24 | Menjadikanmu
Ody
Rabu, 6 Juni 2018
"Agi?"
Kejadian terperanjat sampai jantung nyaris melompat keluar tulang rusuk malam ini, disponsori oleh kehadiran Agi yang tiba-tiba di apartemenku. Apartemen ini sudah sangat lama kami tinggali berdua--nyaris enam tahun, jika aku tidak salah ingat. Baik aku dan Agi masih memegang kunci aksesnya. Tetap saja, aku terkejut menyaksikannya muncul di sini setelah sekian lama.
Malam ini aku pulang ke apartemenku alih-alih ke apartemen Hugo seperti biasa. Alasan pertama, karena Hugo sedang site visit ke Bandung. Alasan kedua, karena aku ingin rehat sejenak dari kerunyaman yang terjadi di sana. Barangkali memapar diri dengan suasana baru akan memberiku sebetik ilham mengenai kelanjutan hubunganku dan Hugo yang berantakan.
Begitu aku membuka pintu, aku dapati Agi di sana. Iya, itu benar Agi, karena setelah aku mengucek mata dan menampar pipi, sosok itu masih bergeming di tempatnya. Pria itu, mengintipku tak acuh dari balik kacamata bingkai bulat yang sudah setia bertengger di batang hidungnya selama bertahun-tahun. Ia mengenakan kemeja lengan panjang warna merah jambu, hanya, lengan bagian kanan ia gulung sedikit. Ia sedang sibuk menyiram tanaman kaktus kesayangannya.
"Kenapa sih, pakai kucek-kucek mata segala?" tegurnya.
"Ya, namanya juga kaget. Kucek-kucek mata, dong. Kalau kucek-kucek baju, itu baru aneh," gurauku.
Agi terkekeh.
Mungkin terdengar sedikit tidak masuk akal, tetapi kehadiran Agi ini menjadi kejutan yang meringankan hati. Aku melepas sepatuku.
"Tidak usah kaget begitu. Kagetlah kalau Sekjen PBB datang ke apartemenmu," imbuh Agi, mulut gembor--penyiram tanaman--yang ia genggam kini diarahkan ke pot kaktus yang dinamai Ody. Kaktus milikku.
Sekjen PBB. Apaan, sih?
Sial, tapi aku tertawa juga.
"Hugo mana?" celetuk Agi.
Aku duduk di sofa. "Kenapa?"
"Nih, mau sekalian aku siram." Agi mengangkat gembor tersebut. Ia terkikik menimpali lawakannya sendiri.
Hahaha. Kok mendadak lucu dia?
"Lagi site visit, ke Bandung," paparku sembari menyesuaikan posisi bantal untuk mengganjal punggungku.
"Ooo." Agi mengangguk, kemudian telunjuknya diarahkan ke meja makan. "Aku beliin pempek kesukaan kamu."
Aku berjingkat-jingkat menuju meja makan dengan sumringah. "Asik! Makasih, Gi. Btw, diludahin gak, nih?" Mataku menyorot curiga.
"Yah, diludahin sedikit, biar gurih," jawab Agi sambil tersenyum jenaka.
"Jayus, ah!"
"Biarin!"
***
Aku memotong pempek kapal selamku yang ketiga. Lambungku menjelma pangkalan kapal selam setiap jadwal makan pempek tiba. Agi tahu betul, bukan makan pempek namanya kalau hanya satu. Minimal lima, lah.
Sementara Agi naik ke kamarku yang terletak di area loft, alias area lantai tinggi yang terpisah oleh tangga. Dari sini kusaksikan punggungnya, berkutat di hadapan lemari yang pintunya terbuka.
"Ngapain, Gi?" teriakku dari sini.
"Membereskan bajuku, Dy. Aku mau pindahan," jelasnya.
Hatiku mencelus. Serta merta aku mengekor naik ke kamarku. Ia memindahkan baju-bajunya dengan teliti. Semuanya ia lipat rapi, dan pada akhirnya lemari paling kiri yang selalu kusebut Lemari Agi itu kosong tanpa sisa. Aku menatapnya masygul saat ia menyegel rapat kopernya.
