Improvisasi Pertama - 09
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"GARA! Tungguin Tante dulu, ya ampun!"
"Ayo Ante cepetan yobot Bambumbim nanti pelgi!"
"Nggak bakal! Itu kostumnya berat, mana bisa dia lari, Gara!"
"Ayooo! Ayo, Ante, yobot Bambumbim!"
"Mas Hara! Itu jagain anakmu dulu, haduuuh! Biar aku yang milih baju!"
"Ah, iya, iya."
Mendengar geraman Nilam, Sahara segera menggantung kembali jaket bayi di tangannya ke tempat semula. Pria itu mendesah dan berlari ke luar gerai baby shop, mengejar putranya yang mengejar seseorang dalam kostum Bumblebee-salah satu robot dalam film Transformer-karena ingin berfoto bersama. Nilam mengamati kepergian keduanya dengan kepala tergeleng menahan geregetan.
Setelah tahu bahwa sang janin berjenis kelamin perempuan, semangat Nilam untuk belanja perlengkapan bayi meluap-luap. Meski usia kandungannya masih di akhir trimester dua, dan semua orang di sekitarnya menasihati untuk tidak membeli perlengkapan karena toh nanti dapat kado, Nilam tetap ngotot. Dia calon ibunya, dia berhak menentukan apa yang akan dia persembahkan untuk menyambut putri kecilnya. Pilihannya sendiri, bukan kado.
Kadonya nanti kadoin ke orang lain, pikirnya enteng.
Maka di sinilah dia, saat weekend, di sebuah mall di bilangan Veteran berkeliling demi perlengkapan bayi. Bersama Sagara yang merengek ingin diajak jalan dan tentu saja harus didampingi Papanya. Sampai di salah satu gerai baby shop, anehnya, Sahara tidak kalah bersemangat ingin membeli pakaian mungil ini-itu. Membuat Nilam berdecak heran. Ini bayi siapa, yang rempong siapa?
Menjinjing sebuah paper bag berisi baju bayi model kimono, Nilam keluar gerai dan menuju titik di mana pasangan ayah dan anak sedang berinteraksi dengan model Bumblebee. Tampak Sagara sedang berpose dengan Bumblebee dan Sahara berdiri sekian meter di depan, mengambil foto. Sahara baru menyadari kedatangan Nilam setelah perempuan itu tiba di dekatnya.
"Mas temenin Sagara. Sini, aku yang fotoin," tawar Nilam, mengulurkan telapak tangan.
Sebaliknya, Sahara mengambil paper bag Nilam dengan sopan. "Nilam dan Sagara saja."
Nilam mengernyit. "Lah? Yang orang tuanya Sagara sia-"
"Papa sama Mama juga ikut gabung saja sama si Adik, ya? Biar saya fotokan." Seorang pria ramah berseragam yang merupakan pegawai mall dengan sigap datang dan menawarkan bantuan sebagai kamerawan untuk mengambil foto.
Sudah kenyang selalu disangka Nyonya Sahara, Nilam tersenyum lebar mengampiri Sagara dengan kaki mengentak-entak. Sahara pasrah mengikuti di belakang. Jika boleh jujur, dia kurang suka foto bersama seperti ini, sebab ....
"Papa, tolong geser sedikit ke Mama. Jangan jauh-jauh," pinta si pegawai mall yang membidik dengan ponsel Sahara. "Nah, oke, sip," katanya lagi, setelah Sahara merapat hingga lengannya bersinggungan dengan Nilam.
Secara reflektif Nilam menahan napas saat aroma tubuh Sahara mengusik penciumannya.
Baru saja dia pikir semua ini akan selesai, si pegawai mall kembali berkomentar, "Papa, senyum dong," yang otomatis membuat Nilam melengos dan menyikut Sahara.
Ya, Sahara menghindari berfoto sebab semua orang memaksanya tersenyum disaat sebenarnya-menurut otot-otot wajah dekat bibirnya-dia sudah tersenyum, demi Tuhan! Apalagi yang kurang?!
Namun demi mempersingkat waktu, mengingat bumil di sisinya ini sensitif bukan main, Sahara mengalah dan sekuat tenaga menarik sudut-sudut bibirnya. Melengkungkan senyum terbaik yang mampu dia tampilkan.
