Improvisasi Kedua - 04


Paras-Prabu sudah tersedia di IBUK, ya. Bukan Playbook. Dan pengumuman GA ada di ig dan fb ku

Mana yang kangen SaLam / MaLam? Ramaein dong wkwk

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"PAGI, Mas." Dua menit setelah membuka mata, Nilam mengecup ringan bingkai foto 4R itu. "Pagi, Bulan." Masih berbaring di ranjang, ditatapnya lembut objek yang ada di genggaman. "Mas, Mbul, aku sakit. Mau makan bubur ketan hitam yang dulu sering Mas bawakan, tapi sudah nggak ada yang lewat depan rumah ...."

Dadanya ngilu mendengar percakapan satu arah itu dari balik pintu sang menantu. Rini segera berbalik, berniat mencarikan keinginan menantunya, sampai dia mendengar jeritan spontan dari kamar itu.

"Ya Allah, Mas! Aku lupa ke rumah Sagara!!!"

•°•°•

Kehadiran Sagara dan papanya di ambang pintu kediaman Usman membuat jantung Nilam melorot. Wajah pucatnya kian memutih saat Sagara mendekat. Anak itu berjengit saat Nilam tiba-tiba saja bersimpuh di kakinya, mencengkram lututnya.

"Maafin Tante, Gara! Maafin Tanteee! Tante khilaf! Tante lupa ke rumah Gara! Tante pusing terus—"

"Tante, stop! Tante kayak ibu-ibu di sinema kumenangis tau nggak, sih?! Itu ingusnya kena celanaku, hish!" maki Sagara berang yang otomatis membuat Nilam berdiri mundur.

Menyaksikan tantenya kewalahan mengelapi ingus dengan lembaran tisu, Sagara justru tertawa. Nilam tersenyum lega meski hidungnya nyut-nyutan sekali. Setidaknya anak itu tidak kecewa. Dia cukup paham bahwa saat itu kondisi Nilam memang tidak memungkinkan untuk ke rumahnya.

Mungkin yang jadi masalah justru Sahara. Pria itu tengah menatapnya dengan ketidaksukaan yang berusaha ditutupi oleh senyum. Nilam bisa merasakannya, karena itu dia mengekor langkah Sahara yang menuju meja makan di dapur.

"Maaf, Mas," ujarnya pelan, setelah Sahara meletakkan paper bag yang dibawanya.

Sahara melirik sekilas. "Maaf karena ...?"

"Maaf karena lupa nggak ke rumah Mas, kemarin."

Jawaban itu membuat Sahara menoleh. "Apa boleh buat, Nilam sakit. Lagipula saat bersama pacar baru waktu berjalan dua kali lebih cepat, bukan begitu?"

Tidak ada penekanan dari kalimat itu, namun Nilam terintimidasi tanpa alasan. Tatapan sayunya dengan segera menajam.

"Pacar baru siapa? Yang mana?"

"Yang selalu di hati." Sahara sibuk mengeluarkan makanan ini-itu dari paper bag.

Kening Nilam berkerut. "Aku nggak punya pacar rasanya."

"Tapi banyak yang mengincar."

"Siapa?"

"Yang kemarin seharian dengan Nilam."

"Mas Mana?" Nilam membulatkan mata sesaat, sebelum kemudian menggerutu setelah menyadari sesuatu. "Ibu ember, cerita beginian sama Mas Hara."

Ada kesal menyumbat tenggorokan Sahara yang membuat pria itu enggan menyahut lagi. Dia menata buah-buahan dalam keranjang rotan yang biasa diisi Rini.

"Terus siapa lagi, Mas?" tanya Nilam lagi, kali ini memberanikan diri mendekat.

"Apanya?"

"Siapa lagi yang mengincar aku? Kata Mas banyak. Banyak artinya lebih dari satu."

Gerak tangan Sahara berhenti.

"Yang aku tahu cuma Mas Mana. Tapi akhir-akhir ini Ibu semacam yang pengin aku ndang (segera) move on, gitu, Mas. Yang katanya aku masih muda, kesempatan berkeluarga masih besar, masih usia produktif dan sebagainya. Ibu juga cerita tentang Mas. Mas Hara boleh nikah lagi, tapi khawatirnya nanti istri baru Mas bikin Sagara jauh dari Ibu—"

"Bisakah saya menyimpulkan bahwa saya hanya diizinkan menikahi perempuan di dekat Ibu?" potong Sahara, menoleh lantas menempelkan jeruk mandarin di kening Nilam.

Nilam mengerjap. "Mbak Mawar sebelah rumah?"

