17 | Cukup
Agi
Jumat, 30 Maret 2018
"Kamu belum bilang ke mamamu kalau kita sudah putus?"
Aku terkesiap. "Kenapa Dy? Apakah habis terjadi sesuatu?"
"Ya. Terjadi sesuatu."
Ody melepas kacamata hitamnya. Ia menatapku nyalang. Riasan mata gagal menyembunyikan jejak-jejak sembab di sekitarnya.
"Mama kamu mampir ke toko aku kemarin."
"Apa?" Aku terkejut dengan sedikit dramatis, membuat Ody terlihat kesal. Aku berdehem, mengembalikan ekspresi netralku. "Apa yang mamaku lakukan di tokomu?"
"Beli hampers untuk arisan," tandas Ody.
Aku mengerutkan kening. "Hampers? Arisan?"
"Iya, tapi bukan itu yang penting. Mama kamu enggak tahu kalau kita udah putus. Mama kamu berharap kita segera menikah."
Astaga. Saking terkejutnya, aku tidak sanggup berkata apa-apa.
"Intinya, kamu belum bilang kan kalau kita udah putus? Kenapa, Gi? Sudah hampir tiga bulan, lho." Ody memberondongku dengan pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.
Aku meneguk ludah. Ingin merangkai jawaban yang tepat, tetapi terlalu sulit. Karena alasan sejujurnya aku belum memberi tahu Mama adalah karena aku masih berlarut dalam kekecewaan setelah putus dengan Ody. Hubungan yang sedemikian lama, gagal aku jaga. Aku masih larut menyalahkan diri sendiri.
"Iya. Maaf," gumamku suntuk.
"Kenapa Gi? Kenapa gak bilang ke mamamu?" desak Ody.
Aku tetap bersabar walau kurang tidur membuatku lebih mudah tersulut emosi.
Apa tujuan Ody mendesakku? Supaya aku mengaku bahwa aku masih menyimpan perasaan untuknya? Supaya aku bisa memuaskan dahaga egonya?
"Aku belum menemukan waktu yang tepat." Aku menampik. "Semua butuh proses, kan."
"Proses yang baik itu, yang timetable-nya jelas. Kalau kelamaan diulur, bisa dipastikan prosesnya nihil progres, sih," tegasnya.
Aku merasa tertohok. Memang, untuk masalah menjelaskan ujung hubungan aku dan Ody, aku belum berani ambil langkah. Aku khawatir menyakiti hati Mama yang telah berharap banyak pada hubungan kami.
Baru aku hendak membuka mulut, Ody keburu menyela, "Ya gimana mau ada progres, kan. Tujuannya saja tidak spesifik."
"Tujuan apa?" timpalku.
Heran, perempuan ini kenapa, sih. Datang pagi-pagi khusus untuk mengagendakan perkelahian, kah?
"Tujuan hubungan kita, lah!" Ody membentak tanpa tahu tempat. "Oh, kalau dipikir-pikir, tujuanmu itu spesifik, sih. Spesifik ingin main-main," sinis Ody sambil menekan kalimat terakhir.
"Rhapsody!" tangkasku berang.
Sepuluh tahun itu bukan main. Bisa-bisanya dia menyimpulkan aku hanya main-main?
"Kamu serius, atau kamu main-main? There is no in between," gerundelnya. Ia mengenakan kacamata hitamnya lagi.
Aku merasakan isi dadaku bergejolak. "Jangan pandang dunia ini hitam putih, dong. Hidup ini spektrum!"
Mengapa sih, manusia gemar mengotak-ngotakkan hidup seolah manusia adalah entitas sederhana yang cukup diejawantahkan menjadi satu atau dua kata?
Kalau baik, berarti tidak buruk. Kalau buruk, berarti tidak pernah baik sama sekali. Apakah manusia betul seperti itu? Semua punya sisi baik buruknya, tidak ada yang mutlak.
There's nothing absolute in this world. We, indeed, got millions of contradiction inside ourself. Bagiku, manusia itu konstelasi dari beragam kontradiksi.
Begitupun perihal sikapku terhadap hubunganku, aku belum siap menikahinya bukan berarti aku bermaksud bermain-main dengannya. Aku hanya tidak berani memapar diriku dengan berbagai risiko yang entah apa, saat aku belum yakin sepenuhnya.
"Oke, spektrum. Anggap saja begini, hulu spektrumnya adalah serius, hilir spektrumnya adalah main-main," urai Ody sambil memperjelas dengan gestur tangannya. "Tell me, bagaimana kecondonganmu dalam spektrum itu? Lebih condong ke kutub serius atau kutub main-main?"
"Apaan sih, Dy," dengusku dongkol.
Buat apa dia ungkit-ungkit perihal ini, toh kita sudah berakhir juga?
