Improvisasi Pertama - 05
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
DARI balik dinding lahan parkir yang bersebelahan dengan ruang tunggu, Sahara mendengar nama Arunilam Kencana dipanggil untuk masuk ruang periksa. Setelah memastikan sang pemilik nama menghilang ke dalam ruangan, pria itu mengembus singkat dan berjalan masuk ke Rovernya.
Sahara menurunkan sunvisor di atas kepala untuk melihat pantulannya pada cermin mini yang tertanam. Dia mengerjap. Tersenyum sedetik, memberengut kemudian. Citra selalu berkata senyumnya adalah yang paling menawan sedunia, lantas mengapa Nilam mengecapnya sebagai Tuan PUEBI berwajah kayu jati amplasan?
Lagi-lagi, Sahara mengembus.
Sepanjang umur, Sahara cukup sadar bukan satu-dua mulut saja yang berkomentar (dibarengi canda-tawa) perihal raut minim ekspresi dan cara bertuturnya yang kaku. Pun Citra sesekali menegurnya meski tentu saja atas dasar cinta. Hanya Arunilam yang terang-terangan menunjukkan kebencian terkait hal ini.
Pengalaman medis dan berumah tangga bertahun-tahun membuat Sahara mampu memaklumi perilaku perempuan yang 13 tahun lebih muda darinya itu. Produksi progesteron, esterogen, dan HCG yang melonjak berlipat-lipat adalah penyebab utama mood swing trimester pertama kehamilan. Belum lagi mual-muntah dan disorientasi yang turut Nilam dapatkan pastilah sangat menyiksa.
Sahara menghempaskan punggung pada sandaran jok kulitnya. Menarik ponsel dari saku celana dan menatap wanita wallpaper-nya. Cukup lama, sebelum sakit itu menusuk-nusuk dadanya dan Sahara terpaksa menyimpan kembali ponsel itu. Sebab matanya memanas dan pandangannya dikaburkan selaput air.
•°•°•
Aplikasi pemesan ojek daring di ponsel Nilam tidak menemukan satu driver pun. Perempuan itu mengentak gemas. Padahal dari trotoar tempatnya berdiri berkali-kali dia melihat pengemudi motor berjaket dan helm hijau melintasinya.
Matahari terik. Silau. Satu menit berlalu tanpa hasil membuat kepala Nilam rasanya mau meledak. Makian beruntun dia tujukan pada Sahara yang entah di mana. Memang Nilam mengusirnya, tetapi bagaimana bisa pria itu tega meninggalkannya tanpa berpamitan, minimal? Awas saja kalau Sahara bertandang ke rumah jangan harap Nilam sudi menghidangkan kopi lagi!
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nilam terperangah ketika sebuah Rover putih berhenti tepat di depannya, mengalihkan matanya dari layar ponsel di tangan. Sahara turun dari pintu di sisi lain mobil, berputar ke sisi satunya dan membukakan pintu tengah untuk-siapa lagi kalau bukan-Nilam.
"Kenapa di tengah?" Nilam mengernyit. Lagipula apa perlunya Sahara membukakan pintu?
"Supaya Nilam lebih nyaman dengan tidak melihat saya."
Rahang Nilam mengeras. Bicara dengan pria ini sungguh menguji mentalnya. Malas memperpanjang, Nilam membuka pintu penumpang depan dan segera naik. Sahara mengikuti, kembali menempati kursi pengemudi.
"Mas bukan sopirku. Aku nggak mau di tengah," jelas Nilam, tatapannya mengawang pada jalan aspal.
Senyum tipis menghias bibir Sahara, sebelum pria itu berputar ke belakang dan menyerahkan sebuah paper bag kecil yang menguarkan aroma umami. Nilam menerima dan segera menyelidik isinya yang ternyata ....
"Kebab?"
"Shawarma," ralat Sahara. "Saya mampir ke kafe teman sambil menunggu Nilam. Konsepnya middle eastern."
Kening Nilam berkerut. Setahunya, makanan timur tengah yang dibungkus tortila begini namanya kebab. Tapi sudahlah. Nilam memang sangat lapar setelah muntah seharian, jadi biarkan dia makan dulu sebelum emosinya dirusak raut Sahara.
