Improvisasi Pertama - 10


Kurang baik apa akutu, belom 130 votes semua udah update. WKWK.

Next 140 votes tiap bab. Kali ini beneran.

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"GIMANA? Bagus nggak, Mas?" tanya Citra, berputar sedikit di depan suaminya, mencari perhatian.

Satu alis Sahara melengkung melihat tingkah Citra berbalut blus barunya. Kepalanya tertunduk seraya mengusap tengkuk, dan bibirnya tak mampu lagi menahan senyum.

"Kok diem? Jawab, dong. Bagus, nggak? Cantik, nggak? Mas suka, nggak?" desaknya lagi, mengerucutkan bibir tak sabar.

Banyak bicara bukanlah karakternya. Sahara mendekat sekaligus mempererat jalinan mata dengan istrinya. Satu lengannya melingkari pinggang Citra, menarik tubuh berisi dua nyawa itu merapat dengannya. Sementara satu tangan lain menelusup di belakang telinga dan menekan tengkuk Citra, memudahkan Sahara mendaratkan ciuman tepat pada bibir yang diinginkannya.

Citra mengerang tertahan, sebelum turut memejam dan mengalungkan lengan pada leher sang suami. Menikmati setiap debar yang tercipta dari peraduan lentur bibir yang saling menyambut.

Sahara akan memperdalam intensitas aktivitas mereka, namun satu sentakan keras menghantam dadanya.

Sahara terpukul mundur, langkah kakinya terasa gontai.

Sahara tersentak saat menyadari semuanya. Sentakan keras itu berasal dari Nilam yang tatapannya membara merah karena amarah yang mengalir deras bersama air mata.

•°•°•

Dua menit berlalu sejak Sahara bergeming seperti patung. Nilam memiringkan kepala dengan heran, melambaikan tangan tepat di depan kacamata dan hidung mancung pria itu.

"Mas Hara? Halooo?"

Ini ketiga kalinya Nilam memanggil namun Sahara tetap bergeming. Tatapannya mengawang kosong seakan nyawanya tidak di sini.

"Mas!" Nilam mengguncang satu lengan pria itu. "Mas kamu kenapa? Jangan kesurupan aku takut!"

"Hah? Ya?"

Ketika Sahara akhirnya mengerjap, Nilam mengembus keras-keras saking leganya. Secara reflektif kepalan tangannya memukul dada pria itu. Matanya mendelik ketat karena marah.

"Mas kenapa, hah?! Jangan nakutin aku! Tiba-tiba nyamperin terus diem ngelihatin aku, lama, dipanggil-panggil nggak nyahut, aku pikir Mas mau makan aku, tau?!"

Otaknya berusaha mencerna, kening Sahara mengernyit. Nilam tidak mendorongnya menjauh. Tidak pula menangis meskipun, ya, perempuan itu geram sebab Sahara tak meresponnya sama sekali selama sekian menit.

Tidak pernah ada Citra. Hanya Nilam di sini.

"Kan! Mas diem lagi!" Perempuan itu mengguncang lengannya lagi. "Ini jadi bajunya buat aku? Aku bawa pulang, ya?"

"I-iya," jawab Sahara linglung.

Tubuh Nilam bergidik entah mengapa. Merinding. Dia bergegas melipat blus itu dan menjejalkannya bersama perlengkapan lain dalam kardus. Bermaksud mengangkat kardus itu lalu lari secepatnya dari sini, namun lengannya ditahan oleh Sahara.

Pria itu mengambil alih kardus seraya melayangkan senyum sopan. "Maaf, saya melamun."

Tak ingin membahas apapun lagi, Nilam bergegas keluar dan turun. Sahara mengikuti bersama perang pemikirannya yang sampai detik ini masih berlangsung. Pecahan kenangannya bersama Citra muncul ke permukaan, namun mengapa tangis kemarahan Nilam yang mengakhiri itu semua?