"Iya, coba dong, paparkan persentase keseriusan tekadmu itu," tantang Ody dengan nada meremehkan.
Benar-benar perempuan satu ini. Mentang-mentang berkutat di dunia bisnis, semua harus diukur dengan kuantitas yang pasti.
"Hati, pikiran, tekad manusia tidak bisa dikuantifikasi. Manusia bukan komoditi, Rhapsody. Jangan samakan aku dengan bisnismu dong! Konyol sekali kamu ini." Aku menukas geram.
Ody sering bilang, bahwa dalam bisnis, semuanya harus terukur eksak. Aku sering sekali melihat Ody terjaga sampai pagi, berkutat dengan key performance indicator yang semua capaiannya ia konversi menjadi level penilaian tertentu. Namun aku sebagai manusia, jelas menolak diperlakukan setara dengan barang dagangnya. Manusia itu multi dimensional, tidak bisa tunduk patuh dengan skor angka.
"Kamu ini masih indecisive ya kayak dulu," keluh Ody.
Astaga, aku ingin menceburkan kepalaku ke seember es batu. Begitu sampai pada fase puncak argumen, Ody selalu, selalu, menyinggung sifat indecisive yang aku miliki.
Aku menggeleng sambil mengangkat satu tanganku ke udara, bermaksud menghentikan sanggahan apapun yang akan menguar dari mulutnya.
"Sudah, Rhapsody. Jangan teruskan perdebatan ini. Kamu tidak mendapatkan apa-apa selain mempermalukan dirimu sendiri," sinisku.
***
Air mukanya berangsur-angsur relaks, lantas aku bertanya; "Kamu belum bilang ke Mamaku?"
"Belum lah!" sewot Ody. "It's on you, Agi. Kenapa jadi aku yang bertanggung jawab menjelaskan?"
Apakah aku salah berbicara tadi? Ya Tuhan, bersama perempuan ini, seluruh tempat di dunia adalah ring tinju. Aku diam-diam bersyukur ini masih pagi, suasana rumah sakit belum begitu ramai. Aku tidak ingin menjadi tontonan gratis di sini.
"Aku tidak membebankan tanggung jawab ke kamu, aku hanya bertanya," bantahku.
Ody menghela napas. "Aku gak tega sama mama kamu."
Air mata menganak sungai, merembes dari dalam kacamatanya. Aku jadi ikut merasa sedih. Aku pun tidak tega memberi tahu Mama perihal ujung hubunganku dan Ody. Mengingat bagaimana mata Mama berkilat antusias setiap membicarakan Ody, bagaimana cara Mama mengistimewakan Ody, bagaimana Mama membanggakan Ody. Aku spontan mengambilkan sapu tangan warna abu-abu yang selalu turut serta dalam saku snelli.
Sebelum menerima sapu tangan itu, ia menatapku seperti meminta izin. Aku menganggukkan kepala, membiarkannya mengotori sapu tangan itu.
Ody menyeka mata, aku memperhatikannya. Saat itu aku menyadari sebuah benda berkilau di jari manisnya. Aku susah payah menjinakkan irama jantungku. Berusaha tenang, kutunjuk benda itu.
"Sejak kapan?"
Ody menatap jemarinya sekilas, seolah lupa jawaban. "Baru semalam."
"Oh."
Aku menyesal kenapa aku orangnya pemalu, serta tidak berani ambil ekskur teater dulu. Andai aku belajar akting, pasti sekarang aku punya kemampuan untuk mengusir jauh ekspresi terluka yang kini lekat di wajahku. Dadaku berkecamuk, kepalaku bergemuruh.
"Hmm," tanggap Ody dengan deheman nada rendah.
"Cepat juga," lontar mulutku spontan.
"Memang," balas Ody singkat.
Syukurlah, Ody tidak lebih jauh mengorek-ngorek kenangan yang tidak perlu. Menyinggung-nyinggung aku yang tidak kunjung melamar setelah berjalan sepuluh tahun, misalnya.
"Kamu gak enak kasih tahu mama karena kamu sudah punya pacar lagi?" celaku.
"Iya." Ody membuang muka.
Dengan demikian, aku dapat menarik kesimpulan perihal tujuan Ody mengunjungiku pagi ini. Satu, untuk menanyakan mengapa aku belum memberi tahu ibuku perihal kandasnya hubungan kami. Dua, untuk meributkan masa lalu yang sejatinya tidak bisa diulang kembali. Tiga, untuk memamerkan bahwa ia telah terikat pertunangan kini.
"Padahal tidak apa-apa lah Dy. Kalau bukan jalannya, mau bagaimana lagi," imbuhku pasrah.
Aku mengangkat bahu seraya bergidik dalam hati. Betapa munafiknya aku. Aku bahkan masih ingat rasa perih dalam dadaku menyaksikan Ody menggandeng laki-laki selain diriku. Aku masih ingat aku menghabiskan waktu murung mengunci diri seharian seperti bocah ingusan.