Mulut Nilam mengunyah, satu tangan mengenggam shawarma, sementara tangan lain mengaduk isi sling bag dan mengeluarkan selembar foto monokrom. Dia memberikannya pada Sahara yang menerima.
Nilam menutupi mulut. "Kata dokter Zesta baru kelihatan kantung apa gitu, Mas. Lupa."
"Kantung amnion. Ketuban."
Sebab masih mengunyah, Nilam hanya memperlihatkan raut berbinar disertai anggukan.
Selembar hasil USG yang membuat Sahara terpaku. Matanya tak dapat beralih sebab lingkaran hitam kecil di tengah foto itu menghangatkan dadanya. Membawanya bernostalgia pada beberapa bulan silam.
Selesai makan, Nilam mengelapi minyak di tangan dengan tisu, sebelum menyelisik raut Sahara yang terasa berbeda.
"Mas Hara ...," Nilam mengernyit, "nangis?"
Kenyataan bahwa Sahara tak menjawab dan justru berbalik memunggungi Nilam membuat perempuan itu menganga. Meski terhalang punggung bidang dan kukuh itu, Nilam tetap bisa membaca gerakan Sahara yang melepas kacamata dan mengeringkan sudut kedua matanya. Sisi lain Sahara yang baru Nilam ketahui hari ini.
Sekaku apa pun, mantan suami iparnya ini tetap lelaki. Nilam membenahi duduknya, mengembus tipis.
"Mas, saya minta maaf, ya?" gumamnya, tersenyum pahit. "Nggak seharusnya saya sekasar itu sama Mas Hara. Setelah saya pikir lagi, Mas Hara bukannya nggak sedih. Mas cuma berusaha menyikapi kehilangan secara rasional. Sesuatu yang kadang saya nggak bisa sampai saat ini. Apalagi di rahim saya sekarang ada Bintang Kecil. Saya nggak kebayang gimana harus membesarkan anak sendirian."
"Saya juga membesarkan Sagara sendirian."
Sahara berbalik perlahan, kembali mengenakan kacamatanya dan membalas senyum Nilam.
"Sebulan yang lalu, saya berpikir seperti itu. Pelan-pelan, saya sadar kalau masih ada Papa-Mama saya. Masih ada Bapak-Ibu. Saya tidak sendiri; saya hanya perlu beradaptasi dengan situasi baru."
Nilam mengangguk paham. "Saya juga ngerti, Mas, masih ada Bapak-Ibu yang mau nerima saya. It's just ... waktu nikah sama Mas Bintang, saya pikir akhirnya saya punya satu orang yang bisa secara resmi disebut sebagai keluarga. 'Suami'. Diakui negara dan agama. Tapi ... cuma ...," dia terkekeh, serak, "cuma seminggu. Nggak kurang, nggak lebih."
Buru-buru dia menarik secarik tisu dari kotak di atas dasbor untuk mengeringkan mata. Nilam masih menertawakan nasibnya.
"Saya ini definisi 'ditinggal pas lagi sayang-sayangnya' secara harfiah, ya, Mas?"
Sahara mengerutkan kening tak yakin. "Apa ada definisi secara konotatifnya?"
Nilam mendelik kesal.
"Mas!" Tangan Nilam sudah terangkat, hampir melempar wajah Sahara dengan bola tisu dalam genggaman yang segera diturunkan lagi. "Astagfirullah ... sabar, Nilam, sabar. Mas Hara memang gitu. Dia Tuan PUEBI. Dia Tuan PUEBI. Dia Tuan PUEBI, bukan tempat konsultasi ...."
"Nilam boleh konsultasi dengan saya," tawar Sahara.
"Nggak. Makasih."
"Sama-sama." Sahara mengangguk ringan, kemudian membangkitkan mesin mobil. "Saya berencana ke tempat Citra setelah mengantar Nilam kembali. Tapi kalau Nilam ingin ikut, kita ke sana sekarang. Bagaimana?"
•°•°•
Dari kacamata Laksmana, morning sickness yang dialami Nilam semakin mengkhawatirkan.
