Improvisasi Pertama - 07
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
TEPAT seperti prasangka Sahara, detik berikutnya setelah mengatakan itu, Nilam menyemburkan amarah tepat ke wajahnya dan tak mungkin ditangkis lagi.
"Bilang apa Mas barusan? Aku nyari aroma tubuh Mas?! EMOH! Eh, Mas, mbok ya mikir! Disodorin muka Mas doang aku tuh mabok apalagi mepet-mepet Mas! Lagian Mas itu siapa sok yang wanginya paling aduhai se-Malang Raya?! Juragan parfum seribu bunga?!"
Sahara mengulurkan telapak tangan. "Tangan Nilam, kemarikan."
"Hah?!"
"Ayo," bujuknya, melunakkan senyum yang entah mengapa tampak teduh, "saya masih punya sesuatu untuk Nilam," dan sukses menghipnosis perempuan itu untuk meletakkan jemari kanannya di sana.
Sebelum Nilam menyembur lagi, Sahara membimbingnya kembali bersandar punggung di kursi.
"Tutup mata."
"Mas nggak usah macem-ma-"
Protes Nilam terputus oleh Sahara yang menutup matanya dengan satu tangan lain yang tidak menggenggamnya. Namun kali ini lidahnya terasa lumpuh. Berondongan amarah yang siap dia muntahkan tertelan kembali saat jemarinya mendapat pijatan-pijatan yang melemaskan saraf tegang di sekitar itu.
Masih menutup mata, Nilam meringis, antara menyindir sekaligus menikmati.
"Mas mau saingan sama Mbah Jum?"
"Lebih enak saya atau Mbah Jum?"
"Mbah Jum dong, tersertifikasi ISO."
Paling tidak Nilam sudah tersenyum meski masam, sudah cukup melegakan dada Sahara. Lima menit berikutnya dia selesai dengan lengan kecil itu, kemudian merebahkan setengah jok Nilam yang kontan membuat perempuan itu terbelalak.
"Mas-"
Nilam melupakan protesnya lagi saat ibu jari Sahara menutup matanya, lantas mengusap pelipisnya, melakukan yang sama seperti saat di teras minggu lalu. Tekanan demi tekanan di kepalanya bekerja selayaknya air mengalir, membilas impuls negatif yang akhir-akhir ini berkerak dan mengeruhkan kinerja otaknya.
Dan mungkin harus Nilam akui ... memang rasa tubuh pria ini yang dicari hidungnya.
Nilam tergelitik untuk mengangkat kelopaknya, sedikit saja, namun sapuan lembut ibu jari Sahara kembali menutupnya.
"Kalau wajah saya memang mengganggu Nilam, saya akan memakai topeng tadi, atau Nilam saja yang menutup mata. Tapi saya akan tetap beredar di sekitar Nilam, selain karena Bapak menitipkan Nilam pada saya, keberadaan saya bisa menenangkan perut Nilam."
"Pede banget."
"Apa ... Nilam juga mual setiap saya bicara?"
Ada yang menyentil hatinya. Nilam membuka mata, tetapi Sahara yang begitu rapat di depannya segera menutupkannya kembali.
"Nilam bisa tutup mata supaya tidak harus melihat saya. Saya akan diam supaya Nilam tidak dengar suara saya."
"Kalau aku nabrak gimana? Kalau aku kesandung terus jatuh gimana?"
"Itu tidak mungkin selama Nilam bersama saya."
Dengan mata tetap tertutup, Nilam tidak bisa menahan senyumnya. "Memangnya Mas bisa apa?"
Sahara turut tersenyum. "Hanya ini. Bagi saya, Nilam merasa nyaman dan tidak terganggu dengan keberadaan saya, itu saja sudah cukup."
Nilam tak ingin membalas lagi, sebab setiap udara yang dihirupnya dari tubuh Sahara benar-benar mengantar pikirannya pada kondisi relaksasi. Pun dengan pijatan di kepalanya yang seiring waktu semakin membuai, dan pada akhirnya mengantar Nilam ke alam mimpi.
Pertama kalinya setelah kepergian Bintang, bermimpi tidak lagi menjadi momok mengerikan setiap tidur Nilam.
•°•°•
Pijatan Sahara siang tadi benar-benar ampuh mengusir sakit kepala yang kerap mendera, tetapi saat Nilam mempraktikkannya sendiri, rasanya tidak senyaman itu. Beda. Berkali-kali otaknya memvisualisasikan Bintang tetapi yang dia dapat justru rindu yang makin menyiksa. Nilam meringkuk di sudut ranjang, merapat pada dinding, mengizinkan air matanya kembali tumpah membasahi guling yang berada dalam peluk eratnya.
Belitan yang menyesakkan dada mulai terurai. Nilam beringsut mendekati nakas, masih bergelung dalam selimutnya, mengambil ponsel. Ibu jarinya mengusap layar lantas mengetuk galeri, mencari folder bernama ♡ Masku ♡.
