[2] di pelupuk mata gemintang
Dua hari berlalu dengan cepat, kemudian seminggu, sebulan datang namun Janía masih bernapas, masih meringkuk sejauh mungkin dari jeruji yang mendengungkan aliran listrik. Sudah sebulan lalu ia diarak keliling planet Delirium sementara bisik-bisik lembut dan lirikan mencibir mengepungnya dari segala arah. Dan Janía takkan pernah melupakan hari itu. Rasa malu dan kedengkian membara menggerogoti hati. Takkan pernah.
Sekarang setelah ia secara resmi menjadi tahanan kaum Pelupuk Gemintang, seluruh semesta tahu dosa yang telah Janía lakukan. Ia bakal selamanya dikenal sebagai betina paus pembunuh.
Seperti yang dibisikkan oleh tahanan lain. Jahat. Jiwa yang jahat.
Walaupun ingin mati cepat tanpa rasa sakit, selama sebulan mendekam di penjara kelam, Janía bersumpah takkan sudi memohon-mohon untuk perkara satu itu.
Rfine seperti biasa adalah satu-satunya kaum Pelupuk Gemintang terhormat yang meluangkan waktunya mengunjungi Janía. Dia takkan sudi andaikata ini bukan permohonan ini keluar langsung dari mulut Yang Mulia Kævao.
Mula-mula mereka saling mendiamkan, cuma bertukar lirikan tajam penuh kebencian belaka. Kemudian karena Rfine tak mampu berdiam diri tanpa mengatakan apa-apa lebih lama lagi, dia mulai mengajukan pertanyaan. Berbagai macam pertanyaan. Yang buruk, sangat buruk atau luar biasa buruk. Kadang-kadang Janía memberi Rfine jawaban yang diinginkan, kadang-kadang jawaban itu diikuti oleh fakta yang mengejutkan namun lebih seringnya Rfine dihadiahi ludahan yang tepat sasaran.
"Kubawakan makanan." Sapa Rfine seraya menyodorkan senampan hidangan yang sejujurnya sangat mengundang air liur.
Janía meneguk ludah. "Kapan aku bakal mati?"
"Bersabarlah, Solerïa." Kata Rfine. Sesungguhnya ia sendiri heran akan persoalan permainan mengulur-ngulur waktu antara si orang Bumi dan Yang Mulia Kævao.
"Kaum kalian memang suka ingkar janji rupanya," dengus Janía.
"Hati-hati kalau bicara."
"Kalau tidak bagaimana? Kalau orang-orang perpolitikan di atas sana tak mampu kenapa bukan kau saja yang melakukannya? Cambuk yang kau bawa-bawa itu buat apa? Hiasan? Menjijikkan."
Rfine merasakan wajahnya sepanas bara api, bulu-bulunya menegak tanpa mampu dia cegah. "Yah, sesungguhnya satu ciuman dari kami cukup mengabulkan keinginanmu itu."
"Wah." Kekeh Janía getir. "Kebetulan aku suka mencium."
Janía kaget sekali ketika menyadari rona kemerahan pada wajah Rfine menyebar hingga ke leher dan punggung tangannya yang terpampang bebas di udara. Ternyata bukan omong kosong belaka. Batin Janía, harapan baru berkobar dalam dirinya. Ia bangkit dari posisinya duduk, melangkah tanpa suara mendekati mangsa barunya.
"Inginkah kau mencium seorang gadis, Rfine?" Ketika Rfine bergeming, sudut mulut Janía berkedut sedikit. "Atau pemuda?"
Efek pertanyaan sederhana yang dilontarkan Janía pada Rfine luar biasa sekali. Bulu-bulu di bahu Rfine berdesing, membuka lebar mirip sayap burung yang marah. "Besok. Yang Mulia Kævao ingin kau menghadap."
"Syukurlah," ejek Janía, tak mampu menyembunyikan seringaian penuh kemenangan ketika Rfine berbalik cepat ke arah jalan keluar tanpa menengok ke belakang.
Setidaknya hari ini Janía bisa makan dengan tenang tanpa perlu meladeni pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan Rfine.
-----------------------
"Janía Solerïa."
Telinga Janía menegak bahkan sebelum alam bawah sadarnya tahu siapa yang berbicara. Lutut Janía tanpa mampu ia cegah mencium marmer kelam di bawahnya. Tubuhnya menolak perintah Janía. Pekerjaan salah satu kaum Pelupuk Gemintang, gerutu pikiran Janía. Sungguh mulia sekali mereka.
"Yang Mulia." Bahkan suara yang keluar dari tenggorokan Janía juga bukan atas kehendaknya sendiri.
Kemudian sidang itu dimulai. Kata-kata dari mulut yang berbeda berdengung ke seisi balai. Semua itu luput dari pendengaran Janía sebab semua inderanya ia fokuskan pada satu sayap. Walaupun jengkel Janía mau tak mau mengakui bahwa penampilan Kævao saat ini jauh lebih wah. Rambutnya yang semembara mentari disisir rapi ke belakang hingga hiasan wajah emas-biru, hitam, merah di wajahnya terlihat jelas, hiasan itu semakin memperindah warna mata Kævao. Baju tempur Kævao sudah penata busananya singkirkan, kini digantikan oleh adibusana formal khas kaum bangsawan Pelupuk Gemintang, dengan jubah merah maroon yang terseret-seret indah sepuluh kaki di belakangnya. Berlatarkan kubah-kubah kaca beraneka warna yang membiaskan cahaya bintang, pesona agung nan perkasa yang direncanakan oleh para penata busana Kævao berhasil.