Rasa-rasanya, ada yang salah dengan isi kepalanya.

•°•°•

Mitoni, atau yang juga dikenal dengan tujuh bulanan, sebenarnya hanya bagian adat kultur Jawa untuk mendoakan tujuh bulan usia kehamilan seorang wanita. Hukumnya tidak wajib, namun Usman dan Rini sepakat mengadakannya untuk Nilam dengan alasan utama lain, yaitu mempererat silaturahmi keluarga. Aslinya, tradisi mitoni terdiri dari beberapa prosesi seperti siraman, pecah telur, sungkeman, dan sebagainya tetapi semua itu ditiadakan.

Hanya berkumpul bersama dan berdoa. Semacam syukuran biasa.

Tujuh bulan menikah dengan Bintang, Nilam belum sedekat itu dengan keluarga besar Bintang karena kesibukan masing-masing. Karenanya saat Rini berkata akan mengundang Bunda Intan, ibu panti Nilam, sungguh bumil itu senang sekali saat menyambut.

"Bunda ke sini sendiri? Naik bis? Kok nggak bilang sama Nilam, minimal bisa Nilam jemput di Arjosari gitu, Bun." Nilam mengeluh saat merangkul wanita kepala lima itu masuk ke rumah.

"Bunda senenge ngangkot ae, Nduk. Enak ada AC-nya. Angin cepoi-cepoi."

"Hih, dasar Bunda nggak nyambung!" Pelukan Nilam semakin mengerat saking gemasnya. Humor ala bundanya masih saja garing, salah satu poin yang sering Nilam rindukan dari seorang Intan.

Setelah memperkenalkan Intan pada keluarga yang sebagian besar dari keluarga Usman, Nilam berniat duduk namun kedatangan rombongan lain mengusiknya. Teman-teman dekat di tempat kerjanya sesama pengajar Bright Brain yang diundang dalam jumlah terbatas. Hanya lima orang, termasuk Karla yang begitu turun mobil langsung memukul perut Nilam.

"Cieee, si Gendut baju baru! Cakep bajunya. Beli di mana, Ndut? Besok pake di kelas, ya, Ndut!"

"Sialan!" runtuk Nilam, mencatut pinggang Karla.

"Bumil ora oleh misuh [nggak boleh misuh]," tegur Fahri.

"Astagfirullah. Aku berdosa banget." Nilam menepuk bibir. "Ayo masuk, yuk. Mas Mana, ayo."

"Iya, sebentar," sahut Laksmana, sebagian tubuhnya masih di dalam mobil untuk mengambil sesuatu. Sebuah ember besar bertutup yang membuat Fahri berinisiatif membantu bosnya.

"Apa ini?" Nilam mengernyit.

"Rujak serut," jelas Laksmana setelah menutup pintu mobil. "Kemarin Ibu pesen buat acara."

"Seember banget ini? Ya Allah Ibuk, baiknya kebangetan, kan aku jadi enak." Nilam terkekeh hendak memeluk ember yang segera dijauhkan Fahri, kemudian lengannya ditahan Karla.

"Eh Gendut, ini buat acara bukan buat kamu."

"Situ kira ini acara siapa buat siapa, hah?" Nilam berkacak pinggang.

"Nggak terus-terusan juga, Ndut. Kamu tiap hari makan ginian."

Orang selalu saja menasihatinya untuk tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan pedas dan asam. Nilam memejam gerah sesaat. "Iya, iya, kan nggak yang sehari seember juga. Satu cup kecil itu pun setelah makan. Dahlah, ayo masuk."

Nilam di belakang, menggiring mereka masuk dan mempersilakan duduk lesehan bersama yang lain. Tetapi lagi-lagi, kendaraan lain datang membuat Nilam harus berdiri dan menerima tamu kembali. Ah, yang satu ini bisa dibilang bukan tamu.

