkat. Tamparan dihadiahkan di rahangku, seketika aku merasakan rasa darah dalam mulut nan pekat.

"Masih kecil kok sudah berani bohong sama orang tua," hardik ayah.

Aku bungkam. Beberapa pukulan dan tendangan tidak akan mengantarkanku ke makam. Paling hanya mengukir beberapa lebam. Aku akan baik-baik saja selama aku diam.

"Hugo," bisik ibu setelah ayah puas menjadikanku bulan-bulanan.

Disakiti ayah, aku tidak melawan. Dipeluk ibu, aku meronta tak karuan. Aku berlari meninggalkan. Rasanya aku ingin menghilang, barangkali terbang ke awan.

Dadaku naik turun. Aku benci ayah yang memukuli ibu, tapi aku jauh lebih benci ibu yang membohongi ayah. Ayah salah karena ayah tidak percaya. Ibu lebih bersalah karena ibu tidak setia.

***

Rabu, 13 Juni 2018

Keparat. Pikiranku begitu laknat.

Pertengkaran besarku dengan Ody beberapa waktu lalu, memancing luka yang ternyata masih menyayat, merangsang ingatan kelam yang sesungguhnya ingin kusegel rapat.

Aku menggeleng kuat, berharap pikiran-pikiran mengganggu itu tak lagi kuingat.

Netraku menitik pada selembar kertas yang menghampar di atas meja. Tanganku bergerak menggambar site yang tadi siang aku kunjungi. Kuambil french curve--pemandu garis lengkung, guna menandai sun path curve--sebuah kurva yang memberi informasi bagaimana sinar matahari berdampak pada lokasi bangunan.

Site visit yang aku lakukan, sejatinya adalah preliminary survey--atau survei sebelum memulai proyek. Singkatnya, site visit ditujukan supaya arsitek mengenal lokasi pra pembangunan secara menyeluruh sebelum dilakukan perancangan.

Apa saja yang dilihat saat site visit? Banyak. Mulai dari lokasi secara menyeluruh--bangunan di sekitar, akses jalanan, penanda lokasi, ukuran serta dimensi, topografi, kondisi alam seperti pepohonan, level ketinggian, hingga jenis tanah, dan sebagainya. Supaya apa? Supaya nantinya seluruh rancang bangunan akan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.

Saat melakukan site visit, sangat penting bagi seorang arsitek untuk membawa kamera, menurutku. Kamera berfungsi untuk menjepret informasi visual--seperti bagaimana pemandangan site jika ditinjau dari luar lokasi dan bagaimana pemandangan sekitar site. Dua informasi ini sangat penting baik untuk membuat architectural site analysis--analisis mengenai kondisi lokasi yang kelak akan dijadikan pedoman pembangunan, serta berguna saat proses rendering--pengembangan desain menjadi bentuk yang lebih berdimensi guna menonjolkan impresi, dan masih banyak kegunaan lainnya.

Aku sekarang, mencari-cari foto yang tepat sebagai referensi pola vegetasi di sekitar lokasi. Begitu menemukan foto yang pas, aku meraih circle template--penggaris cetakan bundar, untuk menggambar pohon yang cukup padat di sekitar lokasi yang tadi aku kunjungi. Selesai menggambar pohon, aku mewarnai gambarku dengan alcohol marker.

Ya, aku tahu, kemungkinan besar coret-coretan bodohku ini tidak terpakai. Aku ini bekerja di firma arsitektur ternama, masak iya aku menggunakan gambar manual untuk dipresentasikan di depan klien? Tentu tidak. Laporan site analysis-ku kelak akan diramu dengan profesional menggunakan software sebagaimana seharusnya. Yang kulakukan sekarang, murni keisenganku membunuh waktu--daripada aku fokus pada momen buruk dalam kepalaku.

Sedang asyik memilah-milah spidol warna biru untuk menandai arah angin, sebuah panggilan masuk terpampang di layar ponsel. Panggilan dari klienku. Aku menggeser ikon telepon hijau, lantas menekan ikon loud speaker.

"Selamat malam," ucap suara di seberang.