"Sedih, ya?" tebak Agi.
"Nggak," bantahku. Kendati ganjil rasanya, mulai hari ini, hanya ada aku sendiri di apartemen ini. Kemudian, aku memutuskan untuk meninggalkannya sendiri. Aku turun, membaringkan tubuhku yang lelah di sofa.
***
Tadinya aku sudah nyaris terjatuh sepenuhnya ke dalam lelap, tetapi suara koper Agi yang diseret membentur-bentur anak tangga kembali menyadarkanku.
"Maaf berisik," ucap Agi.
"Ya."
"Titip koper-koperku di sini, sebentar." Agi menaruh kopernya di dekat kakiku.
"Oke."
Punggung Agi bergerak selangkah demi selangkah menjauh dari pandanganku, menuju meja rias. Lelaki itu membelakangiku, tetapi aku yakin ia sedang sibuk mencari sesuatu.
"Ngapain sih?" gerutuku sebal.
"Cari yang botol air tutup warna pink. Ada di mana? Biasanya di sini." Agi menggeser pelan barang-barang di atas meja riasku, mencoba menemukan benda yang ia maksud.
"Micellar water?" Aku memperjelas.
Ya Tuhan, menghapalkan buku-buku kedokteran yang setebal lemak gajah, dia bisa. Giliran sebut micellar water, dia tidak pernah bisa. Selalu dia sebut botol air tutup warna pink. Astaga Agi.
"Apapun itu namanya," sahut Agi ala kadarnya.
"Aku kan sekarang lebih sering di apart-nya Hugo, jadi barang-barangku kubawa ke sana, desahku. "Coba di laci, kayaknya ada cadangan."
"Yes."
Agi beringsut ke arahku, ekspresinya girang. Tangan kanannya menggenggam sebotol micellar water, tangan kirinya memegang sebungkus kapas.
"Buat apa?" tanyaku.
"Buat membersihkan mukamu." Agi bersimpuh di sebelah sofa. Aku merebah di sofa, Agi duduk di lantai, seraya menopang sikunya.
Aku sedikit mengubah posisi tidurku. "Dih?"
Tidak, Agi tidak boleh membersihkan make up-ku seperti yang kerap ia lakukan dulu. Aku menjengit, mencegahnya supaya tidak mendekat.
"Bertahun-tahun aku selalu membersihkan muka kamu kan, Dy. Kamu tuh ya, kebiasaan tidur tanpa hapus make up. Giliran jerawatan, repot sendiri," ujar Agi dengan nada menggurui.
"Bentar-bentar." Tatapanku tajam untuknya. "Kamu marahin aku?"
"Siapa yang marahin kamu?" kilah Agi, suaranya menukik. "Tutup mata kamu," titahnya.
"Gak mau!" tolakku.
"Kenapa sih?" rajuk Agi.
Aku tidak akan membiarkan Agi melihat bekas-bekas luka di wajahku. "Pokoknya gak mau."
"Ya sudah kalau gak mau, kamu ke kamar mandi, cuci muka dulu sebelum tidur." Agi menarik pelan kemeja yang kukenakan, tujuannya supaya aku mau mengangkat bokongku, berjalan ke kamar mandi, lalu membersihkan riasan tebal di wajahku.
Bukan itu masalahnya. Aku sengaja tidak membersihkan make up karena ada Agi di sini, bukan karena aku malas ke kamar mandi. Aku tak mau Agi melihat bilur-bilur samar di wajahku ini.
"Malas juga kan, cuci muka?" cibir Agi.
"Iya deh, Gi ... " Aku mengalah.
Agi memberi isyarat supaya aku memejamkan mata, maka lekas aku menurutinya. Dalam hitungan detik, kurasakan permukaan kapas basah menari di atas kulitku.
"Awas ya kalau megang-megang yang lain," ancamku sambil mengeratkan pelupuk mata.