•°•°•
"Senyum? Senyum apaan, nyengir kuda ini sih," cibir Nilam spontan setelah berselonjor di salah satu kedai lesehan food court mall. Dengan kesal diletakkannya kembali ponsel Sahara di meja.
Sahara yang baru kembali dari cuci tangan hanya mampu meringis.
"Papa ganteng, kok, Papa ndak kuda," protes Sagara tidak terima.
"Papa ganteng, tapi masih gantengan Om Bintang." Nilam menjulurkan lidah.
Sahara menepuk-nepuk puncak kepala putranya. "Papa ganteng, tapi yang paling ganteng Sagara."
"Iya, dong!" bangga bocah itu, kemudian berpindah dan melingkarkan lengan di perut bundar Nilam. "Kalo Ade yang paling tantik. Iya kan, Ade ecil?"
Perutnya terasa sesak, Nilam tertawa dengan sedikit terengah. Hangat mengaliri hatinya karena kata-kata polos Sagara. Dia memindahkan jemari kecil itu ke titik lain di mana Nilam merasakan adanya tekanan dari dalam.
Sagara menengadah, menunjukkan sorotnya yang berbinar cerah. "Adena tendang-tendang!"
"Ho oh. Lucu, kan?" Nilam tertawa, membawa kepala Sagara merapat di perutnya. "Nih, Sagara denger nggak?"
"Dengey!" serunya.
"Dengar apa?" Sahara mendekatkan duduknya.
"Dengey Ade bilang 'Samyang ikum, Mas Sagaya!' gitu."
Kontan Nilam memelotot. "Samyang sebelah mananye, Bambaaang?! Assalamualaikum, Gara, assalamualaikum! Ayo ikutin Tante coba! Assala ... mu ...."
Meski berkali-kali mencoba, keterbatasan lidah Sagara memang belum mampu melafalkan salam dengan fasih. Nilam memaklumi hal ini, memeluk erat bocah itu dan sesekali menggelitiki perut kecilnya. Sagara tergelak heboh tak mampu menahan geli.
Sahara terdiam seolah terhipnosis interaksi keduanya. Dia mengingat-ingat kapan terakhir kali putranya tertawa selepas ini setelah kepergian Citra. Ada baiknya juga dia sering meninggalkan Sagara bersama sang Kung dan Uti, anak itu bisa saling menghibur dengan orang-orang di rumah itu. Termasuk Nilam yang belakangan lebih rajin tersenyum, yang menurut Sahara lebih enak dipandang daripada versi cemberutnya.
"Ante, lihat foto Bambumbim lagi," rengek Sagara, meminta dibukakan galeri ponsel Sahara.
Sementara Sagara menggeser-geser layar, sesekali terkekeh melihat berbagai pose si model Bumblebee, Nilam kembali menyandarkan punggung di dinding. Meluruskan kaki-kakinya yang pegal, kemudian menekan-nekan betis yang terasa berdenyut sesak. Bukan hanya perutnya yang membesar, kaki Nilam juga mengalami pembengkakan sebagai salah satu efek samping kehamilan. Nilam harus berdamai dengan itu setidaknya untuk tiga bulan ke depan. Mungkin juga lebih pascamelahirkan.
Seorang pramusaji datang mengantarkan minuman pesanan mereka. Nilam segera meraih mangkuk es serutnya, begitu pula Sagara yang menikmati milkshake. Nilam baru akan menyuapkan sebuah kolang-kaling ke mulut saat sudut matanya menangkap Sahara, entah sejak kapan pria itu tersenyum padanya.
Nilam menurunkan sendok. "Mas mau? Nih, belum aku makan."
Sahara menggeleng pelan. "Nilam saja," tolaknya, kemudian mengusap tengkuk. "Apa Nilam capek? Apa mau kalau dipijat kakinya?"
Berpikir sesaat, Nilam lantas mengangguk disertai senyum. "Boleh, deh."
Enam bulan lebih mengenal Sahara, kesopanan luar biasa yang ditunjukkan pria itu masih saja membuat Nilam takjub. Meski di awal sempat terasa cringe, namun seiring waktu yang membiasakannya, mata Nilam kini semakin terbuka. Sahara memang sedatar, sekaku, dan semembosankan itu, tetapi dia juga setenang, sesabar, dan senyaman ini untuk Nilam andalkan di sisinya.
