22 | Luka

Ody

Minggu, 6 Mei 2018

Lepas ia membebaskan terkamannya, aku megap-megap. Jalan napasku seperti menyempit drastis. Kontan, aku terbatuk.

Hugo, tidak ada secuilpun ekspresi terbaca dari netranya. Sepasang sayap telah hengkang dari punggung malaikat ini, mengungkap sosok asli. Mungkinkah sikap halusnya hanya cangkang, sementara dalam jiwanya hanyalah jerit iblis yang berkumandang?

Siapa iblis di hadapanku ini? Ke mana malaikat bernama Hugo pergi? Apa aku belum cukup mengenalnya selama ini?

"Ody." Suara itu mengelus gendang telingaku. Kendati lembut, aku tetap takut.

"Ya," jawabku gagap.

"Jangan pancing aku, hm?" Hugo menyapukan telapak tangannya di rambutku.

"Iya, Hugo. Maaf." Aku mengangguk patuh. Insting survival aku menyala seluruh.

***

Hugo menyandarkan punggungya di tembok sebelahku, seperti seorang teman yang menghiburku. Seperti bukan ia yang membuat bilur-bilur di kulitku.

"Orang seperti kita, akan menjadi orang tua seperti apa?" gumamnya dengan tatapan mengawang.

Aku mendesah lirih. "Orang tua yang baik."

Hugo mendelik. "How could you be so sure?"

"How could you be so unsure?" Aku menjungkirkan pertanyaanya dengan penuh waspada. "Kamu merasa tidak sanggup menjadi orang tua yang baik karena perbuatan orang tuamu?"

Aku tahu, pasti ia melalui masa kecil yang merana. Ditinggal ibunya, diabaikan bapaknya. Tinggal di rumah yang gagal melindunginya dari ego sang orang tua.

" ... "

"Orang tuamu, ya, orang tuamu. Kamu, ya, kamu. Orang tuamu buruk, itu bukan salahmu. Kamu berhak memiliki masa depan yang jauh berbeda dari masa lalumu, Hugo." Dengan ramah aku sapukan kulitku ke kulitnya.

Bukankah aku dan dia sama-sama terluka?

Luka fisikku, disebabkan tangannya. Luka batinnya, disebabkan sesuatu yang belum selesai, jauh di lubuk sana.

" ... " Mata garang itu belum juga meluluhkan sorotnya.

"Hugo, aku minta maaf, ya?"

Rasanya bukan seperti meminta maaf, melainkan seperti memohon ampun pada penjagal yang akan meregang nyawamu.

"Aku minta maaf sudah menyakiti kamu," ucapku.

"Iya," sahut Hugo sekenanya.

"Kamu mau ke mana?" Suara Hugo memuncak kembali, kala menyaksikan aku beranjak dari duduk. Sebelah tangannya menarik rambutku, tenaganya begitu kencang--sepuluh detik lebih lama ia melakukan ini, pasti kulit kepalaku bisa lepas dari tengkorak.

"Ke rumah sakit?" bentak Hugo. Jantungku bergermuruh riuh. Bagaimana bisa Hugo tepat menelaah isi pikiranku?

"Mau ngadu sama pacarmu?" teriakan Hugo memekakkan telingaku. Ia mengeraskan genggamannya, mau tak mau tubuhku mengikuti arah energinya. Insting perlawananku menciut hidup, yang tersisa tinggal insting menurut demi bertahan hidup.

"E-eng-nggak," jawabku susah payah.

Niatku ingin menyembuhkan luka-lukaku, itu saja. Aku tahu Agi tidak turut hadir di pameran tadi akibat jadwal jaga hari ini, tetapi dia kan berjaga siang hari. Ini sudah malam, pasti dokter jaga IGD sudah berganti.

Aih. Lagipula, menemui Agi, setelah semua kekacauan yang aku pancing sendiri? Mana mungkin? Aku ini masih punya malu dan harga diri.

