Cilok
Di bulan November, waktu itu, aku resmi mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai "buruh" media. Dulu aku berprinsip, jalani saja apa yang menjadi pekerjaanmu karena hidup butuh cuan, tetapi setelah 3 tahun bekerja di stasiun televisi swasta, rasanya, aku ingin mati saja. Bekerja di media--terkhususnya televisi--sangatlah melelahkan. Setiap saat kami dituntut untuk selalu siaga dan "fresh". Untuk orang pendiam dan kurang berani speak out sepertiku, bekerja di televisi sama saja seperti berada di negara lain--yang sama sekali tidak kumengerti bahasanya.
Benar kata temanku, bekerja di media penyiaran--baik televisi maupun radio--itu adalah passion. Tanpa adanya passion, kamu akan gampang mengeluh.
Sore itu, sekitar pukul empat, aku sudah berada di Stasiun Pasar Senen. Tujuanku adalah Stasiun Lempuyangan. Jarak yang ditempuh dengan menggunakan kereta kelas ekonomi adalah delapan jam lebih sedikit. Meskipun aku bisa membeli tiket kelas eksekutif agar lebih cepat sampai, tetapi tidak kulakukan, karena ... buat apa? Toh, aku tidak terburu-buru.
Setelah menunggu setengah jam di ruang tunggu. Akhirnya keretaku datang. Waktunya check-in. Setelah check-in, aku masuk ke dalam peron, dan mencari kereta yang akan membawaku kembali ke kampung halaman tercinta.
Kata kebanyakan orang, Jogja terbuat dari rasa rindu. Kalau kataku, mereka terlalu berlebihan. Memang Jogja menyenangkan dan nyaman. Tetapi, ah sudahlah, selera orang kan memang beda-beda. Tidak perlu meributkan sesuatu yang tidak membutuhkan perdebatan.
Setelah masuk ke dalam kereta, aku mulai mencari tempat dudukku.
15A ... 14A ... 13A ... 12A.
Dan, sampailah aku di kelompok bangku nomor 11A-12B. Seharusnya, aku duduk di 11A. Tetapi karena kursi itu sudah ada yang menempati, jadi, alih-alih protes, aku lebih memilih untuk duduk disebelahnya--11B. Aku orangnya tidak enakan, jadi, ya kubiarkan saja perempuan itu menduduki kursiku. Daripada baku hantam, mending diam, 'kan? Dengan acuh tak acuh, aku meletakkan pantatku ke atas kursi 11B. Gagal duduk dekat jendela, deh.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya kereta yang aku tumpangi ini jalan juga. Aku mengambil headsetku untuk menyibukkan diri. Biasanya aku membawa buku bacaan, tetapi karena tidak ada buku baru yang kumiliki, jadi aku memilih untuk bermain smartphone. Aku tipe orang yang lebih suka diam, jadi tidak ada satupun penumpang yang kuajak bicara. Lagian, mereka juga terlihat acuh tak acuh.
Kereta yang kutumpangi ini model tempat duduknya 2-2. Untungnya, kursi di depanku kosong, jadi kalau aku ingin meluruskan kakiku, tidak akan mengenai kaki orang di depanku. Di kursi sebelahku, ada seorang wanita--yang merebut tempat dudukku--sedangkan di depan wanita itu ada seorang laki-laki berusia 30an tahun. Kasian, Mbaknya tidak bisa meluruskan kakinya. Rasain, makanya jangan suka merebut kursi orang lain. Huh.
Setelah melewati beberapa pemberhentian di beberapa stasiun, berhentilah kereta Singasari ini di stasiun Cirebon. Aku masih sibuk dengan smartphone saat itu, hingga aroma menyengat itu datang mengusik. Hidungku yang terlalu peka, ada aroma sedikit langsung merasa terusik.
Aku mendongakkan kepala, perempuan yang baru saja datang itu sedang sibuk menaruh tas ranselnya ke atas rak bagasi. Dia, si pembawa aroma wangi yang menyengat itu--aroma menyengat yang tidak hilang-hilang. Pakai parfum apaan sih?!
Setelah meletakkan tas ranselnya, kemudian perempuan itu duduk berhadapan denganku. Mukanya terlihat jutek, tidak bersahabat. Dari apa yang aku lihat, pasti masih berusia 20an tahun. Perempuan itu mengenakan kemeja bermotif garis putih-biru, kerudung segi empat berwarna biru dongker, sepatu Converse, tas slempang Eiger. Yah, tipikal.
