Improvisasi Pertama - 01

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

MENEMUKAN cinta sejati adalah tentang menikah dengan dia yang mencintai dan dicintai. Sesederhana melalui susah-senang bersama, jenuh bersama, sakit bersama, dan mati bersama. Memegang teguh komitmen untuk bersama, dan Nilam percaya, Bintang adalah pria yang paling tepat untuk ikatan ini.

"Kalau Mana nolak, kita ke Raja Ampat. Kalau terima, kita ke Maldives."

Nilam mengendurkan diri dari jeratan Bintang yang masih bertahan di pinggangnya, dan berbalik untuk mensejajarkan mata dengan sang suami. "Kita yang late honeymoon kenapa patokannya harus Mas Mana, sih? Bukan waktu, budget-mmh."

Belum sempat Nilam menyelesaikan omelan, sebuah kecup hangat melekat di bibirnya. "Cita-cita kami, dulu, ke Maldives bareng istri and of course anak, kalau ada."

"Kan dulu." Nilam mengembus lesu. "Keburu air Maldives berevaporasi sisa kristal garam lautnya doang kalau nungguin Mas Mana nikah!"

Bintang mengusap sisi kepala Nilam. "Duh, Bu Guru, evaporasi banget bahasanya."

"Mas Mana tuh kaya' nggak tertarik sama cewek manapun, Mas. Nggak pernah deket sama cewek. Di bimbel juga lempeng-lempeng aja. Dia lagi nggethu (serius banget) buka branch Bright Brain sana-sini. Dasar lelaki ambis!"

Bintang membulatkan mata. "Hmm? Good for him. Kamu bantuin dia lah. Who knows langsung ditunjuk jadi kepala salah satu branch dia."

"Males. Jadi leader ribet-tengok tuh Mas Mana nggak kawin-kawin. Enakan purely teaching aja." Nilam meringis, selagi membenahi simpul dasi Bintang yang menurutnya belum simetris. "Pagi ini jadi nganter Mbak Citra konsul?"

"Jadi. Kamu juga bawa Sagara ke TK?" tanya Bintang, dan Nilam mengangguk. "Hati-hati di jalan, ya. Mas Hara gini banget, istri hamil tua mau ditinggal simposium."

Nilam tertawa pelan. "Biarin, sih. Mas Hara dokter pasti lebih ngerti kondisi Mbak Citra. Lagian HPL Mbak Citra masih dua bulan lagi, 'kan? Mbak Citranya santai ditinggal suami ngapa kamu yang sewot, Mas."

"Karena kalau aku," Bintang melekatkan tubuh istrinya lagi, menghadiahi kecup di kanan-kiri wajah perempuan itu, dan sedikit lebih lama di bibir, "akan bertahan di sisi Bintang Kecil untuk memastikan kedatangannya disambut langsung oleh Papa-Mamanya."

•°•°•

Kombinasi hari Senin dan jatah cuti menikah yang resmi berakhir nyatanya tidak menyurutkan semangat ngantor Bintang dan Nilam. Begitu keduanya keluar kamar, Citra meringis melihat adik dan iparnya masih lengket bahkan saat bergabung sarapan di meja.

"Bangun jam berapa, hah? Dipanggil sarapan jam berapa, keluar kamar jam berapa," sindir Citra, kemudian menyuap serealnya.

"Heish, kita udah bangun dari sebelum subuh, Mbak! Gara-gara Mas Bintang minta lagi-"

Nilam memekik tertahan karena kaki Bintang di bawah meja menginjak kakinya. Citra terkekeh menutup mulut. "Subuh-subuh masih kelonan. Kalian kejar setoran?"

"Om Bintang, Aca bilang sama Sagaya kalo bobo pas subuh itu matanya dipipisin setan," celetuk Sagara di sisi ibunya.

