Improvisasi Pertama - 12 [END]


Bismillah dulu.

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"HUKUM semesta ... tidak ada Rembulan tanpa cahaya Bintang? Ya juga sih, anak Mas Bintang ini, nggak bakal ada kalau bukan karena bapaknya. Kok bisa pas? Pinter deh Mas Mana, kalo ngomong suka bener."

"Iyalah. Kamu suka nggak sama cowok pinter?"

"Biasa aja. Aku paling suka cowok supel kayak Mas Bintang. Buat apa pinter kalo sekaku kayu jati amplasan? Nggak enak banget ketemu sama orang begitu tiap hari. Tuh, Mas Hara tuh, contoh hidupnya."

•°•°•

Nilam terbangun karena muntah hebat dan semua yang ada di ruang pemulihan spontan berjengit. Dua wanita berseragam perawat segera menghampiri untuk mengatasi kekacauan. Sementara seorang dokter mengevaluasi cepat sang pasien lalu menginstruksikan perawat lain untuk injeksi morfin intravena.

Dingin.

Nilam sangat kedinginan. Dingin yang mengebaskan sekujur pori-porinya hingga mati rasa. Sedangkan di dalam, yang terjadi adalah sebaliknya. Seakan perut Nilam dikuliti selapis demi selapis dan seluruh isinya ditarik keluar. Otaknya memaksa harus berontak, namun seperti dibebat rantai besi, tubuhnya tidak bergeser sedikitpun.

Nilam tak mampu melepaskan diri dari sakit luar biasa yang menjeratnya. Bahkan saat dia membuka mata, cahaya intensitas tinggi menghunus korneanya, hingga justru membuatnya memejam makin keras. Semua yang dilihatnya hanya gelap, dan semua yang didengarnya hanya rintih dari bibirnya sendiri.

Sekian menit kemudian sakit itu tak lagi Nilam rasa. Seluruh sarafnya dimatikan oleh morfin yang kini menyatu dalam darah. Saat otot-ototnya melemas, Nilam membuka mata perlahan.

Jika masih ada yang bisa Nilam rasa, itu adalah air yang keluar dari sepasang sudut matanya, mengalir ke samping.

•°•°•

Usman tidak mempermasalahkan meski harus membayar lebih dari jatah asuransi untuk menaikkan kelas perawatan menantunya dari reguler ke VVIP, demi alasan kenyamanan. Nilam belum sempat berterima kasih sebab begitu dia dipindahkan ke ruang perawatan, Usman sudah pergi lagi mengurus sesuatu.

Nilam belum bisa menggerakkan tubuhnya, apalagi bangun. Perih kembali menggigiti jahitan perutnya, tetapi rasa syukur terhadap kehadiran Rini dan Intan di sini membuat senyum Nilam terulas samar. Dia berusaha menggamit jemari kedua wanita yang duduk di kanan-kiri dengan masing-masing tangan.

"Makasih ya, Bu, Bunda ...." katanya pelan, sebelum menangkap keanehan pada keduanya. "Sudah, dong, kenapa masih nangis? Nilam sudah bangun ini. Kata dokter Zesta harus kentut dulu baru boleh makan? Padahal lapar."

Nilam ingin tertawa untuk mencairkan suasana, tapi perutnya masih terlalu perih bahkan hanya untuk meringis.

Hanya saja, Rini semakin tak mampu mengendalikan tangisnya. Dahinya jatuh bertumpu pada genggaman jemarinya dengan Nilam. Bahu tua itu naik-turun berusaha menekan isakan. Nilam tahu, Rini selalu menyayanginya seperti putri sendiri. Apalagi sekarang ada anggota baru.

Nilam mengalihkan senyumnya pada Intan yang menyeka bawah mata dengan satu tangan.

"Bulan mana, Bun? Di inkubator?"

Intan terdiam sesaat. "Bulan, Nduk?"

Nilam berusaha mengangguk. "Bulan namanya. Rembulan. Nama lengkapnya belum. Nanti kalau manggil 'Mbul, Mbul' gitu. Kan lucu, Bun?"

Intan menelan ludahnya seakan menelan duri.