Aku benci menjadi melankolis.
Seluruh laki-laki di dunia ini sepertinya terganjal isu dilematis tentang patah hati dan ujung-ujungnya memilih untuk pura-pura tidak punya perasaan. Padahal kalau dipikir secara logika, siapa sih yang baik-baik saja setelah (dipaksa) melepaskan diri dari hubungan yang sudah sangat lama?
***
"Permisi, saya datang untuk melerai keributan." Dewa--entah dari mana, tiba-tiba menampakkan batang hidungnya di antara kami.
Ia menyeringai, di tangannya ada satu cup kopi. Dewa melepas snelli-nya, kini ia hanya mengenakan satu stel scrub--seragam tenaga kesehatan. Kau tahu, seragam berupa atasan tangan pendek tanpa kancing maupun ritsleting serta bawahan berupa celana berpotongan longgar warna senada yang sering dipakai dokter di film-film? Itulah scrub.
Dewa mengenakan scrub warna biru muda, masih setia mengenakan lanyard kura-kura ninja. Scrub polos itu membuat gantungan boneka kura-kuranya semakin menonjol. Dewa menarik kursi, kemudian bergumam, "Gue numpang minum kopi sebentar."
"Pasien yang tadi, gimana?" Aku menyinggung perihal pasien ibu hamil yang terpeleset jatuh di kamar mandi.
Dewa memeragakan gerakan mengunci mulut. "Diam ya Anda. Gue ini baru kelar dari VK, habis ini bakal berkutat dengan referat. Tolong, kasih gue beberapa menit untuk bernapas."
VK yang dimaksud Dewa adalah Verlos Kamer, istilah yang lumrah digunakan di dunia medis untuk menyebut kamar bersalin. Sementara referat adalah semacam tugas makalah ilmiah di kedokteran.
"Diagnosisnya apa?" Aku masih berusaha menggali informasi.
"Heh, bisa diam, tidak? Saya mau minum kopi." Dewa menyeruput kopi yang masih mengepul panas. "Shit, kok ya, panas bener." Ia mengipas-ngipas bibir.
Hening.
"Dok," panggil Ody.
"Ya," sahut aku dan Dewa serempak. Kebetulan, kami kan, sama-sama dokter.
"BUKAN KAMU!" semprot Ody galak.
Dewa tersenyum, ujung kumisnya penuh jejak air kopi. Joroknya dokter satu ini. Rasanya ingin kuhibahkan sapu tanganku untuknya, sayang sudah dipakai Ody tadi.
"Apa, Ody?"
"Lucu, dok." Sekilas kukira Ody memuji kumisnya Dewa, nyatanya Ody menunjuk boneka kura-kura yang dikalungi Dewa kemana-mana. Ia menyunggingkan senyum kecil.
"Ini?" Dewa menunjuk boneka yang tergantung terkulai di atas perutnya.
"He-eh." Ody mengangguk semangat.
Dewa meletakkan kopinya, kemudian kedua tangannya cekatan mencopot boneka mungil itu. "Ya sudah, buat lo aja."
Aku mengedipkan mata tak menyangka. Seorang Dewa merelakan boneka kura-kura yang ia klaim sebagai jimat keberuntungannya sejak dahulu kala. Pasti kiamat sudah dekat.
"Hehehe. Makasih, Dok." Ody pun menerima tanpa berpikir dua kali. Ia mengamati boneka kura-kura yang kini berpindah ke tangannya.
"Gak usah panggil 'Dok', oke? Panggil Dewa aja," cetus Dewa pongah. "Jangan sedih lagi, ya."
Aku menatapnya tidak terima sekaligus terkejut juga. Sudah sejak kapan Dewa mengamati aku dan Ody berdebat kusir di sini?
"Lo diapain sama Dokter Dara?" tanya Dewa, mengabaikan eksistensiku sama sekali.
Aku membulatkan mata. Berani-beraninya dia membawa inside jokes ke luar circle kami.
"Dokter Dara?" Ody mengerutkan keningnya.
"Danurdara," cengir Dewa, menyebut nama belakangku yang lowkey kubenci setengah mati.
"Sialan," umpatku sebal.
"Lo pilih, mau gue panggil Danur kayak film setan atau gue panggil Dara? Oh Dara ... " Dewa bersenandung sambil merentangkan tangannya, tidak tahu malu. "Dara manisku ... " lanjut Dewa, menyanyikan lagu lawas Koes Plus.
"Dara pahitku," ralat Ody sambil terkikik.
Dewa juga tertawa. Aku jadi merasa terpojokkan.
Tiba-tiba saja, Dewa mendekatkan tubuhnya ke arahku, mengangkat satu tangannya, kemudian ... jemarinya menyentil keningku.
Aduh!
