13 | Asa
Ody
Kamis, 29 Maret 2018
Bertumpuk-tumpuk boks warna-warni, satu karung mini berisi sobekan kertas, gulungan plastik bening, beberapa pita-pita hiasan, segepok print kartu ucapan, tak lupa lusinan kardus berisi produk andalan-tebak, aku sedang apa?
Ya, sedang merangkai hampers pesanan.
Aku tidak memungkiri pekerjaanku ada tiga gunung, dan mengerjakan hampers pesanan berarti menambah satu gunung pekerjaan, tetapi, kali ini adalah satu gunung pekerjaan yang menyenangkan. Aku selalu senang turut berperan menyusun hampers cantik untuk pelanggan. Mulai dari merancang konsep, memilih warna boks, menaruh segumpal sobekan kertas sebagai pengganjal dasar, kemudian menyusun produk, hiasan, dan kartu ucapan di atasnya sedemikian rupa supaya elegan di mata.
Matahari mulai menyeret langkah ke ufuk barat, melemaskan tangan dengan kegiatan seperti ini, adalah pilihan tepat untuk mengusir penat.
"Bu Ody," panggil Lia, store manager-ku. Ia muncul dari tangga.
"Iya?" Aku menghampirinya.
"Ada yang cari Bu Ody," bisiknya sambil menunjuk arah dinding kaca yang memisahkan antara head quarter dan store-ku. Pandanganku kuajak menyusuri suasana store di lantai satu.
Benar, mamanya Agi menungguku di sana,
Mati aku.
***
Sosok paruh baya itu mengitari rak display dengan langkah perlahan. Senyum tenang terpahat di wajahnya.
Dengan baju batik parang cokelat, rambut berombak disasak, bulu mata extension tebal dan lentik, tas kulit buaya, serta aroma patchouli dan bergamot yang kuat. Herannya, terlepas dari auranya yang terlihat elegan, mewah, dan tak tersentuh, bersamaan pula ia memancarkan aura hangat dan membuat kerasan. Itulah Tante Yohan. Ibunda Agi.
Apa lagi reaksi yang paling tepat selain terkejut? Aku bahkan hanya mandi lima menit tadi pagi, rambutku kuikat kuncir kuda asal saja. Aku hanya sempat memoles sunscreen di wajah, dan lipbalm yang tebal di bibir. Tapi masih, masih pula Tante Yohan memuji.
"Cantiknya mantuku."
Dahulu, pujian itu tidak pernah gagal membuatku terbang ke langit-langit ruangan. Sekarang, yang tinggal hanya gemuruh perasaan.
Mantuku.
Dulu, Menantu Tante Yohan adalah julukan yang nomor satu aku semogakan. Tapi toh, hubungan aku dan Agi kandas jua, berarti Tuhan tidak mengabulkan.
Sudah berapa bulan aku putus dengan Agi?
Apa Tante Yohan belum tahu kalau aku dan Agi sudah putus, atau Tante Yohan sudah tahu namun pura-pura tidak tahu?
Namun aku yakin, sih, Tante Yohan memang belum tahu. Tak pernah sampai hati aku barang berprasangka buruk sedikit saja pada Tante Yohan.
Tante Yohan sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Tante Yohan adalah bonus paling indah dari mengencani seorang Agi; calon mama mertua idaman-begitu tulus, membuatku merasa nyaman, menyambutku dengan baik, dan mengasihiku dengan sepenuh hati. Tidak pernah sekalipun selama hubunganku dengan Agi, Tante Yohan membuatku merasa terintimidasi.
Tante Yohan selalu memberi afirmasi positif yang melegakan; sekalipun aku tidak bisa memasak-aku asumsikan semua bakal calon mama mertua seluruh Indonesia mendambakan menantu yang pandai memasak, tidak bisa beres-beres-aku yakin punya skill beres-beres yang mumpuni adalah modal paling penting bagi seluruh calon menantu, dan sebagainya.
Beliau selalu berujar, "Gak bisa masak, bisa dipelajari. Gak bisa beres-beres, bisa dilatih. Tenang saja, tidak bisa sekarang bukan berarti tidak bisa selamanya. Semua bisa asalkan kita tekun." Tak lupa, dengan senyum itu, senyum paling menenangkan milik seorang ibu.