Aku tersenyum geli mendengar nada bicara yang dipaksakan serius itu. "Malam, Ibu Klien."

"Hehehe." Yang disebut Ibu Klien tertawa renyah. "Lagi apa?"

"Lagi menggambar," jawabku seraya menarik garis putus-putus sebagai batas zona site.

"Gambar apa?" sahut Wina ceria.

"Gambar tanah lo yang tadi, Win," jelasku.

"Oooh," gumam Wina. "Benar-benar, rajin bekerja."

"Nggak lah Win, ini iseng aja." Aku menggeser sebilah penggaris mendekat, menekannya ke permukaan kertas, sebagai pemandu arsiran. Aku menorehkan guratan arsir dengan teliti untuk hasil serapi mungkin.

"Kapan balik Jakarta, Go?"

"Besok sih."

"Yaaaaah!" pekik Wina kecewa. "Padahal besok bokap gue mau ngajak lo makan malam bareng."

Aku meletakkan pulpen yang semula bertengger di jemari. "Serius, Win?"

"Serius! Bokap gue kangen sama lo, katanya."

Aku terkekeh. "Kok bisa sih bokap lo masih inget sama gue?"

"Bisa, dong. Katanya lo itu pasien paling rewel yang pernah bokap gue punya. Gak nyangka ternyata bisa ketemu lagi sekarang."

"Oalah, hahahaha." Aku terbahak malu.

"Gimana, Go? Bisa, ya?"

"Hmmm, oke lah." Aku mengiyakan setelah menimbang singkat. "Gue extend deh."

"Serius gak papa? Extend lo gue bayarin deh." Wina menawarkan untuk membayar biaya perpanjangan masa menginapku di hotel.

"Nggak usah, Win."

"Terus, gimana?"

Mataku menelusuri penanggalan di kalender. Aku sudah bekerja keras selama ini, tidak sekalipun aku mengenal namanya cuti. Baiklah, akan kubablaskan site visit kali ini sampai akhir pekan. Biar saja, aku butuh penyegaran.

"Santai aja, Win. Biar gue yang atur."

"Nice. Pasti bokap gue seneng banget!"

"Salam buat bokap lo ya, Win."

"Pasti. Besok jam tujuh malam di rumah gue, ya, Go. Gue share location di Whatsapp."

"Siap."

"See you, Hugo!"

"See you!"

***

"Hugo, kenapa nangis?" 

Tubuh besar Dokter Andra mendekat, menudungi aku yang meratap sendu. Matanya menyorot ramah, senyumnya menenangkan.

Aku menggeleng. Kaki kutekuk, tangan kutumpangkan di atas lutut, dan aku membenamkan wajah, membasahi kulitku dengan air mata.

"Ditinggal mama lagi?" Dokter Andra berjongkok mendekat, tangannya menepuk punggungku penuh empati, seolah paling mengerti.

Iya, betul, ibu meninggalkanku lagi. Aku mengerti, ibu jenuh dikekang ayah. Ibu muak, karirnya yang tinggi ditebang paksa begitu menikah. Ibu jemu, menuruti keposesifan yang amat ruah. Ibu tidak diizinkan kemana-mana, kecuali mengantarku berobat--ke rumah sakit, atau ke dokter gigi--karena kesehatan mulutku bermasalah saat kecil dulu. Ayah benar, ibu hanya menjadikan ke dokter gigi sebagai alasan. Kesempatan dalam kesempitan. Ibu menurunkanku di dokter gigi, kemudian saat aku sedang diperiksa, ibu pamit permisi. Aku diserahkan pada caretaker-ku, alias nanny.

Hampir setiap minggu, aku kontrol ke dokter gigi. Andra Dental Clinic, klinik kesehatan gigi paling tersohor di ibu kota. Dokter Andra adalah dokter gigi spesialis anak. Kliniknya warna-warni, banyak mainan, penuh hiburan, serta dipadati anak-anak sebayaku. Masalahnya, aku tidak suka bermain, aku tidak suka berbaur. Kau tahu kenapa? Karena setiap itu terjadi--saat aku mulai menikmati wahana bersama kawan seusiaku, ibu akan lenyap dari pandanganku.

