11 | Aku
Ody
Rabu, 9 Mei 2018
Selamat datang di Naturista.
Apa yang terbetik di benak begitu muncul kata 'Naturista'? Entitas berbahan alami? Sekelompok penganut aliran back to nature garis keras? Atau bahkan gerakan kultural bertitel naturisme-yang menganjurkan praktek nudisme?
No, no, no. Naturista adalah perkawinan dua kata. Natur, mencakup alam semesta beserta isinya, dan Ista, nama pemiliknya. Naturista, bisa dibilang, adalah alam semesta ciptaan Ista.
Semesta berwujud kafe nuansa bertembok putih tulang, dipadankan tegel hitam putih. Tanaman hijau, bunga warna pastel, serta ornamen estetik dari bambu disusun menggantung di seantero langit-langit kafe, menambah kesan meriah. Aku tahu betul, Agi banyak terilhami oleh kemolekan rancang visual kafe ini, dan ia bawa inspirasi tersebut untuk diterapkan pada unit apartemen yang kami huni. Intinya, semesta mungil rancangan Ista ini tadinya menjadi semesta kesayangan aku dan Agi.
Dahulu saat aku masih bersama Agi, lebih dari lima puluh persen waktu kencan kami dihabiskan di sini. Duduk di kursi besi warna hitam yang beralaskan cushion biru muda, menopang tangan kami di atas meja bundar, memesan makanan dalam beberapa babak.
Babak pertama yaitu appetizer, biasanya aku memesan kale chips dan roasted cauliflower bites, sementara Agi memesan mint tea saja. Pada babak appetizer, biasanya kami hanya berbincang yang ringan-ringan. Tentang bagaimana hari berjalan, tentang apa yang terjadi dalam lingkup pekerjaan, tentang film yang sedang ramai dibicarakan.
Kemudian main course, babak kesayanganku karena aku bisa makan sebanyak-banyaknya. Menu andalanku di sini adalah herb butter grilled salmon with risotto, sementara Agi akan memesan apapun yang tidak mengandung sayur--agak sulit berhubung konsep dasar Naturista sebenarnya vegetarian cafe--but you know, agak sulit bertahan dengan konsep seperti itu di tengah masyarakat pencinta daging.
Apakah seorang Rhapsody hanya memesan satu menu untuk main course? Oh tidak, minimal dua, biasanya tiga. Apalagi main course ialah babak di mana percakapan kami menajam dan intonasi kami meninggi. Kami akan menunjuk aib satu sama lain, membela aib diri sendiri dengan berlapis-lapis alasan, lalu menyadari banyak pasang mata diam-diam tertarik pada dua sejoli yang sibuk mengurusi dinamika hubungan nan fluktuatif. Agi akan diam, aku akan kembali memesan makanan.
Bertengkar itu bikin lapar.
Babak terakhir yakni dessert, ialah babak rekonsiliasi. Agi paling senang babak ini. Dark chocolate cobbler untuknya, poached pear untukku tersaji di tengah meja bundar. Semua piring, mangkok, serta gelas dari babak makan sebelum-sebelumnya sudah lenyap dieliminasi. Pada babak ini, biasanya kami menemukan bahwa rekonsiliasi terbaik adalah dengan pura-pura sudah berekonsiliasi, meskipun perdebatan berjam-jam kami sesungguhnya tidak menemukan solusi.
Begitulah kami. Perihal tunjuk-tunjukan siapa yang salah, kami paling ahli. Giliran mencari solusi, rasa-rasanya itu bukan tanggung jawab kami.
Kencan-kencan berikutnya akan dibungkus dalam babak yang kurang lebih persis. Pembukaan, pemaparan masalah, kemudian penutupan yang dipaksakan. Bukan suatu keheranan, hubungan kami berakhir mengenaskan.
Perihal fluktuasi romantika Rhapsody dan Agi, seluruh elemen Naturista setia menjadi saksi.
Hari ini, aku bertandang seorang diri.
***
Sebuah piring putih digeser masuk ke pandanganku. Sebutir chai-poached pear, vanilla ice cream, salted caramel sauce, cashew granola. Binar mataku pasti ada berjuta-juta. Menyaksikan sebutir buah pear utuh yang telah direbus di dalam chai tea sehingga teksturnya lebih lembut dan warnanya cokelat keemasan. Aku percaya, cooked fruit dessert macam poached pear diciptakan untuk mereka yang alergi buah serta sayur mentah sepertiku-dan chai-poached pear yang diracik langsung oleh tangan terampil Ista, tentu diciptakan khusus buat Rhapsody.
