Improvisasi Pertama - 08

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"NGERASA nggak, sih, Mas, si Nilam makin bening?"

Celetuk Karla mengundang tatapan bertanya dari Laksmana yang spontan menurunkan separuh kacamata di hidungnya. Beralih dari layar PC di meja kerjanya.

"Terus kenapa?"

"Ya nggak papa, sih." Karla mengulum senyum, membenahi posisi duduknya di depan sang atasan. "Pregnancy glow-nya kerasa. Udah trimester dua kan, ya? Enak aja gitu dilihat, daripada kemarin dikit-dikit muntah lah, nangis lah, ngamuk lah."

"Can't help with that." Laksmana mengangkat bahu dan kembali mengamati daftar berkas di layar. "Ditinggal seminggu setelah nikah, dan hamil, what could be worst?"

"Ngebesarin anak sendirian, Mas," ungkap Karla serius, melipat lengan di atas meja dan mencondongkan tubuh. "Beneran deh. Mas harus dampingin si Nilam mulai sekarang. Sejak Mas Bintang nggak ada yang mepetin dia banyak. Mas tahu papanya Asyila? Kemarin pulang dari Jepang ngasih Hermes Birkin designed by Ginza Tanaka yang made out of platinum itu lho, Mas! Astaga tapi untungnya ditolak sama Nilam."

Tidak paham barang apa yang dibicarakan Karla, maka Laksmana hanya tersenyum. "Bagus, deh."

"Bagus sih bagus tapi aku nggak suka, Mas! Nilam itu mau dijadiin bini kelima!"

"Nilam nggak mungkin mau," jawab Laksmana santai.

Karla menjentik di depan bosnya. "Wake up, Mas. Bini kelima jelas nggak mau. Tapi bini kedua masih okelah."

"Hmm?" Laksmana melirik sekilas.

"Yang setiap hari anter-jemput Nilam itu lho, Mas. Iparnya Mas Bintang. Waktu istrinya meninggal dalam kondisi hamil, kan? Dan sekarang iparnya Mas Bintang itu protektif luar biasa ke Nilam. Mas tahu nggak, tadi pagi di pakiran aku lihat Masnya itu makein jaketnya buat Nilam. Astaga, Mas, aku lihatnya dari jauh doang baper mana pake diem tatap-tatapan dulu segala. Habis itu dipeluk, Mas! Nilam dipeluk sama Masnya itu! Sumpah! Berasa nonton live kapten Ri dan Seri-"

"Done. Aku email ke kamu," potong Laksmana.

"Ya?" Karla mengerjap.

"Format Kartu Hasil Studi yang baru. Minta itu, kan? Ada lagi?"

Karla mengulum lidah. Dari gesturnya, jelas Laksmana tidak ingin jam kerjanya terbuang percuma dengan menggosip. Karena itu Karla segera keluar setelah sebelumnya secara formal berterima kasih.

•°•°•

"Mbak Nilam, tambah cakep, deh!"

Sambil terus merapikan alat tulisnya, Nilam berdecak malas. "Biar kamu bayar Rizky Billar buat ngerayu Mbak, Mbak nggak akan benerin jawaban akhir nomer limamu tadi, Fan."

Pemuda SMP yang disebut Fandi itu mengentak gemas. "Mbak beneran cakep, kok. Abangku kemarin tanya, itu yang rambutnya sebahu namanya siapa? Aku bilang itu istri orang, Bang, baru deh mingkem. Ayolah, Mbak, aku cuma salah hitung hasil akhirnya doang. Caranya kan bener. Nggak seratus nggak ada iPhone 12 Pro, nih ...."

Meraup napas dalam, Nilam lantas menggeleng disertai senyum dan mengacak puncak kepala bocah berkaus biru itu sebagai penutup. "Next time, minta Imoo Watch aja supaya nggak kecewa kalo nggak seratus."

"Yaelah, Mbak!"

Nilam tak menghiraukan meski anak itu mengikutinya dengan repetan protes, yang justru ditanggapi Nilam dengan kelakar lain. Tawar-menawar berakhir ketika Laksmana mendekat dan melayangkan tatapan bertanya.

"Kenapa ini?"

"Tuh Mas, ada yang dijanjiin iPhone. Aku bilang udahlah Imoo aja. Keren kan, bisa nyemplung air, iPhone mana bisa?"

Laksmana tertawa ringan merangkul bahu Fandi yang makin menekuk muka. "Bro, jangan ngelawan emak-emak. Apalagi emak-emak hamil kek gini, kudu diwaspadai. Tuh Abang kamu nunggu di lobi ngardusin resepsionis. Bawa pergi sana!"