Hugo sedikit mengendurkan cengkeramannya. "Terus, mau ke mana?"

"Mobil," kataku, " ... mau ambil kotak P3K," sambungku cepat.

"Oh." Syukurlah, Hugo akhirnya betul-betul melepaskan tangannya. "Mana kunci mobilmu? Biar aku yang ambil."

Tanganku meraih ke atas meja, kemudian menyerahkan kunci mobilku pada Hugo. "Di rear deck sebelah kiri." Aku menyebut bagian mobil yang terletak persis di bawah kaca belakang.

"Iya tau," ketus Hugo. "Hapemu, Dy." Hugo menjulurkan telapak tangannya, menagih ponselku.

"U-untuk apa?"

"Biar kamu gak telepon polisi, lah. Gila aja." Hugo memaksa menggeledah saku bajuku. Begitu ia mendapatkan apa yang ia pinta, Hugo menyeringai penuh kemenangan. Ia menimang-nimang ponselku dengan bangga. "Jangan kira aku gak tahu kamu orangnya seperti apa. Kamu itu senang cari perhatian, Ody. Bisa repot nanti."

Apa? Dia bilang aku senang cari perhatian?

"Aku--"

"Sudah, diam. Kamu di sini aja, jangan kemana-mana. Mukamu bonyok begitu, malu dilihat orang," potong Hugo.

"Aku gak malu--"

"Ya, aku yang malu, Bangsat!" hardik Hugo. "Kamu tinggal sama aku di sini. Kalau sampai orang-orang lihat kamu memar-memar begitu, apa yang orang-orang pikirkan? Pasti mereka pikir itu perbuatan aku, kan?"

Ya memang perbuatan dia, kok.

Aku diam saja. Hugo melesat. Terdengar bunyi pintu dikunci dari luar. Aku tidak berkutik. Tubuhku merebah di lantai. Air mataku menganak sungai.

Siapapun yang membaca ini, tolong camkan pesanku: jangan pernah jatuh cinta, sebelum kau tahu marahnya seperti apa.

***

Kotak P3K yang kusebutkan tadi, telah menjadi andalanku selama nyaris satu dekade ke belakang. Yang tidak aku sebutkan adalah, kotak P3K itu merupakan pemberian Agi.

Agi bukan orang yang romantis dan seingatku, kotak P3K itu adalah satu-satunya hadiah yang ia persembahkan untukku. Mengapa kubilang satu-satunya? Karena Agi pertama memberi kotak ini saat aku berulang tahun yang ke-21 dan pada ulang tahunku di tahun-tahun berikutnya, yang Agi lakukan hanyalah mengganti atau menambah isi kotak P3K ini.

Begitulah Agi.

Sedikit bercerita, aku ini orangnya sangat mudah sakit. Bisa dibilang imun tubuhku lemah. Dulu semasa masih belia, aku sangat sering terserang penyakit. Seminggu sakit, seminggu sembuh. Begitu saja terus. Padahal aku ini anak seorang dokter, tetapi kok, sakit-sakitan? Begitu cibiran tetangga.

Sepanjang masa bersekolah pun, aku sering sekali tidak masuk sekolah atau sekolah setengah hari. Tidak terhitung berapa kali aku dipanggil guru karena absensiku selalu jauh dari target minimum. Ibuku sampai disarankan untuk mengganti namaku dengan harapan supaya aku lebih sehat kelak.

Saat beranjak dewasa, aku berpacaran dengan Agi yang notabene adalah seorang dokter. Teman-temanku curiga, aku sengaja memacari dokter supaya aku bisa menghemat budget kesehatanku.

Hari itu, aku masih ingat, adalah hari ulang tahunku. Delapan belas Agustus tahun 2009. Agi memberikan kotak P3K lengkap berserta isinya, sebagai tanda perayaan hari jadiku memasuki usia legal.

