Improvisasi Kedua - 06

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

Mas Mana
Nilam
kamu belum pulang?
kenapa cuma di read, apa kamu semarah itu?

JALAN protokol Kota Malang pukul sembilan malam masih terbilang hidup. Diterangi lampu-lampu setiap jarak lima meter. Dimeriahkan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sektor usaha sejenisnya. Dipadati kendaraan bermotor roda dua ataupun empat. Dibisingkan bunyi klakson bersahut-sahutan karena lampu hijau sudah menyala lima detik, tetapi antrean mobil di depan tidak menunjukkan pergerakan.

Mengembus bosan, Nilam mengunci layar dan menyimpan ponselnya dalam dasbor. Perempuan itu mencondongkan tubuh, menengadah pada langit hitam berkilauan melalui kaca utama mobil. Dilambaikannya satu tangan ke atas sana.

Jemari Sahara berhenti mengetuki roda kemudi dalam genggaman. Kelakuan aneh Nilam memancing perhatiannya, menerbitkan senyum kecilnya.

"Nilam sedang apa?"

Nilam tak mengalihkan matanya. "Ada Mas Bintang, ada Bulan juga." Ditunjuknya satu titik pada kaca mobil, "Yang kuning paling terang itu Mas Bintang," lalu berpindah ke titik lain, "yang paling besar dan bundar itu Rembulan."

Sahara turut mencondongkan tubuh, nyaris memeluk setir saat menengadah. Purnama sedang terang-terangnya menyinari ini.

"Well, then," dari balik kacamata, Sahara mengamati bintang-bintang lain, kemudian menunjuk satu, "yang itu Citra, karena dia suka warna putih."

"Mbak Citra, halooo!" sapa Nilam, menyesuaikan arah telunjuk Sahara. "Putih artinya suci, sesuai sama Mbak Citra yang keibuan."

"Nilam suka warna apa?" Kali ini Sahara menoleh.

Nilam turut menelengkan kepala. "Apa, ya?" Dia tampak berpikir, sebelum menatap Sahara tepat di mata. "Nggak ada warna tertentu, tapi aku suka nuansa pastel. Pink pastel, biru pastel, hijau pastel, kuning pastel ... kesannya kalem, damai, adem ...."

"Hmm." Sahara mengangguk. "Agak bertolak belakang."

Nilam menyipit. "Excuse me? Maksud Mas aku ini barbar, gitu?!"

"Image Nilam di mata saya cenderung bernuansa tropikal. Warna-warna segar dan vibrant, seperti buah-buahan di pantai saat musim panas, pas untuk mendeskripsikan Nilam."

Perut Nilam seakan tergelitik. "Aku buah-buahan?"

Perempuan itu berdecih, menunduk untuk menyembunyikan senyum geli. Padahal Sahara mengatakan dengan raut sedatar papan triplek, seperti biasa, namun Nilam mendengarnya sebagai sesuatu yang lucu. Entah apa yang salah, tapi bukankah dari dulu raut Sahara selalu membuatnya muak? Akhir-akhir ini rasanya sedikit aneh.

Untuk mengalihkan kecanggungannya, Nilam melihat-lihat ke depan jalan. Antrean panjang belum bergerak. Pun klakson bernada emosi masih bersahutan dari segala arah.

"Di depan ada apaan, sih?" Nilam menggumam.

"Konvoi Arema, saya baca di koran pagi."

"Mas nggak ikutan ngeklakson juga? Tadi sempet ijo, nggak maju sama sekali, sekarang merah lagi."

"Tambahan klakson dari saya tidak mungkin membantu mengatasi macet, jadi untuk apa?"

Nilam terdiam sesaat, sebelum melirik.

"Bener juga, sih." Dia mengangguk. "Lagian ada polisinya di depan. Mas Bintang pernah bilang, kalo di perempatan ada polisi yang ngatur, berarti traffic light nggak berlaku. Mau diklakson sampai Arema-Persebaya berpelukan ala Teletubbies juga percuma."

Sahara tertawa ringan. "Banyak yang sadar bahwa membunyikan klakson di saat seperti ini percuma, tetapi masih dilakukan sebagai pelampiasan. Karena mental sedang tertekan, atau hanya sekadar bosan."

Menoleh lagi, Nilam mengernyit.

"Mas nggak ngerasain itu, ya? Mas Hara mah mukanya rata terus, nggak ada ekspresi. Marah datar, nangis datar, bosen datar, senyum datar, ketawa juga datar. Herman akutu, kok bisa otot mukanya sekaku itu?"