Tak jarang perempuan itu kembali lebih awal dari rumah siswanya lantaran dipulangkan wali murid yang tidak sampai hati melihat kondisi Nilam. Hal ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan baik bagi LBB dan terutama siswa, karena itu, Laksmana memanggil Nilam ke ruangannya. Menyampaikan hal yang seketika membuat Nilam menganga di tempat duduknya.
"Cuti? Mas mau aku cuti?!"
"Cuti dari home tutor." Laksmana memperjelas maksudnya, melipat lengan di meja. "Sementara sampai morning sickness-mu hilang. Kamu masih bisa ngajar di kelas, lebih leluasa kalau mau muntah."
Nilam makin menganga. Cara Laksmana mengatainya barusan seakan ada label 'tutor tukang muntah' di jidat Nilam.
Gumpalan emosi mendesak di ubun-ubun namun perempuan itu menahannya. Nilam menarik napas dalam, mengembus perlahan. Kata Sahara, sensitifitas perempuan saat hamil cenderung meningkat tajam. Untuk beberapa saat, Nilam disarankan berhati-hati dalam menyikapi hal sekecil apapun.
"Jangan bicara ketika hati sedang panas."
Begitu nasihat Sahara, disampaikan dengan intonasi superdatar yang justru membuat Nilam makin panas-dalam, ingin mencakari wajah Tuan PUEBI.
Ternyata nasihat itu berguna juga di saat seperti ini. Nilam berkata, "Oke!" disertai senyum lebar. Terlalu lebar bahkan, saking dipaksakan.
Laksmana mendesah berat. "Nilam, I'm sorry-"
"I said I'm okay, Mas." Nilam sedikit melemaskan senyumnya. "Nggak papa. Aku ngerti. Morning sickness ... ya, wajar." Matanya terasa panas, Nilam mengerjap beberapa kali. "Nggak enak juga numpang muntah terus di rumah wali murid. Hari ini aku nggak ada kelas. Jadi gimana, aku pulang aja, Mas? Kalo cuma LPS bisa aku isi di rumah. Eh, berarti aku nggak perlu ngisi LPS dulu, atau gimana?"
Melihat Nilam berusaha menyamarkan kecewanya, Laksmana melepas kacamata, mengurut pangkal pelipisnya. Yang dia tahu selama ini, Nilam bukan tipikal yang suka berdiam diri. Kesibukan mengajar dari satu rumah ke rumah lain adalah bagian nyawanya. Namun dengan kondisi Nilam seperti ini, Laksmana bisa apa lagi?
"Lam," ditatapnya perempuan itu, lekat, "kamu ngidam apa?"
"Ngidam? Apa, ya?" gumam Nilam, meski tak paham mengapa topik pembicaraan berbelok arah. "Nggak tahu. Nggak ada kayaknya. Kenapa?"
"Bilang sama aku kalau ada. Tengah malam juga boleh."
Nilam tersedak tawa. "Yeu. Suami siaga, gitu?"
"Serius, Nilam," Laksmana menyusul tawa. "Suami atau apa terserah kamulah. If you need anything just call me. Nggak tega aku lihat kamu lemes begini, bukan Nilam yang biasanya."
"Hmm? Biasanya aku gimana, Mas?"
Bright. Energetic. Sweet.
"Heri. Heboh sendiri," jawab Laksmana akhirnya, membuat Nilam mencebik. "Gini, deh. Apa ada sesuatu yang bisa bikin kamu nggak mual?"
•°•°•
"Kalau mual-muntah ini tidak mengganggu aktivitas, saya rasa Nilam tidak perlu obat," saran Sahara, setelah mengantar Nilam pulang, sebelum perempuan itu masuk rumah.
"Nggak mengganggu gimana? Aku telepon Mas minta jemput ini karena Mas Mana ngusir aku secara halus! Bapak juga nggak bolehin aku naik motor, kemana-mana harus sama Bapak atau Mas!" protes Nilam.
Sahara mengatup mulut. Memang benar bahwa Usman sangat concern terhadap kehamilan Nilam oleh karena itu, Nilam dilarang mengendarai sepeda motor. Nilam juga enggan naik kendaraan umum semisal angkot bau knalpot atau taksi online sebab dia tidak bisa seenak jidat minta berhenti untuk muntah. Yang paling bisa mengerti kondisinya saat ini hanya Usman dan Sahara.