Dengan wajah berseri-seri, Agi membongkar muatan kotak berwarna merah jambu itu.

"Ini ya, yang bungkus biru ini paracetamol, in case kamu demam, atau sakit gigimu kambuh--anggaplah pertolongan pertama, terus kalau kamu sakit kepala--tapi jangan setiap sakit kepala kamu jadi minum ini terus ya, nanti bisa kebal, lho. Minumnya satu setengah pil saja.

Ini minyak angin, kalau kamu lagi kembung atau sakit perut. Ini obat maag kamu, jangan keseringan mengandalkan obat maag, kamunya tidak boleh skip makan--"

"Lah? Kamu kali yang skip makan!" Aku mendebat Agi. Padahal Agi yang sering lupa kalau dia punya perut--begitu ledekanku terhadapnya, karena Agi sering lupa makan.

"Pasiennya diam saja deh, dokternya lagi jelasin nih." Agi memasang wajah serius. Kala itu bahkan Agi masih menjalani koas dan belum resmi menyandang gelar Dokter. "Calon dokter, ding," ralat Agi.

"Kamu calon dokter, aku calonnya dokter," celetukku sambil memasang lirikan if-you-know-what-i-mean.

"Aish, iya, iya." Terang saja, Agi paham maksudku.

"Mukamu merah!" sorakku penuh kemenangan, seraya menunjuk semburat merah yang timbul di kedua belah pipi Agi.

"Sudah, sudah. Ayo kamu dengarkan aku lagi supaya kalau kenapa-kenapa, kamu tidak bingung sendiri." Agi membelokkan pembicaraan.

"Gak mau, ah. Kalau aku kenapa-kenapa, ya tinggal panggil kamu." Aku menggembungkan pipi.

"Tidak bisa, lah. Aku tidak bisa menjanjikan seperti itu. Makanya, sekarang aku ajarkan kamu supaya kamu bisa sendiri dan siap kapanpun kamu butuh penanganan darurat," tegas Agi.

Aku mengerucutkan bibir. Aku kan cuma bercanda, kenapa Agi menanggapiku dengan serius sekali sih?

"Ini termasuk P3K juga nih." Agi menyerahkan sebuah payung bermotif buah semangka yang sangat menggemaskan. "Pertolongan Pertama Pada Kehujanan."

Aku dingin saja menanggapi gurauannya barusan. Aku bukannya menolak untuk menjadi mandiri karena faktanya aku cenderung selalu mengandalkan diriku sendiri, tapi pada momen peristiwa itu terjadi, aku merasa Agi sedang mempersiapkanku untuk sering-sering berjauhan dirinya. Pembicaraan Agi pun memberi impresi bahwa ia tidak akan bisa diandalkan pada sebagian besar waktu. Jujur saja, perasaanku kali itu kurang menyenangkan.

Namun tanpa tedeng aling-aling, Agi mencium pipi, kendati aku sedang manyun buruk rupa.

"Gi?" Pipiku panas.

"Habis, malah ngambek sih." Agi menaikkan sebelah alisnya.

"Oh, jadi kalau kamu dapat pasien yang lagi badmood, terus kamu cium, gitu?" tuduhku.

"Woy! Ya enggak lah! Ke kamu doang kali!" bantah Agi.

"Hehehe, oke." Aku tersipu-sipu.

"Selamat ulang tahun, Rhapsody."

Agi menangkupkan tangannya di wajahku, kemudian mengecupku lagi. Di bibir. Kali ini tidak sekilas. Aku memejamkan mata, meresapi rasa hangat bibirnya yang bertaut sempurna dengan celah bibirku.

And that was our very first kiss.

***

Aku tidak lama-lama berkelana mengunjungi memori manisku. Karena Hugo telah kembali. Ia duduk di sebelah aku yang berbaring, menghamburkan obat-obatan yang mendiami kotak tersebut.

