21 | Dan

Ody

Minggu, 6 Mei 2018

Di sinilah aku, di tengah hiruk pikuk pameran ibu dan anak yang terbesar di Jakarta. Berbagai stand menjajakan produk yang menarik. Ada sebuah panggung yang menjadi pusat atensi. Tambah ramai oleh suasana pengunjung yang hilir mudik, tambah meriah dengan anak-anak yang berlarian tanpa beban di arena bermain.

Hari ini adalah hari pameran yang sudah mati-matian kupersiapkan beberapa bulan ke belakang. Sayangnya akibat kelelahan, aku jatuh sakit. Tubuhku kehilangan energi, aku merasa lemas sepanjang waktu. Suhu tubuhku meningkat, kepalaku terasa berat. Hugo menyuruhku untuk beristirahat saja, tetapi aku bersikeras untuk tetap berpartisipasi secara fisik dalam pameran ini.

Lihatlah aku sekarang, terduduk lemah di kursi karena tidak sanggup berdiri melayani pembeli. Selembar masker dikaitkan di kedua telinga, guna menutupi hidungku yang entah mengapa merasa mual mencium bau-bauan. Anis--sepupu Hugo, dengan telaten menekan hand valley point--alias titik lembah antara telunjuk dan ibu jari--titik ini jika ditekan, dipercaya ampuh mengurangi sakit kepala.

Wanita yang tengah mengandung itu menatapku penuh welas asih. "Mbak Ody, nggak papa, kah? Apa gak sebaiknya pulang aja?"

"Aku nggak papa, Nis. Cuma kecapekan aja," senyumku.

Anis balas tersenyum. Pipinya bersemu merah. "Mbak Ody cantik. Kok mau sama Mas Hugo? Padahal Mas Hugo kayak kuda."

Aku terbahak menanggapi celetukan Anis.

"Balik ke sana, Mbak." Anis menyuruhku berbalik posisi membelakanginya. Aku menurut saja, lantas Anis memijat punggungku. "Mas Hugo itu walaupun gak begitu ganteng, tapi dia baik," gumam Anis samar.

Aku terkekeh. "Segitu gantengnya, lho."

"Mas Hugo bosen dibilang ganteng, Mbak. Sesekali dibilang jelek nggak papa, lah," gurau Anis.

"Memangnya ada ya, yang bosen dibilang ganteng?"

"Ya, Mas Hugo itu." Pijatan Anis berpindah ke bahuku. "Pokoknya Mas Hugo itu baik, asal jangan buat dia marah aja."

Aku berbalik, kini kembali menatap Anis. "Kenapa?"

Anis hanya tersenyum penuh arti.

***

Kehadiran Yudhis, Marcell, dan Dewa menginterupsi perbincangan aku dan Anis. Yudhis menyerahkan sebotol jus jeruk untuk Anis.

"Makasih, Pa!" sorak Anis ceria. Matanya berseri-seri. Yudhis mengacak rambut Anis, lantas ambil posisi duduk di sebelah istrinya, sementara Dewa dan Marcell duduk di hadapanku.

"Ody, lo lagi sakit ya? Kok pakai masker mulu?" tanya Marcell perhatian.

Serta merta, Dewa menoyor kepala Marcell. "Jangan mau sama dia, Dy. Dia baru putus satu jam yang lalu, udah mau cari mangsa baru aja."

"Hei, ini sudah jam satu siang. Gue putus jam sepuluh pagi tadi. Berarti gue sudah putus tiga jam, lah!" sanggah Marcell. "Dasar gak bisa matematika."

"Seenggaknya gue beneran jadi dokter. Lah, lo apa?" sahut Dewa pongah.

"Mulai ya, lo berdua." Yudhis memelototi Dewa dan Marcell. "Lagian Dewa belagu bener. Ke pameran doang kok pake snelli segala," ledek Yudhis pada Dewa yang sedang mengenakan white coat khas dokter.