Bintang tersedak air yang baru disesapnya. Nilam menepuk-nepuk punggung suaminya, tertawa prihatin. "Tuh, Om, dengerin Sagara. Subuh nggak boleh tidur ...." dan ketika telinganya mendengar sesuatu, pandangan Nilam beralih ke ruang tamu. "Ada yang datang, ya?"

Menyadari hal yang sama, Citra segera beranjak membukakan pintu untuk suaminya yang langsung diseret menuju ruang makan. Pria 38 tahun tersebut berbagi senyum kepada Bintang dan Nilam sebelum duduk bersama Citra, mengapit Sagara di tengah. Bocah itu menoleh ayahnya.

"Papa belum naik pewasat?"

Sahara mengusap punggung putranya. "Habis ini. 'Kan Papa pamit dulu sama Kung dan Uti. Bapak Ibu ke mana, Cit?"

Citra menunjuk suatu arah dengan gerakan dagu. "Di kamar. Bapak kerokan katanya masuk angin. Nggak usah ditungguin lah, Bapak itu punggung beton, lama ngelemesinnya. Nanti aku pamitin, Mas berangkat, deh. Belum lagi macetnya ini."

"Well." Sahara tersenyum tipis, sebelum beralih pada adik iparnya, "Bintang, aku bisa minta tolong? Jaga Citra sama Saga tiga hari, is it okay?" dan tak lupa pada istri Bintang. "Nilam juga, saya minta maaf pasti direpoti Sagara."

"Mas Hara!" Citra mencatut gemas hidung suaminya. "Udah kenal sekian tahun masih juga 'saya-sayaan' sama Nilam. Nilam udah nikah sama Bintang ini, Mas."

"Tau sih, Mas Hara. Kaku bener kanebo gersang," ejek Bintang disertai tawa. "Biasain informal dikit lah, Mas. Ini istriku bukan pasien."

Nilam menahan diri agar tidak meringis. Jika boleh jujur dia justru tenang karena sekat formalitas yang tegas ditancapkan Sahara sejak perkenalan pertama. Insting perempuan Nilam mengatakan dia butuh jarak aman yang lebih jauh dengan suami iparnya itu, jika dibandingkan dengan pria-pria selain Bintang.

Namun sindiran kakak-beradik barusan sedikit mengusik Sahara. Lelaki itu membenahi bridge kacamatanya dengan jari tengah, lantas melekatkan tatapan kembali pada Nilam.

"Nilam, bagaimana? Pilih 'saya' atau 'aku'?"

Nilam membulatkan mata. Pertanyaan apa itu?

"Pilih ...." menelan ludah kaku, dia melirik suaminya. "Saya pasti pilih Mas Bintang."

Jawaban jujur Nilam membuat Bintang tertawa dan secara reflektif menarik istrinya dalam pelukan. Nilam membenamkan wajah, menahan malu sebab tawa Sahara dan Citra ikut terdengar.

Masih mengusap-usap poni Nilam, Bintang menanggapi. "Oke. Hari ini Mas Hara titip anak-istri ke aku. Kalau besok aku gantian minta jagain Nilam dan Bintang Kecil, Mas nggak boleh menolak. Paham?"

•°•°•

Senyum bertahan awet di bibir Nilam sepanjang perjalanan mengantar Sagara ke TK, bahkan sampai di parkiran Bright Brain tempatnya bekerja. Kehangatan Bintang seakan masih mendekap hatinya. Sesekali dia mengendus lengan sebab wangi tubuh Bintang masih melekat di kemejanya. Dan pipinya merona setiap kata-kata Bintang berputar kembali di telinganya.

Bintang Kecil, katanya.

Berjalan menuju lobi bernuansa putih untuk absensi finger print, sesekali Nilam mengusap perut datarnya. Baru seminggu menikah dan Bintang sudah menamai perut itu seakan calon ruh telah hadir di dalamnya. Meski keduanya sepakat untuk tidak terburu-buru soal anak, tetapi Nilam suka dengan optimisme yang pria itu wujudkan berupa perlakuan manis hanya untuknya.