Dan Sahara selalu jadi pilihan aman bagi Nilam karena bagaimana pun, masa' iya Nilam mempekerjakan mertuanya sebagai supir?
Ditambah fakta bahwa Sahara bukan dokter praktik sehingga jam kerjanya relatif fleksibel, membuat Nilam tidak lagi sungkan bahkan kurang ajar karena sedikit-sedikit minta diantar kesini-situ.
Namun setelah sebulan, akhirnya Nilam meledak. Selain raut kaku Sahara yang masih saja membuatnya muak, Nilam sudah mencapai titik jenuhnya. Dia ingin bebas bergerak sendiri tanpa mengandalkan orang lain.
"Aku tuh males mau minta obat mual aja harus ngantri ke dokter minta resep apalah! Nunggu berjam-jam. Muntah-muntah dulu. Mending langsung infus sekalian di UGD! Makanya aku minta resep sama Mas Hara! Mas kan dokter. Mbak Citra juga mabok waktu hamil. Masak obat mual aja Mas nggak tau?! Mas bilang aku adek Mas, hah?! Mana buktinya! Manaaa?! Beliin obat mual aja nggak mau! Modal dusta! HELEH!"
Sahara melongo.
Di awal perkenalan dulu, kesan pertama Sahara terhadap Nilam adalah kalem. Pemalu. Lemah-lembut. Pun masih terasa seperti itu setelah Bintang-Nilam menikah. Namun kebersamaan mereka sebulan terakhir menyingkap banyak persona lain Nilam yang belum pernah Sahara lihat sebelumnya.
Atau mungkin juga mood swing kehamilan lah penyebab Nilam begini. Entah. Sahara pusing. Perempuan memang mengerikan terutama saat menstruasi dan hamil.
Nilam mendengkus keras meski hatinya belum puas melampiaskan semua. "Ya sudah. Makasih sudah nganter pulang! Sana balik kerja lagi yang rajin! Muka datar Mas bikin aku mual!"
"Citra punya obat mual, tapi, dia tidak berpikir dia memerlukan obat itu," kata Sahara tenang.
Nilam terbelalak ketat. "Berani Mas bandingin aku sama Mbak Citra, hah?!"
"Bukan." Sahara tersenyum, mendekati si bumil galak. "Karena saya melakukan ini, Citra tidak butuh obat."
"Hah?"
"Permisi, Nilam."
Belum sempat Nilam mencerna, Sahara berhati-hati membingkai paras perempuan itu. Kedua ibu jarinya memberi usapan bertekanan dari sisi dalam alis Nilam, perlahan bergerak ke luar. Sahara mengulang hal yang sama dua kali sebelum ibu jarinya pindah posisi, dengan sabar meluruskan satu-persatu kerutan kusut di kening Nilam.
"Citra selalu suka setiap saya melakukan ini," gumam pria itu. "Terutama ketika dia mual, katanya, ini membuat kepala lebih rileks."
Sahara mengurut lembut di area pelipis. Senyumnya terulas samar saat potongan kenangan menghampiri benaknya.
"Mual-muntah adalah sinyal dari janin yang berkata, 'Mama, tolong beristirahat sebentar. Ayo perhatikan aku, Ma. Mama, ayo makan yang enak-enak. Ayo lakukan hal-hal yang menyenangkan buat Mama. Karena kalau Mama bahagia, aku juga bahagia.' Kira-kira seperti itu."
Kali ini Nilam terdiam.
Sementara Sahara meneruskan dongeng edukasinya tentang janin, dengan ibu jarinya tetap tekun melemaskan saraf-saraf kepala Nilam. Ketika hatinya berangsur terasa lapang dan ringan, saat itu juga sensitifitas hidungnya kembali tajam.
Dia mengendus sesuatu, tetapi bukan aroma yang menyulut mual.
Dia mengendus Sahara yang memang belum pernah berada dalam jarak seintim ini dengannya.
"Mas parfumnya apa?"
Ibu jari Sahara berhenti sejenak. "Maaf?"
"Baunya enak. Aku mau."
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 30 Oktober 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top