Ah, aku bahkan berani bilang bahwa pelukan Tante Yohan identik sekali dengan pelukan ibuku sendiri. Setiap melihat Tante Yohan, aku iri membayangkan betapa beruntungnya Agi, dibesarkan seorang wanita yang membesarkan Agi dengan penuh cinta-dan betapa beruntungnya aku, andai aku bisa menjadi bagian dari keluarganya. Sayang, asa itu telah sirna.
"Mantuku yang cantik, sudah makan?" senyum Tante Yohan lebar, diapit sepasang lesung pipi dalam.
"Ah, sudah, Ma." bohongku. Aku belum makan, dan aku hanya tidak mau diajak makan bersama Tante Yohan. Bayangkan nanti akan semalu apa aku.
"Ini, Mama bawain udang kesukaan Ody. Dimakan ya, Dy."
Even better, or even worse, Tante Yohan meletakkan sebuah tas makan motif plaid yang menebarkan bau harum udang saus mentega kesukaanku. Bayangkan udang yang dimasak sempurna; kulitnya renyah, dalamnya masih juicy, tidak alot sama sekali, kemudian dilapisi saus mentega yang tebal dan gurih. Setiap Tante Yohan memasakkan ini untukku, aku akan sanggup menghabiskan satu liter nasi putih sekali makan.
"Tante kok repot-repot. Ody jadi enak. Hehehe," candaku segan.
"Bisa aja kamu, Dy. Gak usah sungkan, apa sih yang enggak buat mantu cantikku." Tante Yohan tersenyum, senyumannya kali ini membuatku merasa bersalah.
Aku yakin seratus persen, Tante Yohan belum tahu bahwa aku dan Agi sudah tidak lagi bersama.
***
Tante Yohan berkunjung ke store-ku untuk memilih-milih bingkisan arisan. Aku pun dengan senang hati memilihkan isian hampers untuknya.
Aku memilihkan body butter aroma citrus, soap bar bunga telang berwarna biru mencolok, foot soak dengan aroma chamomile yang menenangkan, serta body scrub organik dengan kandungan kopi dan grapefruit. Tante Yohan adalah klien dambaan semua pelaku bisnis; budget besar, tetapi tidak banyak menuntut.
Hari ini aku kelimpahan rezeki baik; senyuman Tante Yohan, udang saus mentega yang berlimpah untuk makan sampai besok, serta hampers senilai ratusan ribu rupiah untuk dua puluh lima pax.
Semua terasa indah sampai Tante Yohan berucap; "Sudah lama gak main ke rumah, Nak. Terakhir main tahun lalu ya?"
Iya juga ya, terakhir kali mampir ke rumah Agi sepertinya sekitar pertengahan tahun lalu, saat merayakan ulang tahun Tante Yohan. Sudah lama sekali. Bahkan seingatku, aku dan Agi hanya saling lempar diam selama acara makan malam.
"Ah, iya, Ma," jawabku kikuk.
"Kapan main ke rumah lagi? Mama kangen sekali lho sama Ody."
Aku bingung harus menanggapi apa. "Iya Ma, secepatnya."
Tante Yohan memindahkan perhatian pada deretan hair mask yang dikemas dalam jar kaca bening dan disusun rapi di atas rak kayu paling pojok.
"Masker rambut?" Tante Yohan menimang salah satu jar dengan tanda goresan warna hijau.
"Iya, Ma," angukku.
"Produk baru ya?"
"Iya, baru launching awal bulan ini."
"Hebat anak Mama. Pantas sibuk, jarang kelihatan." Tante Yohan menepuk bahuku.
"Makasih, Ma."
"Yang cocok buat rambut kering, yang mana?"
Dengan cepat, tanganku menggapai sebuah jar dengan tanda goresan warna jingga di labelnya. Honey hair mask, kandungan madu cocok untuk melembabkan dan memperbaiki rambut kering atau rusak akibat hair styling. "Pakai yang madu ini, Ma. Aku gratisin buat Mama, ya."
"Makasih, sayang." Tante Yohan merangkulku. Aneh, aku merasa menciut.
***
Aku menemani Tante Yohan di depan kasir. Tante Yohan menyerahkan kartu debitnya untuk membayar. Uang jutaan rupiah itu resmi berpindah kepemilikan dalam satu kali gesek.