"Sabar ya, Nak. Mamanya pasti lagi ada perlu." Pria berjas putih itu mengusap puncak kepalaku, berusaha menularkan tenang pada gusarku.

Ibu ada perlu. 

Perlu apa? Perlu sama siapa? Sama pria yang kulihat sering wara-wiri di televisi? Sama pria yang memperkenalkan diri sebagai fotografer ibu dulu? Atau sama pria pengusaha sekaligus klien ayah yang sempat bertamu ke rumahku?

Aku masih terisak. Sesak. Kesedihanku mendesak. Ibu, apa ibu cuma peduli kesenangan pribadi? Ibu, apa semua wanita memperlakukan anaknya seperti ini?

Aku meraung. Berang. Beraninya memori itu mengunjungiku lagi meski sudah kuusir berkali-kali!

Naik darah, kuremukkan kertas gambarku. Gejolak gaduh dalam dada. Aku merana.

***

Kamis, 14 Juni 2018

Aku menepati janji--makan malam di rumah masa kecil Dokter Andra.

Rumah ini bergaya kolonial, yang sangat lekat dengan ciri rumah-rumah lawas di kawasan Bandung. Secara visual, arsitektur kolonial Belanda dicirikan oleh penggunaan tanah yang lapang, bangunan tidak bertingkat, atap perisai, serta denah ruangan yang simetris. Tampak depan terlihat pemanfaatan balustrade--susunan palang--sebagai ornamen penghias beranda, pintu dan jendela rangkap ganda, serta lampu hias bermotif keriting. Selain itu penggunaan perabot klasik berukuran besar dengan material kayu jati, pemilihan palet warna yang netral dan cenderung dingin, serempak memberi nuansa nostalgia.

"Jadi ini, calonmu, Dik?" Dokter Andra mengulas senyum ramah, menggoda Wina. "Si Adik ini sudah tiga puluh tahun, gak pernah sekalipun bawa pacar ke rumah. Dulu katanya mau bawa pacarnya ke sini, tapi kok gak pernah kesampaian. Oalah ternyata pacarmu itu pasiennya Papa. Hehehe."

"Ih Papa apaan sih, bukan pacarku, tahu!" Wina cemberut.

"Lho terus siapa?" selidik Dokter Andra. Raut wajah itu masih sama ramahnya, hanya sudah jauh menua.

Wina menggigit salad wrap besar-besar. Makanan di sini melimpah, tapi kuperhatikan, Wina hanya memakan sayur-sayuran, hampir tidak memakan daging sama sekali. Apakah ini rahasia Wina terlihat jauh lebih muda dari usianya?

"Yaaa, arsitek buat villa kita. Kan Papa bilang minta dicarikan arsitek. Ya sudah Wina cariin."

"Papa minta cariin arsitek, memang iya. Tapi Papa juga minta cariin menantu, kan, Dik. Jadi papa pikir, kamu bawa keduanya." Dokter Andra menyenggol Wina. Aku mengulum senyum menyaksikan relasi hangat ayah dan anak ini.

"Ini Wina cuma bawa satu, Pa." Kening Wina berkerut.

"Ya dua peran dalam satu orang kan, bisa," kilah Dokter Andra sambil mengerling menatap putri bungsunya. "Mas Hugo ini, apa gak mau sama anak saya?"

Aku membeliak, hanya menanggapi dengan tawa sumbang. Kedua tanganku menegang, saling memegang. Cincin tunangan yang biasa melingkar di jari manisku, sedang tidak di sana. Pantas saja aku dijadikan sasaran canda Dokter Andra.

"Anak bungsu saya ini cantik, baik, sebentar lagi jadi Dokter Spesialis Bedah Mulut, lho." Sorot mata Dokter Andra disesaki binar bangga.

"Hebat ya, Dok," tanggapku. Sudut-sudut bibirku melengkung ke atas.

Pria paruh baya itu, tatapannya memancarkan arti. "Hebat, dong. Sayang, udah usia segini tapi belum nemu jodohnya. Heran, padahal banyak sekali yang mau, tapi anak saya gak pernah mau sama siapa-siapa. Apa lagi sih yang ditunggu?"

