Improvisasi Pertama - 04

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

MENANGKAP perubahan drastis pada raut Sahara, Nilam bermaksud melihat isi keresek yang buru-buru ditutup dan dikembalikan Sahara padanya.

"Kenapa, Mas? Beneran ada anti-"

Gerakan Nilam yang bermaksud membuka keresek dihentikan tangan Sahara. "Tidak ada. Nilam masuk saja, istirahat." Dia tersenyum. "Minum vitaminnya sebelum makan."

Rasa mual yang lebih kuat dari rasa penasaran membuat Nilam berlari masuk menuruti permintaan perutnya. Meninggalkan Laksmana yang menjaga sikap tenangnya lantas tersenyum pada Sahara.

"Kalau begitu saya permisi, Mas."

"Ini hanya praduga saya. Mas Laksmana punya maksud lain terhadap Nilam, apa saya salah?"

Laksmana menyipit. "Bagaimana, Mas?" Tuduhan apa yang dilemparkan Sahara padanya?

"Semua suami akan curiga jika istrinya dibelikan test pack oleh laki-laki lain."

Laksmana menyeringai. "Mas curiga. Apa ini artinya Nilam istri Mas Sahara?"

"Bukan," Sahara membenahi posisi kacamata, "tetapi Mas Laksmana tahu bahwa Bintang tidak bisa berbuat apapun bahkan seandainya dia di sebelah saya, mendengar percakapan kita. Saya ingin tahu intensi Mas Laksmana terhadap Nilam."

Laksmana mengangguk, tersenyum. "Saya melakukan apa yang harusnya dilakukan Bintang karena seperti yang Mas Sahara katakan, Bintang tidak bisa berbuat apapun untuk istrinya."

"Apakah yang ingin Mas Laksmana gantikan adalah tugas Bintang ... atau posisi Bintang?"

"Keduanya bukan pilihan buruk, dan saya memang tidak pernah bermaksud buruk terhadap Nilam dan Bintang. Saya lebih penasaran karena Mas Sahara terganggu dengan perlakuan saya untuk Nilam."

Sahara mengerjap. "Nilam adik saya."

"Bukan adik kandung, tapi mantan istri dari adik ipar. Pada dasarnya kedekatan Nilam dan laki-laki manapun termasuk saya bukan wilayah Mas Sahara sebagai kakak yang semacam itu."

Penekanan Laksmana membuat Sahara memicing. "What's the point?" Memangnya dia kakak macam apa?

"Tidak ada." Laksmana mengangkat bahu ringan. "Kalau Mas Sahara khawatir dengan Nilam sebagai kakak, saya juga berhak merasakan yang sama ... tetapi sebagai laki-laki. Saya permisi, assalamualaikum."

•°•°•

Emosi di puncak ubun-ubun. Nilam membanting stik pregnancy test dengan dua garis merah di atas ranjangnya. Jemarinya menyugar dahi dan matanya terbelalak tak habis pikir.

Hamil. Benarkah dia hamil?

Secepat ini? Nilam memutar reka ulang pernikahan yang masih segar di ingatannya. Memang benar bahwa dia sedang di ujung masa menstruasi saat akad dan resepsi. Pun malam pertama hanya diisi dengan pillow talk bersama Bintang. Namun malam-malam berikutnya setelah Nilam bersih, rasa penasaran yang begitu kental membuat keduanya kelewat bersemangat. Mereka bercinta tanpa kenal waktu, tanpa menghitung sesi, dan yang pasti tanpa pengaman.

Lumrah jika akhirnya, bulan berikutnya, rahim Nilam telah berisi janin yang sedang tumbuh sebagai hasil pembuahan. Hanya saja, mengapa begini? Mengapa Bintang tidak di sisinya, memeluknya, dan memberi selamat?

Nilam terlalu muak. Dia meringkuk terisak di sudut ranjang. Kepalanya berdenyut seperti akan meledak. Otaknya buntu. Dunia di matanya kini tinggal abu-abu.

Anak.

Dia dibebani anak, sendiri.

Dia harus mengandung tanpa suami. Menanggung beratnya, sendiri. Melahirkan, sendiri. Menimang dan mengasuh Bintang Kecilnya ... seorang diri.

Ah, salah. Salah.

