Improvisasi Pertama - 02

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

MELAYANG, itulah yang Nilam rasakan saat ini. Seseorang membopong tubuhnya, entah siapa. Kepalanya merebah di dada orang itu. Nilam berusaha keras membuka mata di tengah pengarnya kepala. Semuanya buram. Nilam tidak melihat jelas sang pemilik wajah, dia hanya menghirup aroma woody dari jas almamater toska gelap.

Hangat, dan sangat nyaman.

Ada bordir nama pada bagian dada jas ini, dekat dengan mata Nilam yang menyipit, ingin membaca.

Bintang Cahya Angkasa.

•°•°•

Tepat setelah pantofelnya menapak daratan, Sahara berlari menuju gedung terminal kedatangan bandar udara Abdurrahman Saleh, Malang. Menerobos kepadatan massa tidak peduli puluhan pasang mata yang mengikutinya dengan beragam ekspresi. Bagaimana tidak, sebab pria itu tergesa-gesa keluar pintu terminal tanpa berusaha menghalau air matanya yang terus mengalir.

Sahara baru melepas kacamata setelah menghempaskan tubuh dalam taksi yang segera melajukannya. Dia meremas dahi yang berkedut seakan mau pecah. Deru napasnya masih memburu sejak keluar dari terminal kedatangan Soekarno Hatta, menerima panggilan dari sang ayah, yang akhirnya memaksa Sahara membeli tiket kembali ke Malang detik itu juga.

Sebab Iskandar, ayahnya, mengatakan hal yang paling tidak ingin dia dengar sepanjang usia. Ketololan seorang bocah SMP yang mengendarai Alphard di bawah pengaruh alkohol telah merenggut nyawa adik iparnya, istrinya, dan calon putrinya.

Bukan begini skenarionya. Seharusnya dia dan Citra melengkapi Sagara dengan seorang adik perempuan. Seharusnya dia dan Citra menjadi saksi hidup atas tumbuh kembang keduanya. Seharusnya dia dan Citra tersenyum melepas kedewasaan anak-anak itu. Mereka berawal hanya berdua, seharusnya pun berakhir berdua, menua bersama.

Bukan begini. Bukan dengan salah satu mendahului yang lain, pergi dan tak mungkin kembali lagi.

Ratap sesal Sahara berlangsung sepanjang jalan. Tak henti amarahnya menyumpah serapahi takdir buruk yang Tuhan timpakan ini. Namun saat taksi berhenti di gerbang rumah tujuan, Sahara melemas. Serpihan hatinya dia punguti kembali demi Citra dan janinnya.

Demi Citra dan janinnya, Sahara harus menegakkan punggung dan mensalatkan jenazah keduanya. Pengabdian terakhir sebagai kepala rumah tangga yang tidak becus mengurus keluarga.

•°•°•

"Arunilam Kencana? Dipanggilnya apa, nih? Arun? Kencan?"

Yang ditanya tidak segera menjawab karena uap teh panas dari gelas yang dipegangnya menghangatkan wajah. Mungkin juga karena senyum pemuda di sisinya yang begitu cerah hingga menyita seluruh perhatiannya.

"Halo? Adek?" Pemuda itu menjentik di depan hidungnya. Nilam mengerjap. Terkesiap.

"Gimana, Kak?"

"Masih pusing?" tanyanya. Nilam menggeleng pelan. "Namanya siapa?"

"Arunilam Kencana."

"Kencan?"

"Nilam saja, Kak."

"Kalau Kencan?"

Nilam meringis. "Bukan, Kak. Saya Nilam."

Bibir pemuda itu mengerucut, dan mengembus setelahnya. Lirik sayunya membuat Nilam berdebar semakin gugup. "Padahal saya mau ajak kamu kencan. Nggak mau, ya?"

•°•°•

Aroma eukaliptus yang merasuk sampai otak membuat Nilam mengerang tertahan. Dia menggelengkan kepalanya yang berdenyut dan perlahan membuka mata. Di sisi kanan di mana dia berbaring, Rini mengusap-usap keningnya disertai raut cemas bercampur lelah.

Air mata ibu mertuanya luruh saat bibir gemetar itu melirih, "Maafkan Mas Bintang, Nduk. Maafkan anak Ibu ...."

Sesak kembali membebat dada Nilam.

Jadi, ini bukan mimpi. Dia tidak berhalusinasi. Bintangnya telah mati ....

Ah, tidak, tidak. Nilam menggeleng di antara air mata. Bintangnya selalu bersinar di sini. Di sini, tepat di hatinya, Bintang tetap aman. Kenangan akan Bintang tak pernah gagal menghangatkan jiwanya.

Meski kini, rasa hangat tersebut harus tercampur dengan perih yang menyayat.

"Mas Bintang-" Rini tersendat isaknya, "sudah dimakamkan. Ndak papa, ya, Nduk? Ibu juga tadi ndak ikut. Nanti Nilam nengok sama Ibu, ya? Maafkan Ibu. Maafkan Mas Bintang, Nduk. Tolong maafkan anak Ibu, ya, Nduk ... maafkan."