"Wadoh, sing manten anyar, isuk-isuk mesam-mesem! (Waduh, yang pengantin baru, pagi-pagi senyam-senyum!)"

Alih-alih surut, senyum Nilam makin lebar saat meletakkan tas dan duduk di kubikelnya, sebelum dia membalas Fahri dengan, "Makane rabio. (Makanya nikah.) Malam pertama nagih, tau!"

"Serius? Serius?!" Karla menggeser kursi ergonomisnya merapat di sisi Nilam, memperlihatkan sepasang mata berbinar. "Pas masukin gimana? Perih? Perih enak? Nggak salah masukin lubang, 'kan?"

Nilam menegakkan punggung dan leher, celingukan sesaat, sebelum akhirnya meringkuk dan kedua sahabatnya makin merapatkan diri. Dia berbisik misterius, "Senut-senut sedap mantap anjir."

Jawaban yang otomatis dihadiahi Fahri dengan toyoran disertai desis, "Baru lepas perawan langsung barbar!" sementara Karla menggeliat di tempat seakan hendak meledak.

"Gila Mas Bintang, gila! Berarti sekali cus langsung los dol?"

"Bahasamu, La!" Nilam mencubit lengan Karla. "Nggak lah. Tiga kali coba baru dapet. Pertama Mas Bintang di atas. Kedua aku di atas. Ketiga Mas Bintang di atas lagi tapi kita-"

"Arunilam."

Ketiganya terkesiap dan sontak berdiri, setengah melompat dari kursi. Nilam memegangi Karla yang limbung karena kakinya belum siap. Ketiganya merespon teguran pria di depan kubikel dengan senyum dipaksakan yang lebih menyerupai ringisan.

"Pagi, Mas." Nilam mengawali sebagai pihak yang kena tegur, disusul Karla dan Fahri.

Pria tersebut, Laksmana, bergantian menyelisik raut ketiga pengajarnya dari balik lensa kacamata. "Pagi. Kenapa berhenti? Morning talks bagus untuk personal relation antar karyawan asal nggak kebablasan aja, sih."

"Mereka yang mulai duluan, Mas," adu Nilam kalem.

"Elah elu juga responsif," decak Fahri yang kalau sudah gemas secara otomatis menggunakan logat tanah kelahirannya.

"Maafin, ya, Mas. Baru naik ranjang, eh, naik pelaminan maksudnya jadi kudu kenceng siraman doanya," tambah Karla.

Nilam mengikik. "Gibah berkedok doa."

Dengan status lajangnya sekaligus sahabat Bintang, mau tidak mau Laksmana ikut terseret dalam obrolan singkat itu sebelum akhirnya bel berbunyi. Bel pertama pagi ini sebagai penanda kelas akan dimulai 30 menit lagi.

Kelas pagi yang dimaksud tentu saja bukan tatap muka formal antara guru dan para siswa, melainkan para guru yang harus berpencar ke rumah masing-masing siswa. Ya, LBB Bright Brain memiliki legalitas penuh atas praktik sekolah rumah alias home schooling. Setelah mendapat titel sarjana pendidikannya, status Nilam yang awalnya hanya pengajar magang dinaikkan menjadi pengajar tetap. Hanya pengajar tetap yang berhak mengikuti training dan seleksi tutor sekolah rumah.

Terima kasih pada omega 3 dari ikan laut yang selalu Bunda Intan sajikan sebagai menu makan malam, Nilam dan adik-adiknya jarang mengalami kesulitan belajar. Dia lulus seleksi tutor sekolah rumah dalam sekejap mata.

