[1] di pelupuk mata gemintang
Sudah berapa lama Janía menangisi kemalangannya sendiri? Ia sendiri tak terlalu yakin, sebab di sini, dengan keheningan yang hakiki, ketiadaan kalender, dan yang lebih menyiksa lagi, kesendirian terkutuk, Jania tak mampu melakukan apa-apa selain bangun dari tidur panjang, makan sesedikit mungkin demi menghemat waktu hidup sambil menangis, berolahraga dan kemudian menangis lagi.
Demi kesehatan jiwanya itu pula Janía menghindari ruangan terkunci yang menguarkan bau busuk di dekat mesin kendali pesawat.
Namun dua hari yang lalu rutinitasnya yang biasa berantakan gara-gara ada penyusup dalam kapal Janía Kejadiannya kira-kira setelah kapalnya melintas di perbatasan angkasa gemintang--begitulah orang-orang di bumi menyebutnya sebab di perbatasan gemintang, kita bukan hanya melihat kanvas hitam melompong belaka. Ada puluhan bintang, galaksi dan yang lain-lain.
Pokoknya begitulah, pikiran Janía sedang nelangsa ketika alarm peringatan menyentak adrenalinnya. Selama terapung-apung tak menentu di angkasa luar, gadis jangkung itu sudah menjalankan skenario semacam ini ratusan kali dalam kepalanya. Karena itu, begitu satu not nada peringatan membahana, kunci inggris yang setia mendampingi Janía selama ini sudah siap dalam genggamannya, kaki Janía yang kuat bergerak tanpa suara mendekati rak buku-buku soal politik, hukum dan hal-hal lainnya yang membuat kepalanya panas acap kali mencoba memahaminya--buku-buku sialan tiada guna--dan mulai menghitung seperti yang di ajarkan kakak sulungnya.
Sepuluh ke kanan dari deret ketiga rak, empat ke bawah, dua samping dan dua belas ke atas lalu tekan.
Dengan jantung berdentum dalam rongga dada, Janía masuk ke dalam rangka cermin yang membuka dengan ajaib di sebelah tempat tidurnya. Kunci inggris ia pegang erat sekali sampai tangannya sakit.
Cermin sudah menyembunyikan Janía sepenuhnya tepat ketika penyusup pertama memasuki kamar Janía.
Saat mata lembayung Janía menemukan sosok si penyusup ia mau tak mau terkesiap. Perawakan si penyusup memang seperti manusia tapi caranya bergerak, caranya mengendus udara melalui hidungnya yang seperti kucing dan sayap-sayap emas yang berkedut-kedut, jatuh dengan anggun bak jubah di punggungnya sama sekali tak mencirikan manusia bumi.
Sekejap sebelum Janía sempat menyerap apa-apa seseorang muncul di belakang penyusup yang pertama. Sementara makhluk pertama hanya menggenakan seragam satin sekelam angkasa luar, yang satu ini memakai zirah merah. Zirah itu di mata Janía terlihat berdenyar seakan-akan terbuat dari raksa atau barangkali memang begitulah kenyataannya. Setengah wajahnya tertutup helm zaman pahlawan Hercules. Dia juga punya bulu-bulu keemasan dan hidung kucing. Suaranya yang dalam menggema di telinga awam Janía, seperti nyanyian surgawi. "Menemukan sesuatu?"
"Yang Mulia, Kævao." Penyusup pertama membungkuk khidmat sebelum kembali menegakkan tubuh dan menjawab. "Aku mencium sesuatu. Bau bersih, segar dan ... jahat."
"Menarik." Komentar Kævao, seraya bergerak luwes ke seberang ruangan, sesuatu menarik perhatiannya. Penangkap mimpi yang terbuat dari kayu, kerang laut bumi dan debu Mars milik Janía. Sebuah tahayul. Sebab itu ketertarikan Kævao teralihkan dengan cepat pada hal lain. Tanpa suara Kævao membalikkan salah satu dari lima frame foto yang sengaja ditelungkupkan oleh Janía di atas nakas. Mata Kævao yang bak nebula memandangi senyum mematung Janía lama-lama sementara hambanya menunggu dengan sopan di belakang, hanya berjarak beberapa kaki dari tempat persembunyian Janía. "Tugasmu di sini sudah selesai, kawanku Rfine. Terima kasih. Bantulah kawan-kawan kita membereskan ruangan penuh bangkai fana di dekat ruang kendali pesawat."
"Yang Mulai." Angguk Rfine sebelum dengan patuh melangkah ke luar ruangan. Sesuatu mirip cambuk berkilauan di pinggangnya.
Janía meneguk ludah dengan susah payah. Mendekatkan kunci inggris keberuntungannya ke dada, mendekap benda dingin itu erat-erat. Pikirannya bergemuruh pada hal lain sementara ia sendiri bisa merasakan darah surut dari wajahnya. Mereka menemukannya. Dosa-dosa Janía.