"Iya, iya. Dessert ini jadi menu tetap, berkat lo," aku perempuan berpipi gembil dan berambut ikal itu dengan nada tidak rela. Ista, kawan dalam suka dan duka. Lama sekali sejak terakhir kami bersua. Ia ambil posisi di kursi seberangku.
"Yes. Kasih royalti penjualan dong, kalau gitu," tagihku. Sisa-sisa es krim yang menempel di punggung sendok, kujilati dengan rakus.
"Dasar banyak mau," cibir Ista. Ia menjulurkan lidahnya.
Aku balas menjulurkan lidahku yang belepotan es krim.
"Lama gak ketemu. Lo masih kurus aja, Dy," puji Ista basa-basi.
Aku tertawa congkak. "Iya, dong."
"Lihat nih, gue." Ista mencubit lengannya yang gempal juga memamerkan perutnya yang gembung.
"Lo kan udah bunting berapa kali, Ta. Gue masih singset begini karena masih perawan tingting." Aku mengedipkan mata, genit.
"Kampret. Perawan lo?" Ista memajukan bibir bawahnya dengan sangsi.
"Nggak lah!" jawabku spontan, disambung sembur tawa Ista.
"Gimana Pak Dokter?" tanya Ista.
Sorot mataku melayang, menelaah tegel hitam putih yang mirip papan catur. "Gimana? Diperawaninnya? Ya gitu, pokoknya sama dia. Udah lama sih."
Salah satu impian semua perempuan adalah melakukan pertama kali dengan orang yang paling dicintai. Saat itu terjadi, memang benar. Namun siapa duga, sosok yang paling kita cintai, bisa berubah menjadi sosok yang paling kita benci?
Ah, mendadak muncul sebongkah sesal karena aku melakukannya dengan Agi. Kalau aku sabar menunggu bertahun-tahun lagi, mungkin aku akan bertemu pria yang jauh lebih layak. Hugo, misalnya.
Ista meremukkan selembar tisu kemudian mencampakkannya ke arahku.
"Si kampret, bener-bener, mulutnya gak ada filter." Ista melotot. "Maksud gue, lo masih sama Pak Dokter, gak?"
"Oh, ngomong yang jelas, dong. Dasar ibu-ibu," ledekku. "Nggak, Ta. Gue sudah nggak sama dia." Aku menggeleng sayup.
Ista membolakan mata.
"Apa? Kapan? Kenapa?"
***
Aku selesai menjabarkan kronologi akhir hubungan satu dekadeku dengan Agi yang mengenaskan, juga mengenai sosok Hugo yang ambil peran sebagai distraksi komitmen.
Gigi-gigi gerahamku sedang khusyuk menggiling porsi kale chips kedua, ketika Ista menggerundel, "Lo naif sih, sumpah."
Aku mengadiahinya segaris tatapan menyengat. Aku seharusnya tak heran, Ista tidak akan mendukung perbuatanku. Nyatanya aku tetap kecewa, mengetahui sohibku tidak menyokong sisiku.
Kamu tahu, orang paling bebal itu seperti apa? Orang paling bebal adalah orang yang sudah tahu salah, masih cari pembenaran. Kamu tahu, contoh orang bebal itu siapa? Itu aku. Bisa-bisanya aku mengharapkan sebutir validasi yang tidak layak aku dapatkan. Apalagi dari Ista, sohibku yang cukup blak-blakan.
"Pacar lo yang baru ini, belum tentu lebih baik dari Pak Dokter, Dy," sungut Ista.
Aku maklum jika perselingkuhan menjadi topik sensitif bagi Ista. Hal tabu tersebut adalah penyebab bubarnya rumah tangga ia dan Arman dua tahun yang lalu.
Bagiku, Ista bukan hanya teman bertarung dalam suka duka, bukan sekadar tangan dingin di balik Naturista. Ia adalah perempuan yang pernah patah, lalu bangkit karena menolak kalah.
"..."
Aku memilih tidak mengudarakan argumen balasan. Tidak ada yang menjamin Hugo lebih baik daripada Agi ke depannya, memang. Tapi setidaknya, Hugo memiliki beberapa elemen yang aku dambakan. Gairah kami bersambutan.
Ista mengetatkan rahangnya. "Dulu pas awal-awal lo sama Pak Dokter, lo cinta setengah mati. Kenapa? Karena saat itu sedikit banyak sosoknya masih dibayangi banyak ilusi yang diciptakan kepala lo sendiri. Lo juga masih gencar-gencarnya menaruh ekspektasi."