Nilam sudah keluar dari panti. Sudah lulus sekolah dengan predikat terpuji dan meniti karier yang prospeknya menjanjikan. Berpenghasilan cukup untuk menghidupi diri sendiri dan masih bisa menyisihkan untuk panti. Lalu menikah dengan Bintang yang mencintai dan dicintainya lima tahun terakhir, akrab dengan mertua dan ipar yang menerimanya dengan tangan terbuka, telah menggenapkan ceklis "hidup sempurna" idaman Nilam sejak kanak-kanak.

Sambil bersiap menuju rumah siswanya, di kepala perempuan itu sedang berputar poin-poin ceklis baru yang akan dia diskusikan dengan Bintang nanti. Ayunan kakinya berhenti sesaat di depan ruang kerja Laksmana yang pintunya sedikit terbuka. Nilam merapatkan tubuh, mengetuk pintu, dan memasukkan setengah badannya setelah izin terdengar dari empunya ruangan.

"Ya?" Laksmana, di sofa, beralih dari laptop di pangkuannya.

"Mas Mana terima perjodohan itu?" Nilam tidak berbasa-basi.

"Gimana?"

Nilam mengerjap. "Mas lagi dijodohin sama Mamanya, 'kan? Terima nggak? Kalau iya kita ke Maldives."

Butuh sekian detik bagi Laksmana untuk mencerna sebelum akhirnya tertawa ringan. "No. Belum ada Maldives tahun ini."

"Yah?" Bahu Nilam otomatis turun. "Mas Bintang harus berempat banget perginya. Buruan kawin lah, Mas!"

"Kasih tahu Bintang aku baru ditolak cewek. Mau pergi ya pergi sana. Go on. Masih bisa trip berempat setelah aku nikah."

"Aku maunya juga gitu, Mas!" geram Nilam, sebelum matanya membulat sempurna. "Siapa? Siapa yang bisa menolak seorang Laksmana Adikara Dewandaru? Asal bukan istri orang aku sama Mas Bintang bantuin, nih. Ajak main keluar bareng atau-"

"Yep. Istri orang," potong Laksmana cepat, menjulurkan lidah.

Kelakar Laksmana cenderung lebih terdengar menyebalkan ketimbang lucu bagi telinga Nilam. Perempuan itu mendengkus sebelum akhirnya menutup pintu dan menyerah. Meninggalkan Laksmana, seperti biasa, tanpa pernah mengerti apa yang lima tahun ini selalu luput dari perhatiannya terhadap pria itu.

•°•°•

Di beberapa negara termasuk Indonesia, sekolah rumah masih dipandang sebagai jalur pendidikan eksklusif yang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke atas. Padahal sebenarnya sekolah rumah hadir sebagai solusi bagi anak-anak yang tidak/kurang mampu menyerap ilmu lewat pendidikan konvensional, dengan pelbagai sebab. Ya, tarif tutor sekolah rumah cenderung lebih tinggi dibanding sekolah formal, tetapi bukankah tidak adanya uang pangkal gedung, biaya transportasi, uang jajan perhari, dan tetek-bengek lain adalah salah satu sisi positif sekolah rumah?

Itu opini sepihak Nilam. Dan alasan terbesar mengapa sekolah rumah itu (terkesan) mewah karena concern wali murid yang sangat tinggi terhadap kebutuhan anak-terutama pendidikan. Bagi mereka, menggelontorkan sejumlah pendapatan untuk memaksimalkan potensi anak adalah investasi, baik di sekolah formal maupun rumah. Berbeda dengan kebanyakan wali murid yang menganut asas asal-anak-belajar; mereka ingin anak tidak sekadar belajar, namun harus terarah dengan jelas.

Mereka memberi perhatian detil pada setiap faktor penunjang pendidikan, termasuk relasi dengan tutor. Bukan sekali-dua kali saja Nilam disuguhi kudapan lezat dan pulang dengan buah tangan ini-itu. Seperti hari ini, Nilam pulang membawa dua box pancake durian.

Normalnya, sebisa mungkin Nilam menolak karena khawatir terjerat tuduhan gratifikasi. Tetapi, halo, ini durian dan Bintang adalah penggila durian sejati. Kali ini Nilam menyerah.