Entah sejak kapan melihat Rover putih Sahara ada di halaman rumah sudah jadi kebiasaan mata Nilam. Lalu merentangkan pelukan pada bocah kecil yang turun dari mobil itu, berlari menghambur padanya, sudah jadi kebiasaan lengan Nilam. Dan tersenyum kecut pada ayah si bocah yang menyusul turun setelahnya sudah jadi kebiasaan wajah Nilam.

Seperti yang sudah-sudah, senyum Sahara Vrihaspati terlalu mahal untuk diobral. Namun pagi ini bukan hanya terlalu mahal, melainkan sold out. Raut pria itu mengeras setelah mengamati Nilam dari ujung kaki ke ujung kepala.

Nilam menyadari itu, mengerutkan alis. "Kenapa, Mas? Kok tegang amat?"

Sahara menggeleng dan memalingkan wajah.

Tak ambil pusing, Nilam segera menyapa Aini dan suaminya, Iskandar. Menyalami ibu dan ayah Sahara yang jarang ditemuinya.

"Nilam sehat, Nduk?"

"Sehat, Pak, alhamdulillah." Nilam membungkuk sopan. "Apa Bapak lagi ndak sibuk? Bapak, Ibu, matur nuwun mau menyempatkan datang ke acara Nilam, nggih."

"Saya bukan presiden, ndak sesibuk itu, kok." Iskandar tertawa ramah, meski Nilam tahu betul owner yayasan Iskandar Foundation ini hanya merendah.

"Monggo, Pak, Bu, Bapak sama Ibu ada di-"

"Enaknya Nilam manggil kita Papa-Mama aja, ya, Pa?" Aini merangkul lengan Nilam, meminta pendapat suaminya. "Kalau Bapak-Ibu nanti rancu sama Pak Usman dan Bu Rini."

Sahara-yang dari tadi diam-menganga.

"Boleh. Citra juga manggilnya Papa-Mama." Iskandar mengangkat bahu.

"Ya? Papa-Mama, oke, Nilam?" Aini tersenyum cerah, yang hanya ditanggapi Nilam dengan ringisan lebar sebab tak tahu harus bagaimana. Kemudian wanita itu mengernyitkan dahi lagi. "Nilam pakai baju ini makin cantik. Aura mamanya keluar. Baru beli kemarin?"

"Bukan, Bu ... eh, Ma." Ringisan Nilam makin kecut saat Aini mendelik. "Dikasih Mas Hara, katanya dulu punya Mbak Citra baru dipakai sekali? Ibu juga nyuruh pakai ini tadi ...."

Iskandar dan Aini menoleh putranya bersamaan.

"What?" Sahara mengernyit.

Iskandar menepuk punggung Sahara dua kali. "Malam ini kita ngopi."

•°•°•

Setahu Nilam, hari ini adalah pertama kalinya Intan bertemu Laksmana, tetapi keduanya akrab dengan begitu cepat. Entahlah, mungkin juga karena bahasan mengenai promo belajar gratis Bright Brain yang belakangan menyasar panti-panti asuhan berhasil menarik perhatian Intan. Wanita itu tampak antusias memperhatikan setiap penjelasan yang keluar dari mulut Laksmana.

"Jadi, ini subsidi silang gitu, ya, Mas Mana? Misalnya si anak ini pinter di mapel A, tapi kurang di mapel B, boleh les gratis di mapel B asalkan mapel A-nya selalu masuk ranking ... berapa besar tadi?"

"Lima besar, Bun," jawab Laksmana. "Hmm. Karena nggak semua anak bisa menonjol di semua bidang, masing-masing punya lebih kurangnya sendiri. Motivasi utama program ini untuk push anak di bidang yang benar-benar dia minati dan kuasai, tanpa mengabaikan bidang di mana dia kurang. Setidaknya di bidang kekurangannya, dia menguasai ilmu dasar saja sudah cukup. Tapi di bidang kelebihannya, kami akan push semaksimal mungkin."

Intan melirik Nilam. "Pus-pus kuwi opo tho [itu apa], Nduk?"