"Hih, udah dikasih tau jangan tebar pesona juga. Yaudah Mas, Mbak, assalamualaikum!"

Keduanya menatap kepergian Fandi yang bergabung dengan teman-temannya, sebelum Laksmana mengalihkan senyumnya pada Nilam. Berjalan bersama menuju kantor.

"Feeling better, Lam?"

Yang ditanya berpikir sesaat. "Memang aku kenapa?"

"Kemarin-kemarin kalo ada sejenis Afandi barusan kamu bakal jadi macan betina."

"Maaf, ya, lima tahun ini Mas mempekerjakan macan betina." Nilam mengulum senyum. "Entah, sih, udah mulai terbiasa aja, Mas. Terbiasa capek, pegel, mual, sakit pinggang, sakit kepala, nangis, kesepian ... kek udah hampir kebas aja."

Laksmana mengangguk kecil. "Di Suhat ada warung pizza baru. Mau ke sana?"

"Kapan? Sekarang?"

"Iya lah. Habis kelas kamu nggak mau makan sesuatu?" Laksmana melirik arlojinya. "Nunggu maghrib di sini, makan malam di sana."

Nilam menghentikan kakinya. "Aku waktunya kontrol, Mas, sore ini."

"Hmm? Oke aku antar."

"Tapi aku sama Mas Sahara."

Telinga Laksmana berdenging mendengar nama itu. Bibirnya mengembus tipis, sementara sebagian besar udara masih terperangkap di paru-parunya.

"Kalo gitu this time, sama aku."

"Gitu, ya?" Nilam membulatkan mata. "Emang pizzanya seenak itu, Mas? Lagi soft opening? Coba aku izin ke Mas Hara dulu. Soalnya Bapak sama Ibu suka khawatir kalo aku pulang telat tapi nggak sama Mas Hara."

Alasan yang mengganggu pikiran Laksmana, namun dia tahu Nilam tidak mungkin mengada-ada soal ini. Terlebih Nilam memang menghormati Usman dan Rini selayaknya orang tua kandung. Perempuan itu segera menghubungi Sahara untuk meminta izin, lalu detik berikutnya menoleh Laksmana kembali sambil menurunkan ponsel, tanpa memutus sambungan suara.

"Mas Hara tanya, makan sama siapa saja? Aku, Mas Mana, siapa lagi?"

Laksmana berdecak. "Berdua."

Bahkan kalaupun pergi beramai-ramai dan Nilam menyebutkan nama teman-temannya, Laksmana sangat yakin pria di telepon seberang itu juga tidak mungkin kenal. Benar kata Karla, seseorang sedang bersikap overprotektif pada Nilam.

"Berdua, ya?" Nilam mengulang. "Bentar."

Nilam kembali ke sambungan telepon. Setelah beberapa kali mengangguk, mengiyakan sesuatu, tertawa kecil, perempuan itu menyimpan ponsel dan kembali pada Laksmana.

"Kata Mas Hara harus pulang sebelum jam 9. Ayo."

•°•°•

"Selamat datang, Kak. Silakan duduk dengan nyaman dan selamat menikmati sugar free lemon tea kami."

Nilam senang sekali, segera duduk di sofa dan menenggak habis segelas kecil welcome drink yang tersedia di meja. Dia memang sangat haus (dan bosan) setelah satu jam lebih berada di ruang tunggu pasien. Laksmana tersenyum mengamati, lantas menggeser gelasnya pada Nilam yang kemudian tersipu malu.

Setelah mencatat pesanan, pramusaji itu undur diri. Nilam melipat lengan di meja. Pandangannya beredar menyapu seisi interior ruangan yang berkonsep modern urban didominasi warna putih, silver, dan cokelat. Untuk beberapa saat matanya hinggap pada sepasang muda-mudi di sudut ruangan, sampai suara shutter kamera di depannya memecah lamunan.

Nilam segera merampas ponsel Laksmana, melihat hasil foto candid-nya, lalu mendecih.

"Gendut."

Baru saja dia akan menghapus foto itu sebelum sang pemilik merebut ponselnya kembali.

"Ini namanya berisi. Cakepan kok, emang bener kata Afandi." Laksmana mengangguk, menyimpan ponselnya di saku celana. "Anyway, ners di klinik tadi bigos, ya? Aku dikira suami kamu."

"Iya. Biasanya aku dikira Nyonya Sahara yang baru. Malesin. Cukup Mbak Citra doang yang mau-maunya punya suami muka kayu jati amplasan begitu," decih Nilam, yang seketika menguapkan tawa Laksmana.