"Sebut saja saya memang tidak pintar berekspresi. Saya tidak tertekan atau bosan." Sahara kembali menengadah, tersenyum pada langit berbintang. "Karena malam ini rasanya seperti buah-buahan segar di pantai saat musim panas."

•°•°•

Kerikil nomor 47 baru saja Laksmana deretkan bersama kerikil-kerikil lain di lantai, ketika lampu jauh sebuah mobil menyorot dan perlahan mendekatinya. Mobil itu kemudian berhenti dan parkir di halaman rumah Usman, tepat di samping mobilnya. Laksmana beranjak segera.

Keningnya mengernyit, karena yang dia tunggu adalah Nilam, bukan pemilik Rover putih yang dikenalinya itu.

Masih dari tempatnya berdiri di anak tangga, Laksmana memperhatikan Sahara turun kemudian berputar membukakan pintu penumpang depan. Pria itu tampak berhati-hati membantu seseorang turun. Laksmana yang baru sadar situasinya buru-buru menghampiri keduanya.

"Ada apa?" tanyanya, memperlebar bukaan daun pintu mobil setelah Nilam turun. "Motor kamu mana, Lam?"

"Nilam jatuh dan terkilir, motornya masih di rumah saya." Sahara menjawab, segera mengulurkan tangan untuk Nilam. "Ayo masuk—"

Laksmana menyikut uluran lengan itu dengan mengulurkan lengannya sendiri. "Ayo, Nilam."

Merasa terusik, Sahara memutar tubuh pada Laksmana. "Mas Laksmana, Nilam datang dengan saya."

Seakan menyambut tantangan, Laksmana tersenyum berhadap-hadapan dengan lawannya. "Terima kasih, Mas Sahara. Selanjutnya serahkan pada saya, karena saya sudah menunggu Nilam sejak 47 menit yang lalu. Mas bisa pulang."

"Saya akan pulang setelah Nilam masuk kamar dengan selamat."

"Ah ... jangan khawatir, biar saya yang masukkan dia."

"Lebih baik saya memastikan sendiri."

"Akan saya pastikan untuk Mas. Apa Mas mau saya kirimkan foto Nilam pas masuk kamar nanti?"

"Saya tidak ingin merepotkan, dan saya juga tidak bertukar kontak dengan orang asing." Sahara menutupnya dengan senyum. "Nilam, ayo—"

Namun Laksmana tetap menepis lengan Sahara. "Saya bukan orang asing. Bukankah saya bilang, sebentar lagi saya juga keluarga Mas Sahara? Nilam, ayo—"

"Stop, Mas! Dua-duanya!"

Pekik Nilam membuat kedua pria berkacamata terkesiap. Perempuan itu memejam frustrasi. Tertatih-tatih, Nilam menyeret kakinya, melewati keduanya menuju rumah. Siapa bilang dia butuh bantuan?

Di dalam, Rini dan Usman menyambut Nilam dengan raut cemas. Setelah Sahara menjelaskan situasinya, keduanya tersenyum, sedikit lebih lega.

"Terima kasih, Hara," ucap Usman, menepuk lengan menantunya.

"Inggih, Pak. Kalau begitu saya permisi," balas Sahara, kemudian melempar lirikan pada Laksmana, "supaya Nilam bisa istirahat."

Setengah hatinya tidak terima, namun Laksmana memahami maksud Sahara. Pria itu turut membungkuk. "Saya juga permisi, Ibu, Bapak."

"Kok pulang, Mas Mana? Sudah nunggu satu jam, lho," cegah Rini, tak enak hati.

"Nggak apa-apa, Bu, lain kali saja. Nilam harus isti—"

"Nggak, aku nggak apa-apa, Mas," potong Nilam segera, melayangkan senyum untuk Laksmana. "Mas mau bicara apa? Ayo."

•°•°•

Lima menit berlalu sejak kepergian mobil Sahara, baik Nilam maupun Laksmana yang duduk bersisian di anak tangga masih sama-sama diam. Nilam sibuk makan terang bulan kacang-meses-keju panas yang tadi dibelikan Sahara. Laksmana membuang pandang pada langit malam.

"Mas mau ngomong soal Ray, kan?" Tidak tahan lagi, Nilam berinisiatif memulai. "Ngomong, deh. Aku dengerin."

Laksmana menoleh. Perempuan itu tampak kalem saat menjilati sisa meses di jari dengan ujung lidah. Sadar diperhatikan, gerakan Nilam berhenti.