Sedangkan Rini menengadah, satu tangannya gemetar mengusap kepala Nilam. Bibirnya membuka, menutup, seakan kesusahan ingin mengucap sesuatu. Nilam tak bersuara, tetapi tatapannya sangat menunggu.

"Nduk, dengarkan Ibu. Sebenarnya-"

Ucapan Rini terputus oleh ketukan dua kali dari luar. Intan berinisiatif bangkit dan membukakan pintu untuk seseorang yang rupanya Laksmana. Binar mata Nilam semakin hidup saat pria itu mendekat.

"Nih, Mas Mana yang pilih nama. Katanya tidak ada Rembulan tanpa cahaya Bintang. Filosofinya masuk, kan, Bu?"

Tidak ada yang bisa Laksmana katakan. Lidahnya kebas. Rini memejam kuat hingga air matanya terperah keluar.

Kembali Nilam beralih pada mertuanya. "Ibu tadi mau bilang apa?" Nilam berusaha menggerakkan tangannya yang terpasangi infus, semampunya menghapus air mata Rini dengan ibu jari. "Ibu kenapa nangis terus, Ibu kangen Mas Bintang, ya? Kan sekarang ada Mas Bintang versi ceweknya, Bu."

Tidak bisa.

Rini tidak bisa menyampaikannya.

Alarm di kepala Nilam berbunyi menyadari ada yang salah. Ibu mertuanya terisak hingga sesak. Di sisi lain Intan juga menangis, dan Laksmana tampak pias, menatapnya dengan rahang mengetat. Nilam menginginkan jawaban.

"Bun, Mas ... ini ada apa?"

Intan mengeratkan jemari Nilam yang masih dalam genggamnya. Dengan mata berkaca, ditatapnya baik-baik salah satu anak asuh tersayangnya itu.

"Bulan pergi, Nduk. Nilam harus mengikhlaskan."

Pendengaran Nilam berdenging nyaring.

"Pergi?" ulang Nilam tak yakin. "Pergi gimana, Bun? Ke mana?"

Jelas sekali Intan berusaha menemukan kalimat yang tepat. Namun belum juga dapat saat ketukan dua kali terdengar lagi dari pintu.

Laksmana segera membuka, Usman masuk membawa sesuatu yang dibungkus kain putih dalam dekapan, berhati-hati dengan kedua tangannya. Nilam tetap tidak berspekulasi hingga Intan menyingkir, mempersilakan Usman mendekatinya.

Nilam tidak mengerti, tetapi hatinya menolak mendengar apapun yang akan dikatakan ayah mertuanya.

"Ini putri Nilam dan Mas Bintang. Nilam boleh peluk dulu, sebelum-" Usman menahan napas, berusaha keras tak meneteskan air mata lagi. "Setelah ini harus Bapak makamkan, sebelum magrib, Nduk."

Jantung Nilam berhenti sesaat.

"Di ... dimakamkan? Kenapa? Bulan kena ... pa?"

Otak Nilam tak bisa memproses lagi. Semua yang terjadi seakan ditamparkan begitu saja padanya. Usman meletakkan bungkusan putih itu di atas dada menantunya. Rini membimbing tangan Nilam menyentuh kain itu, sampai, Nilam sendiri yang menggerakkan jarinya.

Nilam menyentuhnya, makhluk merah yang mulai membiru itu.

Yang pernah berdetak dalam rahimnya selama 28 minggu. Nilam menyentuh ubun-ubunnya, rambut si kecil itu hitam dan tebal seperti sang papa. Hidungnya mungil, meski Nilam tak merasakan embusan napasnya. Bibirnya mengerucut, dan matanya tertutup damai.

Rasa hangat menjalar dari dada Nilam. Mengabaikan sakit di sekujur tubuh, Nilam mendekap putrinya. Mengecup kening kecil itu sebelum air matanya luruh.

"Assalamualaikum. Mama senang bisa ketemu Bulan."

Meski yang diajak bicara tak bereaksi, Nilam tersenyum.