"Papa! Diam deh!" rajuk Wina manja.

"Sudah, kamu ini sama Hugo saja, Win." Ayah Wina menaik-turunkan alisnya.

"Nggak mau!" tolak Wina, bibirnya dikerucutkan.

"Kenapa nggak mau? Dulunya, anak ini memang cengeng. Pokoknya kalau anak bule ini datang ke klinik Papa, wah siap-siap deh tutup telinga, gak kuat sama suara nangisnya. Tapi lihat sekarang, ganteng, baik, arsitek pula," puji Dokter Andra.

Aku salah tingkah. Wina mendelik judes. Dokter Andra masih bersikukuh menggoda putri cantiknya.

"Hugo, maaf ya, bokap gue emang seneng bercanda," ujar Wina, ekspresinya tidak terbaca.

Dokter Andra meletakkan garpu dan pisaunya. "Siapa yang senang bercanda? Papamu ini serius, Wina. Papamu ini sudah tua, kakak-kakakmu sudah berkeluarga, kamu saja yang belum. Kalau ditanya calonmu mana, jawabanmu ini nanti-nanti saja. Sudahlah, kalau calonmu itu gak pasti, mending sama Hugo saja. Kalau kamu sama Hugo, Papa langsung setuju deh."

"Papaaaaa!" Wina tersipu, wajahnya semerah kepiting rebus.

Eh, lancang sekali aku menyamainya dengan kepiting rebus. Mana ada kepiting rebus secantik ini.

***

"Hugo," panggilnya.

Wina mengantarku menuju mobil, selepas sesi makan malam yang hangat itu. Ia merapatkan kardigan yang ia kenakan. Cuaca Bandung begitu dingin, anginnya membuat menggigil sampai ke tulang. Sapuan udara bersuhu rendah menyisakan jejak kemerahan di sekitar pipi Wina.

"Ya, Wina. Kenapa?" Kusadari raut muram merajai wajah indahnya. Mata yang biasa berbinar ceria, kini redup kilaunya.

"Mmm." Wina berdengung ragu. Pandangannya ia lempar ke tanah di bawah. "Lo minum gak?"

Kepalaku mengangguk. "Iya lah. Kenapa, Win?"

"Mau minum?"

Sebetulnya aku tidak mau, tetapi barangkali beberapa mililiter alkohol berhasil menculikku jauh dari tempat suram yang kini ramai membelah diri dalam pikiranku. Maka tanpa berpikir sedetik lebih lama, aku mengiyakan.

"Mau."

"Oke, temenin gue minum kalau gitu," pinta wanita itu.

Aku mengangkat bokong, membuka pintu di sebelahku. Aku melewati kap mobil depan, demi membukakan pintu bagi Wina. Aku mempersilakan Wina masuk, duduk di sebelah kursi kemudi, kemudian pintunya kututup lagi.

"Thanks banget, Hugo."

***

Jumat, 15 Juni 2018

Martell cordon bleu. A liquor that's piquant on it's own. 

Minuman dengan kadar alkohol sekitar empat puluh persen ini memiliki rasa yang kompleks juga lembut. Manisnya halus membelai mulut. Bukan tipikal minuman yang menikam kerongkongan, melainkan membuaimu perlahan-lahan.

Alkohol ini pilihan yang elegan. Akhirnya, aku merasa ketenangan. Cairan distilasi anggur ini berperan tangkas dalam menyederhanakan pikiran. Satu per satu perihku dilenyapkan, fokusku hanya berlabuh pada kenyataan.

Brengsek. Mengapa Ody meneleponku subuh-subuh begini, sih? Sialan!

"Hugo, kamu di mana sih? Aku sudah meneleponmu dari kemarin-kemarin, kenapa baru diangkat sekarang?" 

Tuh, kan. Sudah kutebak, pasti Ody akan mengomel begitu teleponnya kujawab. Padahal sudah seharusnya ia berterima kasih aku bersedia meluangkan waktu untuknya.