"Bagaimana dengan yang di rumah ini saja?"

Ketika tatapan keduanya bertemu, otak Nilam masih berusaha mencerna, namun debar keras di jantungnya mengacaukan semuanya. Nilam benci ini. Kalimat Sahara seakan memancing hatinya untuk lancang berasumsi sepihak.

"Jeruk kok di jidat. Sini, Pa, jeruknya buat aku."

Baik Sahara maupun Nilam terkesiap dan saling menjauh. Sahara tersenyum menyerahkan jeruk itu untuk Sagara, serta jeruk lain kepada Nilam yang segera menyambar dengan canggung. Tanpa mau repot-repot berterima kasih, perempuan itu menyeret Sagara ke ruang keluarga.

"Tante, tolong kupasin."

Nilam mengernyit. Baru saja Nilam duduk bersila, akan mengupas jeruknya, dan Sagara menginterupsi dengan menyodorkan jeruknya sendiri. Belum lagi tatapan merayunya itu, membuat Nilam mendengkus keras.

"Maaf, Tante kupas punya Tante sendiri. Kalau Gara mau makan, belajar kupas sendiri," putus Nilam.

Melihat Nilam terus saja mengupas jeruknya sendiri, Sagara memberengut menurunkan miliknya.

"Aku nggak bisa, Tante."

Nilam tersenyum melirik. "Bisa. Nih, ikutin Tante. Tengahnya ditekan pakai jempol ... pakai kuku, sampai tembus ke dalam kulit ... terus ... nah, tinggal dibelah dua."

Bocah itu melenguh. "Nggak mau. Kotor lengket semua, Tante!"

"Kan bisa cuci tangan." Nilam mencuil satu potong dari yang dikupasnya, dengan sengaja melahap dan mengunyah di depan Sagara. "Wih, enak, manis seger! Manis banget, Gara! Kalo Kung yang milih sering kecut!"

Sagara terlihat ingin menangis. "Tante ... mau ...."

"Tante bantuin. Sini tangan Gara."

Nilam meraih kedua tangan Sagara yang masih menggenggam jeruk utuh, menempatkan jari-jari kecil bocah itu, memintanya menekan di tempat yang sesuai. Sagara meringis karena sedikit gas yang keluar dari kulit jeruk membuat matanya perih. Nilam tetap melanjutkan instruksinya dengan sabar sampai jeruk berhasil dibelah. Sagara memandang jijik jari-jarinya yang terasa kelat.

"Kalau lengket, ini ada tisu." Nilam meraih sekotak tisu di samping televisi yang langsung disambar Sagara. "Sagara tahu, selain buahnya yang banyak vitamin C, kulit jeruk mengandung flavonoid."

"Flavonoid apa?" Sagara mulai mencuil jeruknya.

"Salah satu antioksidan yang bagus buat tubuh."

"Antioksidan apa?" Sagara memakan jeruk.

"Zat-zat baik untuk menangkal radikal bebas yang berlebihan."

"Radikal bebas apa? Jadi radikal bebas itu jahat, Tante? Radikal bebas harus dipenjara supaya jadi baik, gitu?"

Nilam tertawa takjub dan menggeleng ringan. Tidak heran Sagara bisa memperoleh peringkat pertama di satu angkatan, sebab curiosity-nya begitu besar dan tidak mudah dipuaskan.

"Jadi gini. Radikal itu sebenarnya ada di mana-mana. Nih, karpet ini radikal." Nilam menepuk alas mereka duduk. "Tisu ini radikal. Baju Sagara radikal, baju Tante radikal, pokoknya semua radikal. Radikal stabil namanya, karena ya sudah bentuknya seperti ini, nggak berubah-ubah. Misalnya baju Tante ditempelin ke baju Sagara, kan nggak berubah jadi kain pel? Terus ada radikal yang nggak stabil, yang gampang berubah kalau ketemu yang lain. Ini namanya radikal bebas ...."

Sahara baru selesai menyeduh kopi, tadinya berniat bergabung, namun Nilam dan Sagara tampak antusias mendiskusikan konsep radikal bebas. Sahara tak ingin mengusiknya, memilih berhenti dan bersandar di pilar ruang keluarga. Mengamati keduanya sambil sesekali menyesap kopi. Senyum kecilnya terbit saat Nilam menyuapkan jeruk untuk Sagara.

"Papa, sini. Nggak boleh minum sambil berdiri," tegur Sagara yang tiba-tiba menoleh.