Semenjak perempuan itu datang menginvansi deret tempat dudukku, aku tidak bisa tenang. Dia terlalu memiliki aroma menyengat yang tidak hilang-hilang. Sebenarnya bukan aroma yang tidak sedap. Wangi. Hanya saja, gimana ya, hidungku terlalu merasa asing dengan aroma ini. Terlalu baru.
Keheningan masih tercipta, masing-masing dari kami sibuk dengan benda persegi panjang di genggaman. Hingga tidak terasa, berhentilah kereta ini di Stasiun Prupuk, wanita yang kira-kira usianya 35an tahun--yang mengambil tempat dudukku--itu turun. Tanpa pikir panjang, aku segera bergeser, menempatkan pantatku pada kursi 11A. Huh, finally! Kursi 11A adalah kursiku! Camkan, no debat!
÷≡÷
Di dalam kereta, aku masih disibukkan dengan musik, berbalas pesan, dan sesekali memperhatikan perempuan berkerudung biru dongker itu. Entahlah, dia seperti memiliki magnet--yang menyebabkan mataku tidak ingin melepaskan pandangan ini.
Perempuan itu memiliki bibir yang tebal, bentuk wajahnya oval, matanya sipit--tapi bukan sipit karena keturunan orang Cina, matanya terlihat sipit karena lipatan kelopak matanya tidak terlihat--hampir mirip seperti mataku. Dan yang paling terlihat adalah, alis matanya yang tipis di sisi bagian dalam. Skin tone-nya kuning langsat, cerah. Badannya kurus--tapi bukan kurus yang tulang dibalut kulit--tubuhnya tinggi.
Tidak ada yang spesial sebetulnya, tapi entah mengapa, aku tertarik mendalami relung netranya yang berwarna coklat gelap itu. Dia enak dipandang. Mengesankan. Sesekali, aku membiarkan mata ini beradu pandang dengan perempuan itu. Aku memang sengaja. Iseng.
Pemberhentian selanjutnya adalah Stasiun Bumi Ayu. Kali ini mas-mas yang duduk di sebelah perempuan itu yang turun. Aku mulai penasaran, kira-kira perempuan itu bakal turun di stasiun mana ya?
Setelah berhenti sekian menit, kereta kembali melaju. Dan, kini, tinggallah kami berdua di kelompok bangku nomor 11A-12B. Kursi di barisan seberang juga hanya ada satu orang. Sepertinya gerbong 3 ini tidak begitu banyak diisi orang. Beberapa kursi terlihat kosong.
"Kamu kok nggak ngehubungin aku, sih?! Kamu nggak kangen sama aku apa?"
Aku yang terdiam, tiba-tiba melirik perempuan di hadapanku. Perempuan yang aku pikir dari Jakarta ini ternyata diam-diam bukan orang Jawa. Jika didengar dari aksennya berbicara, dia jelas bukan orang Jawa. Pasti dari luar Pulau Jawa.
Kupasang telingaku baik-baik. Kumatikan playlist lagu di Spotify. Headset kubiarkan bertengger nyaman di telingaku. Sebenarnya ini bukan tindakan yang baik, karena secara tidak langsung aku sedang menguping. Tetapi, yasudahlah, aku tertarik dengan perempuan itu.
"Kamu nggak paham! Dahlah, meng marai badmood tok!"
Wait, what?!
"Mboh! Karepmu!"
Lah dalah, bisa ngomong pakai bahasa Jawa juga toh arek iki! Orang mana sih dia? Loh, kok aku jadi penasaran. Setelah kuperhatikan lagi, sepertinya dia sedang ada konflik dengan kekasihnya. Malangnya.
Aku tidak ingin ikut campur sebenarnya, tetapi ketika melihat perempuan itu berusaha menyembunyikan isak tangisnya, hati kecilku tidak bisa diam. Ingin melakukan sesuatu, tapi bingung mau ngapain. Aku harus ngapain?
Perempuan itu masih aku perhatikan secara diam-diam, dia sudah tidak terisak, kulihat perempuan itu sedang mencari sesuatu di dalam Eiger-nya. Cari tisu, kah?
Terdengar perempuan itu menghela nafas. Pasti dia tidak punya tisu. Karena kasian dan ingin mengulurkan tangan, akupun mencoba mencari tisu di dalam tas gendongku. Meski aku tahu tisu itu penyumbang terjadinya global warming, tapi aku memerlukannya ketika sedang berpergian. Jadi, maafkan aku hutan-hutan--yang dipaksa potong gundul.