"Di Bandung. Bukannya kamu tahu, kalau aku ada kerjaan di Bandung?" ketusku.

"Aku tahu! Maksudku, kamu masih site visit, kah? Memangnya site visit sampai berhari-hari?" cecar Ody.

Aku mengurut pelipisku yang berkedut. "Tahu apa kamu masalah pekerjaanku?"

Ody belum puas melancarkan cecaran. "Kamu bilang kamu pulang Kamis malam. Mana? Ke mana aja kamu? Kok susah dihubungi? Ini sudah hari Jumat, Hugo. Kalau kamu gak jadi pulang, setidaknya kamu kabari, lah. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa."

"Iya, memang. Aku extend di Bandung, pengen refreshing. Salah memang?" Aku berkilah. Inginnya balas marah, tapi aku takut membangunkan yang sedang terlelap di sebelah.

"Hmm, gak salah ... " racau Wina pelan sekali, berbisik setengah sadar.

Aku mengangkat tanganku, mengisyaratkan Wina untuk tutup mulut. Wina membelalak, merasa bersalah, langsung membekap mulutnya rapat-rapat.

"Hugo, ada siapa di sebelahmu?" selidik perempuan di seberang.

Aku menghela napas. "Nggak ada siapa-siapa."

Nada bicaranya meninggi. "Jangan bohong, Hugo. Kamu habis minum, ya?"

"Iya, kenapa memangnya? Aneh banget ya? Kamu kayak ngomong ke anak kecil aja." 

Mau tahu apa yang aneh dari minuman beralkohol? Alkohol menenangkanmu, tetapi di saat bersamaan, juga melonggarkan katup emosimu.

"Bukan masalah aneh apa gimana, tapi kamu ini berubah, tau?" isak Ody. "Hugo, kenapa kamu lepas cincinmu?"

Shoot. Ody menyadari bahwa aku melepas cincin tunangan kami. Pasti aku lupa menyembunyikannya di tempat aman, sehingga ketahuan.

"Aku ini site visit, bagaimana kalau cincinku jatuh di site?" tangkasku. Malas sekali aku menanggapi drama perempuan satu ini. Cincin tunangan hanya cincin tunangan, hanya simbol. Hakikatnya tetap pada hubungan.

Bagaimana kalau Ody jadi bertunangan atau menikah dengan Agi--mantan kekasihnya yang tuna rupa itu? Akankah Ody mengamuk jika Agi tidak menggunakan cincin pengikat mereka kemana-mana? Doctors don't wear their wedding ring, right?  

"Halah. Site mu seperti apa sih? Medannya ekstrem banget kah? Hutan belantara? Rawa rawa? Site-mu sebesar apa? Kamu ini membangun villa, bukan rumah sakit atau perumahan! Sebesar apa sih villa klienmu sampai pakai cincinpun kamu gak mau?" Telingaku menangkap jelas geram dalam kalimatnya.

Aku diam saja, terlalu malas mendebat Ody.

"Mau kamu apa, Hugo?" Ody lirih. Sedunya merintih-rintih.

"Mauku, kamu diam," tegasku.

"Kok diam?" raung Ody. "Hubungan kita, Hugo. Kelanjutannya bagaimana?"

"Terserah kamu saja. Aku sudah tidak peduli." Dengan cepat, kuputus panggilan itu.

Entah bagaimana level keabsahan omonganku barusan. Aku mabuk, sehingga meracau tak karuan, atau aku mabuk, sehingga yang terlontar dari lisanku hanya kejujuran? Yang jelas, aku enggan membicarakan, mungkin juga enggan melanjutkan, tetapi yang pasti, untuk saat ini, aku enggan menjelaskan.

***

Mata Wina mengintip. "Ody ya, Go?"

"Tau tuh, tiba-tiba marah, dia," keluhku. "Udah, lanjut tidur lagi, Win."

"Iya, thanks Hugo." Wina tersenyum, pelupuk matanya kembali menutup.

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini ditemukan jauh lebih banyak pembaca!

Hei, siapa yang rindu Agi? Sehabis ini, aku akan menyajikan cerita dari sudut pandang Agi lho! Who's excited?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top