"Heh! Ini juga gue pake karena mau ngisi talkshow, kali! Ini pun gue disuruh sama si bego yang satu ini." Dewa menoyor kepala Marcell.

Benar, dua jam lagi, akan ada talkshow tentang morning sickness yang akan diisi oleh Dewa.

"Ya, habis, si Dewa ini kalau gak pake snelli, tampangnya kayak maling," hina Marcell.

"Maling hati para wanita, ya?" Dewa tersenyum jenaka.

Yudhis memutar mata, sementara Marcell memeragakan adegan pura-pura muntah.

"Eh, Agi mana?" Pandangan Yudhis mengedar ke sekeliling. Aku jadi ikut menelusuri suasana pameran. Setelah berkali-kali bertemu Agi tanpa rencana, akhirnya aku betul-betul tidak menemukan Agi dimana-mana. Rasanya janggal, menyaksikan Yudhis, Dewa, dan Marcell jalan bertiga tanpa Agi di antaranya.

"Oh, si Dara." Dewa menahan tawa. "Coba lihat di arena mandi bola, siapa tahu ada dia di sana."

Yudhis dan Marcell cekikikan.

"Serius, dia gak datang, kah? Gue nanya di grup tapi gak respon." Yudhis menunjuk ponselnya.

"Nope. Lagi jaga, dia." jelas Dewa.

"Jaga lilin?" tanya Marcell, ia bertukar pandang dengan Dewa. Tatapan mereka berdua selalu penuh arti, seperti terkoneksi via telepati. Jaga lilin yang dimaksud pasti berkaitan dengan babi ngepet.

"Iya, kan elo yang bagian keliling," seloroh Dewa, lantas tertawa terpingkal-pingkal.

***

Selesai berbincang-bincang dengan Anis, Yudhis, Marcell, dan Dewa, aku melangkah lunglai menuju stand-ku. Meski sejatinya aku bisa saja melimpahkan tugas pameran ini pada Lia--store manager-ku, tetapi aku ingin juga ikut menjaga stand. Alih-alih demikian, aku malah membiarkan Hugo menggantikan peranku. Ia sibuk melayani pembeli sedari tadi.

"Bu," bisik Lia.

"Ya, kenapa, Lia?"

"Makasih lho, Bu, udah bawa Si Bapak," ucapnya, seraya menunjuk dengan dagu. Aku tahu yang ia maksud pastilah Hugo. "Gara-gara Si Bapak, stand kita langsung ramai, Bu." Lia terkekeh genit.

Manik mataku dipusatkan pada figur Hugo beserta gerak-geriknya. Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang warna biru denim, dipasangkan dengan celana panjang hitam berpotongan relaxed fit. Hugo parasnya memukau, seharusnya fakta itu dimasukkan ke dalam buku RPUL--Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap--tetapi, hey, jangan anggap Hugo hanya modal tampang. Perangai yang selaras elok dengan perawakannya itu sepertinya sering terabaikan.

Lihatlah Hugo, sedang antusias melayani seorang bocah berkuncir dua. Ia bahkan berjongkok untuk menyetarakan tubuhnya dengan tubuh anak kecil tersebut.

"Bilang apa sama Om-nya," gumam ibu dari anak kecil itu.

"Mama, mata om-nya warna coklat," celetuk anak kecil itu polos, dua bola matanya memandang Hugo dengan takjub.

Hugo tertawa, memamerkan gigi geliginya yang putih serta berderet rapi. Aku mengerti apa yang dicerna bola mata mungil tersebut. Aku setuju, anak kecil memang penilai paling jujur. Mataku turut tergugah dengan pemandangan yang tersaji.

"Bilang makasih, Sayang," perintah ibu tersebut gemas.

"Makasih, Sayang." Anak kecil itu membeo polos.

"Hush!" Si ibu mesem-mesem menanggapi tingkah anaknya.

