Improvisasi Pertama - 11


Ada yang sudah meluk Prabusena Efendi Muzaffar?

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"SUDAH pasti cewek, kan? Namanya siapa?"

"Kenapa? Kepo, yaaa?"

"Sudah ada nama belum? Kalo belum aku mau ngajuin ini."

"Belum, sih. Kemarin ngobrol sama Ibu, banyak nama cakep di Google tapi belum ada yang sreg. Mas mau ngajuin apa?"

"Satu kata doang. Kalo kamu mau lebih tambahin sendiri."

"Oke. Apa, Mas?"

"Rembulan."

"Hmm? Ada alasan khusus kenapa 'Rembulan'?"

"Karena sesuai hukum semesta, tidak ada Rembulan tanpa cahaya Bintang."

•°•°•

Melihat Sahara keluar dan menutup pintu ganda bangsal operasi, Laksmana segera beranjak dan menghampiri pria itu.

"Saya tidak diizinkan ada di dalam karena bukan keluarga dan bukan dokter yang berwenang," jelas Sahara, menjawab kegelisahan yang kental dari wajah Laksmana. Dia lantas beralih pada kedua mertuanya. "Nilam drop. Denyut jantung bayi terus turun dan sudah masuk fase distress. Harus dilahirkan sekarang, Nilam sedang anestesi umum. Bapak sama Ibu mau istirahat di ruangan saya? Biar saya yang menunggu di sini."

Usman menggeleng lemah. "Ndak papa, Le. Di sini saja." Pria tua itu menepuk lengan menantunya dua kali. "Sahara boleh pulang. Ini bajunya kotor."

Sahara memperhatikan tubuhnya kanan-kiri. Begitu paniknya dia saat itu, segera membopong tubuh Nilam ke mobil tanpa menyadari rembesan darah perempuan itu mengenai kemejanya. Meninggalkan bercak merah kehitaman yang kontras di bagian depan dan lengan.

"Di ruangan saya ada baju cadangan. Kalau begitu saya ganti dulu, Pak, Bu. Setelah ini saya izin mengurus administrasi Nilam sama si kecil."

Usman dan Rini terdiam mengamati sosok menantunya yang bergerak menjauh, kemudian menghilang di persimpangan koridor.

"Sahara terlalu baik," gumam Usman pelan, lebih pada diri sendiri. "Tak mintai repot ngurus Nilam ini-itu, mana Nilam iki yo rewel, ndak pernah mengeluh."

"Ya ndak papa, Mas, timbangane meneng thok, saaken lek keingetan Citra [Ya nggak papa, Mas, daripada diam saja, kasihan kalau teringat Citra]."

"Iya, Dek." Usman tersenyum lelah, membimbing istrinya duduk bersama di bangku panjang yang tersedia. "Tapi Nilam iki piye, ya? Aku kepikiran saaken [kasihan] momong anak sendirian, ya masio [walaupun] ada kita tapi apa batine ndak kesepian? Arek iki jek enom [Dia ini masih muda]."

Mengerti arah pembicaraan sang suami, Rini terdiam sesaat sebelum mengembus singkat. "Sek, Mas, dipikir siji-siji [Nanti, Mas, dipikir satu-satu]. Sekarang ini sing [yang] penting Nilam sama anaknya ndak papa."

Usman mengangguk sepakat. Kemudian pandangannya menemukan Laksmana yang duduk di bangku yang sama, diam, tunduk, menatap kosong ujung sepasang Converse-nya.

"Mas Laksmana nungguin Nilam juga?" sapa Usman pelan, meski jawabannya sudah pasti.

Sedikit terkejut, Laksmana menoleh dan tersenyum. "Inggih, Pak."

"Kuatir sama Nilam, ya?"

"Inggih, Pak."

"Kepikiran Nilam, ya?"

"Inggih, Pak."

"Seneng sama Nilam, ya?"

"Inggih ... duh."

Melihat Laksmana buang muka sambil menepuk-nepuk mulut, Usman tertawa rendah.

"Ndak papa. Saya cuma mau bilang, Nilam masih dalam masa iddah-nya. Secara agama belum diizinkan menikah lagi."

Kembali Laksmana menatap ayah sahabatnya. Pria itu membeku di bawah senyum tenang Usman yang menuntut keseriusan.

"Bener, Mas Laksmana seneng sama Nilam?" selidik Usman lagi, kemudian menambahkan karena Laksmana tampak ragu. "Urusan hati ndak bisa diatur semudah itu, saya ngerti. Saya ndak akan marah, dijawab saja."

Tidak ada intensi buruk dari pertanyaan itu. Laksmana tersenyum menekan gugupnya. "Kalau Bapak mengerti, saya berterima kasih."

"Apa Nilam sudah tahu?"

"Saya tidak mau terburu-buru, Pak. Saya rasa Nilam masih kepikiran Bintang."

"Saya pikir juga begitu." Usman mengangguk. "Kalau nanti Nilam mau membuka diri untuk Mas Laksmana, saya harap Mas Laksmana benar-benar serius. Ndak main-main sama Nilam. Juga, saya harap keluarga Mas Laksmana berkenan dengan kondisi Nilam saat ini. Saya juga ndak mau Nilam dibawa jauh-jauh, dia sudah saya anggap anak sendiri."

"Mas!" desis Rini, menyikut suaminya reflektif.

Usman hanya melirik. "Apa tho, Dek?"

"Mikire kadohen [mikirnya kejauhan]! Ini Nilam masih lahiran di dalam!"

"Ini namanya future oriented, Dek. Berorientasi ke masa depan. Iya kan, Mas Laksmana?" Usman tersenyum penuh arti.