Sahara jarang bersuara jika menurutnya tidak ada yang penting. Berbasa-basi bukanlah gayanya. Seperti saat ini, tangannya memijati tungkai bawah Nilam, dan bibirnya hanya tersenyum dalam diam.
Nilam meraih ponsel Sahara di atas meja. Mengakses kamera, lantas membidik wajah sang pemilik ponsel yang tidak menyadarinya. Nilam tersenyum mengangsurkan hasil tangkapannya di depan Sahara.
Seketika gerakan tangan pria itu terhenti.
"Mas Hara itu sebenarnya fotogenik. Senyum Mas itu enak dilihat. Lebih natural difoto candid begini daripada kalau senyumnya karena disuruh. Coba deh, Mas sering-sering senyum seminggu ini aja. Pasti perempuan satu rumah sakit mau daftar seleksi jadi Mamanya Sagara."
Sahara merebut dan menyimpan ponselnya di saku dengan gerakan canggung, kemudian kembali memijati bumil yang sudah lancang karena mengusik ketenangan jantungnya.
"Saya tidak berpikiran untuk menikah lagi."
"Kenapa? Sedikit banyak, Sagara perlu sosok mama."
Kali ini Sahara menatapnya. "Nilam bagaimana? Apa Nilam memerlukan sosok ayah untuk si kecil ini?"
Nilam menggeleng mantap. "Ada Bapak. Ada Ibu. Ada aku. Bertiga sudah cukup buat kita, iya kan, Sayang?" lalu, dia tertunduk mengusapi perut.
"Saya juga berpikiran yang sama," tambah Sahara, tersenyum. "Ada Papa-Mama saya. Ada Bapak-Ibu. Bahkan ada Nilam yang bisa dekat dengan Sagara. Bagi saya semuanya cukup, tidak ada yang kurang."
Membalas senyum Sahara, Nilam mengangguk paham. "Ya. Kalau Mas butuh aku buat ngurus Sagara, jangan sungkan bilang, ya?" Dia menepuk-nepuk puncak kepala bocah yang dimaksud. "Sagara kesayangannya Mas Bintang, jadi sekarang kesayanganku juga."
"Saya harap Nilam juga tetap seperti ini terhadap saya. Tidak malu meminta ini-itu. Marah jika perlu. Untuk Nilam dan si kecil, saya selalu membuka pintu."
Kalimat yang diucapkan sekaku biasa itu, entah mengapa, siang ini terasa berbeda hingga menghangatkan pipi Nilam.
•°•°•
Tidur Sagara pulas sekali. Balita itu tidak terbangun setelah Sahara menaruhnya di ranjang berhati-hati. Sebelum keluar kamar, Sahara menutupi tubuh kecil itu sebatas dada dengan selimut.
Ketika Sahara menutup pintu, Nilam sedang terdiam di depan almari kaca besar yang menyimpan foto-foto keluarga. Kebanyakan adalah foto Citra dan Sagara. Nilam tersenyum samar pada salah satu frame di mana dia berkebaya putih tulang, Bintang memakai beskap warna senada, mereka merapat di tengah. Sedangkan Sahara dan Citra berdiri di kanan-kiri dengan batik seragam. Si kecil Sagara terselip malu-malu di depan Nilam dan Bintang.
Foto yang masih sangat baru, tujuh bulan yang lalu.
Sudut matanya berair, Nilam beralih dari almari itu karena tidak ingin menangis di rumah Sahara. Namun saat dia berbalik, sang tuan rumah sudah ada di sana. Seolah mengerti, Sahara tak membahasnya dan hanya tersenyum.
Seorang wanita yang tidak asing muncul dari arah dapur dengan senampan kudapan yang segera diletakkan di meja tamu. Nilam bergegas menghampiri wanita itu dan menyalaminya sopan.
"Nilam apa kabar? Sehat, Nduk?" sapa Aini, wanita itu, masih merangkul Nilam.
"Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu sehat?"
"Alhamdulillah. Sudah berapa bulan ini? Cewek cowok?" selidik wanita itu, mengusap pelan perut Nilam.
"Mau masuk tujuh bulan, Bu. Hasil USG kemarin katanya cewek." Nilam tersipu.