Sekarang ia merasa lebih takut daripada saat melihat adik bungsunya menggigit leher ayah mereka hingga urat-urat pria tua itu putus. Ini lebih mengerikan. Janía tak menyangka bakal melihat secara langsung kaum Pelupuk Gemintang. Bukan tanpa alasan Janía merasa sedemikian rupa. Sebab gara-gara kaum Pelupuk Gemintang pula orang-orang Bumi melakukan perjalanan untuk bersembunyi dari ruang lingkup dan mata-mata kaum Pelupuk Gemintang yang sudah melihat terlalu banyak. Namun tak semua peziarah itu berhasil menemukan suaka yang konon luput dari genggaman kaum Pelupuk Gemintang--seperti Janía saat ini.
Begitu mengingat kemalangannya, mata lembayung Janía langsung terasa pedas. Mengharuskannya untuk mengubur seluruh wajah pada tulang lututnya yang menonjol, namun kemudian ia menyesali pergerakan itu sebab bau karat dari kunci inggris di dadanya tercium lebih jelas.
Ia telah melakukan sebuah dosa menggunakan kunci inggris itu. Kalau kaum Pelupuk Gemintang menemukannya, Janía tahu dia bakal mati perlahan dengan cara yang paling hina.
Karena itu mereka tak boleh menemukannya.
"Aku bisa mencium keputusasaanmu, anak Fana."
Kepala Janía menegak, tubuhnya kini sekaku paku. Jeritan tertahan di tenggorokannya saat tatapannya tanpa sengaja bersinggungan dengan mata aneh Kævao. Hanya sekejap sebab Kævao kembali menegakkan tubuh, seanggun kucing duduk bersila di atas tempat tidur Janía, tangannya yang besar dan berkuku runcing mengelus selimut hijau hutan yang tak sempat dirapikan Janía.
"Kurang dari lima belas menit kita akan sampai ke Delirium. Kau masih punya kesempatan untuk mengambil hatiku, anak Fana."
Bohong.
Janía menggertakkan gigi. Air matanya telah lama kering dan kini ia hanya merasakan api kebencian berkobar dalam dirinya.
"Kau punya nyali." Dengkur Kævao. Ia berdiri sekonyong-konyong, sayap-sayap emas di bahunya mengembang, secara menakjubkan nyaris memenuhi kamar sempit Janía. Dari balik helmnya senyum menghiasi bibirnya. "Kau pilih sendiri, anak Fana. Keluar dengan baik-baik atau kuseret kau tanpa kehormatan."
Itu tak kedengaran seperti gertak sambal belaka. Dan Janía sadar akan hal itu. Gemetaran, nyaris seperti akan meleleh di tempat Janía menekan tombol seukuran jempol di bawah kakinya. Cermin dua arah itu perlahan-lahan terbuka.
Sekarang begitu kaki telanjang Janía menyentuh ubin kapal, tiada lagi penghalang di antara mereka.
"Bumi." Mata Kævao mengikuti setiap pergerakan Janía dengan ketertarikan baru. "Dan jahat."
Tutup mulut.
"Berikan aku nama."
Janía meluruskan posturnya dengan bangga. "Janía Solerïa."
"Mendekatlah, Solerïa. Biar aku merasakan nadimu."
Janía patuh, tapi bukan untuk membiarkan tangan menjijikkan itu menyentuhnya. Ia mengeluarkan kunci inggris yang disembunyikannya di balik punggung dan seperti sebagaimana seharusnya menghujamkan benda itu kuat-kuat ke pelipis sang maharaja. Kaum Pelupuk Gemintang cerdik, membawa anugerah mulia sejak mereka dilahirkan ke semesta namun bukan berarti mereka mampu melihat masa depan atau cukup kuat untuk menangkis serangan terlatih seorang anak Bumi jahanam seperti Janía.
Lolongan mengerikan yang tak pernah Janía tahu bakal keluar dari mulut seorang kaum Pelupuk Gemintang bergema ke seisi kamar, menggetarkan hati Janía tapi tak menghentikan tangannya untuk menjambret bahu sang Pelupuk Gemintang, membawa serta segenggam bulu emas ketika sayap itu mengempaskannya ke dinding seberang.
Janía tersedak ludah dan darah dari mulutnya, ngeri menyadari ia tak bisa merasakan punggungnya sendiri. Kalau lebih keras sedikit saja lagi, Janía sudah tentu berkumpul kembali keluarganya di alam baka.
Dengan setengah wajah yang digelapkan oleh darah perak berkilauan, Kævao berdiri menjulang di hadapan Janía, mata nebulanya berkilauan oleh kemarahan dan perasaan terhina yang teramat jelas. "Kita sudah sampai di Delirium. Aku kini tahu nasib paling pantas yang musti kau jumpai."
[.....]
Blackpandora_Club
Kisah cinta bukanlah keahlianku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top