Laksmana tertawa ringan, "Inggih, Pak," kemudian turut menatap Rini, "tapi saya sepakat sama Ibu. Sekarang yang paling penting Nilam dan bayinya selamat."

•°•°•

Kepada orangtuanya, Sahara menjelaskan kondisi Nilam yang masih di bawah pengaruh anestesi, menjalani observasi post-op di ruang recovery. Sedangkan bayinya baru saja dibawa ke ruang NICU dan saat ini Sahara mengawasi prosedur intubasi. Diagnosis distress pernapasan membuat Usman tidak berpikir dua kali untuk menandatangani informed consent dan pemasangan ventilator segera dilaksanakan.

Berdiri di luar NICU yang dipisahkan oleh kaca bening, Sahara meremasi ponselnya. Kedua matanya tak mampu berkedip, menatap lurus pada makhluk merah yang kepalanya masih lebih besar daripada tubuhnya. Terbujur di meja resusitasi, dikelilingi tangan-tangan berbalut handscoon yang berusaha memasukkan selang melalui hidungnya.

Dua puluh delapan minggu, usia bayi itu.

Usia yang sama dengan kandungan mendiang istrinya saat kecelakaan itu terjadi. Selaput matanya memanas cepat setiap teringat hal ini. Dia sudah kehilangan tujuh bulan lalu. Dia belum siap untuk menemui kehilangan berikutnya.

Kehilangan? Bayi yang bahkan bukan haknya, bagaimana Sahara memiliki rasa tidak rela kehilangan ini?

Segala pemikiran itu hilang bersama dengan selesainya pemasangan ventilator. Sahara menghadang seorang pria berwajah Timur Tengah yang keluar dari NICU, sejawat spesialis anak yang menangani bayi Nilam. Dokter itu mengembus tertahan.

"Ventilator done, surfaktan done, glukosa intravena done. Sisanya aku minta ners pantau setengah jam sekali. Mamanya gimana, Mas?"

Sahara menggeleng kaku. "Belum bangun."

"Begitu bangun ambil ASI-nya."

Sahara menganga. "Sorry?"

"Buat anaknya. Duh!"

"The thing is ...." Sahara mengusap tengkuk. "Aku bukan suaminya, Pra."

"Ya sudah, aku yang ambil."

"What?!"

Dokter anak itu tertawa ringan, menepuk lengan Sahara dua kali sebelum pergi. "You're a doctor, you know what to do, Mas."

Sementara dokter itu menjelaskan kondisi si bayi pada Usman dan Rini yang baru kembali dari musala, Sahara berkacak pinggang, memeras otak.

ASI? Sahara hanya berharap, saat dia memberi tahu hal ini, Nilam tidak serta-merta memukulnya dengan tiang infus.

•°•°•

Dibantu Aini, Sahara membongkar barang-barang kamar penyimpanan mencari benda itu. Ketemu. Pompa ASI elektrik yang dulu digunakan Citra untuk Sagara. Masih ada dan menyala dengan baik. Yah, mungkin. Yang jelas Sahara tidak mencoba di tubuhnya.

"Mama sterilkan ini dulu. Kamu pilih lagi apa yang perlu dibawa. Buat Nilam juga, itu dia sudah punya pembalut maternity belum? Belikan sekalian nanti."

Sahara berdecak lidah. "Urusan itu sama Ibu, Ma. Kenapa aku?"

Bukan Sahara tidak mau, tapi sudah pasti Nilam yang akan mencak-mencak jika Sahara turun tangan menolongnya urusan pembalut. Aini hanya mengangkat bahu ringan dan keluar kamar menuju dapur bersama satu set pompa ASI elektrik.

Sahara mengepaki kembali barang-barang yang berantakan. Mengembalikan semua kardus ke tempat semula. Dia baru akan keluar kamar saat ponsel di saku celananya berdering.

Panggilan masuk dari rumah sakit tempatnya bekerja, Gema Medika.

"Ya?" sahutnya, setelah merapatkan layar di telinga.

"Dok, bayi Nyonya Arunilam. Apnea sentral, hipoksia, dan bradikardi 15 BPM. Resusitasi satu menit respon negatif."

Sahara menyambar kunci mobilnya di meja dan segera menuruni tangga. "Suruh Prabu jangan berhenti. Saya ke sana."

•°•°•

Para pegawai Gema Medika belum pernah melihat Sahara Vrihaspati Iskandar, konsulen bedah yang setenang air itu, berlari di sepanjang koridor rumah sakit dengan raut pias kecuali ketika dulu istrinya melahirkan putra pertama. Tapi pria itu tak punya banyak waktu. Batas waktu penghentian resusitasi bayi prematur sesuai kode etik adalah 10 menit. Dan Sahara sudah menghabiskan 20 menit sendiri untuk berkendara dari rumahnya ke rumah sakit.

Seharusnya saat ini semua sudah kembali normal. Apnea selesai. Saturasi oksigen stabil. Heart rate di atas 100. Dia tidak harus kehilangan-maksudnya, Nilam tidak harus kehilangan lagi.

Ya, seharusnya, menurut Sahara.

Tetapi apa yang disaksikannya saat kakinya mencapai NICU, sungguh kontras dengan harapan.

Usman menangkap istrinya yang ambruk dan membimbingnya duduk di kursi. Pria itu menepuk-nepuk pipi Rini yang kesulitan bernapas karena menangis. Usman bahkan tak mengacuhkan deras air matanya sendiri.

Sedangkan Prabu yang berdiri lemas di depan pasangan itu kini menoleh Sahara, mengatakan kalimat yang tidak pernah ingin dia katakan, dan tidak pernah ingin Sahara dengar.

"I did everything. Sorry, Mas."

•°•°•

Nilam dibangunin nggak nih?

Kusatsu, Shiga, 13 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top