"Capek, Dy. Lagi gak mau, sumpah." Agi langsung terkoneksi dengan konteks pembicaraanku.
Kontan mataku membuka. "Apa?"
"Kenapa sih? Kamu lagi mau ya?" goda Agi.
Aku menabok dadanya, kesal. "Testosteronmu ke mana, Gi? Sudah kamu sedekahkan, kah?"
Aku menyinggung hormon yang bertanggung jawab dalam meregulasi libido laki-laki. Tuhan menciptakan banyak kelebihan untuk Agi, salah satunya kelebihan testosteron. Pada masanya, aku sempat kewalahan mengimbangi hasrat seksualnya. Sesungguhnya level hasrat seksual kami sebelas dua belas bedanya, hanya saja Agi selalu bersikeras pegang kuasa, tidak berkenan jika aku menyetir permainan. Sehingga setiap momen bercinta tiba, aku lebih banyak merasa kecewa.
"Disedekahkan bagaimana? Donor, gitu?" Agi mengerutkan kening.
"Iya, donor."
"Mana bisa hormon didonorkan? Aku belum pernah baca jurnal yang membahas itu," beber Agi serius.
"Bercanda elah," sewotku.
***
Agi menangkupkan telapak tangannya di mataku, memaksaku memejamkan mata.
Tatkala ia melepas tangannya, aku membuka mataku. Sialnya, momen itu bertepatan dengan kapas yang ditaruh di kulit area mataku. Cairan pembersih riasan itupun rembes, membuat mata terasa pedih.
"Anjir, pedih!" umpatku.
"Makanya, tutup mata. Dibilangin kok ngeyel," omel Agi.
Dengan sisa-sisa keluhan di bibir, aku memejamkan mata, seraya menyilangkan tangan di depan dada.
"Apa maksudnya tanganmu begitu?" Agi terdengar tersinggung.
"Mencegah pelecehan," cetusku.
"Rhapsody. Pasienku saja tidak ada yang defensif begini setiap diperiksa. Aku tahu batasan, kok."
Aku tersenyum miring. "Aku bukan pasienmu."
Kelopak mata Agi terkulai. "Ya sudah, tanganmu jangan disilangkan begitu. Aku jadi canggung."
"Tidak usah canggung. Anggap saja aku pasienmu." Lidahku kujulurkan.
"Aku tidak membersihkan make up pasienku, Rhapsody," kata Agi sambil merapatkan bibir.
Ya Tuhan, mengapa bersama Agi, seluruh momen adalah ajang perdebatan? Aku mengalah, melepas tangan dari dada.
***
Agi serius sekali membersihkan wajahku. Ia bahkan tidak melewatkan perimeter luar wajah dan rahangku. Bekas kapas yang Agi gunakan, ia tumpuk dengan telaten.
Dari sini wajahnya begitu jelas. Mata berkelopak tunggal yang selalu menatap nanar itu dinaungi sepasang alis lurus nan rapi--seperti rajin dicabuti dengan teliti. Hidung yang mungil dan tidak terlalu mancung. Bibir kecil tapi penuh, warna merah alami. Juga tulang pipi nan tajam yang kunobatkan sebagai penyumbang lima puluh persen ketampanan Agi. Jika kau melihatnya dari dekat sekali, akan tampak bintik cokelat samar di area tulang hidung dan bawah mata.
"Rhapsody, matamu kenapa?" Agi memicing.
Buru-buru, aku mengedarkan pandanganku. Apa dia tahu, aku memperhatikannya sedari tadi?
"Gak kenapa-kenapa," jawabku.
Agi bertanya lagi. "Minus kah matamu?"
"Normal kok!" Aku bingung sendiri. Apakah bisa menghakimi minus mata seseorang hanya dengan sekali pandang? Apakah mataku secara visual terlihat juling sekarang?
"Oh, berarti benar dugaanku. Telah terjadi penurunan selera."
"Apanya?"