Pria itu mengambil selembar handuk mungil, kemudian pergi ke kamar mandi, membasahkannya dengan air hangat, lantas menenggelamkannya ke luka lebamku.

"Aw!" Aku meringis begitu merasakan tekanannya yang terlalu dalam.

"Tahan sedikit, bisa?" gertak Hugo kesal.

Aku menggigit bibir dalamku, guna menyegel suara. Aku tidak mau jadi samsak tinju lelaki ini hanya gara-gara kelepasan mengaduh.

Kemudian, Hugo menyasar-nyasar isi kotak P3K itu dengan sembrono.

"Itu, Go, yang warna oranye." Aku menunjuk sebuah tube mungil warna oranye dan putih, sebuah obat pereda luka memar yang mungkin tengah ia cari.

Hugo dengan tangkas mencomotnya, kemudian memulaskan salep tersebut di atas luka-lukaku. Aku memejamkan mata erat, sekuat tenaga menyetop rintih dari mulutku.

"Sudah," gumam Hugo datar. Ia kembali menata obat-obatanku sekenanya.

"Terima kasih," ucapku.

Terima kasih karena sudah membuatku luka, terima kasih juga sudah bertanggung jawab mengobatinya.

Begitukah makna ucapan terima kasihku? Aku pasti sudah gila.

***

Psikopat itu membersihkan seluruh unit apartemennya seolah ruangan ini kotor karena tidak disapu berhari-hari. Aku mencari-cari rasa bersalah di wajahnya, aku menanti-nanti kata maaf diutarakan dari bibirnya, tetapi tidak ada.

"Sekitar sebulan yang lalu, kita berhubungan badan tanpa pengaman," beber Hugo begitu selesai membereskan kekacauan ini.

"Dan kamu keluarin di dalam, padahal aku sudah minta kamu untuk berhenti," lirihku sembari buang muka.

Aku bisa gila memikirkan potensi risikonya. Sampai kiamat pun Hugo tidak sudi punya anak, apalagi anak yang datang tiba-tiba tanpa direncanakan.

"Dan kamu pun lupa minum after pills besokannya, jadi kita impas. Sama begonya," erang pria itu, tak terima disalahkan sendiri.

Iya, aku lupa minum after pills-ku sehari sesudah bercinta dengannya. Aku baru ingat dua hari kemudian. Perkara ini yang membuat Hugo membabi buta seperti orang kesurupan.

Hugo meninggalkanku sejenak, kemudian kembali dengan sebutir benda berbentuk mirip kartu. Pipih, kotak, berwarna biru tua. Saat aku membaca tulisan yang terpampang di kemasannya, aku segera tahu itu apa.

"Kamu tidak mau, kan, anakmu bernasib seperti kamu?" Hugo memberikan benda itu, nadanya jelas mengancamku.

"Bernasib seperti aku? Maksud kamu apa?"

"Gak jelas bapaknya siapa," sinis Hugo. Raut wajahnya seperti tengah memandang kotoran binatang, jijik.

Aku ingin memaki, aku ingin menghajar mulut itu berkali-kali. Namun, sebuah pelajaran berarti baru saja kudapatkan malam ini; melawan Hugo sama artinya menjemput mati.

"Bapaknya, ya, kamu," tandasku pelan. Pelan sekali, mungkin tidak sampai ke telinganya.

"Tapi, aku tidak mau." Hugo mendengar gumamku. Pria bertubuh kekar itu menaruh telapak tangannya di ujung bahuku. Sungguh ingin kutepis tangan itu jauh-jauh. "Sejarah berulang, hm?"

" ... "

Aku diam saja. Aku yakin, apapun yang terucap dari mulutnya habis ini, akan membuatku sakit hati.

"Ibumu hamil kamu di luar nikah. Bapakmu kabur. Seumur hidup kamu gak tahu siapa bapakmu. Kalau kamu mengandung dan aku memilih untuk angkat kaki, kemungkinan besar ibumu tidak terkejut, kan? Sejarah berulang, itu benar adanya."