"Yakin nggak mau? Extra cheese dan meses lho, Mas," tawarnya.

Laksmana menggeleng. Sampai mati pun dia tidak sudi makan pemberian Sahara.

"Aku bawain kamu martabak, kamu nggak makan?"

"Makan, dong. Besok buat sarapan. Kan sudah disimpen Ibu," dengkus Nilam kesal, membersihkan tangannya dengan tisu dari kotak. "Mas mau bicara soal Ray atau tantrum karena Mas Hara? Kalo cuma mau tantrum mendingan aku masuk."

"Ya. Ya, ini soal Ray," cegah Laksmana cepat. "Aku yang ngasih tahu dia jadwal kelasmu. Maaf."

Tatapan Nilam menajam. "Apa itu diperbolehkan?"

"Tidak." Laksmana menunduk lemas. "Maaf."

"Tapi juga nggak ada larangan. Ini bukan pertama kalinya ada anak yang milih kelas sesuai tutor karena satu dan hal lain. Udahlah. Lagian kelasku kosong satu. Mas nggak terima apapun, kan?"

"Terima apa?" Laksmana mengernyit, sebelum dia terbeliak menyadari maksud Nilam. "Of course not aku nggak serendah itu, Nilam!"

Nilam mengangguk, mengembangkan senyum teduhnya. "Aku percaya Mas Mana."

Mendengar itu, Laksmana dialiri perasaan lega. Ketika Nilam kembali mencomot sepotong terang bulan untuk dimakan, pria itu kembali menengadah pada langit.

"Kamu nggak tanya kenapa aku melakukan ini?"

"Nggak." Nilam menutup mulut dengan jari selagi mengunyah. "Something like ... supaya aku berdamai dengan masa lalu seperti yang sering dibilang Mas Hara."

"Semacam itu. Dan aku pikir, sebagai anak-anak, Ray punya tekanannya sendiri. Dia punya beban sendiri yang nggak dimengerti orang dewasa. Well, meskipun terlepas dari itu, masalah dia nggak bisa dijadikan excuse untuk membenarkan kesalahannya. Dari kacamata pengelola lembaga bimbingan belajar, aku tetap berpendapat dia punya hak pendidikan yang sama dengan anak lain."

"Ya, termasuk milih di kelasku."

"Aku rasa kedepannya kamu bisa membantu dia."

"Setelah dia bunuh Mas Bintang?"

Laksmana tersenyum tipis. Memang tidak salah jika Nilam berpikir seperti itu. Laksmana menyadari, dalam situasi ini apapun yang diutarakannya hanya akan memicu konfrontasi. Dia memilih diam, tetap melihat-lihat langit.

Tangannya terangkat menunjuk satu titik.

"Yang kuning paling terang ... itu Bintang."

Nilam berhenti mengunyah.

"Aku tadi juga mikir gitu," gumamnya.

"Oh, ya?" Laksmana menoleh.

"Hmm. Bulan itu Mbul, terus yang putih itu Mbak Citra, kata Mas—"

Nilam menggantung kalimatnya. Laksmana tidak mungkin senang mendengar ini.

Laksmana tersenyum paham, mengusap ringan puncak kepala perempuan di sisinya. "Aku baru mau bilang aku cemburu, tapi kamu ngerti bahkan sebelum aku bersuara. Kamu tahu gimana senangnya aku malam ini?"

Tawa Laksamana, senyum Laksmana, serta bagaimana pria itu tersipu saat menarik tangan kembali membuat hati Nilam berdesir. Matanya terpaku, enggan lepas dari sosok Laksmana.

"Salah satu bagian membahagiakan saat jatuh cinta adalah saat orang itu memahami kita, sekecil apapun. Rasanya sulit diungkapkan, aku nggak pintar milih kalimat." Laksmana tertunduk rikuh, mengusapi tengkuk, terkekeh pelan. "Aku gampangan banget, ya, Lam?"

Nilam mengalihkan wajahnya. Ke pepohonan, ke jalanan, ke deretan kerikil yang disusun Laksmana saat menunggunya. Namun semakin menghindar, debar jantungnya kian kencang dan kini makin jelas.

Nilam pernah berdebar sehebat seperti ini, delapan tahun lalu, ketika Bintang menghampirinya dengan senyum malu-malu.

•°•°•

Matahari bersinar sangat terik siang ini, saat Nilam keluar dari pekarangan rumah salah satu siswa. Seharusnya dia memesan ojol dan segera kembali ke kantor, tetapi dia teringat rumah Laksmana di sekitar sini. Di kompleks ini. Nilam sedang mempertimbangkan untuk membesuk pria itu sebentar.