Menenteng sebuah paper bag besar, Nilam menyusuri koridor Bright Brain dan masuk ruang kerjanya. Bermaksud mengisi LPS (Laporan Progres Siswa), namun entah mengapa Laksmana ada di kubikelnya. Berdiri gelisah seakan menunggunya. Pria itu berbalik ketika menyadari kedatangan Nilam.

Nilam mengernyit karena Laksmana terburu-buru menyeka sudut mata dengan satu tangan yang tidak menggenggam ponsel.

"Mas ... nangis?" tanya Nilam, berhati-hati.

Pria itu melepas kacamata dan menatap nanar. Mulutnya membuka, menutup, tak satu katapun dapat dia suarakan. Nilam meletakkan paper bag dan mengeluarkan satu box pancake durian yang diangsurkan pada Laksmana.

"Nih, suka durian 'kan? Tapi bagi-bagi sama yang lain." Nilam tersenyum menepuk box lain dalam paper bag. "Yang ini buat Mas Bintang."

Mendengar Bintang, jantung Laksmana berderap semakin gila. Bagaimana dia harus mengatakannya?

"Mas?" Nilam mengibas di depan hidung Laksmana yang mengeraskan rahang. "Mas Mana?"

Bukan hanya Laksmana rupanya. Nilam baru menyadari seluruh rekan pengajar di ruangan ini memberinya tatapan iba. Tak terkecuali Fahri dan Karla yang kemudian beranjak menghampirinya. Fahri mengambil tas tangan Nilam sementara Karla mengusap lengan perempuan itu disertai senyum getir.

"Lam, kamu harus pulang. Sekarang."

Tawa Nilam lenyap.

•°•°•

Semua bungkam dalam Altis yang dilajukan Laksmana menuju kediaman orang tua Bintang. Sesekali Nilam masih menuntut penjelasan dari Karla maupun Fahri yang duduk di belakang tetapi nihil; mereka bisu. Nilam mencoba menghubungi Bintang dan mertuanya namun tidak satupun menjawab.

Tanpa sebab yang pasti telapak Nilam basah oleh keringat saat mobil melintasi gerbang perumahan. Kendaraan Laksmana diparkir di depan rumah tujuan yang anehnya dipenuhi kendaraan bermotor lain. Orang-orang berdiri di halaman. Dari seragam kerja mereka, Nilam mengenali sebagai rekan kerja Bintang sesama bankir sebuah bank swasta.

Nilam masih tak memahami apapun hingga dia turun dan melihat sendiri, bendera kuning tertiup angin pada salah satu jeruji pagar hitam rumah.

Ponsel dalam genggaman Nilam terasa sangat berat. Lepas dari jemarinya dan terpelanting di atas aspal.

Raut duka mendalam dari setiap wajah mengantar Nilam yang bersusah-payah menyeret kaki untuk mencapai pintu rumah. Telinganya menuli. Matanya memanas. Napasnya kian memendek bersama setiap langkah yang dia ambil.

Dari ambang pintu dia menyaksikan dua gundukan panjang berjajar, masing-masing tertutup hamparan kain putih.

Ibu mertuanya berada dalam pelukan sang suami, layaknya mayat hidup dengan air meleleh dari mata yang menatap hampa pada kedua gundukan.

Akal sehat Nilam menolak mentah-mentah semua fakta yang ditusukkan ke matanya. Giginya bergemeretak. Oksigennya dirampas dari pernapasan. Lumpuh menyerang dari tubuh bawahnya dan merambat ke atas. Matanya memburam karena genangan air.

Tubuhnya tumbang bahkan sebelum air mata itu sempat membasahi lantai.

•°•°•

Meet ... Arunilam.


Seperti biasa, rapid test dulu 3 bab. Kalo rame lanjut. Mehehe.

Kusatsu, Shiga, 13 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top