HARI MERAH
Selama ingatan masih mampu menjangkau, merangkai setiap benang kusut, cerita-cerita itu akan terus menjerat orang-orang yang mendengarnya, yang terpaksa harus mendengarnya.
Selain seorang ayah yang tak pernah Kal temui secara nyata dan ibu bermental baja. Kal punya dua kakak perempuan. Yang manis, penyayang, yang tanpa ragu menjewer telinganya kalau dia menangis terlalu keras. Mereka bilang, tangisan hanya membuat laki-laki lemah, satu dari sekian banyak hal yang jadi bahan olok-olok di kemudian hari.
Maka Kal menurut. Saat puluhan mata memandang dia membungkam mulut rapat-rapat, berjalan dengan dada membusung dan mata kering. Namun ada kalanya ketika harga diri jadi semacam kepulan debu di sudut ruangan.
Perang mulai berkobar bahkan sebelum Kal menjadi lelaki sejati. Seperti halnya anak laki-laki lain, dia diharapkan untuk memenuhi tugas yang mustahil terhindari. Kal samar-samar ingat bagaimana kedua kakak perempuannya menangis diam-diam sembari membantunya mengepak perlengkapan seadanya ke ransel kucel peninggalan Ayah mereka. Ketika orang berseragam, dengan topi panjang berbulu dan senjata besar di satu tangan datang untuk menjemput Kal, sang Ibu memberinya pelukan dingin nan erat. Wanita itu tak mengatakan apa-apa.
"Jaga dirimu." Gumam kakak perempuan Kal yang paling tua.
Kal mengangguk saja, ngeri merasakan beban berat pada ransel di punggungnya dan kepekatan mencekik di belakang tenggorokannya.
"Kalau ka--kau bertemu dengan Ayah ..." kakak Kal yang satunya berkata terbata-bata, jemarinya yang berkuku hitam retak mencengkeram lengan Kal. "sampaikan salam kami untuknya ..."
Sebelum Kal sempat mengatakan apa-apa, gadis-gadis berambut legam dengan mata sembab itu secara bersamaan menyergap Kal dengan pelukan yang menyesakkan dada. Kal balas memeluk, menghirup udara seraya membuka mata lebar-lebar untuk mengingat momen itu nantinya.
Malam itu, sesudah perpisahan pilu penuh air mata saat Kal meringkuk bersesak-sesakan di antara tubuh-tubuh berbau lumpur, keringat asam dan kencing amis di tenda yang dibangun secara cuma-cuma, telinga Kal menegak mendengar salju mengguyur tanah di luar tenda. Deras, ganas, membuat Kal merindukan dipan di gubuk yang ia tinggali bersama kakak-kakak perempuan dan Ibunya.
Namun saat ini, andaikata diberi pilihan, Kal rela melakukan apa saja supaya bisa kembali ke tenda itu, bersesakan, bersyukur dengan bau yang membuatnya terjaga sepanjang malam badai menampar tenda. Apapun asal bukan tempat yang saat ini mengkerangkengnya.
"Kal."
Pemuda itu terempas dari kenangan berdenyut memedihkan, kembali ke masa kini, pada padang putih tiada akhir. "Aku tak apa-apa, Archie." Ia bergumam di antara gigi gemelutuk.
Archie kian merapatkan tubuhnya pada Kal. Pemuda itu tahu sahabatnya berbohong, jadi dia berbisik lemah. "Jangan mati."
Untuk pertama kali setelah seharian ini, Kal memperhatikan Archie. Melihat bibir membiru pemuda berambut merah-oranye itu dan noda bekas cipratan darah di pipi sebelah kiri yang menyebar hingga ke tulang hidung. Kal menggeleng pelan. "Sebentar lagi bakal sampai. Aku takkan pergi kemana-mana."
Itu juga suatu kebohongan pahit. Mereka berdua teramat sadar akan hal itu.