Semua yang menyaksikan momen itu tergelak kencang. Hugo juga. Ia menghadiahi tepukan di kepala anak tersebut. Anak itu tidak melepaskan matanya dari Hugo, bahkan sampai ia digendong ibunya menjauh dari stand pameranku.

"Pak Hugo ini, calon bapak idaman banget, ya, Bu" komentar Lia. Telapak tangan Lia memangku wajahnya.

Aku menyunggingkan senyum menanggapi Lia.

"Bu Ody hebat bisa dapetin yang kayak Pak Hugo. Lebih ganteng dari yang sebelumnya, Bu," imbuh Lia berapi-api.

"Astaga, kamu ini!" timpalku.

"Pak Agi juga ganteng, Bu, tapi kalau Lia disuruh pilih, jelas Lia pilih yang ini," cetus Lia sembari tersenyum penuh arti.

"Emang ada yang nyuruh kamu pilih, Li?" godaku.

"Nggak ada, sih." Lia nyengir kuda. "Pak Hugo ini apa, Bu? Artis, kah? Atau model? Bintang iklan?"

"Bukan, salah semuanya. Arsitek, dia."

"Waaaah!" Lia bergumam takjub. Matanya berbinar-binar. "Ganteng banget gitu, dapat dari mana, Bu?"

"Dapat dari kondangan, Lia. Pokoknya kalau kita lagi gak ada pameran, kamu sering-sering datang ke kondangan, ya."

"Siap, Bu." Lia cengengesan.

***

Aku meninggalkan pameran sebelum waktunya. Rasa mual yang bergolak di lambungku begitu menyiksa. Terakhir sebelum angkat kaki, kusaksikan Dewa di panggung, berceloteh memaparkan ilmu yang insightful dengan pembawaan ringan, sesekali diselingi guyonan. Kusaksikan Marcell dan Yudhis menontonnya seperti penggemar mendukung artisnya--heboh bersorak dan bertepuk tangan paling kencang, mata mereka pun dihias kemilau bangga. Tetap, tidak ada Agi di antara mereka. Ada yang hilang rasanya.

Malam menyembul di cakrawala. Aku sudah bergelung nyaman di dalam apartemen Hugo sejak tiga jam yang lalu. Aku baru saja bangun tidur. Hugo baru saja pulang dari gym. Tentu saja ia sudah berganti baju. Kaos hijau tua itu menonjolkan tubuh kekarnya dengan jumawa.

"Hugo, you seem really nice to kids." Aku memujinya. Mataku berpendar kilau.

"Masak sih?" Hugo meletakkan tas hitam yang biasa ia gunakan untuk berolahraga di gym.

"Yeah. You clearly got some father material quality, Go. And that's pretty nice," sanjungku.

"Really?" Hugo tertawa sumbar.

"Iya." Aku mengangguk seraya tersenyum cerah. "You would make a great father someday, Hugo,"

Hugo menarik satu sisi bibirnya. "Well, actually, I never desired nor aspired to be one." Hugo melenggang menuju dapur. Aku mengekor.

"What?" Aku mengernyit. "Why?"

Hugo memberi jeda sejenak. Ia memunggungiku. "Ya, tidak mau saja. Kalau ditanya kenapa, hmm, mungkin karena belum siap?"

Wait, is it just me or his argument sounds weird?

"Apa yang membuatmu belum siap?"

"Aku masih muda, belum genap 27 bahkan," tegas Hugo. Tangannya mengambil satu sekup protein shake, kemudian memindahkan bubuk berwarna cokelat itu ke sebuah botol.

Hah?

"Oke, berarti once you get older, kamu bakal siap?" Aku menyilangkan tanganku.

"I'm not sure," cibir Hugo. Ia berjongkok di depan dispenser, lekat-lekat meninjau air yang mengucur dari sana.