Senyum Sahara kian mengembang saat menghampiri lalu memilih duduk di sisi Sagara, di hadapan Nilam. Perasaan rikuh kembali menyergapnya, Nilam membuang pandang dengan tidak nyaman. Sahara baru akan bersuara ketika bel pintu depan lebih dahulu terdengar.

"Aku ke depan dulu."

Nilam segera bangkit, sengaja melarikan diri dari kecanggungannya sendiri. Namun pria lain yang muncul di ambang pintu justru memberi hatinya kejutan lebih besar.

"Mas Mana?" Nilam terbeliak.

"Apa aku datang di waktu yang salah?"

"Salah?" Nilam tak mengerti, hingga kemudian Laksmana melirik Rover putih yang terparkir di sisi Ninja hitamnya. "Oh, Mas Hara. Nggak lah, dia tiap weekend ke sini. Mas ada apa? Mau ngapelin aku, hmm?"

Ringisan Nilam semakin lebar sementara Laksmana semakin menciut di tempat. Nilam tertawa dalam hati, mengerjai bos ternyata seasyik ini. Rona kemerahan menghiasi wajah pria itu saat menyodorkan keresek yang dibawanya.

"Bintang once told me, setiap Nilam sakit selalu minta dibawakan bubur ketan hitam. Kalau ini enak, apa kamu mau aku bawakan lagi?"

Hatinya berbunga, sungguh. Namun Nilam menahan diri, bersungut-sungut menerima keresek itu. "Jadi maksud Mas aku harus sakit lagi?"

"Ehm, maksudku bukan—"

"Aku tahu." Nilam tersenyum, dan Laksmana merasa jantungnya berhenti sesaat. "Aku tahu. Terima kasih, Mas Laksmana."

Mengetahui bahwa Usman dan Rini sedang belanja ke pasar, Laksmana ragu menerima tawaran Nilam untuk masuk rumah. Namun pria berkacamata lain yang baru keluar dari dapur mengurungkan niatnya pergi. Laksmana memutuskan untuk duduk selagi Nilam ke dapur menyajikan bubur ketan hitam.

Sahara menghampiri Laksmana lantas menghidangkan secangkir kopi dari nampan yang dibawanya.

"Silakan, Mas." Dia tersenyum.

"Matur nuwun, Mas." Laksmana membalas ramah. "Tidak perlu repot-repot."

"Tidak merepotkan. Tamu Nilam juga tamu saya."

Laksmana mengernyit. "Bagaimana, Mas?"

"Karena saya juga menantu di sini, Nilam adalah keluarga saya."

"Mungkin sebentar lagi saya juga keluarga Mas."

Kali ini Sahara yang mengernyit. "Maaf?"

"Nilam adalah keluarga sebagai sesama menantu, maka saya juga keluarga Mas kalau suatu saat menikahi Nilam. Begitu?"

Sahara tidak menjawab. Tidak mampu menjawab. Lidahnya terlalu kaku untuk itu.

Laksmana mencondongkan tubuh untuk meraih cangkir. "Kalau Mas Sahara lupa, sejak tiga tahun lalu saya sudah mengatakan bahwa saya khawatir pada Nilam sebagai lelaki, bukan teman almarhum suaminya. Menjadikan Nilam istri adalah yang saya inginkan. Kenapa hari ini saya merasa Mas Sahara ... syok?"

"Apa Nilam juga menginginkan itu?"

"Sejauh ini Nilam tidak menolak," Laksmana menyesap kopinya, "dan saya tidak akan memaksa. Hanya, saya tidak akan mundur hanya karena ada laki-laki lain yang juga menginginkan Nilam, sedang berusaha mengintimidasi saya."

"Saya tidak mengintimidasi siapapun," sangkal Sahara.

"Jadi Mas mengakuinya?"

"Mengakui apa?"

"Bahwa Mas Sahara juga menginginkan—"

"Bahas apa ini? Kenapa aku disebut-sebut, hah?"

Nilam muncul dari dapur membawa nampan lain berisi semangkuk besar bubur ketan dan santan. Dibantu Sagara yang membawa mangkuk-mangkuk plastik dan sendok-sendok. Tak mengacuhkan pertanyaan Nilam, Sahara duduk bersama Sagara, membantu Nilam menyajikan bubur di setiap mangkuk.

Setelah menyuguhkan untuk Laksmana, Nilam akan langsung menyantap buburnya sebelum si kritis Sagara lebih dahulu buka suara.

"Om Laksmana pacarnya Tante Nilam, ya?"

Nilam menurunkan sendoknya, sedangkan Laksmana tertawa ringan. "Pacar itu apa, sih?"