"Aku tahu, dari tadi kamu ngelihatin aku, Rhapsody," tukas Agi. Ia membentangkan senyum pongah. "Aku kira pacarmu lebih ganteng daripada aku, padahal jelas aku menang telak." Agi membetulkan kerah kemejanya.
"DIAM KAMU!"
***
Ia menuangkan cairan micellar water, membiarkannya diserap kapas, kemudian menyuruhku untuk memejamkan mata lagi.
Lagi-lagi kurasakan kapas itu menari lembut, kali ini di sekitar pipi.
"Tadi habis dari mana, Rhapsody?"
"Kantor, lah. Kenapa memang?"
"Oalah. Kirain habis pantomim," celetuk Agi.
"Pantomim?" ulangku bingung. Ini perasaanku saja, atau Agi sedang random sekali hari ini?
"Make up kamu tebal sekali, seperti pemain pantomim saja," komentar Agi.
"BACOT!" teriakku dongkol.
Aku memang tidak biasa memakai riasan setebal ini. Untuk sehari-hari, memakai sunscreen dan lipbalm saja sudah cukup--atau pakai lipstik merah saja jika ingin wajah terlihat segar secara instan. Namun, apa jadinya jika orang-orang melihatku babak belur begini? Maka sudah berminggu-minggu ke belakang, aku bangun lebih pagi, mencurahkan lebih banyak waktu demi merias wajahku dengan rapi.
It all thanks to corrector--kosmetik yang berfungsi untuk menetralisir discoloration--atau warna yang mencolok pada wajah--misalnya kantong mata, kemerahan di sekitar hidung, hiperpigmentasi, bekas jerawat, juga luka lebam.
Pertama, aku membubuhkan corrector di atas lebamku, kubaurkan sampai warnanya samar. Lantas aku menimpanya dengan foundation, kemudian memastikannya tertutup paripurna dengan concealer, terakhir aku kunci semuanya dengan bedak tabur dan kusempurnakan dengan sapuan bedak padat.
Setiap pagi sebelum aku berangkat kerja, aku menyempatkan diri berdoa kepada Tuhan supaya para pencipta kosmetik masuk surga. Berkat penemuan jenius mereka, aku berhasil terlihat seperti perempuan yang ceria, penuh cinta, serta tidak punya masalah apa-apa.
Tangannya melarikan kapas basah itu ke bibirku. Membersihkan sisa lipstik sekaligus membungkamku.
"Maksudku, kamu tanpa make up pun sudah cantik, Dy. Jangan pakai make up tebal-tebal begini, nanti jerawatan, lho. Kalau sudah jerawatan, repot hilangin bekasnya," nasehat Agi seraya mengganti kapas dengan yang baru.
"PELAN-PELAN, GI!" ringisku saat Agi mengusap area hidungku.
Kurang dari dua minggu yang lalu, Hugo menghajarku di bagian hidung. Masih ada sisa-sisa ngilu di sana.
"Maaf ... " Agi memperlembut gerakan tangannya.
Matanya penuh tanda tanya melihat samar lebamku di tulang hidung bagian atas. Aku beruntung karena waktu sudah cukup lama berlalu, sehingga lebam yang tadinya biru keunguan, kini memudar menjadi semburat cokelat muda yang tidak terlalu kentara.
***
"Rhapsody, kamu masih rutin berolahraga?" tanya Agi. Ya, pertanyaan random yang keberapa kali hari ini?
Pria itu mengambil kapas yang baru, membersihkan riasanku yang berlapis-lapis itu.
"Sekarang sudah jarang, sih. Sibuk banget soalnya. Kenapa? Ada masalah? Aku gendutan kah?" Spontan, aku memegang pipi.
"Ck, kamu ini. Aku hanya bertanya. Jangan negative thinking terus, dong." Agi berdecak. "Olahraga apa?"
"Pilates. Masih seperti dulu. Kenapa?"
"Bukan muay thai atau kick boxing?" Agi menyebut olahraga bela diri yang sedang populer belakangan ini.
"Bukan."