Punggungnya menegak dan tangannya menepuki pipi. Nilam menyeka air matanya dengan lengan piyama, mengulas senyum, menguatkan hati. Siapa bilang dia sendiri? Nilam masih punya kedua mertua yang menerimanya. Bisa Nilam bayangkan binar bahagia beliau ketika mendengar kabar akan datangnya cucu kedua, setelah calon cucu kedua mereka mengikuti kepergian ibunya.

Baru saja Nilam akan keluar bersama stik test pack, getar ponsel di atas meja mengalihkan perhatiannya. Sebuah pesan masuk.

Laksmana Adikara
apa hasilnya?

Nilam membulatkan mata basahnya. Pria ini benar-benar! Memberi test pack diam-diam dan sekarang terang-terangan menanyakan hasilnya?

Arunilam Kencana
hasil apa?

Laksmana Adikara
urin pertama pagi hari setelah bangun tidur

Satu sudut bibir Nilam terangkat. Sialan. Nilam merasa aneh jika harus laporan hasil test pack pada bosnya segala. Karena itu dia hanya mengunci layar tanpa merasa perlu membalas apapun, apalagi berterima kasih.

•°•°•

Mendapati menantunya keluar kamar masih berpiyama, Rini mengerutkan dahi saat mengancingkan rompi tartan Sagara. Namun saat Nilam menunjukkan stik test pack, Rini tak dapat menahan jerit semringahnya.

"Nilam isi?!" Usman yang tengah membaca berkas di meja ruang keluarga tidak kalah terkejut.

"Alhamdulillaaah!" Rini berseru senang memeluk menantunya. "Pantesan kok yo dari kemarin muntah-muntah. Nduk, jaga kesehatan. Ya Allah, Mas, ini anaknya Bintang!"

Di balik punggung tua itu Nilam tersenyum perih. Seharusnya Bintang menjadi yang pertama mengetahui anugerah ini.

"Ante Nilam isi apa?"

Pertanyaan Sagara membuat Rini mengendurkan diri dan segera merangkul cucunya di antaranya dan Nilam.

"Sagara mau adik, nggak?" bisik Rini.

Mata bulat itu meredup. "Adena Sagaya sama Mama ...."

"Ini adik Tante Nilam sama Om Bintang," terang Rini. "Sama juga adiknya Sagara."

Sambil mengelus perut datarnya yang mual, Nilam menatap bocah itu tepat di mata. "Ini adik sepupu. Adiknya Sagara juga, kok. Kalau mau boleh Sagara bawa pulang. Boleh diajak main LEGO. Boleh berenang sama-sama. Boleh bobo berdua ...."

"Gitu, ya, Ante?" Sagara melirik ke atas, ragu. "Jadina Ante Nilam yang kasih adena Sagaya?"

"Yaaa ... pokoknya di perut Tante ada adiknya Sagara."

"Assalamualaikum."

Suara bariton yang Nilam dengar setiap hari dalam sebulan ini berasal dari pintu depan yang terbuka. Sagara melompat, berlarian menuju sang papa yang segera mengangkat dan mendekapnya. Senyum Sahara terkembang mendapati putranya yang sudah siap sekolah.

"Berangkat sekarang, Sagara?" tanya Sahara.

Sagara makin berseri-seri saat berseru, "Pa, Ante Nilam bilangna mau kasih ade wat Sagaya!"

Sahara terdiam mencerna.

Setelah menurunkan Sagara, Sahara mendekati ibu dan ayah mertuanya untuk salim lantas beralih pada Nilam yang meringkuk di sisi Rini, membekap mulut lantaran mual.

"Apa Nilam ingin menikah dengan saya?"

Sontak Nilam melompat dan berlari ke toilet, memuntahkan isi lambungnya sampai bersih. Sahara baru memahami apa yang dimaksud Sagara setelah ayah dan ibu mertuanya menjelaskan sambil tertawa-tawa. Dari luar, tentu saja Sahara selalu mampu tersenyum setenang air gelas.

Namun otaknya sedang memaki spekulasi tolol yang menyerang beberapa menit lalu, makin goblok dengan mulutnya yang menyuarakan pertanyaan itu. Nilam ingin menikah dengannya? Sinting!

•°•°•

Usai mengantar Sagara ke TK, seharusnya Sahara turut menyertai mertuanya menemui jaksa penuntut untuk diskusi perkara sidang pertama yang akan digelar minggu depan. Namun setelah mengetahui kehamilan menantunya, Usman berubah pikiran. Alih-alih menemui jaksa, perintah untuk Sahara justru bergeser jadi mendampingi mantan istri iparnya mengunjungi obgyn yang kredibel.