Sejarah berulang.

Sebuah ungkapan yang tidak asing. Mengenai dunia yang sesungguhnya punya kapasitas bercerita, sehingga roda peristiwa berputar pada bencana yang itu-itu saja.

Aku mengerti kini. Hugo tidak sanggup melangkah ringan menyongsong masa depannya, akibat terbebani berat dari masa lalunya. Ia pikir, semua rumah tangga akan bernasib sama. Ia sangka, semua pernikahan akan berlangsung mengenaskan seperti pernikahan ibu dan ayahnya.

Sejarah berulang.

Sungguh mengenaskan. Hugo kira, ia akan berakhir menjadi sepasang keparat seperti orang tuanya. Karena ia pikir sejarah berulang dan selamanya ia akan terjebak dalam lingkaran yang sama. Perihal ia yang belum bisa dewasa menerima masa lalunya, itu urusan dia. Namun saat ia membawa-bawa ranah privasiku demi memvalidasi perspektif kotornya, aku tidak terima.

Aku tidak bisa diam lebih lama. Amarahku menguar, memaksa lisanku menggelegar. "Sejarah berulang, sejarah berulang. Ibumu meninggalkan ayahmu, karena ayahmu sering memukul ibumu. Sekarang, kamu kasar sama aku. Itu, kan, yang kamu sebut sejarah berulang?"

" ... " Hugo, matanya lebih tajam dari belati. Aku yakin, sebelum belati itu mencabikku sampai begini, belati itu telah berkali-kali melukai dirinya sendiri.

Aku meradang. "Sejarah berulang karena kamu yang mengulang sejarahmu sendiri, Bajingan!"

Ia mengatakan sejarah berulang seolah ia tidak berdaya mengubahnya. Ya, sejarah mengulang diri, tetapi manusia punya kuasa untuk menulis sejarahnya sendiri.

Apa yang terjadi, sedetik setelah aku naik pitam? Ya, kamu bisa menebaknya. Buku-buku jari itu melesat kilat, menabrak tulang wajahku kembali. Aku tersungkur, lagi-lagi.

Aku salah. Seharusnya aku jangan gegabah. Seharusnya aku pasrah. Seharusnya aku tidak membantah. Seharusnya aku jangan berulah. Seharusnya aku tidak membuatnya marah.

Mataku berlinang. Perih sekali. Namun untuk meringis saja, aku tidak berani.

Ke mana rasa nyaman yang aku agung-agungkan itu pergi?

Butakah aku? Mana ada rasa nyaman tanpa rasa aman itu? Rasa aman itu kebutuhan dasar manusia--jika itu gagal terpenuhi, manusia akan sulit berfungsi.

Tragis, seperti aku sekarang ini.

***

"Bangun." Jemari tangan kanannya mencaplok kerah bajuku, sementara jemari tangan kirinya melesakkan benda berwarna biru itu ke tanganku. "Sana, ke kamar mandi," titahnya.

Tidak pakai ba bi bu, aku gontai menyeret langkahku. Dengan cemas, kugenggam benda itu. Akankah aku bernasib seperti ibuku?

Aku duduk di kloset, membuka kaki. Otak memerintahkan kandung kemih untuk melepaskan urin yang ditampungnya. Mengalirlah air seni, mengucuri ujung strip test pack itu.

Seolah ada alat pengatur waktu tertancap di tengah kepala, bertugas menghitung mundur sampai alat itu mendeteksi hormon beta human chorionic gonadotropin pada urinku. Aku mohon, Tuhan.

Kalau sampai hasilnya dua garis merah, matilah aku.

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote sebagai apresiasi dan mendukung perkembangan cerita. Berikan juga komentar supaya aku tahu pemikiranmu seperti apa. Juga share cerita ini sebanyak-banyaknya agar cerita ini bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca!

Kira-kira, Rhapsody ini positif, kah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top