19 | Dari

Agi

Sabtu, 7 April 2018

Aku menghitung berapa lama waktu yang aku butuhkan untuk membuang muka dan berapa lama aku harus menunggu sampai aku dapat kembali memungut mukaku.

Aku benci ditempatkan pada situasi minim kendali.

"Hugo! Bapak arsitek andalan gue!" sapa Marcell sok akrab. Tangannya berjabatan canggung. Pasti ia masih merasa bersalah karena menjadikan pria ini sebagai tumbal alasan mangkir dari kencan.

Yang disebut bapak arsitek andalan itu hanya berderai tawa garing.

"Sama siapa ke sini?" Yudhis basa-basi.

Jelas-jelas pria itu sendiri, barangkali hanya bersama malaikat pencatat amal di sisi kanan dan kiri.

"Sama cewek gue." Ia tersenyum. Ironisnya, aku merasa senyum itu sengaja dialamatkan kepadaku.

Apa maksudnya, sih?

"Wuih, udah punya cewek?" sorak Yudhis.

"Udah dong!" pamer pria itu.

Andai ia dikuliti dan seluruh organ tubuhnya dipreteli, pastilah terungkap sebenarnya ia adalah anak kecil yang terjebak dalam tubuh pria dewasa. Caranya menjawab pertanyaan, amat kekanak-kanakan--tak ubahnya anak TK yang pamer sudah bisa naik sepeda roda dua.

"Mana cewek lo? Sini kenalin ke gue," tagih Yudhis bersemangat.

Aku mengambil gelas di hadapanku, menandaskannya sampai tak bersisa. Kontan, sebuah sentilan didaratkan di keningku. "Woy, Dara. Lo lagi kenapa, sih? Itu minuman gue, begoooo!" gerutu Dewa.

Oh. Barusan aku meminum long black milik Dewa. Pantas pahit.

"Sorry," gumamku gusar.

Rasanya aku ingin menghilang detik ini juga. Tatap mata milik pria bernama Hugo itu membuatku merasa kerdil.

Belum tuntas aku menata perasaan yang berkecamuk, seorang wanita datang bergabung, tanpa tahu situasi apa yang ia hadapi. Rambutnya sebahu, lipstiknya merah menyala, ia mengenakan gaun tanpa lengan warna hitam. "Di sini kamu rupanya!" ujarnya ceria.

"Ody?" Yudhis membelalak.

Marcell, kulihat mulutnya mengumpat tanpa suara, "Shit, man!"

Dewa, mengeluarkan siulan mungil dan pandangannya ia buang ke seantero suasana kafe.

Bagaimana dengan aku?

Aku harus bagaimana?

Hening.

Hening yang panjang.

Hening yang terasa seperti terjebak dalam koma--sangat menyakitkan, sampai kamu tidak merasakan apa-apa--sangat menyiksa, tetapi kamu tidak bisa menyuarakan sepatah kata.

***

Minggu, 8 April 2018

Adalah ajakan "Party, yok!" yang dikumandangkan dari mulut Dewa, yang membuat kami berujung bergelimpangan di dalam mobil Yudhis, pada hari Minggu dini hari.

Dewa bilang, party kali ini dalam rangka merayakan aku yang patah hati.

Sebetulnya kami membawa mobil kami masing-masing, tetapi Yudhis melarang kami mengemudi dalam keadaan dipengaruhi alkohol. Yudhis ada benarnya. Saat Yudhis memaksa kami untuk masuk ke mobilnya untuk diantar pulang olehnya, kami menurut saja. Apa kubilang, Yudhis benar-benar figur kakak bagi kami.

Yudhis mengemudi mobil dengan tenang, sebagai satu-satunya yang sober di antara kami. Yudhis tidak minum sama sekali. "Bayangin gimana reaksi istri gue--udah malam mingguan gak jelas, gak makan malam di rumah padahal udah dimasakin, pulang-pulang pagi, mabuk pula. Bisa-bisa gue dibunuh Anis begitu sampai rumah!" begitu alasan Yudhis.

Sekarang aku bersyukur Yudhis hanya meminum berbotol-botol coke tadi. Jelas terlihat bukan opsi yang sehat. Minuman berkarbornasi yang ia konsumsi itu jelas-jelas tinggi gula, tetapi setidaknya, tidak memabukkan. Bandingkan dengan kami mengonsumsi cocktail, spirit, dan berbagai side dish dengan semena-mena--jangan khawatir, ada Marcell yang siap menraktir.

