23 | Hanya

Ody


Bagaimana cara kamu tahu bahwa cinta sudah pergi?

Aku tahu begitu saja.

Saat aku mendekapnya, kudapati hanya setengah hatinya. Setengahnya lagi entah ke mana.

Saat aku memanggil dengan hatiku, ia hanya menukas dengan suaranya.

Saat aku berkelana dengan raganya, aku tahu jiwanya menjelajah suatu tempat yang tidak bisa aku raba.

Aku membawakanmu kabar baik dan kabar buruk.

Kabar baiknya, aku tidak mengandung. Seluruh test pack yang aku coba menunjukkan garis satu. Dokter menyatakan aku baik-baik saja, hanya terlalu lelah membuatku telat menstruasi.

Kabar buruknya, aku kira hubungan kami akan memulih seperti sedia kala. Yang ia takutkan--menjadi ayah tanpa rencana, toh tidak terjadi kan?

Ekspektasiku, hubungan kami akan kembali baik-baik saja. Namun hubungan kami mendadak kehilangan nyawa. Kami yang sebelumnya memanggil satu sama lain sebagai belahan jiwa, kini menjelma dua insan yang sekadar saling tahu nama.

Hubungan kami bergulir dingin luar biasa. Bukannya aku tidak berusaha--aku sudah menggelontorkan berbagai upaya demi meluluhkan hatinya. Mulai dari meminta maaf, mengajaknya berbicara, membuatkan sarapannya, sampai menyiapkan baju kerja.

Hugo masih diam seolah aku tidak kasat mata.

***

Selasa, 15 Mei 2018

Kau tahu, seharian ini aku bingung setengah mati. Hari ini hari jadi Hugo yang ke-27 dan nahasnya kami masih diam seribu bahasa. Selama tiga hari ke belakang, aku memutuskan untuk menenangkan diri di apartemenku, sementara Hugo tetap di kediamannya. Aku bingung mau mengucapkan apa.

Hugo memang tidak terduga. Tidak ada yang bisa menebak jalan pikirnya. Siapa sangka, tiba-tiba saja, sebuket bunga tulip segar warna merah muda terdampar tadi siang di meja kantorku.

Let's make things up, begitu tulisannya.

Sepulang dari kantor, aku dapati ia menunggu di lobi apartemenku. Aku tidak bisa menyamarkan ekspresi terkejut yang spontan terpancar dari air muka. Aku menyongsongnya, memaksa melepas semua rasa takut akan disakiti lagi. Meskipun setiap aku menyentuh kulitnya, yang terbayang adalah bagaimana ia sanggup sadis menyakiti.

Tolong yakinkan aku, ia tidak akan melukai lagi, kan? Hadirnya sekarang, pertanda hubungan kami telah pulih seperti semula, kan?

Hugo mengisi celah jemariku dengan jemarinya. Kami berjalan berdampingan menuju unit apartemenku.

"Selamat ulang tahun, Hugo," ucapku canggung. Kudekap buket bunga pemberiannya rapat-rapat. "Kamu yang ulang tahun, tapi aku yang dapat bunga. Makasih ya."

Hugo tersenyum menanggapi ucapan selamat ulang tahun dariku. Ia mendekat. Tubuhku menegang. Kemudian aku mengelus helai demi helai rambutnya. Aku tak ubahnya rusa mungil yang menyugar surai seekor singa. Pura-pura berani, singkat kata.

***

Kami bercinta.

Tidak, ini bukan bercinta. Ini hanya bersanggama.

Aku selalu membandingkan bagaimana Hugo dan Agi meningkahi tubuhku. Hugo berperilaku seolah menyembah tubuhku; memperlakukan setiap sudutnya dengan sakral, penuh hormat, penuh ketelitian, dan penuh cinta. Sementara Agi memperlakukan tubuhku sebagai katalis kenikmatan personalnya dan demi alasan tersebut, aku mengutuk ia.

Hari ini aku tidak melihat ada beda. Aku tidak tahu apa Hugo benar berniat memulihkan hubungannya denganku, atau hanya ingin menggunakan tubuhku.

Apa pantas disebut bercinta, ketika ia hanya sibuk menggenapi birahi? Apa layak disebut bercinta, ketika mata kami tidak bertukar pandang sama sekali? Apa tepat disebut bercinta, kendati aku hanya menggelar tubuhku di bawah tubuhnya, hanya beralaskan sekelumit emosi?

Apalah arti bercinta, tanpa cinta di dalamnya?

Kami berbaring bersisian, melempar sorot mata pada langit-langit di atas sana. Tubuhku habis tenaga, padahal aku rasa-rasanya tidak banyak berusaha. Sementara Hugo sibuk mengatur napasnya. Dadanya naik turun, peluh melapis indera perabanya, terlihat berkilauan ditempa cahaya.

Kecupan kilat yang biasa ia persembahkan seusai bercinta, sepertinya ia lupa. Pelukan erat penuh makna, menguap entah ke mana. Sebatas sunggingan senyum pun tidak ada.