"Yang sudah lalu biar Bapak sama Ibu urus. Bapak minta bantuan Sahara urus yang lebih penting untuk kedepannya," begitu kata Usman sambil menunjuk Nilam.

Tentu saja Nilam paham yang dimaksud ayah mertuanya adalah masa depan lebih krusial daripada masa lalu. Tapi bagaimana mungkin Sahara akan berpikir bahwa kandungan Nilam lebih berarti daripada mendiang Citra dan calon anak mereka? Jelas mustahil.

Hal ini terasa sepanjang perjalanan mereka menuju rumah praktik obgyn, Sahara tidak berkata apapun pada Nilam di sebelahnya. Berbeda dengan ketika Sagara masih di antara mereka, pria itu melibatkannya dalam percakapan bertiga mengenai kegiatan di TK. Bahkan hingga Rover-nya terparkir sempurna di tempat tujuan, pria itu belum menunjukkan minat untuk bersuara.

Namun setelah Nilam mengisi formulir registrasi, seorang ners berperawakan tambun yang melayaninya-yang juga mengenal Sahara sebagai sejawat medis sekaligus suami salah satu pasien langganan sang obgyn-menyipitkan mata pada Nilam. Seingatnya, istri Sahara baru meninggal sekitar sebulan lalu.

"Ini nyonya Sahara yang baru?"

Gelombang mual mendadak naik dan menyentak tenggorokan, memaksa Nilam melesat ke sudut lobi di mana dia melihat simbol toilet. Meninggalkan Sahara yang mengembus pasrah di tempat. Akhirnya dialah harus meluruskan kesalahpahaman para ners untuk mencegah berkembangnya isu-isu aneh.

Nilam masih sedikit terengah ketika kembali dari toilet dan segera duduk bersama Sahara di ruang tunggu. Pikirannya masih mengawang pada ners di meja resepsionis itu. Jelas-jelas Nilam mengisi nama Bintang di kolom suami meskipun dalam tanda kutip, tetapi bagaimana bisa dia dikira istri baru Sahara?

Pandangan mata Nilam jatuh pada ujung flat shoes saat nyeri itu datang kembali, mengiris hati.

Mengapa Sahara? Bintang-lah yang Nilam inginkan untuk mendampinginya bertemu spesialis kandungan. Bukan laki-laki lain. Bukan Sahara ....

Pertanyaan senada hadir di benak Sahara yang sejak satu menit lalu menatap kosong pada layar ponselnya. Jika saja bukan karena kejadian itu, perempuan objek wallpaper-nya lah yang harus dia dampingi saat ini. Bukan perempuan lain. Bukan mantan istri adik iparnya ....

" ... rumah sakit?"

Sahara mengerjap singkat. Lamunannya terusik pertanyaan pelan Nilam yang tidak sepenuhnya dia dengar. "Maaf?"

"Mas Hara nggak ke rumah sakit?" Nilam menyunggingkan senyum. "Saya bisa antri sendiri. Bisa periksa sendiri. Bisa tebus resep dan pulang sendiri. Saya nggak papa, kok, kalau Mas harus kerja."

Perulangan kata 'sendiri' adalah penegasan kemandirian Nilam, tetapi, Sahara merasakan yang sebaliknya. Dia membalas dengan senyum kecil dan gelengan.

"Kemarin, saya menolak bedah tiroid dengan pertimbangan komorbid pasien sedang aktif, terlalu berisiko untuk pembedahan. Saya minta pasien menunggu kondisinya lebih stabil. Tapi barusan saya dikabari teman, pasien itu keluar dan mencari second opinion dokter lain."

Sependek pemahaman Nilam, komorbid adalah penyakit penyerta. "Komorbidnya apa?"

"Asma. Risiko intubasi lebih tinggi daripada menunda pengangkatan tiroid. Itu yang saya diskusikan dengan dokter anestesi."

Nilam mengangguk-angguk. Setidaknya dia menangkap bahwa Sahara bisa menemaninya pagi ini karena kehilangan satu pasien. Jeda hening menyelimuti keduanya sesaat sebelum Sahara memperdalam tatapan pada perempuan di sampingnya.

"Nilam sudah dengar tentang tuntutan maksimal untuk anak itu?"

"Sudah. Bapak sudah cerita." Nilam menelan ludah. Rasanya sakit saat memaksakan tawa. "Enam tahun banget, ya, Mas, dibandingkan nyawa Mas Bintang, Mbak Citra, dan anak Mas. Dibandingkan tangis Bapak Ibu setiap hari. DIbandingkan kehilangan kita yang selamanya."