Begitu pula dengan hatinya yang berangsur kelabu. Laksmana menghempaskan punggung di sofa, menatap lekat perempuan di sisinya yang justru senyam-senyum tidak peka, mengeluarkan buku KIA dari tas. Nilam menyandarkan hasil USGnya malam ini pada sebuah vas kecil di meja untuk mengambil foto dengan kamera ponsel.

Laksmana merapat di lengannya, mencari tahu apa yang dilakukan perempuan ini. Tampaknya Nilam mengirimkan foto digital tersebut untuk seseorang.

"Sahara lagi?" gumam Laksmana.

Nilam menoleh sekilas. "Tau aja. Buat bukti."

"Dia minta?"

"Nggak, sih. Pengin ngabarin aja."

"Apa dia sepenting itu?"

Nilam meletakkan ponselnya di meja. Kali ini benar-benar menghadap Laksmana dengan sorot bertanya yang kuat dari kedua matanya.

"Maksudnya gimana?"

"Sahara itu," lekat, Laksmana mendekat, membuat Nilam tak dapat berkutik di bawah tatapan pria itu. "Kenapa dia antar-jemput kamu setiap hari? Kadang dia datang cuma untuk nganterin makan siang dan mastiin kondisimu. Dia juga selalu nemenin kamu kontrol. Kenapa kamu harus ngabarin semuanya ke dia segala? Memangnya dia siapa, Nilam?"

"Dia siapa? Mas Hara ya mantunya Bapak-Ibu lah, sama kayak aku. Mas Mana kenapa, sih?" selidiknya curiga, dan tiba-tiba terbelalak. "Astagfirullah! Mas nggak nuduh aku duain Mas Bintang terus Mas Bintang meninggal gara-gara aku, kan?! Seriously, Mas?!"

Bola mata Laksmana berputar. "Nggak gituuu ...."

"Ya terus apa!" desak Nilam tersinggung. "Mas Hara baik ke aku ya karena dimintain tolong sama Bapak-Ibu, Mas! Karena Mas Hara memang sehormat itu sama Bapak-Ibu! Aku nggak pernah duain Mas Bintang, apalagi Mas Hara, nggak mungkin main api di belakang Mbak Citra! Jangan nuduh tanpa bukti!"

"Bukan, Nilam, bukan itu. Aku-" Laksmana memejam lelah, menyugar rambut, "maksudku, bukan sebelum Bintang pergi. Tapi setelahnya. Kalian itu dekat setelah pasangan masing-masing pergi. Mbak Citra meninggal sama bayi dalam kandungannya, am I wrong?"

"Terus?!"

"Maybe ... just maybe ...." ragu-ragu, Laksmana mengembus tertahan, "he mistakes you from her."

Kalimat itu terasa bagai seember es batu diguyurkan ke kepala Nilam. Perempuan itu membeku.

"Nggak mungkin!" Dia membantah begitu tersadar kembali. "Mas Hara itu-"

Sahara itu, tidak sedikit pun menaikkan intonasinya meski Nilam menjerit-jerit tepat di depannya hingga pita suara perempuan itu mau putus.

Sahara itu, seperti penjinak bom waktu, memijati kepala Nilam setiap kali dia terlihat akan meledak. Tidak jarang Sahara menawarkan pijatan di lengan dan kaki sebab dia tahu persis lelahnya wanita mengandung berlipat-lipat dari wanita biasa.

Sahara itu, adalah inspektur yang sangat ketat mengawasi apa-apa yang Nilam konsumsi. Harus lolos screening Sahara. Harus bersih, tanpa pemanis dan pengawet artifisial, memenuhi pedoman gizi seimbang, dan tentu saja harus sesuai selera Nilam-si bumil yang rewel.

Sahara itu, sangat menjunjung tata krama. Begitu santunnya hingga dia selalu meminta izin terlebih dahulu, setiap kali Nilam menginginkan aroma tubuhnya, dan mereka ....

Ah, tidak, tidak.

Nilam menggeleng cepat. Menyingkirkan semua prasangka aneh yang menggerayangi pikiran. Tiba-tiba saja selera makannya hilang.

Nilam kembali tersenyum tipis pada Laksmana.

"Take away aja ya, Mas. Aku capek."

•°•°•

Wah dapet juga seratus. Yang ini seratus dua puluh deh. Wkwk

Ngetik lagi sambil kathuken.

Kusatsu, Shiga, 8 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top