"..."
Benar kata Ista. Halaman pertama sebuah cerita biasanya sedang indah-indahnya. Itulah cara penulis memikat pembaca untuk tertarik membuka halaman berikutnya. Our story were a page-turning one. Aku dan Agi dibangun dengan gelora yang perlahan. Energi kami begitu sepadan. Keindahan yang dosisnya tidak berlebihan. Itu yang membuat aku penasaran membalik halaman kisah kami. Lagi, lagi, dan lagi, aku tidak sabar menuju bagian selanjutnya, menyongsong jalan seterusnya.
"Yah lama kelamaan, boroknya kebongkar juga, kan? It takes time to reveal someone's true color. Kalau dia kelihatan terlalu sempurna, tungguin aja. Nanti juga ketahuan busuknya," sinis Ista.
Aku terpekur mencerna serbuan kata pedas dari mulut Ista.
Pada suatu alur cerita, aku mengalami kebuntuan. Aku kira aku dan Agi memang sepasang tokoh yang telah ditakdirkan. Namun entah, Sang Penulis membuatku merasa aku salah jalan. Seharusnya aku berganti peran. Seharusnya bukan di narasi Agi aku digariskan. Di bait-bait milik Hugo, aku lebih tepat dituliskan.
"Gue udah gak nyaman, Ta," ungkapku terus terang.
"Gak nyaman, atau bosan?" Ista menopang dagunya, tersenyum kecut. "Lagian, mana ada hubungan yang selamanya nyaman? Kenyamanan itu harus diusahakan."
"Ya, masak, terus menerus diusahakan," keluhku.
Sedetik setelah pernyataan itu meluncur, aku kontan merasa seperti bocah bau kencur. Tak apa, aku hanya menyuarakan uneg-unegku dengan jujur.
"Memangnya ada pilihan lain selain terus menerus diusahakan?"
"Gue harap sih, ada."
Ista menggeleng. "Diusahakan, bukan dipaksakan. Sesekali usaha lo kurang berhasil, tidak apa-apa, toh. Ketidaksempurnaan itu manusiawi, Rhapsody." Suara Ista lembut menegur.
"Gue capek menyesuaikan diri sama ambisi dia, Ta. Idealismenya dia itu lho, gue gak tahan. Semuanya harus serba sesuai keinginan dia."
Aku mengeluarkan rasa jengkel yang menyumbat dadaku selama bertahun-tahun ini. Sial, aku jadi ingin menangis begini.
"Jadi, lo menuntut dia harus serba sesuai keinginan lo, gitu?" tuduh Ista, melempar balik semua pernyataan yang aku lontarkan.
Air muka yang biasa merekah ramah itu kini menjadi dingin, seolah tidak berkenan diganggu gugat.
Jantungku menyentak. Aku tertohok. Benarkah Agi yang selalu memaksa segala sesuatu supaya sesuai ritmenya, atau aku hanya kesal karena segala sesuatu tidak sejalan ritmeku?
"Entahlah, Ta."
"Bukannya Agi sudah berusaha memperbaiki hubungan lo berdua? Kenapa lo tidak menghargai usahanya?" Ista mencecarku tanpa ampun. "Itu sih karena emang lo nya aja yang gak ada niatan untuk memperbaiki, ya?"
"Ah, Ista. Kenapa lo jadi mencecar gue begini, sih. Kenapa lo jadi ngebelain Pak Dokter, Ta?" rengekku manja. Aku berusaha membelokkan ambiens kusut dalam penuturan kami.
Satu deheman Ista membawa kembali raut wajah yang biasa cerah. "Jelas. Dia kan loyal customer di sini."
"For fuck's sake, you truly are, a gold digger bitch." Aku menjitak kening Ista. "Bisa-bisanya lo menggadaikan loyalitas persahabatan demi cuan," gerutuku mengkal.
"Hei, gue ini single parent, ya. Kalau gak cuan, anak-anak gue gak makan!" Ista tergelak.
Aku bisa mahfum. Menjadi orang tua tunggal dari sepasang anak kembar di usia belum genap kepala tiga, pasti merupakan tantangan yang luar biasa. Aku dan Ista sama-sama berbisnis. Aku tahu bagaimana pusingnya mengelola keuangan-mohon dicatat bahwa aku belum berkeluarga. Jika aku sudah berkeluarga, maka kepusingan itu pasti dilipatgandakan intensitasnya.
"Tetap saja. Tega lo. Ngebelain your-so-called loyal customer instead of your loyal bestie. Ngeselin, tahu gak?" Aku mengulum ujung sedotanku.