Nilam mengecup satu sisi wajah bayinya. "Terima kasih sudah main sama Mama tujuh bulan ini." Lalu mengecup sisi lainnya. "Terima kasih sudah jadi anak yang kuat." Kemudian hidungnya, dan berakhir kembali di kening. "Maafkan Mama ... tidak bisa jadi ibu yang baik untuk Bulan."

Penciuman Nilam mulai berfungsi, aroma bayi terhirup memenuhi paru-parunya, dan air matanya kini semakin deras.

"Tapi, Mama sayang Bulan. Sungguh."

•°•°•

Tiga jam berlalu sejak Usman selesai memakamkan cucunya di area yang sama dengan Bintang.

Nilam sudah boleh makan, hanya saja dia tidak bisa. Sekeras apapun dia berusaha menelan bubur lembut demi menghormati Rini yang menyuapinya, lambungnya menolak. Apapun yang masuk akan langsung keluar sebagai muntahan, sekalipun hanya air putih.

Pandangan kosong Nilam tergantung di langit-langit kamar rawat inap.

Nilam mempertahankan pandangan itu di atas sebisa mungkin. Sebab jika turun dan secara tak sengaja perut kempisnya terlihat, napasnya akan sesak mendadak. Kemudian air matanya terperah lagi. Lelah, sungguh Nilam lelah menangis.

Usman dan Rini sepakat untuk membagi waktu menjaga Nilam. Jika salah satu menjaga, yang lain harus tidur. Namun pada akhirnya pasangan itu justru berjaga bersama. Rentetan kejadian dalam waktu kurang dari 12 jam mengacaukan hati semua orang, termasuk mereka, dan paling utama Nilam.

Perempuan itu bahkan tak mengacuhkan kedatangan Sahara dan Laksmana. Dia hanya melirik dari sudut mata, sebelum mengembalikan pandangan ke atas.

"Bapak sama Ibu sudah makan malam?" tanya Sahara, tetapi matanya terpaku pada Nilam yang terbujur.

"Saya sudah, Ibu yang ndak bisa. Cuma minum air putih," jelas Usman, merasa wajib mempertahankan kewarasan.

"Ini ada jus, saya beli macam-macam, saya tidak tahu Nilam mau yang mana. Bapak sama Ibu monggo ikut minum juga," tawar Laksmana, meletakkan paper bag yang dibawanya di meja.

"Ibu ndak bisa makan kalau Nilam belum makan," lirih Rini.

Sahara bertukar pandang dengan Laksmana. Keduanya tahu, tak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini. Hanya dukungan moril yang tepat dan waktu yang mampu menutup luka.

"Bapak sama Ibu boleh keluar kalau mau makan di luar, barang kali sambil cari angin. Saya dan Mas Laksmana yang menunggu Nilam. Kami coba membujuk Nilam makan," ujar Sahara.

Usman tersenyum lelah meraih lengan istrinya. "Hara bener. Ayo, Dek, keluar sebentar."

"Tapi, Mas-"

"Ndak papa. Ayo, aku ndak mau kamu drop juga. Kamu harusnya kasih contoh buat Nilam."

Walau dengan setengah hati, Rini pasrah menuruti suaminya keluar ruangan. Hening yang menyiksa terasa setelah kepergian keduanya. Terutama ketika Nilam akhirnya bersuara pelan.

"Mas Mana, Mas Hara."

Kedua pria yang dipanggil segera mendekat di kanan-kiri ranjang. Nilam menatap keduanya bergantian. Tidak ada air mata, hanya luka yang menganga tegas dari sorot hampanya.

"Katanya ... nikmat seseorang akan dicabut karena kurang bersyukur. Itu yang terjadi sama aku, ya, Mas? Selama ini aku melukai banyak orang, tapi aku nggak merasa, dan di antaranya Mas Mana dan Mas Hara."

Ucapan tersebut menyesakkan dada kedua pria berkacamata itu.

Nilam menatap Laksmana, dan untuk pertama kalinya, Laksmana sangat tidak ingin membalas tatapan wanita yang dicintanya ini. Tidak dalam kondisi sehancur ini.