Di sisi kiri Yudhis, ada Marcell yang terkapar payah, wasted. Wajahnya merah padam. Ia mabuk berat. Entah sudah berapa sloki Belluga Gold Line berpindah ke tubuhnya. Lantas ia muntah-muntah, kemudian kami yang kelimpungan memapahnya. "Anjing lo semua, Anjing!" Marcell menyumpah pada setiap objek yang dilihatnya--tidak hanya manusia, tempat sampah dan tiang listrik pun ia maki-maki.

"Bawa si Marcell yang bener, De, Gi. Gue siapin mobil," perintah Yudhis pada aku dan Dewa.

Yudhis tergopoh-gopoh menuju mobilnya, sementara aku dan Dewa kepayahan menyeret Marcell--tangannya disampirkan di pundak kami berdua, bergantung pada kami dengan kuyu. Langkahnya gontai, kakinya lemah menapak di tanah. Ia terhuyung-huyung setiap dua meter sekali, sungguh merepotkan. Aku kesulitan menyeimbangkan tubuh kami. Masalahnya, di antara aku, Marcell, dan Dewa, hanya aku yang betul-betul sanggup berjalan tegap. Dewa bahkan sudah tipsy.

"Anj--"

Dewa buru-buru membekap mulut Marcell, sebelum ia meneriakkan nama binatang lagi.

"Cell!" Dewa mengaduh keras karena Marcell menggigit telapak tangannya sekuat tenaga. "Woy jangan gigit, dong! Kalau gue rabies, gimana?" bentaknya sambil mengelap tangannya yang berlumur liur Marcell.

Perjalanan kami menuju tempat parkir rasanya pantas disorot media nasional. Sungguh perjuangan. Satu orang wasted yang melontarkan amarah pada seluruh benda, satu orang tipsy yang mulai kehilangan kontrol--meladeni amarahnya, juga aku, yang merasa pening--kombinasi karena alkohol, bau rokok menyengat, serta musik yang sangat keras di dalam club--tetapi berusaha mengambil peran penengah di antara dua temanku yang bernama seperti nama musisi ini.

Aku bukan orang yang memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol, maka aku hanya memesan segelas Manhattan bersama seporsi bitterballen tadi. Bayangkan jika aku minum sebanyak Dewa atau Marcell, mungkin Yudhis akan berakhir kelimpungan menyeret kami bertiga ke mobilnya.

Aku dan Dewa berniat membaringkan Marcell di kursi belakang, tetapi Marcell menolak, ia ingin duduk di kursi depan saja.

Hoeeeeekkkkkkk.

Marcell muntah lagi.

"Brengseeeeeek lo! Bisa bonyok gue dihajar Anis!" omel Yudhis, menyebut-nyebut nama yang paling ditakutinya. Ia mengambil sebotol air mineral, kemudian menyiram pintu mobilnya yang terkena muntahan Marcell.

***

"Lo tau, gak?" gumam Marcell tiba-tiba. "Makin ke sini, gue makin gak percaya sama cinta."

Marcell duduk di depanku, kursinya direbahkan, otomatis mempersempit ruang untuk kakiku. Dari sini kusaksikan matanya terpejam sementara mulutnya aktif berbicara, mirip orang mengigau.

"Dewa sama Tania udah pacaran dari SMA, kawin baru berapa bulan, eh pisah. Agi sama Ody udah bertahun-tahun, bubar juga," racaunya.

"Kenapa jadi gak percaya cinta? Mereka yang gagal itu bukan bukti kalau cinta gak ada, tapi bukti kalau cinta itu selalu ada, mungkin cuma belum tepat waktunya," nasihat Yudhis. "Jangan cuma lihat Dewa-Tania atau Agi-Ody, lo juga liat dong gue sama Anis."

"Dhis, gue sebenernya capek gonta-ganti melulu. Cukup. Gue udah tua, gue udah gak sanggup sama drama-drama," rengek Marcell.

Yudhis mendecak. "Makanya, mindset lo benahi, Cell. Kalau ada yang kurang dari pasangan lo, insting lo tuh selalu cari yang baru. Kekurangan pasangan mah diterima. Gak ada manusia yang gak punya kekurangan."