"Itu lho, Bun, kocheng," jawab Nilam asal, otomatis mendapat sikutan Karla.

"Maksudnya digenjot ... eh ... diasah supaya kemampuannya makin sip. Kira-kira gitu, Bun," jelas Karla, diiyakan Laksmana yang meringis malu karena merasa penjelasannya kurang bisa dipahami orang awam.

"Oh, iya iya." Intan mengangguk-angguk. "Jadi kapan cabang Pasuruan ini buka? Nanti Bunda diskusikan dulu sama pengurus lain. Masalah dana terutama, dari yayasan sering rewel."

"Bunda Intan pantinya di mana, ya? Sumber dana dari satu yayasan saja?" tanya Aini di seberang, yang tampak tertarik dengan pembahasan.

"Di Pasuruan, Bu Aini. Ada pemasukan dari donatur dan infak sodakoh juga, tapi kalau ini dapatnya ndak pasti setiap bulan. Disyukuri saja."

Nilam menciut di tempat. Meski namanya sudah terdaftar sebagai donatur tetap setiap bulan, tentu saja mengelola panti berisi dua puluhan anak dengan kebutuhan berbeda-beda pastilah butuh biaya yang besar. Setidaknya Nilam melakukan sesuatu untuk sedikit meringankan beban rumah tinggalnya sejak balita.

Intan kembali memberi tatapan penasaran pada Laksmana. "Kayaknya saya ndak asing sama Mas Laksmana. Apa pernah ke panti sama Mas Bintang, ya?"

"Waduh, rasanya belum pernah, Bun," sanggah Laksmana sopan. "Tapi kalau ke Pasuruan lagi nanti saya mampir tempat Bunda, deh."

Sepasang mata Intan berbinar. "Wah, boleh-boleh. Monggo, Mas. Pantinya di daerah ...."

Pembicaraan didominasi oleh Laksmana, Intan, dan Aini yang tertarik dengan pengelolaan sekolah bagi anak panti. Nilam mundur sejenak berlunjur kaki, menyandarkan punggung, menikmati segelas jus sirsaknya sambil mengamati. Entah mengapa kemudian kepalanya terasa pening.

Nilam pikir, mungkin karena rumah ramai, hari ini perutnya mengalami kontraksi hingga belasan kali. Lima kontraksi panjang dan sisanya hanya kontraksi singkat. Ketidaknyamanan yang dialaminya sejak beberapa menit lalu adalah tanda bahwa dia akan mengalami kontraksi panjang yang keenam.

Nilam berdiri dan diam-diam menyingkir dari ruang keluarga, menuju dapur di mana Rini sedang bertukar pendapat dengan ART mengenai penyajian nasi kuning untuk para tamu. Menyadari kehadiran menantunya, Rini segera menghampiri dengan sorot cemas.

"Nilam kenapa? Pusing, ya, rame? Wis rebahan ae di kamar, Nduk," saran Rini, begitu mendapati butir-butir keringat di kening Nilam.

Nilam mengusahakan senyum. "Dikit. Nggak papa kok, Bu. Nilam duduk sini sebentar, ya?" ujarnya, dan meletakkan diri di salah satu kursi meja makan.

"Bener nggak papa? Istirahat saja, Nduk, biar Ibu yang nemenin tamu. Ini sebentar lagi nasi kuningnya siap."

"Nggak papa, Bu." Dia mengusap lemah lengan mertuanya. "Nilam di sini sebentar, nanti keluar lagi."

Meski masih mencemaskan menantunya, Rini tetap harus melayani tamu. Keluar menuju ruang keluarga bersama ART, ditinggalkannya Nilam di dapur seorang diri. Nilam meregangkan tubuhnya di kursi. Memejamkan mata, mengatur sirkulasi pernapasan, mengusap-usap perut kerasnya agar segera melunak.