Dibukanya satu-persatu foto yang ada di dalamnya, diarahkan ke perut yang diusap-usap dengan satu tangan lain.
"Sayang ... kenalin, ini Papa," bisiknya, serak.
Nilam menggeser tampilan layar.
"Ganteng, ya? Ganteng, dong. Orang paling ganteng yang pernah Mama lihat. Beneran. Papa itu tinggi, gagah, suaranya lantang, matanya teduh, senyumnya cerah-persis namanya, Bintang. Tapi, Papa sudah nggak di sini, jadi ... ini ... Mama cuma punya ... fotonya."
Perih yang menusuk membuat mata Nilam kembali berkaca. Jemarinya gemetar, mengusap perut yang masih datar.
"Yang ini ... waktu Papa menikah sama Mama. Kan, ganteng banget, ya, Papa? Papa nyuapin Mama nasi kuning waktu acara. Iya, jadi kemarin Papa sama Mama potong tumpeng aja pas menikah. Bukannya nggak ada uang, tapi uangnya kami tabung buat jalan-jalan sama Adek, nanti. Tapi sayang, Papa belum ... sempat ...."
Air matanya bergulir begitu saja. Dadanya terdesak rasa sesak, membuatnya tak sanggup lagi meneruskan monolog perkenalan itu. Hampir tiga bulan, namun bernapas tanpa Bintang masih saja menyiksa batinnya. Nilam putus asa, entah sampai kapan dia harus terisak seperti ini setiap kali pecahan memori tentang Bintang menyapa pikiran.
Layar ponsel menyala berima, sesaat menyita perhatian Nilam dari air mata. Sebuah panggilan VoIP.
Laksmana? Jam 12 malam begini?
•°•°•
Nilam mengerang tak percaya.
Tepat satu jam setelah dia curcol sekadar demi menuntaskan pengarnya kepala, Laksmana muncul di teras rumah dengan sebungkus nasi kuning. Pria itu duduk di tangga, mengelapi lensa kacamatanya yang berembun karena dingin.
"Astaga. Mas dapet di mana nasi kuning jam satu pagi?" decak Nilam, meremas bungkusan di tangannya.
"Nasi kuning yang di depan Masjid Jami itu, aku sama Bintang kenal Bude penjualnya. Kita sering makan di sana."
Membayangkan Bintang makan di rombong pinggir jalan, dengan pemandangan kendaraan lalu-lalang di depan mata, Nilam mengulum senyum. Pasti lucu.
"Mas Bintang sering beliin di situ tapi nggak pernah makan di sana. Pasti bungkus," timpal Nilam. "Emang buka 24 jam, Mas? Aku baru tahu."
"Ya nggak, Nilam." Laksmana terkekeh, menyentil kening perempuan itu setelah mengenakan kacamatanya. "Kita kenal Budenya. Katanya lumayan sering dapat order dari suami-suami yang frustrasi karena istri ngidam nasi kuning dini hari."
"Heh, Mas, monmaap. Aku nggak ngidam yang rewel begitu, ya. Ya iya aku emang pengin nasi kuning tapi buat sarapan besok. Aku bukan istri yang akan nyusahin suami kek gitu lah!"
"Nggak nyusahin suami tapi ngomelnya sepanjang kereta api Kertajaya jurusan Pasar Senen - Pasar Turi."
Nilam mendelik ketat. "Ngawur! Kapan aku pernah ngomelin Mas, hah?!"
"Waktu aku buka komputermu padahal sudah izin. Waktu aku jadi imam, katamu kelamaan bikin pegel. Waktu aku manggil kamu pas lagi kelas karena ada wali murid mau izin jemput anaknya. Waktu AC ruang guru diservis kemarin. Waktu mabar Among Us sama anak-anak terus aku bunuh kamu karena aku impostor-nya ...."
"NGGAK PERNAH!"
"Nilam, Bapak sama Ibu tidur."
Nilam membekap mulut reflektif. Detik berikutnya, dia mulai tersadar bahwa ucapan Laksmana terasa benar. Belakangan ini stabilitas psikisnya terganggu karena rentetan takdir yang tiba-tiba menampar, dan Nilam jelas tidak bersiap untuk semua ini.
Kepalanya lunglai, ditundukkan oleh rasa bersalah. Yang dapat dia katakan hanya, "Maaf, Mas."
Dan Laksmana menepuk lengan Nilam dengan senyum maklum. "Makan sana. Kalo kamu nggak mau ya aku yang makan. Nanti sarapan aku beliin lagi."
Mau. Nilam sangat mau. Dia berlari masuk kemudian segera keluar lagi membawa dua pasang sendok dan piring. Nilam tidak yakin dia mampu menghabiskan satu porsi sendirian, jadi mereka bersepakat untuk dibagi dua.
Namun setelah pembagian Nilam ¾ dan Laksmana sisanya, Nilam menghabiskan porsinya dengan sangat cepat, membuat Laksmana terkekeh menyesal.