"Enam tahun tuntutan maksimal untuk pelaku pidana dewasa. Pasal 81 ayat dua UU Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan tuntutan maksimal pelaku anak setengah dari dewasa."

Jantung Nilam seakan diremas-remas. "Jadi cuma tiga tahun ...?"

"Masih dalam pasal yang sama ayat empat, jika anak dinilai berkelakuan baik selama menjalani setengah masa pembinaan di lembaga berhak mendapatkan pembebasan bersyarat."

"Cuma satu setengah tahun?!"

"Jika, ya, majelis hakim memvonis anak itu dengan hukuman maksimal. Kemungkinan besarnya tidak karena sejak awal orang tuanya bersikap kooperatif dan ...," sedikit ragu, Sahara mengigit lidahnya yang pahit, "memberikan kita santunan?"

Wajah Nilam memanas dan sesak dengan cepat. Uang sebagai penggerak terbesar kehidupan dalam segala aspek, termasuk membeli hukum, adalah fakta yang mati-matian ingin dia tampik.

"I don't want money!"

"You think I want it?"

"Mas bisa bilang itu semua dengan tenang! Tentang Mas Bintang! Tentang Mbak Citra! Tentang anak Mas!" Nilam tidak peduli bahkan jika suaranya kini serak dan air matanya merebak. "Satu setengah tahun itu keterlaluan! Mas bicara seolah yang terjadi cuma kasus keserempet biasa dan Mbak Citra masih baik-baik saja. Mas Hara lemah! Mas pasrah sama keadaan! Cuma Mas Hara satu-satunya suami yang bisa terima nyawa istrinya ditukar dengan satu setengah tahun penjara!"

"Bahkan nyawa dibalas nyawa mustahil mengembalikan Citra di sisi saya, Nilam."

"Are you even human, Mas?!"

Mendengar ledakan Nilam, Sahara mengerjap.

"Sebaiknya Nilam-"

"Mas ini suami atau robot, hah?!" Nilam bangkit dari sofa. Sahara menengadah dan tanpa bisa dia cegah, Nilam melempar makian tepat di depannya. "Istri meninggal masih bisa kalem. Masih senyam-senyum! Masih jaga wibawa dan nggak ada hancur-hancurnya sama sekali! You don't deserve her, Mas!"

Sahara ingin meraih lengan Nilam tetapi justru mendapat tampikan kasar. Bahu perempuan itu tersendat naik-turun. Mata basahnya menghunus tajam sepasang pupil Sahara di balik lensa minus.

"Mas yakin selama ini Mas cinta sama Mbak Citra?"

Sahara mengangguk. Tentu saja, "ya."

"Bullshit."

Sahara terbelalak. "Maaf?!"

Namun kali ini Nilam merendahkan suara dan mendesis. "Aku paling nggak suka tipikal yes man seperti Mas Hara yang terlalu pasrah sama keadaan. Pergi, Mas. Ngomong sama Tuan PUEBI yang tampangnya sedatar kayu jati amplasan cuma bikin aku eneg mau mun-"

Nilam membekap mulut. Kuat.

Tak mengacuhkan Sahara lagi, dia berlari mencari toilet hanya untuk memuntahkan cairan asam sebab lambungnya benar-benar sudah kosong. Usai muntah, yang tersisa adalah sensasi pahit di mulut dan tenggorokan yang segera dia bilas dengan air dari keran wastafel. Nilam juga membasuh muka sekadar untuk memadamkan panas.

Sementara tangannya mengeringkan muka dengan tisu, Nilam memandang kosong bayangannya pada cermin.

Dadanya masih bergemuruh, tetapi secuil kewarasannya mulai kembali.

Belum pernah Nilam mendapati emosinya setidak stabil ini. Menukik dan anjlok dengan cepat hanya karena sedikit senggolan. Barusan dia memaki Sahara dan, astaga, di ruang tunggu pasien? Dengan semua mata menyaksikan mereka?

Nilam mengetuki tempurung kepala. Bodoh. Tolol!

Dia bergegas keluar dari toilet setelah merasa lebih siap menghadapi Sahara, namun saat kembali masuk ruang tunggu, Nilam tidak melihat pria itu di tempat mereka semula. Tidak di kursi lain, ataupun sudut lain rumah praktik ini. Sahara benar-benar pergi.

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 28 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top