Agi menunjuk hidungku, tulang pipiku, dan ujung rahangku. "Aku tahu sih. Muay thai atau kick boxing harusnya tidak membuat kamu lebam di wajah seperti itu. Siapa--"
Aku menghela napas. "Sudah, tidak usah dibahas."
"Dengan kamu defensif begitu, aku malah semakin yakin dengan hipotesisku. Apakah dia kasar padamu?" Agi menghentikan aktivitasnya.
Aku menghadapkan tubuhku pada sandaran sofa. "Nggak."
Agi membalik paksa tubuhku ke posisi semula. "If he's violent, ditch him."
"Apa urusanmu?" sinisku. "Are you happy that after i had left you, i ran to the person who's cruel enough to beat me black and blue?" tuduhku sangsi. Apakah Agi puas karena aku perlahan membayar karmaku?
"Ya Tuhan ... " ucap Agi sambil memutar mata. "Do I feel dissapointed because you left me? Yes, absolutely. Do I feel hurt because you cheated on me? A hundred times, yes."
Aku tergugu mendegar lugasnya Agi dalam mengutarakan perasaan. Aku kira ia akan mengonfrontasiku dengan cara murahan, nyatanya ia menunjuk kesalahanku dengan elegan. Namun justru dengan cara ini, aku seribu kali lebih tertohok. Aku berselingkuh dari Agi, kemudian selingkuhanku berbuat kasar padaku. Bukankah ini kemenangan telak bagi Agi?
"Aku tidak pernah mengusikmu, kan? Karena aku tahu kamu berbahagia, jadi, ya sudah. Kalau dia mampu membahagiakanmu lebih daripada aku dulu, aku akan dukung keputusanmu. Masalahnya, sekarang kamu tidak aman bersama dia. Jadi, buat apa?"
Suara Agi lembut mendayu-dayu masuk telingaku. Has he always been this tender to me?
"Here, Rhapsody, listen. He's evil. He had been harming you all this time. It has nothing to do with my personal pride, for God's sake. Kamu kira dengan melihatmu disakiti seperti ini, aku akan berpikir, haha poor you, told you he is no more than a jerk, he is nowhere better than I? Begitu?"
Aku diam saja. Kucerna perkataannya satu demi satu. Agi membaca prasangka burukku dengan tepat akurat. Aku sangka ia menertawaiku karena aku meninggalkan Agi demi laki-laki yang ternyata tidak lebih baik dari dirinya.
"Such a selfish move should I force you to walk away from your man just because I despise him. Aku menyuruhmu meninggalkannya karena aku peduli, bukan demi memuaskan ego diri."
Ada deru menyeruak riuh dalam dada. Sebentar lagi pasti gerimis turun dari bola mata.
"Why would you care so much, Agi?" sentakku. Susah payah aku kaburkan getar suara.
"Do you think you really need my explanation?" Agi bangkit, menuju laci dekat meja riasku. Ia tersenyum lembut. "Aku obatin ya, Rhapsody."
Mataku menggenang.
***
"Kamu betul-betul berniat meneruskan hubunganmu?" Agi bertanya. Netranya menelitiku dengan saksama.
Aku nyaris menggeleng karena sesungguhnya aku ragu, tetapi sedetik kemudian aku menggumam, "Begitulah."
"Kenapa? Kok bisa?"
"We're engaged." Aku memamerkan cincin di jari manisku dengan wajah kuyu.
"Apa artinya itu?"
"Artinya, kita sudah bertunangan. Gak bisa Bahasa Inggris kah kamu?" tukasku jengkel.
"Bukan begitu maksudku, Rhapsody. Maksudku, kalau pun sudah bertunangan, terus kenapa? Memangnya kamu betul-betul tidak bisa melepaskan diri dari dia? Apa bagusnya sih, si Hugo Hugo itu?" cecar Agi.
"Maksud kamu?"
"Mainnya jago banget kah?"
"Gi ..."
"Kuat berapa lama dia? Sekali main berapa ronde?"
"Agi ..."
"Oh, apa gede banget? Gedean mana sama punyaku?" Agi memberi jeda, " ... penghasilannya."