"Nak, kapan kamu menikah sama Agi?"
Jleb.
Aku tersentak. Secara otomatis, aku ambil satu langkah mundur. Mulutku berderai tawa garing.
"Mama gak sabar dapat cucu dari Ody. Rhapsody cantik, anaknya pasti lucu-lucu," cetus Tante Yohan. Matanya berbinar.
Aku ingin berterus terang bahwa aku sudah tidak bersama anaknya, tapi aku tidak tega menyaksikan binar penuh harap di matanya. Maka aku hanya menanggapi dengan tawa renyah yang kosong, lagi dan lagi.
"Bercanda ya, Sayang. Mama gak maksa kamu untuk cepat-cepat jadi istrinya Agi, tapi, berhubung kalian sudah lama bersama, sudah matang umurnya, sudah mapan karirnya; Mama pikir, apa salahnya menyegerakan?" Tante Yohan menepuk ringan bahuku.
Egoku mendorong lidahku untuk menceritakan buruknya Agi. Aku berusaha membawa kami menuju jenjang yang lebih sakral, tapi Agi dibutakan idealismenya yang tidak masuk akal. Pada masanya, ingin rasanya aku merengek pada Tante Yohan untuk membujuk Agi supaya luluh, tapi aku enggan melibatkan orang tua dalam urusan hubungan. Biar kami yang dewasa mengambil keputusan, bebas dari segala bentuk campur tangan.
Apakah benar, kami mengambil keputusan yang dewasa? Ternyata tidak juga.
Kalau dipikir-pikir, mengapa orang dewasa gemar mengharamkan bantuan? Padahal tua, muda, semua butuh pertolongan.
Andai dulu aku berani melibatkan Tante Yohan untuk memediasi masalah aku dan Agi, akankah hubungan ini tidak bermuara berantakan?
"Iya, Ma." Aku tersenyum saja akhirnya.
"Mama pamit dulu sayang." Tante Yohan mendekapku.
Aku mendekapnya juga, tanpa kata.
"Terima kasih ya sudah menyayangi Agi. Terima kasih Ody sudah bikin Agi bahagia. Mama harap, semoga Agi juga bisa bahagiakan Ody." bisik Tante Yohan.
Terima kasih Ody sudah bikin Agi bahagia.
Agi bukan bahagia, ia hanya tidak sadar tengah terluka.
Agi, lukanya bukan sebaret darah saja; lukanya adalah sebongkah malapetaka.
Semoga Agi juga bisa bahagiakan Ody.
Agi membuatku bahagia, iya. Namun waktu berlalu dan bahagia tinggallah gagasan semu.
Agi membuatku bahagia, dulu. Aku menemukan yang lebih sanggup memenuhi cawan bahagiaku.
Aku mengangguk kecil, menahan gemuruh yang mencekik jalan napas.
Dalam rongga kepalaku, terngiang cara Tante Yohan menceritakan bagaimana percintaan Agi yang kering kerontang seumur hidupnya, sampai ia bertemu aku.
Agi jadi sering senyum-senyum sendiri, Tante Yohan mengklaim.
Ini pertama kalinya Agi jatuh cinta, tambah Tante Yohan, tidak peduli wajah Agi merah jengah disinggung sedari tadi.
Tante gak heran sih anak Mama sampai segitunya, wong perempuannya secantik ini, sambung Tante Yohan.
Beberapa gelintir kilas balik itu memberatkan kerja jantungku. Aku kira mengakhiri hubungan ini hanya sebatas ketegasan di mulut, tapi ternyata ada memori yang bersorak ribut, dan puing rasa yang sibuk bersahut-sahut.
"Rhapsody, Mama yakin, hanya Rhapsody yang terbaik buat Agi." Tante Yohan mengusap puncak kepalaku, dan deraslah air mataku.
Hanya Rhapsody yang terbaik buat Agi.
Aku bukan terbaik, mungkin hanya terbaik dalam mencabik.
Aku mencabik cerita panjang yang aku putuskan sudah tidak lagi baik.
Mulutku beku, tidak mampu berseloroh. Hanya isakan kecil melompat tidak sanggup kukendalikan. Rasa bersalah ini riuh di lidah, ingin sekali aku muntah.
---
Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top