"Agi, your ex, bukan sekadar loyal customer. Dia itu top spending customer." Ista tersenyum pongah.
Uhuk. Aku yang sedang menyeruput kombucha, tersedak.
"Top spending customer? Memangnya dia masih sering ke sini?"
Aku mencoba memanggil ingatan, kapan aku terakhir ke sini? Aku tidak ingat. Kunjunganku terakhir ke Naturista pastilah bersama Agi. Hubungan aku dan Agi sudah merenggang jauh sebelum aku bertemu Hugo di kondangan penuh muslihat itu. Pun, aku dan Agi resmi putus sejak beberapa bulan yang lalu. Kalau begitu, kapan terakhir aku ke sini? Mungkin sekitar dua tahun yang lalu?
"Masih lah. Gue yakin sih value bisnis gue emang align banget lah sama pekerjaan dia sebagai dokter."
"Value apaan?" Aku skeptis.
"Value proposition-nya healthy cafe, ya, menyediakan makanan dan minuman sehat lah, dodol!" seru Ista.
"Maksud lo, karena si Agi dokter, jadi dia itu sudah pasti makan sehat?"
"Iya, kurang lebih begitu."
"Itulah yang dinamakan logical fallacy, Bunda. Dokter sudah pasti makan sehat; derajat akurasi statement-nya sama dengan psikolog pasti hidupnya bebas stress, atau pelawak pasti selalu ketawa. Padahal kan belum tentu."
"Ribet lu." Ista mencebik bibirnya.
"Agi bilang, dokter makan sehat itu cuma mitos, itu mah tergantung masing-masing lah. Gak ada sangkut paut sama pekerjaan. Agi aja makannya junk food melulu. Mana sempat dia motong-motong sayur, makan salad ... "
"Sempat lah. Kan bisa beli di gue. Buktinya dia sering tuh, beli di sini."
Uhuk. Ya ampun, aku tersedak lagi. Kalau aku tersedak sekali lagi, mohon hadiahkan aku sebuah piring cantik.
"Masak sih?"
"Sumpah."
"Beli apa aja dia?"
"Banyak, cuy. Kadang beli cold pressed juice, kadang beli smoothie bowl, kadang beli vegan ice cream, tapi seringnya sih beli salad, gitu."
Tak ayal, tawaku berderai menyambut pemaparan Ista.
"Sejak kapan dia makan sayur? Beneran deh, selama sama gue, makanan dia tuh junk food semua. Heran. Dia kan nyaranin hidup sehat untuk pasiennya, padahal dia sendiri gak ngejalanin. Apa pasiennya gak trust issue ya, sama dia?" gumamku.
Benar, selama menjalin hubungan denganku bahkan tinggal seatap denganku, aku hapal betul makanan Agi. Makanan Agi semuanya adalah makanan artifisial yang penuh zat aditif, misalnya; mi instan, chicken nugget, burger, dan segala jenis makanan minim nutrisi yang bisa dipesan lewat layanan pesan antar. Jika Agi pulang malam atau bahkan pagi, ia akan menyerbu restoran makanan cepat saji terdekat dan menyediakan servis drive thru.
Satu-satunya kebiasaan sehat yang Agi manifestasikan dalam hidupnya, mungkin, adalah, dengan melampiaskan libidonya-kepadaku-secara reguler, tapi mari sementara hindari pembahasan ini.
Perempuan di hadapanku mengedikkan bahu.
"Semenjak putus dari lo, maybe. Dia pengen glow up kayaknya. Makan sayur sama buah kan, bikin kulit jadi bagus, Dy. Awas dia makin ganteng loh. Nyesel lo putusin dia nanti." Ista mengompori.
"Sudahlah, jelas-jelas Hugo jauh lebih decent daripada Agi," tangkasku.
Aku memamerkan potret Hugo pada Ista. Hugo sedang tersenyum manis di sana. Ista hanya mengintip singkat tanda tidak tertarik.
"Bukan masalah lebih decent apa nggak, sayangku. The grass is always greener on the other side. Waktu itu, lo sudah muak sama Agi, wajar lah kalau Hugo terlihat lebih oke. Lihat nanti kalau lo mulai eneg sama si Hugo-"
"Ta! Bajingan bener. Gak ada suportifnya sama sekali lo ya!" pekikku.
"Orang buat salah, kok didukung," celetuk Ista santai.
Sebelum tinju ini mendarat di bahunya, ia lebih dulu mengelak dengan lihai.
---
Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top