"Aku numpang mandi," ujar Hugo sembari memalingkan muka.

"Ya, silakan," anggukku kecewa. Apakah nilaiku sudah turun drastis di matanya? Dari kekasih hati, menjadi sekadar pemuas birahi?

Aku mengubur wajahku di bantal, merasakan permukaannya membasah serta menghangat oleh air mataku sendiri.

***

Sabtu, 26 Mei 2018

Aku tahu hatinya sudah tidak di sini, tetapi aku memilih untuk pura-pura tidak peduli.

Aku memilih tetap menjalani, Hugo pun enggan pergi. Kau tahu, berapa banyak pasangan yang meneruskan hubungan dengan modal kata terlanjur?

Terlanjur lama bersama, terlanjur diperkenalkan ke keluarga, terlanjur mengucap janji di depan pemuka agama, terlanjur diikat hukum negara.

Aku dan Hugo juga sama-sama terlanjur.

Kamu tahu istilah burn the bridge alias membakar jembatan? Ya, aku sudah membakar jembatanku, jalan rayaku, bahkan jalan setapakku. Aku sudah membumihanguskan semua yang telah lalu, hingga kini benar-benar tidak ada jalan kembali.

Mari abaikan fakta tentang keterlanjuran itu. Siang ini, aku melakukan fitting gaun pernikahan. Hugo menemani. Sedari kami masuk butik, tatapan para staf maupun pengunjung dipusatkan pada Hugo. Figur maskulin, kulit licin, wajah rupawan, senyum menawan--semua yang tidak buta pasti dibuatnya terlena. Hugo duduk di salah satu sofa pojok, sementara aku pergi ke fitting room, mencoba beberapa gaun yang menarik perhatianku.

Seorang asisten desainer membantu memasang gaun putih di tubuhku. Gaun berkerah tinggi yang mengekspos total bagian punggung itu kini melekat sempurna. Aku bercermin, lantas tanganku menyingkap tirai, bermaksud mempertontonkan gaun ini pada Hugo.

Pria itu tengah serius dengan ponselnya, tatkala aku berseru, "Hugo!"

Yang dipanggil hanya melirik tidak minat. "Hmm?"

"Bagus, gak?" Aku memutar diriku, dengan tujuan memamerkan setiap detail gaun ini padanya. Ini akan menjadi gaunku di hari pernikahan kami, sudah sepantasnya ia turut andil memilih yang terindah untuk momen bahagia kami.

Sebelah alisnya diangkat. "Ya ... "

"Kurang bagus ya?" gumamku kecewa.

"Kata siapa? Bagus, kok." Hugo tersenyum kecil. Matanya biasa, tidak aku temukan binar memuja tanda suka.

Baiklah, aku ganti gaun lagi.

Kali ini, terpasang di tubuhku sebuah gaun putih dengan rok mengembang seperti gaun klasik putri kerajaan eropa. Gaun itu berupa kemben yang dihiasi detail rumit dari lace di sekitar dada.

"Go, menurutmu gimana?" Aku meminta pendapatnya.

Hugo menatap nanar. "Ya, oke juga," tanggapnya sekilas, kemudian kepalanya kembali tertunduk, fokusnya lagi-lagi ditujukan pada ponselnya.

Okelah, aku akan mencoba seluruh gaun di sini sampai aku menemukan gaun yang Hugo kehendaki.

Sekarang, aku mencoba sebuah gaun satin dengan aksen lengan menggembung. Potongan gaun itu didesain mengikuti lekuk tubuh, dengan aksen mermaid--melebar seperti ekor duyung--pada ujung roknya.

"Hugo, look!" Aku membawa diriku tepat ke hadapannya.

"Hmm?" Hugo bahkan tidak mengangkat pandangannya.

"Cantik kah?"

"Iya."

"Lihat dulu dong!" tukasku kesal.

Hugo menatapku dengan sorot jengkel, seperti sebal karena telah diganggu. "Iya, cantik."

"Cantikan yang mana?" tanyaku.

"Ya ... cantik, pokoknya." Hugo mencabut fokusnya dari sosokku, lalu kembali menumpukan kedua mata besar miliknya ke benda yang tergeletak di telapak tangannya.

"Ih, cantikan mana? Yang tadi?"

"Yang tadi," gumam Hugo, lebih seperti mengulang perkataanku saja.

"Yang tadi atau yang ini?" ulangku.

"Yang ini," ujar Hugo sekenanya.

"Hugo," tegasku. "Kamu ini perhatiin nggak, sih?"

Hugo mendecak, lantas menaruh ponselnya di sofa tempat ia duduk.

"Iya, perhatiin. Kenapa?"

"Bantu aku pilih, bagusan yang ini atau yang tadi?" Aku menunjuk gaun yang sedang kukenakan.