Padang salju yang mereka arungi seakan tak berujung, angin dingin secara konstan mengempas mereka dari segala arah. Sekarang saja, Archie bisa merasakan dua jari tangannya membeku. Namun Archie tahu diri untuk menelan kata-kata yang bakal membuat Kal jengkel. Archie tahu sahabatnya sudah banyak pikiran, dan lagipula Archie tak mau bernasib serupa seperti puluhan prajurit yang mereka tinggalkan di belakang.
Semua terjadi gara-gara keangkuhan Napoleon. Hanya berkat kecerdikan Kal, Archie bisa lepas dari petaka jadi samsak peluru. Namun yang tak Archie dan Kal tahu adalah bahwasannya petaka yang lain telah menanti mereka.
Kal sudah mengutuki badai itu puluhan kali. Saat Archie terjatuh tak sadarkan diri, saat bootnya menjeblos terlalu dalam ke gundukan putih itu sementara Archie mengingau di punggungnya, dan terutama saat dia melihat darah kawan-kawan seperjuangannya bercipratan, menodai apa saja yang berada dalam jarak dekat.
Ia teringat Archie dan bagaimana sahabatnya itu hanya bisa terpaku di tempat. Upaya terakhir--yang teramat putus asa--Kal berhasil menyelamatkan Archie walaupun dia sendiri dihadiahi serempetan peluru pada pelipis. Luka itu kini berdenyut hebat. Darahnya sudah lama berhenti mengucur. Lebam sudah pasti.
Namun Kal harus tahan. Tujuannya barangkali tinggal beberapa kilometer lagi. Demi Archie.
Kal juga teringat akan pertanyaan Archie sesaat setelah Kal membeberkan rencana penyelamatan mereka. "Kau yakin akan hal itu?"
Kal tanpa ragu menjawab. "Tentu saja. Kau ingat kawan kita di barak? Olio? Yang berbadan mirip banteng itu? Dia bilang ada suaka untuk siapapun yang membutuhkannya."
Kal melihat kehampaan pada kerut wajah Archie ketika ia bertanya, "Kau tahu tempatnya?"
"Olio bilang kalau kita terus berjalan lurus ke arah selatan, kita akan menemukannya."
Archie mendongak, pertanyaan mengemuka dalam kepalanya. Bagaimana kau tahu kalau ini arah selatan? Sementara awan kelabu menggelayut tebal di atas kepala mereka. Namun tenggorokan Archie mengering hingga pertanyaan-pertanyaan itu hanya menggema dalam benaknya. Pada awalnya nyaring hingga kemudian menjadi sayup seiring tiap langkah yang ia dan Kal tempuh.
Karena tentu saja Kal tak menemukan apa-apa. Hanya ada padang salju sejauh mata memandang. Waktu kian menyempit, tak ada tanda-tanda badai bakal mereda sementara pandangan Kal kini memburam, napasnya mulai cepat. Hanya pemikiran soal Archie yang berdiri rapat-rapat di sisinya membuat Kal memaksakan kaki-kakinya supaya terus maju.
"Kal!" Archie terkesiap, ia terlalu sibuk menggigil dan memejamkan mata, menyerukkan kepalanya di leher Kal sampai lupa menyadari bahwa suhu tubuh sahabatnya itu sama seperti badai yang mengamuk bahkan lebih beku lagi. Rasa takut akan kehilangan menyetrum Archie, kini gilirannya menggapai Kal, menyembunyikan mereka di bawah naungan seragam salah satu kawan mereka yang sudah mati.
"KAL!!"
Sayup-sayup di tengah ketiadaan kesadaran, Kal mendengar suara yang mirip kakak-kakak perempuannya, Archie, Olio, Ibu dan bahkan Ayah yang selama ini tak pernah dia dengar suaranya secara bersamaan. Mereka memanggil-manggil nama Kal, memintanya supaya tetap terjaga. Ketika Kal memerosot, jatuh berdebum di atas gundukan salju suara-suara itu memohon padanya.
"Kal?"[]
Final Match : 941 Words
Blackpandora_Club
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top