Hutan Belantara

Malam ini sama halnya seperti malam-malam sebelumnya. Gelap, kelabu, tanpa bintang. Aku menunduk di bawah jalan layang, dibantu alat penerangan seadanya, beberapa kali lampu dari mobil terbang membantuku menemukan setapak tanpa berjengit setiap menit acap kali merasakan suara renyah di bawah kakiku.

Jantungku bertalu-talu, kurasakan sampai ke gendang telinga, memberat pada salah satu pergelangan kakiku. Alat pelacak mencengkeramku di sana, lampu indikatornya padam dua jam yang lalu saat aku rusak paksa dengan perbekalan mesin.

Karenanya aku dikejar waktu. Polisi yang sadar radarku lenyap dari layar pengawasan mereka, pasti sudah mengerahkan beberapa antek untuk mengejarku.

Namun aku tak perlu mengkhawatirkan hal itu. Sekarang, ada hal yang lebih penting lainnya. Alasan dari kenapa salah satu pergelangan kakiku tersemat belenggu alat pelacak.

Semuanya dimulai saat aku teler. Sudah delapan tahun lewat tapi apa yang dijanjikan oleh istriku tak kunjung kudapatkan. Perjanjian yang kami sepakati saat aku menemukannya di hutan itu. Aku seharusnya tutup mulut, tapi rasa gundah dan kecewaku kian menjadi-jadi. Kumuntahkan segala carut-marut dalam kepalaku pada seorang pria yang belakangan ini baru aku ketahui sebagai anggota kepolisian rahasia. Yang mengkhususkan diri mereka untuk memburu sesuatu.

Makhluk seperti istriku.

Dini hari aku sampai di rumah. Nyaris seketika rasa ambigu akibat minum terlalu banyak menghilang secepat datangnya. Selain engsel pintu rumah yang miring dan bunyi renyah barang pecah belah di bawah sepatu botku, seseorang sudah menungguku di antara semua kekacauan itu. Bukan istriku.

"Makhluk itu licin," kata pria berwajah murung itu.

"Dia istriku."

Pria memberiku lirikan tajam, lalu menghela napas keras-keras. "Barangkali kau juga sudah terkena getahnya. Kemana makhluk itu pergi, Jaka?"

Istriku masih hidup. Itu informasi yang penting jadi kumuntahkan kebohongan tanpa berpikir dua kali. "Aku tak tahu."

"Aku tak yakin begitu." Katanya sebelum menjegalku hingga tak sadarkan diri.

Dan sekarang, setelah berbulan-bulan interogasi dan berbagai penyiksaan demi secuil informasi, aku berhasil lepas. Bukan karena aku ketakutan pada siksaan yang diberikan oleh pria-pria itu.

Aku hanya ingin menjemput istriku. Memilikinya untukku seorang. Akan aku kuasai juga saudari-saudarinya. Dia sendiri sudah berjanji untuk memberikan keenam saudarinya kepadaku.

Kalau dia ingkar. Akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri.

Sundal keparat, tak tahu terima kasih!

Ingatanku tak pernah mengkhianatiku. Kutemukan tempat kali pertama aku menggapai kaki istriku kali pertama. Danau itu masihlah seindah dulu walaupun dengan kabut polusi dimana-mana. Bagus. Dia takkan berada jauh-jauh dari sini.

Aku tidak menunggu dan tidak mau berbasa-basi. "Wulan! Aku tahu kau ada di sana. Berhenti berpura-pura dan keluarlah!"

Untuk sesaat tak terdengar apa-apa selain suara-suara bintang malam. Namun aku bisa mendengar suara-suara itu, wangi yang dibawa oleh angin tercium berbeda. Aku tahu istriku ada di  sekitar sini.

"Jaka, lepaskan aku."

Suara itu menggema jernih. Terasa dekat namun jauh. Aku menggeram. Dengan marah mengeluarkan seikat kain bercahaya bahkan dalam kegelapan ke udara kosong. "Bukankah ini yang kau mau?" Datanglah padaku sundal.

"Hentikan kegilaan ini, Jaka."

Itu dia. Bertengger di bebatuan dengan semua sinar keagungan itu. Aku menyeriangi, mengecap kemenangan sebelum benar-benar menggapainya. "Ikuti aku. Tepati janjimu. Selendang ini akan jadi milikmu seutuhnya."

"Saudariku akan membunuhmu, Jaka. Mereka sudah menanti-nantikan saat ini. Seharusnya kau camkan peringatan pria yang nyaris membunuhku itu."

Aku teramat ingin meludahi wajah cantik itu. "Kalau begitu dimana mereka, Wulan? Kali terakhir aku melihat, mereka lari terbirit-birit dariku."

"DI SINI!" Suara mendesis menyodet gendang telingaku. Dan tubuhku entah bagaimana kehilangan kekuatannya, seperti kumparan besi rusak. Mata. Banyak mata memandangku dari segala arah, tangan-tangan gurita bergerak-gerak di tempat seharusnya ada rambut, melambai-lambai, berdarah-darah. Mata-mata itu berkedip-kedip cerah di masing-masing wajah. Tangan mereka yang kurus dan berbulu seperti belalang menggapai tubuhku yang lunglai, mengangkatku secara paksa. Mulut mereka mendesis-desis, menguarkan bau asam busuk.

Aku teringat kembali akan perkataan yang dikatakan pria yang menghancurkan rumahku kala itu. "Wulan. Jadi itu nama yang digunakan makhluk itu. Aku ingin melindungimu, Jaka. Kalau kau terus bersikeras arogan seperti ini. Mereka akan membawamu ke tempat mereka."

"Tidak akan." Kataku saat itu dengan berani. Aku tahu ayah Wulan akan menghukum kelalaian putri-putrinya kalau sampai dia tahu yang sebenarnya. Setidaknya itulah yang dikatakan Wulan. Yang sudah aku percayai dengan bodohnya.

Sudal keparat.

"Oh, mereka akan dengan senang hati membawamu ke hutan belantara mereka. Tidak. Bukan hutan belantara di bumi. Hutan belantara jauh dari bumi. Di ruang hampa, di angkasa luar sana."[]

Final match: 720 Words
Blackpandora_Club

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top