DIA

Aku takkan memulainya darimana-mana. Aku ragu akan menyenandungkan lagu yang tepat.

Dia ada di sana ketika duniaku berputar secara mendadak. Dia ada di sana, di ujung ruangan dekat pintu masuk sementara aku berbaring lemas di atas ranjang putih bertemankan suara monitor yang menampilkan garis detak jantungku, bau medis menusuk hidungku selagi kami saling bertatapan dalam hening.

Pada malam hari minggu ketiga aku terbangun sebab menyadari mustahil tangan Ibuku sebesar itu. Memang bukan Ibu. Dia ada di sana, dekat sekali denganku, mengenggam tanganku, memperlakukannya seperti barang mudah pecah belah. "Laya," sapanya dalam suara yang sama sekali tak padu dengan wajahnya, "apa kau tak ingat aku?"

Aku ingin berteriak tapi aku justru menjawab seakan-akan sedang bersama dengan teman lama. "Tidak. Apa kau semacam malaikat pencabut nyawa? Aku sekarat kau pasti tahu itu."

Dia mengerling dari balik bulu matanya yang lebat. Menampilkan raut wajah seakan-akan dia lebih daripada sekedar malaikat pencabut nyawa. "Panggil namaku saat kau sudah ingat."

Lalu perlahan nyaris seperti mimpi dia pergi. Namun bahkan berminggu-minggu setelahnya aku masih bisa merasakan panas tubuhnya tertinggal di tempat dimana dia duduk sebelumnya. Itu aneh sebab seharusnya orang hidup tak pernah meninggalkan jejak seperti itu.

Aku bertanya pada ibu dan siapa saja yang datang menjengukku. Tak satupun dari mereka tahu atau bahkan pernah melihat ciri orang seperti yang aku ceritakan. Dan dokter mulai mengurangi dosis penghilang rasa sakitku karena mereka pikir aku jadi berhalusinasi gara-gara obat baru mereka. Itu menyebalkan sebab sekarang, sepanjang waktu, bahkan dalam tidur aku merasakan rasa sakit nan menusuk berdenyut dimana-mana.

Kalaupun aku mengeluh takkan ada yang mengerti jadi aku melakukan hal lain untuk mengakali rasa sakit itu. Aku perlahan-lahan mencoba mengingat.

Suaranya. Suaranya yang berat dan dalam. Apakah aku pernah mendengarnya di suatu tempat selain di sini?

Barangkali.

Teman laki-lakiku bisa dihitung dengan jari. Bay yang sangat terkenal karena dia seorang quarter back dan ramah dan tak ambil pusing menjadikan aku salah satu temannya, dua sepupu dan Andy, pasien ruangan sebelah. Pacar terakhir yang kupunya adalah dua tahun lalu.

Tak ada satupun dari mereka punya apa yang kucari. Bay suaranya dalam tapi dia punya aksen khas tersendiri lagipun dia saat ini ada di negara sebelah, bertanding habis-habisan untuk mendapatkan beasiswa di uni incarannya. Aku melihat beritanya dimana-mana.

Jadi tidak.

Pikiranku cuma bisa menebak-nebak sampai di sana sebelum aku memohon pada perawat baik hati untuk menambah dosis penghilang rasa sakitku.

Aku terlelap dan untuk pertama kalinya bermimpi.

Semua yang kukenal memanggil namaku namun dengan suaranya. Laya. Laya. Laya.

Dia datang lagi dua hari setelahnya. "Laya." Hanya itu yang dia katakan sebelum pergi. Tidak penting. Raut yang dia perlihatkanlah yang membuat kepalaku berdenyut-denyut.

Kemudian aku ingat.

Sudah lama sekali.

Namun aku tak mampu merangkai apa yang terjadi ketika itu, kapan kami bertemu atau kenapa? Kepalaku hanya mampu mencerna sebuah nama. Reyes. Namun aku terlalu takut untuk menyuarakannya.

Salah satu sepupuku akan menikah minggu depan dan aku tak mau melewatkannya. Aku tak mau menghilang sebelum itu.

Reyes.

Dia datang lagi. Kali ini Reyes tersenyum, duduk di ujung ranjang dekat kakiku. "Laya, aku tahu kau sudah ingat."

Aku tak pandai berbohong, kurang cerdik menyembunyikannya.

Aku menggeleng. "Kumohon jangan sekarang. Aku belum melakukan apa-apa."

Reyes tersenyum hingga matanya menyipit. Dia penuh kebaikan sekaligus membuatku takut. Senyum itu adalah peringatan. "Aku sudah memberimu kesempatan. Panggil namaku."

Aku merasakan keringat dingin mengalir di balik punggung. Sebentar lagi ibu akan datang dan sepupuku akan menikah dan aku akan menghilang. Belakang mataku memanas.

"Reyes."[]

Final Match: 580 Words
Blackpandora_Club

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top