Membesuk? Ya, Laksmana tidak ke kantor hari ini. Alasannya sakit. Mengherankan mengingat selama ini pria itu pekerja keras yang pantang absen satu haripun. Jika sampai tidak ngantor, berarti sakitnya cukup serius.

Nilam segera menuju ke lokasi. Kebetulan yang luar biasa karena rumah Laksmana hanya selisih satu rumah dari tempat Nilam berdiri sekarang.

"Selamat siang, dengan siapa ini?" tanya sebuah suara dari interkom yang tertanam pada pilar gerbang.

"Siang. Saya Nilam dari Bright Brain, mau bertemu Mas Laksmana."

Setelah diminta menunggu sesaat, seorang pria kekar berseragam sekuriti membukakan pintu kecil yang merupakan bagian gerbang. Nilam dipersilakan masuk, sekuriti itu mengantarnya sampai teras untuk menunggu lagi. Namun belum sempat dia duduk, pintu jati yang tinggi menjulang itu terbuka dari dalam.

"Kamu sendirian?" Laksmana muncul dengan raut pucat bercampur khawatir.

"Sama siapa lagi?" Nilam tersenyum mengangkat bahu. "Habis dari rumah Jenna di sebelah."

"Kaki kamu, Nilam ...."

"Kaki aku nggak papa, nih." Nilam menunjukkan pergelangan kakinya yang menghitam, tapi bisa digerakkan dengan baik. Kemudian dia mencebik. "Aku mau jenguk Mas, kenapa malah Mas yang khawatir sama aku?"

Laksmana tertawa ringan lantas mempersilakan Nilam masuk.

Ini bukan pertama kalinya Nilam berkunjung ke rumah Laksmana. Rumah orang tua, lebih tepatnya. Minimal setahun sekali setiap idul fitri, Laksmana mengundang seluruh karyawan dalam acara open house. Nilam selalu terkesima setiap memasuki rumah mewah ini, meski hanya di batas ruang tamu.

"Mas kenapa? Sakit apa?" Nilam bertanya, setelah duduk dan pria itu berada di sisi menyiku dari tempatnya.

"Pencernaan, kayaknya."

"Diare?" Nilam benar-benar cemas, Laksmana sangat pucat seperti kekurangan cairan.

"Nggak. Lebih ke kram, mual, muntah. Sakit kepala seperti vertigo, tadi pagi bener-bener nggak bisa bangun."

"Sekarang gimana?"

"Habis tidur seharian, makan, I'm feeling better."

"Alhamdulillah." Senyum Nilam mengembang.

"Apalagi kedatangan tamu yang diinginkan."

Nilam tertunduk, astaga, jangan sampai Laksmana melihat senyumnya yang aneh karena terlalu lebar.

"Mas sendirian?" tanyanya lagi, setelah menetralkan jantung.

"As you can see." Laksmana mengangkat bahu. "Mama ke butik. Papa hampir nggak pernah di sini, mostly dinas keliling negara. Kalau aku kerja, tuan rumah di sini sekuriti sama Bibi ART."

Nilam mengangguk, kemudian matanya kembali berbinar. "Mas, aku boleh pinjem dapur?"

"Boleh. Mau bikin apa?"

"Apa aja seadanya bahan. Aku ke sini spontan nggak bawa apa-apa, aku bikinin aja, ya?"

Tawaran yang tidak mungkin Laksmana lewatkan begitu saja.

Meninggalkan tasnya di sofa, Nilam beranjak mengekori Laksmana menuju dapur. Saat melewati sebuah almari besar kokoh, langkah kakinya berhenti sejenak. Almari kaca berisi deretan piagam, piala, dan foto-foto berbingkai.

Ada Bintang di sana, meski hanya di satu foto bersama Laksmana. Kenangan selepas pendakian di puncak Mahameru sepuluh tahun lalu. Nilam merapat, menyentuh foto itu meski hanya dari kaca luar. Sepuluh tahun yang lalu adalah sekitar pertemuan pertamanya dengan Bintang.

Mata Nilam bergerak menjelajah foto-foto lain. Foto kelulusan, menerima penghargaan, sampai masa TK Laksmana berjejer lengkap. Perhatiannya terhenti pada satu foto yang terasa aneh.

Seorang anak laki-laki di bilangan tujuh tahun yang terasa familier.

Cukup lama Nilam mengamati anak dengan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu itu. Pikirannya berkelana, mencari perasaan salah apa yang mengganggunya karena foto ini. Sampai Laksmana muncul, menoleh dari sisi lain almari.