"AGI APAAN SIH?!" Aku menjewer telinganya, gemas.
Aku merasa terhina karena Agi seperti menghakimi pilihanku--bahwa aku memilih Hugo semata karena kepiawaiannya memuaskanku di ranjang. Padahal ada banyak sekali hal yang aku pertimbangkan. Masalah kejelasan masa depan, salah satunya.
"Cuma nanya. Yang kutanyakan pun ukuran dia, milik dia. Mengapa kamu yang merasa terhina?" Wajah Agi tetap nanar.
"Size doesn't matter. Skill does," sanggahku defensif.
Aku mengibaskan tangan. Bukannya aku mau membanding-bandingkan ukuran milik mereka berdua, karena ukuran itu lotre genetis, iya kan? Aku hanya ingin menyindir skill Agi yang memalukan itu.
Siapa yang kekanak-kanakan? Agi atau aku?
"Bullshit," imbuh Agi.
"Kamu pernah main suwit, gak? Semut sama gajah, menang mana? Semut, kan?" kelitku.
"Oooh berarti kamu mengakui kalau punya dia cuma segede semut?" olok Agi, membuat aku menyesali argumentasi dangkalku.
"AGI!"
Agi terkekeh penuh kemenangan. Sialan. Apa aku baru saja secara tidak sengaja mendongkrak ego lelaki bajingan ini?
"Udah ah, aku mau tidur."
"Sebentar, aku lagi membersihkan jidatmu." Agi menyapukan kapas itu di keningku.
"Iya," ketusku seraya menutup pelupuk mata.
Ritual pembersihan make up oleh Agi kini terasa sepuluh hari sepuluh malam lamanya akibat diwarnai perdebatan tidak penting.
***
"Selamat tidur, Rhapsody," bisik Agi. "Aku pergi, ya?"
Aku tidak menjawab. Pura-pura tidur.
Plak.
Agi menepukkan kedua tangannya keras-keras, tepat di depan wajahku. Sontak aku membuka mata, sementara Agi terpingkal-pingkal tanpa dosa.
"ANJRIT! ISENG BANGET SIH!" raungku.
"Compos mentis. Pasien terpantau masih bisa melotot dan marah-marah," Agi tertawa-tawa menghindari amukanku. Compos mentis maksudnya tersadar penuh. Kurang ajar. Sempat-sempatnya ia mencandaiku.
"Aku pulang." Ia mengacak rambutku. "Terima kasih banyak, ya, Rhapsody."
"Itu gimana?" Aku merujuk pada sepasang pot kaktus itu.
"Akan aku bawa dua-duanya," jelas Agi.
"Tinggalin satu di sini." Aku mendadak tidak rela melepas tumbuhan berduri sialan nan merepotkan itu.
"Baiklah."
***
Aku berujung membantu membawakan barang-barangnya dari unit apartemenku ke mobilnya di tempat parkiran. Selepas Agi rampung menata koper di bagasi, aku menaruh pot kaktus bertuliskan Agi di atasnya.
"Kali ini, aku pergi betulan, ya," bisiknya. Ia menaruh kunci akses apartemen yang selama ini dipegangnya. Aku menerima kunci berupa kartu itu dengan murung.
Bibir Agi membentuk lengkungan. Senyum itu mengingatkanku tentang mengapa aku begitu mencintai dan mati-matian mempertahankannya dahulu.
Napasku berat. Menyaksikan mobilnya melaju, lenyap dari jangkauan mata.
---
Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini ditemukan jauh lebih banyak pembaca!
Guys, sejak awal aku publikasi In Between In Between, aku sangat tidak sabar untuk publish chapter ini, terutama bagian Agi saat membersihkan wajah Ody dengan micellar water. Menurutku, adegan ini sangat simple tetapi meaningful. Sebuah gestur cinta yang tulus bersahaja, dibarengi percakapan Agi dan Ody yang mengalir.
Btw, Agi ini kayaknya masih cinta. Hmm. Gimana ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top