"Tau gini nggak usah bagi dua."
Nilam memalingkan wajahnya yang bersemu, sebelum mendengkus, "Nangis terus bikin laper."
"Mau lagi? Nih." Laksmana mengangsurkan piringnya yang memang sengaja belum disentuh.
"Nggak. Udahlah makan aja, Mas!" Nilam mengibas kesal.
Daripada kena omel bumil lagi, Laksmana segera melahap porsi kecil itu. Sementara Nilam kembali masuk lalu keluar bersama dua cangkir teh panas untuk melawan hawa dingin Malang dini hari. Laksmana meletakkan piring kosongnya dan mengambil satu cangkir, diikuti Nilam.
Kepulan asap menghangatkan hidung Nilam, melemaskan bibirnya untuk mengulas senyum malu.
"Thank you, ya, Mas," ujarnya, sebelum menyesap sedikit.
"Kamu keset."
"Hah? Berengsek!"
"Kamu keset. You're welcome." Laksmana melepas kacamata sebelum turut menyesap. "Sama-sama."
Kaki Nilam mengentak kecil. "Nggak lucu!"
"Yang penting ganteng."
"Buat apa ganteng jomlo."
"Kamu pikir aku jomlo gara-gara siapa?"
Nilam menjauhkan cangkir. Menoleh dengan alis melengkung. "Emang siapa?"
Laksmana tersenyum tipis. "Kamu sendiri?"
"Aku kenapa?"
"Nggak mau move on?"
Nilam terdiam sesaat. "Move on ke siapa?" gumamnya malas. "Jangankan move on. Bisa nggak nangis tiap malam aja cukup, but still, whenever I'm alone, I cry for no reason."
"Then don't be alone. Call me instead."
"Ngapain? Nangis berjamaah?" Nilam meringis.
Sedangkan Laksmana menepuk satu bahunya. "Need a shoulder to cry on, don't you?"
"Shoulder-nya Mas Mana? Nggak, makasih. Keras. Enakan nangis di bantal." Nilam menjulurkan lidah.
"Ya sudah. But promise me one thing."
"Apa itu?"
"Kamu boleh sedih, kamu boleh kecewa, kamu boleh nangis bahkan marah. But promise me, jangan lakukan hal-hal berbahaya. Nilam, aku serius. If you need anything just let me know. Aku bicara bukan sebagai atasanmu atau teman suamimu."
Tatapan Laksmana telah menegaskan keseriusan yang ditangkap dengan baik oleh Nilam. Namun sesuatu dari gestur dan tutur pria ini menimbulkan desir aneh di dadanya.
"Lalu sebagai apa?"
"Sebagai satu dari sekian orang yang benar-benar peduli sama kamu." Laksmana meraih lengan perempuan itu, menggenggam jari-jari kecil yang terasa dingin. "Sebagaimana Bapak dan Ibu peduli sama kamu, meskipun kamu bukan anak beliau, aku juga ingin melakukan itu. Aku nggak mau kamu menganggap aku sekadar rekan kerja atau temannya Bintang. I care about you more than that, personally."
Merasa ada yang salah, Nilam menarik tangannya.
Seharusnya bukan begini. Bukan dia menerima perlakuan hangat pria lain, pria yang jelas-jelas selama ini dilihatnya sebagai sosok abang berwibawa. Namun mengapa kini jantungnya berdebar keras, sementara matanya membelot, tak ingin beralih dari sepasang mata lelah di balik lensa itu?
Sedangkan Laksmana, memang menatap lekat perempuan di sampingnya, tetapi fokusnya menerawang bukan pada Nilam.
"Bro. Boleh minta yang ini?"
Sontak Nilam bergidik. Menoleh ke belakang sekilas.
"Mas ngomong sama siap-"
"Hari ini cukup. Tidur sana." Laksmana menepuk poni perempuan itu dua kali.
Nilam mengangguk, membalas senyum itu. "Makasih, Mas, sekali lagi. Dan yah," sesaat, dia mengusap tengkuk rikuh, "maaf aku ngomel terus."
Laksmana tergelak pelan. "It's okay."
"Kayaknya nggak cuma Mas, deh. Aku harus minta maaf sama anak sekantor."
"Sambil bawa keripik singkong dua ember, biar kelihatan tulus."
"Siaaap!" Nilam mengacungkan ibu jari dengan semangat, namun kemudian dia terbelalak syok, teringat sesuatu yang membuatnya refleks menepuk dahi. "Astaga ... Mas Hara."
"Ya?" Kening Laksmana berkerut.
"Mas Sahara. Astagfirullah aku itu berdosa banget ke dia. Harus sungkem."
•°•°•
Nilam: Memangnya Mas bisa apa?
Gaklah.
Kutunggu semua bab votenya 100 baru update lagi 😙
Kusatsu, Shiga, 3 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top