Seseorang datang membuat Nilam membuka mata. Rasa tak nyaman menggerayanginya saat tahu bahwa yang mendekat adalah Sahara. Masih sedikit terengah, Nilam berusaha berdiri sebelum Sahara menahan lengannya.

"Nilam duduk saja."

"Mas cari apa?"

"Saya mencari Nilam."

Nilam sedang tidak ingin melihat pria ini. Sungguh. Kepalanya terasa berat seakan ditindih batu besar.

"Kenapa?" Nilam mengerang malas, menolak untuk duduk lagi.

Tadinya Sahara bermaksud untuk langsung saja, namun keanehan raut Nilam mengganggu pikirannya. "Nilam, are you okay?"

"I'm fine. Ini aja? Ya sudah-" Baru saja akan pergi, lengannya ditahan lagi. "Apa lagi, Mas?"

Belakangan, Sahara tak mampu melepaskan matanya dari kulit wajah dan leher Nilam yang tampak lebih kencang. Begitu pula warnanya yang memerah alami akibat pelebaran pembuluh darah, kontras dengan tone putihnya. Karena itu perubahan sekecil apapun dari perempuan ini tak bisa diabaikannya begitu saja.

"Nilam tidak baik-baik saja."

"Iya, kepalaku sakit!" Susah-payah Nilam menahan diri agar tidak menjerit. "Mas mau apa? Bilang!"

"Tentang vonis untuk anak itu." Sahara berhati-hati. "Apa Nilam sudah dengar?"

Hal yang sukses memancing perhatian Nilam. Pasalnya, Usman dan Rini memang tertutup tentang ini di depan Nilam. Nilam cukup mengerti bahwa mertuanya hanya ingin menjaga mentalnya selama kehamilan yang riskan ini.

"Apa? Apa vonisnya ...?"

"Seperti yang pernah saya katakan, satu setengah tahun."

Pendengaran Nilam berdenging.

Keadilan sifatnya relatif, apa yang setimpal menurut pihak yang dirugikan belum tentu tepat di mata hukum. Nilam tahu itu. Nilam sangat mengerti. Tetapi logikanya menolak mentah-mentah bahwa kematian Bintang dan status yatim bagi putrinya yang disematkan bahkan sebelum lahir dinilai sepadan dengan satu setengah tahun. Satu setengah tahun sialan yang kini membengkakkan sesak di dada.

Air mata Nilam menuruni wajah hampanya.

Semua meredup dan berakhir gelap. Nilam tak lagi melihat apapun.

"Saya ingin memeluk Nilam, apa boleh?"

Dunianya senyap, Nilam tak lagi mendengar apapun termasuk permintaan izin Sahara barusan. Hatinya telanjur mati hingga semua indranya menolak untuk berfungsi. Hanya napas dan air mata yang tersisa pada tubuhnya, bahkan Nilam kini tak mampu merasakan jiwanya.

Sahara berhenti menunggu. Dengan atau tanpa persetujuan, diraihnya perempuan rapuh itu berada dalam dekapan. Dia merasakannya. Luka karena ketidakadilan itu, Sahara tahu persis bagaimana rasanya. Ketika jemari gemetarnya berhati-hati mengusap kepala dan punggung Nilam-sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya-perempuan itu mulai bereaksi.

Nilam tertawa.

Tertawa, juga terisak.

Terisak, dan tertawa lagi. Berulang-ulang. Sahara mengeratkan lengannya sebab kedua matanya kini panas dan berair. Dan meski dia sadar betul bahwa Usman, Rini, Iskandar dan Aini berturut-turut datang ke dapur menyaksikan semuanya, Sahara tak berniat melepaskan Nilam.

Namun kemudian Sahara merasa keseimbangannya terganggu, sebab Nilam tak lagi mampu menopang tubuh sendiri. Perempuan itu tak sadarkan diri, dan Sahara melihat aliran darah segar dari dalam Nilam telah sampai di mata kaki.

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 11 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top