"Itu kalau Om Laksmana sayang Tante Nilam, terus Tante Nilam juga sayang Om Laksmana, jadinya pacaran."

Nilam menepuk dahi. Kids jaman jigeum benar-benar.

"Om sayang Tante. Tapi belum tahu Tante sayang juga apa nggak?" Laksmana mengerling perempuan di sisinya yang memilih cuek dengan makan bubur.

Sagara menutupi senyumnya dengan tangan. "Cieee. Sayang juga, dong, Tante!"

"Males, ah. Om Laksmana pelit, gaji Tante kecil." Nilam menjulurkan lidah.

"Sayang, dong. Sayang aja, Tante!" Sagara mengompori makin semangat. "Tante malu-malu tuh. Iya, kan, Pa?"

Denting besi membentur lantai menciptakan hening spontan.

Sahara membungkuk untuk memungut sendoknya yang terjatuh. Pria itu tertawa pelan sambil beranjak.

"Maaf, saya akan mengambil sendok baru. Silakan dilanjutkan," pamitnya sopan, sebelum menghilang ke dapur membawa sendok tersebut dan mangkuknya.

Sepeninggal Sahara, Sagara meneruskan godaannya terhadap pasangan di depannya. Bocah itu tidak pernah mengerti bahwa sendok papanya bukan jatuh tanpa sengaja.

•°•°•

"Maafin Sagara, ya, Mas? Aku jadi nggak enak," ucap Nilam kikuk.

Laksmana mengencangkan tali full face helmnya sebelum menjawab disertai tawa, "Nggak papa. Anak-anak penasaran, itu bagus."

Nilam mengusap tengkuk, memandang pohon-pohon di pekarangan. "Makasih juga buburnya. Enak."

"Enak, dong. Susah tuh nyari mamangnya. Aku perlu belajar bikin bubur ketan, nih," gumamnya. "Apalagi yang kamu suka? Sebutkan semua. Aku pelajari sekalian."

"Mas."

"Hmm?"

"Apalagi yang aku suka? Mas."

Laksmana terdiam.

Pria itu hampir tidak bisa merasakan jantungnya. Dan jika saja bukan karena full face helm ini, wajah merah padamnya pasti terlihat jelas oleh Nilam. Sedangkan Nilam sendiri tidak kalah kikuk, bergerak-gerak gelisah karena jawaban bold-nya barusan.

"I mean, aku cukup suka dengan waktu-waktu yang aku lalui bersama Mas," ralatnya, sebab diamnya Laksmana terbilang cukup lama. Intensitas jengah Nilam berangsur menjadi panik. "Sudah, ya, Mas. Aku masuk dulu. Hati-hati di ja—"

"Nilam."

Namun lengannya ditahan Laksmana, Nilam tidak jadi masuk rumah. Laksmana membuka helmya kembali, tak peduli meski sipu wajahnya harus terekspos di depan Nilam. Meletakkan helmnya di atas jok, pria itu tertunduk sesaat sebelum memulai.

"Thank you, but ...." Laksmana memilah kalimatnya. "Apa ini nggak terlalu terburu-buru?"

"Ma-maksudnya, Mas?" Apa ini penolakan? Ya Tuhan. Nilam benar-benar malu. Tolong tenggelamkan dia di rawa-rawa.

"My heart skips a beat, beneran deh." Meski tawanya kikuk, Laksmana memberanikan diri menatap perempuan di depannya. "Tapi kamu belum cukup mengenal aku, Lam. Yang kamu rasakan masih kenyamanan sesaat. Aku nggak ingin kamu terburu-buru karena merasa nggak enak ... setelah tahu aku menahan selama delapan tahun ... mungkin?"

Nilam menelan ludah.

"Aku sayang kamu, Nilam. I really do," tambahnya lagi, berusaha mengontrol debaran dengan meraup napas dalam. "But I never wanna rush you. Aku ingin komitmen yang dibangun dengan pertimbangan matang, bukan spontanitas. Tapi ucapanmu barusan, apa boleh diartikan sebagai membukakan pintu untukku?"

Nilam mengalihkan mata. "Ehm, silakan."

"Good." Laksmana mengangguk kaku. "Oke. Kamu nggak keberatan aku pedekate sama kamu?"

"Nggak dilarang."

"Di kantor?"

"Sepanjang Mas bisa menjaga profesionalitas."

"Boleh ngapelin kamu ke rumah? Wakuncar, gitu."

Tawa Nilam menyembur. "Wakuncar banget, Mas? Ya Allah istilah jaman kapan itu?!"