Yudhis mengomentari tabiat buruk Marcell yang hobi gandeng sana sini karena alasan yang sesungguhnya sepele. Ada pacarnya yang ia putusi karena cerewet, karena selera fashion-nya buruk, karena menelepon saat ia sedang main game online, dan beragam alasan konyol lainnya.

"Nyari pasangan, kok, yang sempurna. Kayak lo sendiri sempurna aja," sindir Yudhis.

***

Tiba saat mengerti

Jerit suara hati

Yang letih meski mencoba

Menaklukkan

Rasa yang ada


Dewa di sebelahku. Tipsy, alias mabuk tipis--tahapan ini berarti saat alkohol mulai memberi pengaruh signifikan, biasanya mereka yang tipsy akan mengalami kenaikan level percaya diri--aku tidak tahu sih, ini hanya berdasar pengamatan pribadi. Dewa saat ini, memancarkan kepercayaan diri penuh, bersenandung keras-keras dengan suara sembernya.

"DEWA! DIEM, ANJING!!!" sembur Marcell sambil menutup telinganya.

"Ini kan lagu Dewa, berarti lagu gue lah," kilah Dewa.

"DEWA SEMBILAN BELAS, BUKAN DEWANANDA GAK JELAS!"

Mohon tinggal sejenak

Lupakanlah waktu

Temani air mataku

Alih-alih menutup mulut, Dewa malah melanjutkan nyanyiannya dengan suara dua kali lipat lebih kencang.

"DEWAAAAAAA! TAI, LAH! KALAU LO LOMBA NYANYI SAMA ANJING GUE, PASTI LO YANG JUARA DUA!!!" bentak Marcell, mengomentari kualitas suara Dewa yang buta nada.

Aku dan Yudhis kompak tertawa. Dahulu, Marcell adalah vokalis beken di SMA kami dan gelar tersebut terus menyertainya bahkan selama ia berkuliah kedokteran. Sudah kubilang, suara bass miliknya adalah senjata pamungkas penjebak wanita. Kusebut menjebak, karena tidak ada wanita yang selamat begitu jatuh dalam peluknya.

"BODO AMAT! GUE JUARA DUA, LO YANG JUARA TIGA!" balas Dewa cuek.

Dewa memang paling unggul bersilat lidah. Ia membuka jendela, membuat angin malam dingin yang menampar kulit kami berempat. Kemudian, ia melongokkan kepala ke luar jendela, kembali bernyanyi dengan cueknya. Sejujurnya dengan suara selantang itu, Dewa terkesan sedang memarahi mobil yang berlalu lalang ketimbang bernyanyi.

Teteskan lara

Merajut asa

Menjalin mimpi

Endapkan sepi-sepi


"Gimana perasaan lo, Gi? Udah enakan?" tanya Yudhis perhatian. Kaca spion tengah memantulkan sorot matanya, sehingga sampai ke mataku.

Aku tidak menang malam ini. Sekalipun aku meracuni diriku dengan alkohol ratusan sloki, aku tahu yang kulakukan tak lebih dari berlari. Setidaknya, aku akan kembali meratap esok pagi.

"Uhm, not really," jawabku jujur.

"Kok bisa, Ody kenal sama Hugo? Kenal dari mana? Sejak kapan?" celoteh Marcell, masih dengan mata terpejam.

Iya juga, ya.

Aku terdiam. Yudhis juga. Dewa menghentikan nyanyiannya.

"Hugo sama Ody gak mungkin satu fakultas atau ketemu di tempat kuliah, kan," cetus Marcell.

Tentu saja. Ody berkuliah jurusan manajemen, sementara Hugo pastilah mengambil jurusan arsitektur. Arsitek, kan, termasuk profesi. Setali tiga uang seperti dokter dan pengacara, seorang arsitek wajib dibekali ilmu yang linear dengan bidang pekerjaannya.

"Nope. Hugo sekolah di Australia," terang Yudhis. " ... dia pindah ke Aussie dari SMA kelas tiga."

"Temen SMP kaliii," celetuk Dewa.

"Setahu gue, Hugo itu di bawah kita beberapa tahun. Hmm, berapa, ya? Empat tahun, kalau gak salah. Berarti, dia di bawah Ody tiga tahun. Logikanya, waktu Ody kelas tiga SMP, si Hugo masih kelas enam SD, kan?" papar Yudhis, membuat otakku sibuk merangkai informasi.