"Mas Mana ... maaf, aku bukan bawahan yang baik. Aku sering kasar dan nggak sopan sama Mas Mana. Aku sering bolos nggak izin dengan alasan pusing dan mual. Aku takabur, seenaknya merasa bahwa aku lebih istimewa dibanding yang lain karena Mas Mana sahabatnya Mas Bintang. Padahal seharusnya aku tahu diri dan menghormati Mas Mana. Maafkan aku, ya, Mas?"

Bola mata Laksmana memanas dengan cepat. Namun dia tahu, kata-kata motivasi bukanlah yang Nilam butuhkan saat ini. Karena itu Laksmana memilih bungkam.

Nilam hanya butuh pendengar.

Lalu Nilam beralih pada Sahara. Gelisah merayap di hatinya, pria itu membasahi bibir.

"Mas Hara, aku bersalah sama Mas. Banyak sekali."

Sahara mengalihkan matanya pada dinding, langit-langit, atau apapun asal bukan Nilam. Menekan kuat-kuat keinginannya untuk mendekap perempuan itu.

"Aku selalu bilang Mas Hara nggak punya hati. Mas Hara kaku. Mas Hara membosankan. Mas Hara bikin aku mual. Aku selalu teriak tepat di depan Mas, sementara Mas selalu tersenyum. Maafkan aku, Mas. Selama ini aku nggak menghormati Mas. Harusnya aku bersyukur karena masih ditemani orang-orang sebaik kalian. Aku ... aku ini kurang bersyukur, makanya ... dia-"

Nilam menjeda kalimatnya. Menelan ludahnya yang membatu.

Sakit.

Semua yang ada padanya sangat sakit. Hanya menangis yang Nilam mampu.

"Dia lebih memilih Papanya, daripada aku."

Gemetar, Nilam membekap mata dengan kedua tangannya.

"Mas Bintang orang baik, sangat baik. Allah suka sama Mas Bintang, karena itu Mas Bintang diminta kembali. Sejak awal aku memang nggak layak untuk Mas Bintang. Bulan ... Bulan pasti tahu itu. Bulan lebih suka sama Papanya. Bulan tahu, aku bukan Mama yang baik kalau tanpa Papanya. Bulan ... mungkin benci sama aku. Bulan lebih sayang Mas Bintang daripada a-"

"Nilam."

"Nilam."

Sahara dan Laksmana yang bersuara bersamaan membuat Nilam tersedak, tertawa di antara isak.

Nilam menghapus air matanya serampangan. Dia tertawa makin keras, tetapi air mata itu justru menderas.

"Aduh, aduh! Ma-maaf, ya, Mas. Nah kan, a ... aku kurang bersyukur lagi. Astagfirullah. Alhamdulillah. Ha-harusnya gini, ya, Mas? Alhamdulillah, aku masih selamat dan nggak mati. Alhamdulillah, aku bangun. Alhamdulillah, yang mati kan cuma anak ... ku ...."

Sahara dan Laksmana tak lagi menahan diri.

Keduanya menahan gerakan tangan Nilam, juga menyeka air mata perempuan itu dengan ibu jari masing-masing. Semua terjadi secara spontan, secara naluriah keduanya berusaha menghentikan tangis Nilam. Mereka berpandangan sesaat begitu menyadari bahwa tindakan barusan dilakukan berbarengan, bersama-sama.

Nilam kembali tertawa serak, dengan sopan melepaskan tangan dari keduanya.

"Terima kasih. Maaf, Mas, aku mau istirahat."

•°•°•

TAMAT.

Enggak ding, bejanda.

Sejauh ini, apa pendapat kalian tentang Improvisasi Rasa?

Improvisasi Rasa ini kubagi jadi sekitar 3-4 improvisasi. Satu improvisasi isinya sekitar 10-15an bab. Dan bab ini adalah akhir dari improvisasi pertama.

Improvisasi pertama isinya memang sedih-sedihan. Nggak usah protes. Sudah kuplot begini.

150 votes untuk SEMUA BAB, baru kita lanjut improvisasi kedua. Dimana isinya adalah bermanis-manis ria dengan dua pria berkacamata. Mau? :p

Kusatsu, Shiga, 15 November 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top