Laksmana tertular tawa renyah itu. "Tapi kamu paham, kan? Wakuncar, waktu kunjung pacar. Boleh?"

"Mmh ... aku yakin Ibu sama Bapak lebih suka aku di rumah daripada kelayapan."

"Yes. Yes!" Laksmana menarik kepalan tangannya, membuat Nilam menggeleng takjub karena tingkah kekanakan itu. "Ngapel di rumah juga lebih murah, sih. Modal martabak. Aku simpan duitnya untuk kita ke Maldives, atau ke manapun yang kamu mau."

Dada Nilam menghangat, begitu pula senyumnya. "Silakan, Mas."

Laksmana mengenakan helmnya kembali. Baru saja menaiki motor, pria itu teringat sesuatu lantas merogoh saku jaketnya. Menyerahkan sebuah amplop kecil pada Nilam.

"Dari Ray."

Nilam menyambar kesal. Baru saja dia bahagia, selembar surat itu merusaknya dalam sekejap.

"Bilang sama dia nggak usah kirim-kirim beginian. Percuma. Langsung aku bakar soalnya."

"Aku cuma menyampaikan amanah," jawab Laksmana lembut. "Anak itu ngotot sekali. Aku nggak punya alasan untuk menolak. Lagipula kamu perlu tahu, dia menyesali semua itu seumur hidup."

Nilam tertawa sarkastik. "Mas pikir penyesalannya bisa mengembalikan Mas Bintang dan Mbak Citra?"

"Tidak." Laksmana menggeleng. "Ray cuma manusia, anak-anak, dia hanya bisa menjalani masa tahanannya dan menyesal. Aku juga akan menyesal kalau membiarkan kamu membawa dendam seumur hidup, jadi aku sampaikan surat ini ke kamu."

Nilam terdiam.

Bahkan saat Laksmana berpamitan, Nilam hanya menjawab salam dalam hati. Dipandanginya punggung pria itu menjauh bersama motornya sebelum menghilang di tikungan. Nilam mendesah. Jemarinya meremasi amplop putih di tengan dengan gelisah.

"Tante, ayo masuk makan kue," ajak Sagara, Nilam baru menyadari bocah itu sudah di sampingnya.

Nilam menjejalkan amplop ke saku piyama kemudian menyambut tangan Sagara untuk masuk rumah. Rini keluar dari dapur dengan senampan jajanan yang dibeli dari pasar, celingukan ke arah luar.

"Calon mantu Ibu mana? Baru mau dibungkusin kue," keluh Rini, duduk lemas di karpet setelah meletakkan nampan di tengah-tengah.

"Kata Mas Mana jatah dia buat Nilam aja, Bu." Nilam mencomot dua risoles, untuknya dan Sagara.

"Kenapa Ibu mencari mantu selain saya?" Sahara mengambil kelepon. "Memangnya saya kurang?"

Rini tertawa sambil merangkul Sagara. "Ora tho (ya tidak). Sahara mantu Ibu paling hebat, buktinya ini." Lantas wanita itu mencium sayang pipi cucunya yang asyik mengunyah.

"Jadi saya rasa tidak perlu menantu lain."

Rini terdiam seketika. Nilam memiringkan kepala, berhenti mengunyah.

"Mas Hara tuh sirik sama Nilam, Bu. Soalnya tadi Nilam bilang Mas boleh nikah lagi, tapi Ibu takut nanti Sagara dibawa jauh sama istrinya."

Rini mengembus pelan, mengkonfirmasi langsung pada yang bersangkutan. "Benar begitu, Le?"

Sahara tersenyum. "Kalaupun saya menikah, saya akan selektif memilih istri yang tidak berpotensi menjauhkan Sagara dari Ibu."

"Iya, harus gitu!" Rini mengangguk setuju. "Ibu nggak mau Sagara jauh-jauh. Ibu juga nggak mau Nilam jauh. Makanya Ibu restu kalau Nilam jadi sama Laksmana, karena sudah menetap di Malang."

Ketika Sahara meliriknya dan tatapan mereka bertemu, Nilam menelan ludah. Sedangkan Sahara tetap tersenyum, namun kali ini Nilam rasa ada yang tidak beres dengan otak pria itu. Terutama karena setelahnya Sahara bersuara lagi.

"Dua poin yang Ibu mau sebenarnya bisa disatukan. Selain efektif, saya lihat ini juga lebih efisien."

•°•°•

Baca cerita baruku untuk 2021, ya. Ituh, di lapak sebelah judulnya The Countdown: Kekasih Hitung Mundur 💕

Kusatsu, Shiga, 7 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top