"Mau yang ini, mau yang tadi, kalau aku pilihin buat kamu, apa kamu setuju sama pilihanku? Kamu kan begitu, sering minta pendapat, tapi ujung-ujungnya yang diikuti, ya pendapatmu sendiri," sembur Hugo.

Semua yang ada di ruangan itu melongo. Dalam sepersekian detik saja, berpasang-pasang sorot mata yang tadinya memuja berubah menjadi tatapan tidak terima-bonus tatapan iba untukku pula.

***

Aku bersumpah seumur hidupku tidak akan lagi berkunjung ke butik gaun yang tadi. Aku jengah menjadi bahan tontonan akibat berselisih pendapat dengan tunanganku.

"Hugo, kenapa sih kamu sibuk sendiri?" cecarku pelan. Ingin rasanya aku marah-marah, tetapi aku khawatir ia dua kali lipat lebih marah.

"Aku kerja," jawabnya ketus.

"Ini hari Sabtu," tekanku.

"Terus kenapa? Kadang memang ada klien yang gak kenal waktu," raung Hugo. Suaranya bertambah nyaring.

Aku muak. "Klienmu itu bocah, kah? Gak bisa ya, bedain weekend sama weekdays? Gak bisa bedain, mana waktu libur, mana waktu kerja?"

"Sebentar lagi aku mau site visit, Dy. Ada banyak yang perlu aku koordinasikan." Hugo melontarkan alasan.

"Iya, tapi jangan jadi distraksi juga dong. Kita kan lagi menyiapkan pernikahan. Pekerjaanmu penting, pernikahan kita pun gak kalah penting!" serangku. "Mana yang kamu sebut work-life balance? Work-life balance, my ass."

"Ody, cuma perkara milih gaun saja kamu marah-marahnya sampai begini?" Hugo membeliak.

"Cuma? Apanya yang cuma?" jeritku. Mengapa pria ini terkesan menyepelekan perkara yang bukan main-main?

"Ya memang cuma, kok. Kamu jangan membesar-besarkan masalah sepele, deh!"

Aku menatapnya tak percaya. "Jadi, bagimu, persiapan pernikahan itu termasuk masalah sepele?"

"Bukan persiapan pernikahannya! Konteksnya kan memilih gaun, Demi Tuhan!" tukas Hugo berang. "Sudah, kamu diam! Bisa gila aku dengerin kamu ngoceh seharian!"

***

Senin, 28 Mei 2018

Empat puluh delapan jam setelah perdebatan soal gaun pengantin, aku dan Hugo masih saling diam. Jangan bilang aku tidak berusaha meredam amarahnya, karena setiap ia naik darah, aku seumpama sebutir batu di jalanannya. Ia lewatkan begitu saja.

"Hugo," panggilku.

Ia bungkam senantiasa. Satu hal yang baru kupelajari dari sifatnya, bahwa Hugo selalu melupakan dua hal setiap ia murka. Satu, ia akan lupa cara berbicara seperti manusia--ia berkomunikasi bak hewan buas bicara dengan si mangsa. Dua, ia akan lupa bahwa aku ini tunangannya, alih-alih samsak tinjunya.

Sudah puluhan menit ia gunakan untuk memaki-maki aku yang katanya kurang ajar ini. Katanya aku mempermalukannya karena mengajaknya bertengkar di ruang publik. Iya, masih menyoal gaun pengantin itu. Hugo bilang andai aku tidak merengek terlebih dulu, dia tidak mungkin membentakku begitu.

Lalu Hugo juga menyinggung perihal aku yang katanya kekanak-kanakan, mempermasalahkan Hugo yang bekerja tak kenal waktu. Padahal maksudku, aku hanya ingin ia cermat mengalokasikan perhatian. Bukankah tidak bijaksana, mengurus pekerjaan di akhir pekan? Hugo meradang, ia bilang yang sedang ia urusi adalah klien penting--sebuah proyek villa di Dago Atas, milik seorang kenalan.

Oke, baiklah. Aku terima semua argumennya. Mungkin memang aku yang salah. Namun bisakah ia membicarakannya pelan-pelan, tanpa bauran amarah?

Sepertinya tidak bisa, karena kini aku kepayahan menadah darah segar yang berlari dari lubang hidung menuju dagu.

Sementara Hugo lenyap dari pandanganku.

Bagaimana cara kamu tahu bahwa cinta sudah pergi?

Padahal cinta tidak selalu kasat mata. Padahal kasih tidak selalu penuh dalam kata.

Padahal tidak semua datang bersama narasi. Begitupun tidak semua pergi dengan permisi.

Aku hanya tahu hatinya sudah tidak di sini lagi.

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca!

Sebagai tanda syukurku akan apresiasi para pembaca, aku putuskan untuk pertama kalinya, In Between In Between akan update dua hari berturut-turut! Yeay!

Sampai jumpa besok! Akan ada kejutan--sesosok yang kalian rindukan. Siapakah itu? Hihihi ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top