Keparat beruntung. Kekeh Janía getir.
Cengiran sinting Janía mendapat perhatian Kævao, dia menyunggingkan senyum yang urung sampai ke mata. "Adakah yang ingin kau sampaikan, Janía Solerïa?"
"Aku mau mati oleh ciuman kaum kalian."
Mulut-mulut berhenti bergumam, leher-leher berputar ke arah sang tawanan--kepada si betina paus pembunuh yang baru saja melontarkan permintaan terakhirnya.
"Yang Mu--"
Kævao mengangkat tangan, seketika langsung menutup mulut si pembicara. Namun sebelum Kævao sempat mengatakan apa-apa, Janía menjatuhkan bom terakhir yang langsung membuat seisi ruangan ribut.
"Aku mau mulutmu. Ciumanmu, Yang Mulia Kævao."
Selagi mengatakan itu, Janía tak mampu menahan diri untuk memberi lirikan penuh arti pada Rfine yang berdiri di seberang kursi agung kosong Kævao. Rfine menyadari hal itu dan menolak untuk mengalihkan pandangan. Padahal jantungnya sendiri menggedor-gedor tulang dadanya.
Bom panas Janía masih mempengaruhi kaum bangsawan Pelupuk Gemintang. Tak ada yang memperhatikannya ketika gadis itu diseret kembali ke kungkungan jeruji listrik, dicampakkan bak sampah. Menyadari bahwa permintaannya yang spontan sedang dipertimbangkan oleh Kævao, tawa sinting tak putus-putus keluar dari tenggorokan Janía. Bergema ke tembok-tembok batu beku, ke langit-langit kelabu. Menempel di sana dalam waktu yang cukup lama.
Tidak buruk juga. Mati selagi mempemalukan Kaisar kaum Pelupuk Gemintang.
Ayah-ayahku sudah tentu bangga akan pencapaianku.
Pikiran itu menderas bersamaan dengan air mata. Kini tawa Janía digantikan oleh isakan memedihkan. Satu kilasan berikut kilasan lainnya menumpuk di depan mata Janía. Kematian kedua Ayah Janía bukan kesalahan siapa-siapa, tapi Janía sendirilah yang menarik pelatuk itu, yang mengawali semuanya. Membunuh sang adik yang menggila.
Namun semua itu takkan terjadi kalau bukan karena keharusan dari mencari perdamaian dari mata jahat kaum Pelupuk Gemintang. Kalau saja mereka tak mencampuri urusan semesta, Janía bakal bahagia dengan kedua ayah, kakak-kakak serta adiknya di Bumi.
Janía menghapus air matanya, menggertakkan gigi. Bahkan tanpa tang inggris di tangan, membayangkan mata Kævao membantunya memupuk amarah sekaligus menguatkannya.
Mata itu pula yang keesokannya memandang Janía. Dengan agung berdiri menjulang di hadapannya dengan busana yang jauh lebih rumit daripada sebelumnya. Mahkota berkilat-kilat di tepian mata Janía selagi Kævao perlahan-lahan membungkuk ke arahnya, ujung telunjuk Kævao yang anehnya terasa hangat menyentuh dagu Janía. Inilah saatnya. Pemandangan di panggung megah itu bisa jadi merupakan mahakarya sebuah lukisan romantis alih-alih vonis hukuman mati. Seorang Kaisar dan seorang pembunuh berpenampilan serba kelabu dengan mata jahat.
Selagi jarak antara Kævao dengan Janía kian menyempit. Kævao kembali teringat akan malam sebelumnya, dimana semua orang mendebat dirinya, keputusannya. Namun ia adalah Kaisar sementara apapun yang keluar dari bibirnya merupakan keharusan mutlak. Ia bersedia memenuhi permintaan terakhir Janía Solerïa. Lagipun tak ada ruginya. Janía sudah membawa segenggam bulu pada sayapnya. Mata harus dibayar dengan mata.
Sayap Kævao mengembang begitu bibirnya menyentuh bibir Janía yang kasar dan sepanas besi tempaan, matanya bertemu mata Janía yang menolak untuk memejam. Alih-alih meredup seperti sebagaimana seorang fana mendapat kecupan maut dari kaum Pelupuk Gemintang, cahaya kehidupan pada mata Janía meretih layaknya api biru.
Kau akan menemukannya, anakku. Pada waktu yang tak terduga.
Itu wasiat sang maharani, Ibu dari Kaisar Kævao sendiri berjuta-juta tahun lalu ketika Kævao masih kanak-kanak dan menanyakan pertanyaan lugu soal belahan jiwa.
Kævao menemukannya. Pada mata biru Janía. Pada hati anak fana yang jahat.[]
Blackpandora_Club
Kuharap kalian jatuh cinta pada orang yang tepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top