"Berarti masalahnya bukan di umur, dong," desakku. Mataku memaksa mata Hugo untuk tidak menghindari pandanganku.

"Mungkin. Memangnya kenapa, Dy? Do you want to have kids someday?" Hugo mengguncangkan botol minum hijau yang biasa ia gunakan untuk meminum protein shake.

"Of course," responku antusias.

Aku mungkin tidak terlihat seperti perempuan yang berperasaan--tetapi aku terkadang mendamba merasakan ada nyawa lain yang bertumbuh di dalam tubuhku, ada raga yang dipahat dari darah dan dagingku.

Kamu tahu apa yang paling membuatku penasaran?

Kasih sayang ibu. Komposisi apa yang membuat seorang wanita rela menggadaikan keindahan tubuhnya, tidur malamnya, cita-cita yang susah payah dibangunnya, demi seorang manusia mungil yang tidak bisa apa-apa?

Racikan apa yang membuat seorang wanita yang tadinya punya ambisi menaklukkan satu jagat raya, kini ditaklukkan oleh dunia baru yang bersemi dari rahimnya?

Hugo mereguk minumannya. Kendati sebagian wajahnya tertutupi botol, tetapi matanya ditujukan kepadaku. "Apa yang membuat kamu berpikir kamu layak menjadi seorang ibu?"

Hah? Apakah karena hari ini aku sedang sakit dan suasana hatiku cenderung buruk, atau memang pertanyaan Hugo barusan betul ofensif?

"Gak ada satupun wanita yang merasa dirinya layak menjadi ibu, Go," paparku tenang. "Jadi ibu itu butuh tanggung jawab yang besar."

"Terus?"

"Tapi, kan, aku mau belajar," imbuhku.

Hugo memandangku hambar. "Menurutmu, kamu harus belajar sekeras apa sampai kamu pantas disebut menjadi seorang ibu?"

"Sekeras apa? Tidak ada batasnya, lah. Menjadi ibu itu gak ada sekolahnya, Go. Belajarnya seumur hidup," pungkasku.

Aku menarik kursi di mini bar milik Hugo. Hugo sedang mencuci botol bekas minumnya, aku menelitinya dari dekat.

"Gak ada definisi pasti tentang siapa yang pantas, siapa yang enggak pantas. Detik begitu Tuhan menitipkan anak pada seorang wanita, detik itulah dia sudah dinilai pantas jadi seorang ibu."

"Dititipkan anak membuat seorang wanita menjadi seorang ibu. Pantas atau tidaknya, itu urusan berbeda," sinis Hugo. Ia menaruh botol bekasnya di rak piring.

Aku menghela napas. Apakah Hugo tidak memikul visi yang sama denganku perihal parenthood? Sudah berapa lama aku bersama Hugo? Enam bulanan, kira-kira. Mengapa bisa bahasan sebesar ini luput dari perhatian kami? Mengapa aku baru menyadari, aku tidak penah membahas ihwal rencana memiliki dan membesarkan anak?

Kami akan menikah tahun depan, tentu kami memusyawarahkan banyak hal. Perihal komunikasi--kami memaparkan pola komunikasi serta batasan apa yang perlu kami jaga demi kelanggengan hubungan.

Perihal finansial--kami membahas bagaimana rencana keuangan kami, pengelolaan keuangan, alokasi tabungan, alokasi dana darurat, keikut sertaan program asuransi, dan sebagainya.

Perihal kelanjutan karir--kami berunding tentang visi dan misi pekerjaan kami dengan harapan kami dapat saling menyokong perkembangan karir masing-masing.

Perihal sosial pun kami diskusikan supaya kelak kehidupan sosial di luar pernikahan tidak menjadi sumber perselisihan.

Intinya, ada sejuta hal yang kami uraikan, kecuali tentang perencanaan anak.

"Kan, bisa dipersiapkan." Aku memberi alasan dengan kepala sedingin mungkin.