"Anjir, Hugo itu lebih muda dari kita? Kok, tua ya..." Marcell terkekeh geli, matanya masih tertutup. "Gue selama kerja sama dia, gue panggil dia 'Pak' soalnya gue kira dia om-om empat puluh tahun, gitu."

"Tua tua ganteng, kan? Dia separo bule, bego," bela Yudhis.

"Ganteng sih, fitur mukanya tuh maskulin, macho bener. Tinggi, lagi. Macam model fashion week. Model high fashion di majalah Vogue juga bisa. Eh, jadi bintang iklan atau bintang film pun, masuk, ding. Kebanting lah si Agi, udah jelek, cuma setinggi bebek." Marcell tertawa-tawa.

Lah, aku sedang berduka, kok aku jadi dihina-hina? "Kok jadi body shaming, sih? Mana ada bebek yang tingginya 172?" Aku menendang sandaran kursi Marcell dengan emosi, membuat Marcell terantuk dari posisinya.

Ya, ya, aku akui, aku memang yang paling pendek di antara kawan-kawanku. Saat berjalan berempat, aku terlihat seperti seorang adik yang mengintili tiga abangnya. Namun tolonglah, jangan banding-bandingkan aku dengan kekasihnya Ody, aku tidak sudi.

"H-huk, uhuk." Marcell seperti tersedak.

"Anjir, congratulations, lo baru aja bikin Dik Dara emosi!" Dewa terbahak.

"Ya, maap. Gue kan cuma membeberkan fakta. Arsitek gue itu memang ganteng banget, gitu lho. Gak heran si Ody kepincut," sambung Marcell.

"Cell ... " tegurku serius.

"Udah, udah, jangan bertengkar. Lo semua udah bapak-bapak, astaga!" lerai Yudhis gelisah. Padahal secara status, hanya Yudhis yang pantas disebut demikian. Yudhis calon bapak, sedangkan aku, Marcell, dan Dewa adalah trio bujangan yang hanya tua secara usia.

Marcell terbatuk-batuk. Ia memegangi perutnya. "A-Agi nih, n-nendang k-kursi gue, gue jadi mual lagi ..."

"Jangan bilang, lo mau muntah lagi?" geram Yudhis.

"D-Dewa j-juga n-nih, s-siapa s-suruh ng-ngebuka jendela, gue kan jadi masuk angin," lirih Marcell sembari menutup mulutnya.

Yudhis mengumpat, kemudian ia menepikan mobilnya. Marcell lagi-lagi memuntahkan isi perutnya, kali ini di bahu jalan.

***

Perjalanan dilanjutkan. Tol dalam kota begitu lengang. Tangan kiri Yudhis menekan-nekan audio player dengan lincah, diputarlah lagu Cinta 'Kan Membawamu Kembali yang dibawakan oleh Ari Lasso saat masih bergabung dengan band Dewa 19.

Suara intro lagu tersebut yang diisi instrumen melodi memenuhi ruang mobil Yudhis.

"Dhis," panggilku.

"Ya?" Yudhis mengecilkan volume musik.

Aku mengutarakan sesuatu yang mengganggu pikiranku. "Waktu lo nikahan sama Anis ... "

Jantungku bertalu-talu dengan irama yang kurang menyenangkan.

"Iya, kenapa?"

"Ada Hugo, gak?" Aku bertanya seperti mengeja.

"Of course. Kenapa, gitu?"

Ah, begitu, rupanya.

"Oke, sekarang gue udah tau jawabannya," gumamku samar. Mataku terkulai.

"Jawaban apa?" Dewa memandangku lekat.

"Ya, itu. Ada dua pertanyaan, kan. Satu, Ody kenal Hugo di mana? Jawabannya, di kondangannya Yudhis," jelasku, seraya menggertakkan gigi.

Aku melanjutkan, "Dua, kenapa gue sama Ody putus? Karena ada Hugo."

***

Sudah kukatakan, aku benci terjebak dalam keadaan minim kendali.

Seperti dini hari ini, tulang rusukku terjebak dalam perih menyembilu, anggota tubuhku lunglai, rasanya ingin rubuh ke tanah. Fakta yang baru kusadari tentang Ody dan Hugo itu lamat-lamat berubah menjadi beban berat.