Nilam tak pernah ingin melihat ibu mertuanya sehancur ini. Dia segera bangkit memeluk wanita tua itu dan tanpa bisa dicegah, tangisnya pecah di balik punggung gemetar Rini.

Nilam tak bisa menahannya. Luka menganganya, maupun takdir Tuhan, Nilam tahu dia tak punya kuasa. Masa berkabung selalu beriringan dengan rasa duka; Nilam percaya Bintang tidak keberatan dengan ibu dan istrinya menangisi kepergiannya hari ini. Tetapi saat nanti masa itu berlalu, Nilam juga percaya, Bintang tidak menginginkan orang-orang terkasihnya tenggelam dalam ratap.

Nilam harus mengumpulkan keping kekuatannya sebelum saat itu agar tidak mengecewakan Bintang.

•°•°•

Hampa adalah perasaan yang familier bagi Nilam. Toh sepanjang usia seperempat abadnya, dia terbiasa ditinggalkan. Dia ditinggalkan di panti asuhan sejak empat tahun. Teman dekatnya diadopsi satu-persatu, meninggalkannya yang tidak pernah terpilih. Suaminya pergi takkan kembali, memberinya status janda setelah seminggu yang lalu secara sah menjadikannya istri.

Begitu pula para pelayat yang beranjak satu demi satu meninggalkan kediaman Usman, menyisakan hampa itu lagi. Nilam merapatkan jaketnya karena sapuan dingin angin malam menyapa tengkuknya. Jaket Bintang, lebih tepatnya. Jaket kebesaran yang menenggelamkan tubuh kecil Nilam dengan aroma woody khas Bintang.

Nilam menduduki anak tangga teras dan menengadah pada cerahnya purnama bercincinkan halo di sekelilingnya.

Nilam memejamkan mata, dan detik itu juga tubuhnya teringat akan rasa ketika sepasang lengan Bintang meraihnya dari belakang. Kemudian pria itu menangkup sepuluh jemari Nilam dalam satu genggaman, sedangkan dagunya bertumpu pada puncak kepala perempuan itu. Bintang mengisahkan keluh-kesahnya, tetapi yang Nilam dengar adalah debar bertalu-talu dari jantung yang tepat di belakang.

Jantung yang telah berhenti berdenyut.

Kini hanya kenangan iramanya saja yang masih, dan selalu, lekat pada alam bawah sadar Nilam.

"Katanya, beberapa orang terlalu baik, dan Tuhan terlalu sayang sama mereka. Mereka dipulangkan lebih cepat karena ada di sisi Tuhan jauh lebih berarti daripada bertahan di alam manusia yang kacau."

Nilam menoleh, lantas serampangan menghapus air mata ketika Laksmana turut menempatkan diri di sisinya. Pria itu tersenyum samar.

"Padahal aku sudah bilang kalau mau ke Maldives nggak usah nunggu Mas Mana nikah segala," serak Nilam. Tenggorokannya seperti membatu.

"Ada banyak cara menuju Maldives."

"Cuma satu orang yang aku mau ke Maldives bersama."

Laksmana mengatup mulut.

Nilam memejam sesaat. Sakit membelah dadanya ketika dia menyadari bukan semestinya dia menyalahkan Laksmana seperti ini. Bibirnya gemetar, ingin memaksakan senyum, namun justru air yang kembali menggenangi kelopak mata bengkaknya.

"Maaf-"

"Nggak," sela Laksmana segera, menepuk lengan Nilam. "Nggak ada yang salah. Memang benar kamu cuma mau ke Maldives sama Bintang. Dia bilang kalian sengaja nggak mengadakan resepsi skala besar karena saving untuk itu."

Nilam mengangguk menyeka sudut mata. Dia ingin tertawa namun hanya batuk serak yang keluar dari mulut. "Nggak ada artinya saving tanpa Mas Bintang. Apa aku harus nyusul ke sana, ya, Mas?"

Laksmana terbeliak. "Nilam!"

"Bercanda." Nilam terkekeh kosong. "Kalau nyusul dengan sengaja aku nggak akan ketemu Mas Bintang. Aku pasti langsung dibuang ke neraka. Seperti kata Mas Mana, Mas Bintang diamankan sama Tuhan, bukan di neraka."

Kengerian di raut Laksmana tidak juga surut. Uluran tangannya berpindah dari lengan menepuk belakang kepala perempuan itu.

"Take your time, Lam. Aku tunggu kamu di kantor, hmm?"

Setelah Nilam benar-benar memberi senyuman, Laksmana beranjak dan meninggalkan rumah itu meski dengan setengah hati. Nilam masih mengikuti sorot putih Altis milik Laksmana sebelum akhirnya menghilang di tikungan, dan Nilam mengembuskan napas berat. Laksmana benar, dia butuh mengalokasikan waktu untuk setidaknya siap memulai hari sendiri lagi.