"Terlalu jauh kalau dipersiapkan dari sekarang," sanggah Hugo.

"Hugo, kita sudah mempersiapkan perihal pengaturan komunikasi, finansial, karir, sosial--terus, apa salahnya kita membicarakan soal parenting dari sekarang?"

"Kamu tidak apple to apple, Ody!" teriak Hugo frustrasi. "Empat hal pertama yang kamu sebutkan, itu memang krusial--"

"Yang terakhir kusebutkan, tidak krusial kah?" raungku dongkol.

"Tidak." Hugo menggeleng. "Karena aku tidak mau."

"Kenapa?" Aku tidak bisa menyembunyikan keki dalam nada bicaraku. Oke, aku akui, tidak semua orang mau memiliki anak. Masalahnya aku ingin, tapi pasanganku tidak ingin. Masalahnya lagi, pasanganku gagal memaparkan alasan rasional dibalik keengganannya tersebut.

Alih-alih mendapatkan jawaban yang aku harapkan, Hugo malah membelokkan pembicaraan, "Ody, kenapa kamu tiba-tiba bicara begini? Kamu hamil kah? Have you taken your after pills, Dy?"

Hugo tiba-tiba menyinggung after pills--pil kontrasepsi darurat yang dikonsumsi setelah berhubungan seks--khususnya bila tanpa pengaman.

"Kenapa tiba-tiba jadi nyambung ke sana, sih?" Aku meradang.

"Jelas nyambung, dong! Kalau kamu hamil, bagaimana?" bentak Hugo.

Apa, sih?

Hugo ini kerasukan pemuda labil yang keranjingan seks, tapi terlalu pengecut untuk bertanggung jawab, kah? Demi Tuhan, dia berbicara seolah dia tidak tahu risiko kehamilan yang tidak diinginkan tetap ada, secermat apapun upaya mitigasi.

Aku balas membentak. "Ya, menurutmu bagaimana?"

"Menurutku, kalau kamu sampai hamil, gugurkan saja," ketus Hugo sambil berlalu.

Aku mencekal sikunya. Mataku menghujam tak terima. "Semudah itukah bicaramu?"

Pria itu menyeringai miring. "Itu karena aku tidak bisa melihat kamu menjadi sosok ibu yang baik."

Shoot. Kartu pria manipulatif telah diacungkan di depan muka. Ini namanya guilt tripping--memanipulasi lawan bicara agar merasa bersalah, dengan tujuan supaya si lawan bicara mematuhi apa yang kita inginkan. Dalam hal ini, dapatkah kamu mengungkap guilt tripping yang dilakukan Hugo?

Ya, dia membuatku merasa bersalah karena bercinta dengannya, menyuruhku mengaborsi andai aku mengandung hasil percintaan kami, diembel-embeli penghakimannya bahwa aku tidak bisa menjadi ibu yang baik. Seriously, what the actual fuck?

Hatiku menyembilu. Cekalan tanganku mengendur. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

"You spread your legs easily. Bisa-bisanya setelah kamu melakukan itu, kamu masih tetap merasa layak menjadi seorang ibu?"

Darah mendesir di seluruh wajahku. Air bening serta merta kumpul di sekeliling mata. Tangan kananku mengangkat, kulayangkan kencang ke wajahnya.

Aku menampar Hugo.

"Aku bukan pelacur, Hugo!" marahku.

Aku begitu murka. Perkataan Hugo melecehkanku dari segala penjuru. Sungguh menciutkan martabatku. Sungguh merendahkan nilai diriku. Sungguh menistakan realitasku. Apakah aku pernah membentangkan dua kakiku untuk mengundang banyak pria menjamahku semena-mena? Apakah aku pernah menggadaikan tubuhku dengan suka rela?