Aku mengaduh merasakan ujung jemarinya beradu kencang dengan tulang keningku.
"Bilang gue kalau Si Dara berulah lagi," tegas Dewa.
Ody mengangguk, ia tergelak puas.
"Nih, gue mau balikin hape lo." Dewa menyerahkan sebutir ponsel dari saku celana scrub-nya. "Ketinggalan di laci."
"Oh iya, lupa." Aku menerima benda itu. "Btw, kok lo tahu kalau gue nongkrong di sini?"
"Karena gue mencium bau danur," canda Dewa. Ody tertawa lagi. Aku cemberut.
Danur adalah air yang keluar dari bangkai atau jenazah yang telah membusuk--tetapi bau danur yang dimaksud dewa pastilah bau aku. Danur apa lagi yang ia maksud kalau bukan Danurdara?
"Iya deh, thanks ya," ucapku.
"Sama-sama. Masih muda kok pelupa." Dewa bangkit dari kursi, kemudian ia menyentil keningku sekali lagi. "Gue balik."
"Kumis lo, tuh, lap dulu. Banyak bekas kopi," seruku.
"Biarin, buat cadangan nanti malam," kelakar Dewa cuek. Kulirik Ody, dia cekikikan lagi.
"Jangan berantem lagi," pesan Dewa. Ia mengangkat gelas kopi yang sudah kosong dari meja. "Nanti diusir satpam, lho."
"Iya, Dok. Eh, Dewa. Siap," sahut Ody malu. Aku bisa melihat semburat merah jelas di pipinya.
"Gue gak nyalahin lo." Aku memundurkan tubuhku, waspada menghindari sentilan Dewa. "Gue nyalahin Dokter Dara." Aku kalah cepat, aku kena sentil untuk yang ketiga kalinya.
Seperti biasa, Dewa memberi gestur hormat khas-nya, kemudian melambaikan tangan sebelum menghilang dari pandangan.
***
"Sejak kapan hapemu jadi warna merah?" tunjuk Ody.
"Mau tahu aja."
"Mana hapemu yang warna hijau muntah kucing itu?" ledek Ody sambil tersenyum kecut.
Ody selalu menemukan kata yang tepat untuk menghina warna kesukaanku. Hijau muntah kucing, hijau lumut comberan, hijau tahi ayam, hijau ingus anak SD, you name it.
"Ada," jawabku malas.
"Sejak kapan punya dua hape?" selidik perempuan itu, kacamatanya diturunkan sedikit, membuat matanya bebas mengakses mataku yang kikuk.
"Apa ada yang mau kamu bicarakan lagi?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Tidak," gelengnya.
"Ody, next time, kalau kamu ingin menyampaikan sesuatu, sebetulnya kamu bisa lewat chat saja--"
"Aku sudah chat kamu, telepon kamu, tapi kamu gak jawab" dengus Ody. Sepeninggalan Dewa, mood Ody memburuk kembali.
"Aku kan lagi jaga tadi." Aku memberi alasan.
Apa dia pikir, menjaga IGD sama seperti menjaga toko?
Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, edukasi pasien dan keluarga pasien, belum lagi membaca hasil lab, rontgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ah, jangan lupakan menulis resep obat sembari bolak-balik mengecek ponsel untuk konsultasi jarak jauh dengan dokter spesialis.
Jangan lupakan juga, semalam IGD sangat ramai.
Namun jika aku berani point out bahwa jaga IGD tidak sama dengan jaga toko, pasti Ody akan tersinggung. Mungkin dia akan berakhir membakar rumah sakit ini saking marahnya. Jadi, aku memilih diam saja.
"Bukan jaga, kamu ketiduran tadi!" hardik Ody. "Aku nunggu kamu bangun, berjam-jam di sini."
Emosiku memanjat ubun-ubun lagi.
"Aku memang ketiduran, Rhapsody, karena aku belum tidur sejak kemarin!" sentakku. "Kalaupun harus berbicara langsung, bicaralah yang baik-baik, Dy. Jangan cari ribut di depan umum begini!"
Darahku mendidih. Aku bisa merasakan napasku panas berderu di atas bibirku. Aku begitu marah, dan aku harap tidak ada yang menyadari itu selain Ody sendiri.
"Aku akan bilang sama Mama kalau kita sudah putus. Jangan khawatir, setelah ini Mama tidak akan mengganggu kamu lagi. Oke?"
Aku meninggalkan Ody tanpa menunggu jawabannya. Aku benar-benar kesal karena nyaris tidak menemui urgensi dari sesi debat kusir kami barusan. Waktuku yang berharga yang seharusnya bisa kupakai untuk beristirahat kini hilang direnggut momen nihil esensi.
Sial, lagi-lagi aku diterjang patah hati.
---
Jangan lupa vote dan komen. Nantikan kelanjutannya dua hari lagi. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top