Aku pikir aku dan Ody berakhir begitu saja dan aku berusaha menerima.

Ternyata Ody pergi jauh sebelum aku sempat duga dan untuk yang satu ini, sulit rasanya untuk kuterima.

Marcell membuka matanya, kepalanya ia putar ke arahku. Dewa memusatkan perhatiannya padaku. Tatapan Yudhis pun berubah menjadi tatap iba.

Aku terkekeh. Ada getar pilu di dalam suaraku.

"Gi, ingat gak waktu gue diusir sama orang tuanya Anis?"

Aku mengangguk.

Rasanya masih hangat dalam ingatan. Waktu itu adalah masa gencar-gencarnya Yudhis memperjuangkan restu orang tua Anis. Perjuangan yang tidak mudah bagi Yudhis sebelum meminang istrinya yang sekarang. Ada batas yang harus ia selesaikan, batas itu bernama perbedaan keyakinan.

"Ingat gak waktu duitnya Marcell dibawa kabur pemborong?"

Aku mengangguk lagi.

Ya, aku ingat persis bagaimana peristiwa itu mengguncang sahabatku. Kala itu, Marcell sedang ada di titik nadir hidupnya. Kerajaan bisnis yang dibangun lintas generasi itu nyaris hancur di tangan anak muda nan ceroboh. Marcell tertipu puluhan milyar rupiah, tuntutan serta gugatan ramai-ramai dilayangkan kepadanya, sementara proses hukum untuk menuntaskan tidak pernah sederhana.

"Atau, ingat gak, waktu Dewa cerai sama Tania?"

Aku mengangguk kembali.

Yang satu ini tidak mungkin kulupa. Saat Dewa bersikukuh mengumpulkan kami tiba-tiba tanpa tahu tujuannya apa. Tatapannya hampa, tangannya mengangkat miring sebotol Glenlivet 18 di udara, membiarkan mulut botol mengeluarkan isinya, jatuh membanjiri dasar gelas. Sampai gelas tersebut penuh, sampai isinya meluber tumpah, Dewa tidak kunjung bicara. Sampai akhirnya ia bersuara, "Gue cerai sama Tania."

"Kita semua menangis, Gi," ujar Yudhis dengan nada menentramkan. "Gue nangis, Marcell nangis, Dewa nangis."

Aku mengangguk saja. Kami semua pernah bersedih pada waktunya. Hanya aku payah mengaku bahwa aku pun manusia yang berhak menangis seperti mereka. Rhapsody cinta pertamaku, dusta besar bila perginya tidak menyakitiku.

"Mungkin lo malu menangis, tapi, lo bebas menangis di sini. Kalau lo sedih, menangislah. Silakan, jangan sungkan," tutur Yudhis.

"Iya, Dhis. Thanks." Aku bergumam samar. Aku menyandarkan kepalaku.

Yudhis kembali mengencangkan volume speaker, lagu yang diputar kini mengeras. Yudhis seperti sengaja menciptakan ruang yang mengucilkanku, supaya aku leluasa menghayati perih.

Air mencari celah, memaksa menyeruak keluar dari mata. Ketahananku runtuh sudah. Emosiku tumpah ruah.

Sementara Yudhis, Marcell, dan Dewa--kini kompak berdendang.

Cinta kan membawamu

Kembali di sini

Menuai rindu

Membasuh perih

Bawa serta dirimu

Dirimu yang dulu

Mencintaiku

Apa adanya

Tuhan, sebetulnya ini kisah tentang apa?

Mengapa selalu aku yang kebagian pahitnya?

---

Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk membaca!

Aku enjoy sekali menulis part ini! Geng Mayo ini menarik sekali yaa kisahnya. Mereka punya struggle masing-masing, mereka solid, mereka saling mendukung, dan yang terpenting, mereka berhasil menciptakan ruang aman untuk menjadi rapuh serta menjadi diri sendiri.

Sampai bertemu di part selanjutnya. Doakan aku lancar menulis ya!

Jangan lupa vote, komen, dan rekomendasikan cerita ini ke teman-teman kalian! :)

Btw aku boleh tau gak, kalian ini #TeamHugo atau #TeamAgi? Komen yaa! Thank you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top