"Ra! Hara, cewek, Ra!" Tiba-tiba saja Aini memukuli lengan Sahara, membuat putra semata wayangnya itu meringis. "Masya Allah. Bu Rini sama Pak Usman pasti seneng banget cucunya lengkap. Sehat-sehat, yo, Nduk. Dimudahkan, dilancarkan, sehat selamat ibu dan baby-nya ...."
"Aamiin, aamiin!" Nilam turut mengusap perutnya. "Makasih, Bu. Matur nuwun, Uti." Dia menirukan suara balita.
"Ma, baju-baju kemarin masih ada di atas?" sela Sahara.
"Ada, ada!" Aini membulatkan mata pada Nilam. "Nilam mau pilih, ya? Ada di atas, Nduk. Mama simpan di kardus-kardus. Kemarin mau disumbangkan tapi begitu tahu Nilam hamil, kata Mas Hara jangan dulu. Nilam naik sama Mas Hara, ya? Mama masih nunggu bolu kukus."
Sesuai instruksi Aini, Nilam menapaki anak tangga menuju lantai dua bersama Sahara yang menjaga di belakangnya. Mereka menuju sebuah ruangan yang dikhususkan untuk menyimpan barang-barang lama. Sahara menurunkan dua kardus dari atas lemari yang kemudian diletakkan di lantai.
Nilam berlutut di sisi Sahara, mengamati pria itu mulai membongkar isi kardus satu-persatu.
"Ini baju lengan panjang setengah lusin, lengan pendek setengah lusin, celana panjang, celana pop, topi ...."
Nilam mulai memilih pakaian bayi yang diperlukannya, dengan beberapa masukan dari Sahara. Semuanya adalah barang-barang yang dibeli Citra untuk putri mereka yang kini telah pergi bersamanya. Nilam tersenyum, ada rasa perih bercampur haru menyengat dadanya saat melihat pakaian mungil itu kini berpindah tangan untuknya.
Nilam menutup kardus yang telah dia pilah, berisi perlengkapan yang akan dibawanya pulang. Perhatiannya kini beralih pada Sahara yang terdiam di depan lemari, memegangi sebuah kain.
"Apa itu, Mas?" tanya Nilam, menghampiri.
Sahara terkesiap sebelum menjawab, "Punya Citra," kemudian tersenyum menunjukkannya. "Nilam mau? Baru dipakai satu kali."
Tanpa menjawab, Nilam menerima pakaian biru pastel itu. Dia menjabarkannya di udara, sebuah blus hamil selutut model baby doll yang sederhana. Menghadirkan kesan manis yang mengundang senyum Nilam.
"Buatku? Boleh, Mas?"
"Yah," Sahara mengusap tengkuk, "tidak mungkin saya pakai, kan?"
Nilam segera menghampiri sebuah standing mirror di sebelah lemari untuk mematut diri. Mengepaskan bahu si blus dengan bahunya sendiri, bergerak-gerak kanan-kiri, mengamati bayangannya di cermin.
Dia tampak menawan bahkan sebelum pakaian itu dicoba. Setidaknya, menurutnya sendiri.
Nilam berbalik, menunjukkannya pada Sahara. Tersenyum riang sembari berputar-putar kecil di tempat.
"Gimana? Bagus nggak, Mas?" tanyanya.
Sahara tertunduk, berusaha menahan senyum yang terkembang.
"Kok diem? Jawab, dong. Bagus, nggak? Cantik, nggak? Mas suka, nggak?" desaknya lagi.
Masih tidak menjawab, Sahara mendekat. Sepasang lengannya melingkar di pinggang Nilam, membawa perut berisi itu merapat dengannya. Sementara satu tangan lainnya menyelipkan jemari di balik daun telinga perempuan itu.
"Mas?" Nilam tidak mengerti, sebab selama ini Sahara selalu minta izin terlebih dahulu untuk menyentuhnya, bahkan meski sekadar di ujung rambut.
Pria itu kini menatapnya dengan sorot berbeda, yang baru pertama kali Nilam rasakan dari iris hitam pekat di balik kacamata itu. Tatapan yang berangsur redup sebab sang pemilik mata memejam perlahan, mengikis jarak, dan menyapu bibir Nilam dengan kelembutan yang berasal dari bibirnya sendiri.
Pupil Nilam membesar.
•°•°•
130 votes di semua bab untuk yang mau lihat Mas Hara kena tabok🤟🏻
Kusatsu, Shiga, 10 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top