Nilam baru beranjak dari duduknya ketika tubuhnya kehilangan keseimbangan, lagi, untuk kesekian kalinya di hari terburuk ini. Jika siang tadi Laksmana yang menahan tubuhnya, malam ini dia menemukan Sahara meraih kedua lengannya di belakang.

"Saya belum makan sejak sarapan. Bisa Nilam makan malam dengan saya?"

Sontak Nilam menegak lantas menjauhkan diri. Melihat kacaunya Sahara, dan Nilam yakin kondisinya pun tidak kalah mengenaskan dari pria itu, dia hanya mengiyakan ketika Sahara berkata akan membawa dua mangkuk soto dari dapur.

Dua mangkuk porsi mini yang sangat sesuai. Sahara paham benar, saat ini mereka tidak butuh makan. Hanya sekadar mengisi lambung yang harus mencerna sesuatu. Setelah menelan suapan terakhir, Pria itu tersenyum lemah ketika Nilam mengumpulkan mangkuk mereka, yang tepat seperti prediksinya, telah sama-sama kosong.

Sahara masih menyesap air mineral gelasnya saat Nilam tertunduk memandangi lantai marmer anak tangga.

Hidungnya terasa panas, namun dia harus menyampaikan ini. "Mas, tolong maafin Mas Bintang, ya?"

Sahara menurunkan gelasnya. "Tolong maafkan istri saya juga."

"Mbak Citra nggak salah." Kali ini dia beranikan diri menatap Sahara, meski dengan mata merah berkaca. "Maksud saya, Mas Hara minta tolong Mas Bintang untuk jagain Mbak Citra. Mas Bintang sudah gagal menjaga Mbak Citra dan anak Mas. Tolong maafkan Mas Bintang, ya, Mas? Ma-maaf ... tolong dimaafkan ...."

Bukan Nilam tidak tahu bahwa Bintang bukan penyebab kehilangan Sahara, tetapi bagaimana pun, Nilam harus memastikan kelapangan bagi Bintang di sana.

"Selama ini Bintang selalu dapat saya andalkan. Dan saya kira Nilam juga paham kejadian ini bukan kelalaian Bintang. Bintang belum pernah mengecewakan saya; dia adik yang menyenangkan buat saya yang anak tunggal."

Adik. Sahara tidak tahu bagaimana leganya Nilam mengetahui Bintang menerima banyak cinta dari orang terdekatnya, bukan hanya dia saja.

"Gimana sama anak SMP itu, Mas?" tanya Nilam kembali, menyeka bawah matanya. "Kita harus apa?"

"Bapak Usman sebagai purnawirawan POLRI tidak mungkin tinggal diam. Saya lelah, Nilam. Menyalahkan tidak meringankan mental saya. Tindakan paling benar di mata saya saat ini adalah mengawasi proses peradilan seketat-ketatnya. Langkah saya ke depannya menyesuaikan objektivitas putusan hakim."

Nilam terdiam sesaat, sebelum mengangguk paham. Bukan Sahara tidak murka, tetapi amarah pun perlu arah. Amarah yang tidak terarah hanya menghasilkan lelah. Sedikitnya Nilam memperlajari sesuatu dari kedewasaan Sahara menyikapi kepergian, meski rasanya nyaris gila.

Sahara menanggalkan kacamatanya, melipat, dan menggantungnya pada dada kerah kemeja. Matanya terangkat menuju arah yang sama dengan Nilam: ratusan bintang yang berkelip kontras menantang langit hitam.

"Sagara masih tantrum, Mas? Mau makan?" Nilam tidak mengalihkan matanya.

"Cuma susu. Ketiduran. Capek, saya rasa."

Nilam mengangguk. "Pasti." Meski Nilam tidak tahu pasti rasanya kehilangan orang tua itu seperti apa. "Mungkin Mas Bintang sekarang jadi salah satu bintang di sana, ya?" tanyanya lagi, sebenarnya lebih untuk diri sendiri. "Apa yang putih itu? Atau yang oranye? Apa yang kuning di dekat bulan itu? Apa Mas Bintang lihat kita di bawah sini, Mas?"

Sahara memerhatikan satu-persatu ke mana telunjuk Nilam mengarah. Bintang, bintang, dan bintang. Semua adalah Bintang di mata Nilam.

"Oke. Hari ini Mas Hara titip anak-istri ke aku. Kalau besok aku gantian minta jagain Nilam dan Bintang Kecil, Mas nggak boleh menolak. Paham?"

Sahara menggeleng, menepis kalimat Bintang yang entah mengapa bergema dalam ingatannya. Namun lidahnya telanjur terdesak pertanyaan spontan.

"Yang tadi itu siapa?"

Kening Nilam mengernyit saat menoleh. "Yang tadi?" Tatapannya segera disambut Sahara.

"Laki-laki yang tadi duduk dengan Nilam sebelum saya. Saya ingin tahu siapa dia."

•°•°•

Meet ... Sahara.

Kusatsu, Shiga, 17 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top