Aku tidak pernah melucuti makna cinta menjadi nikmat persenggamaan semata. Aku bercinta hanya dengan orang yang aku cinta dan hanya atas nama cinta. Buang kompas moralmu jauh-jauh--apa histori percintaanku berhak mendeterminasi kelayakan aku menjadi seorang ibu?

Hugo, matanya membara dibakar amarah. Ujung jemarinya ditempelkan pada kulit pipi nan memerah. Urat lehernya menegang.

Mataku pun berkobar amarah yang sama. Dua api besar saling melalap, melalui dua tatapan panas sepasang insan yang dirasuki setan.

***

Pandanganku menantang. "Kenapa kamu meragukan kelayakanku menjadi seorang ibu? Apa karena dulu kamu ditelantarkan ibumu?"

Pria itu melolong. Tangannya melibas meja makan, vas bunga itu terpelanting, lantas pecah berkeping-keping.

Biadab sekali Hugo menyamaratakan aku dengan ibunya terdahulu.

Hugo kecil yang malang, ditinggal pergi sang ibu. Ibunya--seorang publik figur ternama, terjerat skandal dimana-mana. Terlibat hubungan gelap dengan berbagai pria.

Hugo kecil terganggu kehidupan sosialnya, karena kelakuan Sang Ibu merusak nama baiknya. Imej sang ibu turut menyeret ia dalam pergunjingan tiada habisnya.

Hugo kecil yang kesepian. Hidup sendiri dikungkung tembok nan bisu. Hanya amarah yang bertindak sebagai lagu. Berdendang dalam jiwanya sepanjang waktu.

Hugo kecil yang merana. Merasa Tuhan menghukum dunianya, tanpa tahu ia salah apa.

Hugo kecil yang membenci, bahkan saat ibunya kembali. Hugo yang tidak pernah mengampuni, bahkan saat keluarga kecilnya reuni. Hugo yang memilih pergi, terbang jauh meninggalkan rumah, memilih tutup mata dari luka yang parah bernanah.

Ayah Hugo memaafkan istrinya, tetapi tidak satu pun keadaan yang bisa membalikkan masa lalu. Masa kecil Hugo sudah sirna dilumat waktu, ia tumbuh dewasa dengan rasa takut yang terlanjur membatu.

"Brengsek! Dasar sundal!" Hugo memuntahkan amarahnya. Ia melontarkan ke arahku sebutir remot televisi yang tergeletak di atas sofa. Jantungku melonjak cepat tatkala berkelit--apakah Hugo betul-betul bermaksud melemparkan benda itu ke arahku?

Kusaksikan remot itu membentur dinding disertai suara keras, lantas tersungkur di lantai, terbelah tidak sama rata.

"Jangan samakan aku dengan ibumu!" jeritku.

Siapa yang sundal? Aku atau ibunya?

Entahlah. Yang jelas Hugo merangsek ke depanku. Telapak tangan besar itu mengepal, bergegas melesat ke wajahku. Kepalan itu menghantam wajahku dengan kekuatan hebat. Aku terpental seolah aku hanya selembar bulu dan tenaga Hugo adalah angin ribut yang memusnahkanku.

Perih menyergap wajahku. Sakit membelenggu kepalaku. Hugo melompat ke arahku. Kali ini tidak hanya satu--melainkan dua tangan sekaligus, menyudutkanku. Leherku dicengkeramnya--mirip cengkeraman penuh hasrat saat bercinta, bedanya hasrat ini adalah hasrat membunuh. Ia mencekikku.

Iblis di hadapanku, matanya disesaki kilat neraka.

Susah payah aku meronta, memohon supaya ia melepaskan tangannya. Nahas, napasku tinggal satu dua. Sementara iblis ini enggan berhenti menyiksa.

Aku memudar.

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)

Halo #TeamHugo , apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian? Atau kalian berminat berpindah menjadi #TeamAgi? Let me know what you guys think.

Sampai bertemu di chapter selanjutnya. Mohon doanya supaya aku lancar menulis, ya. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top