"Ini."
Kuserahkan satu pack tisu ke arah perempuan itu. Perempuan itu mendongak sekilas sebelum kembali menundukkan kepala. Mungkin dia malu karena ketangkap basah sedang membasahi pipinya sendiri.
"It's oke. Ambil aja, buat ngelap pipi. Aku tidak keberatan kok."
Kembali, secara perlahan, perempuan itu mendongak, menatapku. Aku tersenyum dan kembali mengarahkan tisu yang kupegang agar berpindah ke tangannya.
"Ambil aja semuanya. Nggak usah sungkan."
Akhirnya, dengan ragu, perempuan itu menerima tisu pemberian dariku.
"Terimakasih." katanya.
Kalau boleh jujur, aku suka dengan suaranya. Dia memiliki jenis suara yang membuat telinga jadi eargasm. Suaranya enak didengar, sangat cocok digunakan untuk voice over. Dia cocok menjadi penyiar radio ataupun pengisi suara sebuah program acara televisi maupun radio--baik itu program drama maupun nondrama.
"Ini."
Setelah memakai beberapa lembar, perempuan itu mengembalikan tisu yang kuberikan tadi. Aku menggeleng.
"Oh, ndak usah, itu buat kamu kok. Ndakpapa ambil aja, saya ikhlas." Kututup kalimatku dengan seutas senyum.
"Ok, baik. Terimakasih sekali lagi."
Aku mengangguk. Dan kembali menunduk, mencoba menyibukkan diri dengan smartphone--padahal tidak ada yang aku lakukan selain home-back-home-back. Sedangkan perempuan itu kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela. Dia masih galau pasti. Aku pun tersenyum. Sepertinya dia tidak sadar kalau aku bisa memperhatikan dirinya lewat pantulan kaca jendela.
÷≡÷
Setelah melewati beberapa jam yang melelahkan. Akhirnya sampailah aku pada akhir perjalananku. Sayangnya, hingga akhir perjalanan, satupun dari kami tidak ada yang mau angkat bicara. Aku maupun perempuan itu sama-sama mencoba menyibukkan diri. Perempuan itu sibuk dengan ponselnya, mungkin juga masih sibuk kesal karena--sepertinya--pesannya tidak mendapatkan balasan. Dasar perempuan. Eh, tapikan aku juga perempuan. Tapi ... tapi ... ya, sudahlah.
Whohooooo Jogja! I'm backkkk, bitch!!!
Aku mengambil tas carrier-ku yang kutaruh di atas rak bagasi kereta. Kupakai tas gendong kecilku di depan, dan tas carrier di belakang. Makin pendeklah aku kalau begini caranya.
And, guess what???!
Perempuan itu juga bersiap-siap! Tidak kusangka dia juga berhenti ditujuan yang sama denganku. Kupikir perjalanannya masih jauh. Akhirnya aku bisa tidur nyenyak.
Setelah kereta berhenti dengan sempurna, satu per satu penumpang turun dengan tertib. Aku masih duduk, menunggu hingga tidak berjubel. Sedangkan perempuan itu sudah terlebih dahulu beranjak pergi. Tidak ada "say goodbye" diantara kami. Setelah sepi, aku pun turun.
Aku berjalan ke arah pintu keluar. Dan tak kusangka, perempuan itu juga sedang berjalan beberapa langkah di depanku.
Keluar dari stasiun, aku mengirim text ke Renjana--my twin sister--untuk menjemputku. Sedang perempuan itu berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri. Dia terlihat sedang melakukan panggilan, mungkin ojek online atau jemputannya.
Ketika aku menatap perempuan itu, tidak kusangka, dia sadar dan menatap balik ke arahku. Aku gugup, kaget. Disaat itulah, untuk pertama kalinya, aku melihat perempuan itu tersenyum ke arahku. Sungguh, aku ingin melihat senyuman itu lagi.
Kubalas senyuman perempuan itu, sebelum akhirnya senyumanku memudar karena aku baru menyadari kalau aku tidak tahu siapa nama perempuan itu. Hmmh.
Yasudahlah. Jika suatu saat aku dipertemukan kembali dengan dirinya, akan kutanya namanya--kalau perlu nomor telponnya sekalian.
≡÷÷÷≡
Makan roti, minumnya jus jambu.
Dunia ini terasa sepi, kalau nggak ada kamu.
Hei, apa kamu mau dengan aku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top