"Nilam? Ayo, kamu harus balik habis ini," tegurnya.

Nilam bergegas kembali ke tujuan awal, mengikuti langkah Laksmana.

Setelah mengidentifikasi isi kulkas, Nilam pikir cream soup adalah pilihan yang tepat untuk meredakan gejolak perut. Sementara Laksmana menunggu di meja makan, Nilam mulai mengeluarkan telur, jagung pipil, jamur, ayam, dan asparagus.

Laksmana bertopang dagu, mengamati sosok berapron putih dari samping yang tampak serius memotong jamur. Pikirannya berkelana jauh.

"Meluk istri dari belakang pas lagi masak enak kali, ya?"

Nilam mengerling sekilas. "Berat, tau."

"Istri, kok. Bukan kamu." Laksmana menjulurkan lidah.

"Emang situ punya?"

"Belum, sih. Lagi ikhtiar. Doain, ya?"

"Doain apa?"

"Doain jodoh."

"Doain nggak yaaa?"

"Kamu masih mau ke Maldives, nggak?"

Nilam melirik lagi. Kali ini Laksmana tampak merebahkan kepala di atas meja.

"Mau," jawabnya singkat, kembali memotong bawang putih. Nilam menanti sahutan, tapi tidak terdengar apapun. "Mas, aku mau tanya, boleh?"

Laksmana tetap hening.

"Di lemari depan ada foto, itu ...." Kalimat Nilam tergantung, sebab saat diliriknya lagi, mata Laksmana telah terpejam. Nilam tersenyum tipis. Dasar pria itu, padahal katanya sudah tidur seharian?

•°•°•

Setelah mengeringkan tangan, Nilam melepas dan menggantung apron kembali di samping kulkas. Dihampirinya Laksmana yang masih tidur dengan posisi semula. Nilam menarik salah satu kursi, duduk, dan memerhatikan lekat fitur wajah tegas sang atasan.

Bibirnya yang memutih membuat Nilam tersenyum khawatir. Pasti tidak nyaman tertidur dalam posisi seperti ini. Nilam mengusap punggung Laksmana, mencoba tidak mengejutkannya.

"Mas, aku selesai. Mas tidur di kamar, ya?" bisiknya.

Laksmana tak bereaksi. Nilam mengusap kening pria itu, kemudian berjengit karena sesuatu.

Dingin. Laksmana sangat dingin.

Begitu pula dengan wajahnya, lehernya, dan jemarinya yang kini Nilam remas keras-keras.

"Mas? Mas bangun, Mas. Are you okay?!"

Matanya mulai berkaca. Nilam mengguncang lengan Laksmana dengan panik.

"Mas! Mas, bangun! Mas Mana, jangan ngeprank ini nggak lucu!"

Air matanya berderai, namun Nilam tak peduli. Dia bergegas lari keluar rumah, memohon pertolongan sekuriti. Sementara sekuriti tersebut mempersiapkan mobil, hati Nilam merapalkan doa mati-matian, sekaligus memaki diri sendiri.

Sudah setengah jam Laksmana tertidur dalam posisi itu, mengapa dia begitu tolol tidak menyadari keanehan apapun?

•°•°•

Halo, gaes, apa kabarnya? Di tengah pandemi begini harus selalu jaga kesehatan, jaga kebersihan, patuhi protokol, jangan keluyuran. Semoga kita semua dikasih kekebalan lebih, ya. Aamiin 🤲🏻

Bab ini adalah bab terakhir Improvisasi Rasa di tahun 2020. Kita ketemu lagi di 2021.

Tapi ... cerita ini akan jadi prioritas keduaku. Prioritas pertamaku adalah cerita lain. Cek dulu dong lapaknya 👇🏻

Kenapa The Countdown akan jadi top priority ku di awal 2021?

Karena cerita ini harus banget banget selesai, cuy. Cerita ini udah fix pasti diterbitkan, jadi aku nggak bisa mundur. Kalo nggak kelar bakal ditagih terus sama penerbit 😂

Rencananya The Countdown akan update setiap hari, macam TERSIPU. Kalo aku nggak update silakan ditagih.

Karena itu Improvisasi Rasa akan slow update dulu. Maaf, ya, penulisnya mumet 😅

Jangan lupa tambahkan The Countdown di library masing-masing. Kita hitung mundur bersama dokter Patra dan dedek Asia. Muah!

Kusatsu, Shiga, 27 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top